Jumat, 10 Februari 2017

Musmarwan Abdullah: Orang-Orang Yang Menggali Kubur

Orang-orang yang menggali kubur, itu harus dipantau. Kalau tidak, mereka akan cendrung menggali untuk diri sendiri.” Mulanya aku tidak percaya pada teori itu. Ter-la-lu! Ya, awalnya aku memang tidak percaya.

Orang-Orang Yang Menggali Kubur
Orang-Orang Yang Menggali Kubur

Alkisah, setiap ada warga yang meninggal, kami para pemuda desa akan ditugaskan oleh tetua kampung untuk menggali kubur. Tugas itu kena secara bergiliran. Hari ini kebetulan salah seorang warga desa kami, seorang nenek yang berusia lebih setarus tahun, meninggal dunia tadi subuh.

Konon kebijakan menggali kubur bergiliran itu dijalankan orang-orang tua kampung ini sejak dahulukala hingga kini untuk memberikan pengertian pada anak-anak muda tentang bagaimana sesungguhnya kehidupan itu. Bahwa, pada suatu ketika setiap orang akan mengakhiri langkahnya di sini; di sebuah lubang yang digali di tanah.

Kearifan itu ternyata bukan bermaksud untuk mematikan optimisme kehidupan pada diri anak-anak muda, tapi justru untuk membuat hati mereka tertanam oleh suatu filosifi yang amat penting, bahwa jika hidup begitu singkat, kenapa kita harus banyak berpangku tangan.

Dengan kata lain, berpangku tangan atau menganggur itu terlalu kompleks, sedangkan hidup begitu pendek. Padahal dunia dan kehidupan menyediakan beragam alternatif yang mengundang setiap orang untuk berkreatifitas kendati orang itu adalah insan yang cacat tubuh sekalipun.

Oh, orang-orang tua kampung ini sangat bijak ternyata. Aku yakin, mereka pasti filosof-filosof. Yang telah kenyang dengan perirupa kehidupan. Dari zaman-ke zaman. Dan lalu mewarisi kearifan-kearifan kepada generasi setelahnya. Dan kearifan itu disambung turun-temurun hingga sampai ke kami saat ini.

Dan terbukti, desaku ini adalah sebuah gampong yang sangat maju di kecamatan kami. Setiap warga, lelaki-perempuan, tua-muda, semua menjalani aktifitas kehidupan sehari-hari dengan semangat tinggi sesuai bidangnya, juga sesuai jenis kelamin dan umurnya masing-masing.

Nah, kebetulan yang kena giliran menggali kubur kali ini adalah aku, Syahrul dan Jailani; yang dipandu oleh Bang Ahmad dan Bang Zuki sebagai orang yang mengerti tentang tata penggalian sebuah liang lahat.

Bagiku, tugas menggali kubur adalah aktifitas yang paling akrab dengan kesunyian. Apalagi kalau penggalian sudah semakin jauh menjorok ke kedalaman bumi. Aku tidak tahu, apakah karena itu pula Syahrul dan Jailani terus-menerus bercakap-cakap sambil menggali. Sedangkan aku tidak begitu tersambung dengan pembicaraan mereka, meski berada dalam liang yang sama, karena lalai sendiri dengan keasyikanku, yakni: menggali sambil menikmati percakapan mereka.

Agaknya, semakin aku asyik mendengar percakapan itu, rasanya semakin terfokus perhatianku pada mereka sehingga aku sepertinya menemukan suatu gejala bahwa, semakin dalam galian kami, semakin riuh percakapan antara Syahrul dan Jailani. Mungkin tanpa mereka sadari, semakin dalam kesunyian yang mereka rasakan, semakin tinggi usaha mereka untuk menepis kesunyian itu.

Memperhatikan tingkah-laku dua temanku itu, diam-diam, juga sambil terus menggali, aku tersenyum sendiri tanpa sengaja. Rupanya, ya, aku sadar sekarang. Sementara dua temanku sedang bahu-membahu berjuang untuk menepis kesunyian, maka memperhatikan mereka ternyata adalah bagian dari usahaku sendiri untuk menepis kesunyian itu juga.

Maka, saking asyiknya mereka berbicara dan, saking asyiknya aku memperhatikan mereka, eee, kuburan yang kami gali sudah melewati batas kedalaman yang ditentukan. Sedangkan Bang Ahmad dan Bang Zuki yang ditugaskan untuk memantau pekerjaan kami, mereka justru asyik sendiri di atas sana bercakap-cakap entah tentang apa sambil melinting rokok daunnya masing-masing.

