Jumat, 04 Agustus 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 1. Si Babi Hutan (part 1)

Aku tidak takut. 
Jika setiap manusia dikenali dengan lima emosi, yaitu bahagia, sedih, takut, jijik dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut.
Kalian kira itu omong-kosong? Gurauan? Tidak. Lihatlah wajahku, lihat bola mataku, kalian tidak akan menemukan walau semili rasa takut itu. 
Malam itu, di tengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatera yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus nafasnya yang memburu, taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir, telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut.
Akan kuceritakan semuanya agar kalian mengerti. Inilah hidupku, dan aku tidak peduli apapun penilaian kalian. Toh, aku hidup bukan