Akhirnya, saking sudah terlalu dalamnya galian ini, kami nyaris tak sampai lagi melempar tanah urukan ke atas pinggir galian. Walau begitu kami terus saja menggali yang membuat napas kami lama-kelamaan tersengal-sengal karena kekurangan oksigen.

Ketika galian kami sudah hampir sedalam sumur, saat itulah Bang Ahmad dan Bang Zuki muncul di atas berdiri di pinggir galian. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi keterkejutan di wajah mereka melihat pekerjaan kami karena kami sudah terkapar di dasar galian akibat tak bisa lagi bernapas.

Dalam keadaan setengah sadar, aku mendengar salah satu di antara mereka berucap, “Kalau kalian menggali kubur untuk seseorang yang telah meninggal, ukuran kedalamannya harus wajar dan sepatutnya. Kalau lebih dalam dari itu, itu sama artinya dengan menggali kubur untuk diri sendiri.”

Aku tidak tahu apa-apa lagi setelah itu sampai kami bertiga akhirnya melihat diri kami siuman di atas ranjang rumah sakit di puskesmas kecamatan. Terakhir kami tahu dari gadis-gadis yang ditugaskan tetua desa untuk menjaga kami di puskesmas, bahwa Bang Ahmad dan Bang Zuki nyaris tak tahu barat-timur lagi karena dimarahi oleh tetua desa atas kelalaian mereka memantau pekerjaan kami.

Nah, sekarang baru aku percaya, bahwa para pemimpin yang sedang menggali kubur untuk rakyatnya, eh, maaf. Maksud saya, orang-orang yang sedang menggali kubur untuk orang lain, mereka akan terus menggali karena asyik oleh usaha menepis kesunyian sampai akhirnya mereka sendiri akan terbenam di sana.

Musmarwan Abdullah: Seandainya Tuhanku adalah Tuhanmu jua

Semua teman saya di Facebook lebih-kurang berjumlah 4.000 orang. Mungkin yang 2.000 orang percaya, di samping di dunia maya, saya juga ada di dunia nyata. Yang 2.000 lagi mungkin tidak. Menurut yang terakhir ini, tentu saja, saya hanya ada di Facebook. Data dan foto-foto saya semuanya bukan asli. Dengan kata lain, mereka meyakini akun Facebook saya adalah palsu.

Seandainya Tuhanku adalah Tuhanmu jua
Antara Agama dan Ilmu Pengetahuan

Kesimpulannya—saya ulangi—2.000 percaya saya ada di dunia nyata, dan yang 2.000 lagi, tidak. Nah, pada 2.000 yang percaya, saya tidak perlu lagi menjumpai mereka di dunia nyata, karena mereka memang sudah percaya saya ada. Sedangkan dengan 2.000 yang tidak percaya, nyaris tiap hari saya berjumpa dan berbincang-bincang dengan mereka. Namun mereka tidak sadar bahwa orang yang sedang bercakap-cakap dengan mereka ini adalah orang yang mereka yakin hanya sebagai akun palsu di Facebook.

Kesimpulannya, “yakin dan percaya adalah sumber ada dan tidaknya segala sesuatu”. Tapi ini hanya argumentasi nalar, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara empiris alias belum tentu mendapatkan hasil yang sama jika diujicoba oleh orang yang berbeda (sebagai persyaratan mutlak hakikat ilmu pengetahuan). Meski begitu, kisah di bawah ini persis menimpa saya.

Waktu tsunami Aceh, 26 Desember 2004, saya sedang dalam rangka Musda Dewan Kesenian Aceh di Banda Aceh sebagai kota yang separuhnya dilanda tsunami. Berjarak 300 kilometer lebih dari sini, keluarga saya di Kembang Tanjong, Pidie, meyakini saya adalah bagian dari orang-orang yang telah tiada.

Ketika malamnya saya tiba di kampung dengan motor tua pinjaman kerabat di Banda Aceh, Kakak dan Bibi saya yang tengah berkumpul di dalam rumah terperangah melihat, melalui kaca nako ruang tamu, bahwa saya sedang turun dari motor dan kini sedang berjalan melintasi halaman menuju ke pintu. Dan ketika saya mengetuk pintu, mereka membukanya dengan ragu. Ketika pintu sudah terbuka dan saya telah berada dalam rumah, saat mereka hendak menyentuh saya, mereka benar-benar menumpahkan konsentrasi saraf perabaan sepenuhnya pada tangan. Saat rabaan mereka benar-benar yakin bahwa tubuh saya samasekali bukan bayang-bayang, barulah mereka memeluk saya sambil menangis tersedu-sedu.

Padahal sejak pertama saya tiba di halaman rumah, saat itu saya benar-benar ada dan nyata. Tapi keyakinan mereka sejak pagi tadi bahwa saya benar-benar sudah tidak ada, yah, akhirnya “ada” pun bagai tidak ada. Buktinya, sampai satu jam lebih saya nyaris berbusa liur bercerita di depan mereka tentang pengalaman saya tadi pagi berada di tengah hiruk-pikuk musibah tsunami di Kota Banda Aceh, saya masih mendapatkan kelebat sinar mata mereka yang sekali-sekali mengisyaratkan keraguan apakah yang sedang berbicara di hadapan mereka ini benar-benar orang, atau arwah.

Sebenarnya yang saya mau katakan di sini adalah tentang suatu malam di mana saat itu, sampai jauh malam, sambil bersimpuh di atas pepasiran sudut pesisir Kuala Sagi, Batee, Pidie, dihangati api unggun dan sepoi bayu Selat Malaka, saya dan teman-teman berbincang tentang ragam hal dengan Cek Aziz, lelaki kurus tinggi berusia 60-an, Teungku pemilik Dayah Tradisionil yang murid-muridnya terdiri dari berbagai kalangan, pejabat, tokoh masyarakat, hardland terminal, mantan pecandu narkoba, petani, masyarakat umumnya dan santri yang belajar penuh waktu. Dan beliau adalah Teungku yang mendalami tasauf dari muda hingga tuanya.

Dua kalimat yang beliau ucapkan entah dengan sadar atau tanpa sengaja, namun saya telah terlanjur menghafalnya, “Kita mengenal Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tapi belum berjumpa dengan-Nya. Sedangkan orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk berpikir tentang kemaslahatan orang banyak, para seniman, filsuf dan ilmuan acap berjumpa dengan Tuhan, tapi mereka tidak mengenal-Nya.”

Nah, seminggu kemudian kata-kata itu saya ubah isinya, hanya saya ambil polanya, lalu saya ketengahkan di hadapan teman-teman yang penganut Atheisme (tidak percaya adanya Tuhan). Waktu itu kami sedang duduk di warung kopi langganan sambil berbincang tentang berbagai hal, dan ketika menyentuh topik ketauhidan, saya bilang, “Dalam setiap agama tentu ada ajaran tentang sifat-sifat Tuhan, sehingga semua pemeluk agama mengenal Tuhan. Tetapi mereka tidak pernah berjumpa dengan Tuhan. Sedangkan kalian orang-orang atheis, nyaris tiap hari Tuhan berjumpa dengan kalian, tapi kalian tidak mengenal-Nya. Sama seperti kasus saya dengan teman-teman facebooker, atau nyaris sama ketika Kakak dan Bibi melihat saya sebagai arwah yang bangkit dari reruntuhan bengkalai tsunami di Banda Aceh.”

Seorang di antara sepuluh teman saya yang atheis itu mengulang kata-kata itu sambil merenung berat, “Kalian mengenal Tuhan, tapi tidak pernah berjumpa dengan-Nya. Kami tiap hari berjumpa dengan Tuhan, tapi tidak mengenal-Nya. Hmmm….”

Saya sama sekali tidak menyangka, dua kalimat itulah yang membuat, sepekan kemudian, kesepuluh teman itu akhirnya memutuskan untuk menganut theisme (percaya pada Tuhan). Mereka ingin belajar mengenal Tuhan dan sifat-sifat Tuhan agar mereka yakin bahwa mereka benar-benar pernah berjumpa dengan Tuhan sebagaimana yang saya katakan. Lalu mereka pun memeluk agama Islam, lima orang. Dan yang lima lagi memeluk agama Kristen.

Nah, sekarang kita tinggalkan dulu kawan-kawan yang atheis. Mari melihat apa yang terjadi pada teman-teman yang theis.

Karena melihat begitu sering terjadinya pertikaian berdarah-darah antara Islam dan Kristen, lima orang kawan saya yang muslim dan lima kawan saya yang kristiani, memilih untuk keluar dari agama mereka masing-masing. Mereka resmi memproklamirkan diri sebagai “sekuler”. Alasannya, agar mereka bisa hidup damai dengan siapa pun. Pada taraf ini mereka masih percaya adanya Tuhan.

Namun, tak berapa lama setelah itu, ketika pertikaian Islam-Kristen tak pernah lagi terjadi, kesepuluh kawan saya itu tiba-tiba menyatakan diri untuk tidak percaya lagi pada Tuhan. Alasan mereka, jika Tuhan ada, pasti satu dari dua agama itu benar; dan jika ada satu yang benar, pasti yang satu lagi salah; dan jika yang satu salah dan yang satu benar, pasti di antara keduanya tak mungkin bisa berdamai seperti sekarang ini.

Saya membatin, “Masya Allah, ribut salah, damai pun salah.” Kata mereka, jika keduanya ternyata bisa berdamai, itu pasti kedua-duanya salah sehingga Tuhan tidak mau peduli pada kedua-duanya.
Jika Tuhan sayang pada kedua-duanya karena keduanya merupakan agama yang benar, itu tidak mungkin; tidak mungkin Tuhan membenarkan beberapa agama sekaligus sementara nabinya berbeda-beda dan di zaman yang berbeda-beda pula serta ajaran yang mereka bawa samasekali tidak persis sama.

Kalau Tuhan membenarkan kedua agama itu sekaligus, pasti kedua ummat agama tersebut tahu bahwa agama yang satu sama benarnya dengan agama yang satu lagi, dan kedua mereka pasti bolak-balik setiap saat, masuk ke agama ini sebentar dan masuk ke agama itu sebentar tanpa masalah apa-apa. Tapi kenyataannya kan tidak demikian? Kedua-duanya begitu ketat dengan agamanya masing-masing dan siap bertikai sampai titik darah penghabisan jika ada sesuatu yang memicunya.
Berangkat dari hal itu, kata mereka lagi, jika pada akhirnya kedua agama itu bisa berdamai (seperti sekarang ini), itu suatu indikator bahwa Tuhan tidak peduli pada kedua-duanya. Jika pada kedua agama terbesar di dunia itu Tuhan tidak peduli, itu samasekali tidak mungkin. Seluruh manusia di jagat raya ini hampir semua terbagi dalam kedua agama ini. Itu samasekali tidak mungkin, melainkan Tuhan itu memang tidak ada. Yang ada hanya manusia dengan keyakinan-keyakinannya yang dibuat-buat. “Seperti kamu yang hampir menjadi hantu di mata Bibi dan Kakakmu yang menerimamu pulang sebagai arwah.”

Jadi, kesimpulan mereka, kalau Tuhan ada, Islam dan Kristen tidak mungkin damai. Kalau Islam dan Kristen damai, berarti Tuhan tidak ada.
Jika pun Tuhan benar-benar ada, berarti Islam dan Kristen adalah dua agama besar di dunia yang kedua-duanya salah.

Kalau pun Tuhan ada dengan hanya agama Islam yang benar, berarti Kristen sudah lenyap dari dulu.
Kalau pun Tuhan ada dengan hanya agama Kristen yang benar, berarti Islam sudah lenyap dari dulu.
“Jadi yang benar siapa juga?” tanya kawan saya yang kristiani.
“Yang benar adalah kami, kaum atheis.”
Saya melirik ke arah kawan yang Kristen, “Kiban, ta peu-abeeh yih (bagaimana, kita habiskan saja mereka)?” tanya saya dengan isyarat mata yang menggambarkan ajakan pura-pura.
“Sabar dulu, mungkin mereka masih bisa disadarkan,” jawab si teman, juga dengan isyarat mata yang lucu.

“Itulah sifat dasar kalian yang beragama, belum apa-apa sudah ingin menghabisi orang,” kelakar 10 teman yang dulu percaya pada Tuhan dan sekarang sudah menjadi atheis, sementara 10 teman yang dulu atheis dan sekarang mulai belajar soal ketuhanan di dua agama, hanya tersenyum-senyum saja.
“Sepertinya kalian sudah menemukan Tuhan, ya?” kelakar saya pada 10 teman yang dulu atheis itu.
“Tidak, belum. Kami belum sampai ke taraf itu,” jawab mereka nyaris serentak; lalu salah seorang menyambung, “Sedangkan kawan-kawan kita ini baru saja meninggalkan agamanya. Mungkin mereka terpengaruh dengan kata-katamu dulu, bahwa Tuhan sering menjumpai kaum atheis.”
“Ah, saya tidak berpikir demikian. Saya yakin, kalian punya prinsip kuat masing-masing,” kata saya.
“Oh, tidak. Nyatanya, kami memilih agama karena terpengaruh kata-katamu. Pasti mereka karena terpengaruh kata-katamu juga.”

“Saya tidak merasa punya keuntungan apa pun di sini. Pengaruh-mempengauhi itu biasalah antar teman. Lagi pula apa yang saya banggakan, toh kalau nanti kalian ternyata tidak menemui Tuhan dalam Islam dan Kristen, kalian pasti akan kembali ke Atheis lagi. Iya, kan?”
“Tentu saja.”

“Begitu juga bagi kawan-kawan yang kini Atheis, kalau serta-merta esok atau lusa Islam-Kristen bentrok lagi, mereka pasti akan kembali ke agamanya masing-masing untuk kembali percaya kepada Tuhan. Iya, kan?”

“O, tentu saja,” jawab kawan-kawan yang kini sedang atheis itu.
“Jadi, begitu simple, bukan? Hanya soal percaya dan tidak. Keduanya punya alasan. Yang satu, “perang antar agama” sebagai indikator adanya Tuhan. Yang satu lagi, “wujud Tuhan itu sendiri” sebagai bukti adanya Tuhan.”

“Menurutmu, mana yang paling benar?” tanya kedua kelompok itu nyaris serentak.
“Bukan soal “paling benar” dan “paling salah”. Hanya soal medium yang kita gunakan. Yang satu, adanya konflik antar agama bukti adanya Tuhan. Yang satu lagi, wujud Tuhan bukti adanya Tuhan. Dua-duanya tak menemukan Tuhan. Yang satu yakin, ada. Yang satu lagi yakin, tidak ada. Yang satu mengandalkan argumentasi nalar, yang satu lagi mengandalkan empirisme nalar. Yang satu yakin, Tuhan tak bakal ditemui dalam wujud aslinya karena manusia tak memiliki perangkat indra untuk itu. Yang satu lagi yakin, segala yang tak dapat dibuktikan dengan perangkat indrawi, ya, tidak ada.”
“Iya, baiklah. Bagaimana dengan kamu?”

“Bagi saya, Tuhan adalah Tuhan saya. Saya tidak tahu Tuhan yang disembah ulama, pendeta, biksu, orang-orang dan teman-teman saya. Kalau yang mereka sembah ternyata adalah juga Tuhan yang saya sembah, saya juga tidak tahu, dan tak mungkin tahu pun.

“Jadi, Tuhan adalah Tuhan saya. Saya melihat-Nya dengan terang di mana-mana, pada segala fenomena alam. Saya mengecap segala rasa dari eksistensi-Nya pada semua yang hadir di lidah ini. Saya meraba dengan pasti akan Dia pada segala wujud empiri dunia. Saya mendengar Ia pada segala bunyi bahkan dari balik jeritan seorang bocah perempuan yang sedang diisengi secara tak baik oleh lelaki idiot sebelah rumah. Saya mencium Ia pada segala yang terendus hidung.
“Saya melihat-Nya pada semua deritaku, mendengar Ia dalam segenap bahagia, meraba datang-Nya ketika aku yakin bahwa Tuhan itu tidak ada, mengecap rasa-Nya ketika lidahku bernyanyi, mencium aroma-Nya pada segala alur pikiranku.

“Aku melihat-Nya dengan terang. Mendengar-Nya dengan jelas. Meraba-Nya dengan pasti. Mengecap-Nya dengan lidah. Mencium-Nya tanpa jeda detik. Tapi saya tak mampu menggambarkannya dengan system komunikasi umum, karena tidak ada satu pun perlambangan dan rangkaian kosa kata yang mampu mewakilinya. Setiap orang memiliki bahasa khusus ketika ia berada pada suatu kondisi yang ia sendiri tak mampu memikirkannya dengan rangkaian bahasa ibu atau bahasa sehari-hari.

“Orang bisa mengatakan ‘Aku sudah bertemu Tuhan,’ padahal itu cuma delusi. Orang bisa mengatakan ‘Aku tidak percaya adanya Tuhan,’ padahal di saat yang sama ia merasakan sesuatu yang tak bisa dipahami nalar dan tak memiliki system bahasa untuk memikirkannya.
“Saya boleh merekomendasikan suatu agama untuk dianut kawan-kawan, tapi tidak mungkin memaksakan ‘wilayah ketauhidan’ saya untuk ditapaki orang lain, karena, sebagaimana sidik-jari dan struktur DNA yang tak pernah ada dua yang sama di dunia ini, setiap orang juga memiliki ‘wilayah ketauhidan’nya masing-masing. Untuk dihuni. Atau untuk ditolaknya.”*** (Musmarwan Abdullah, 18 Oktober 2015)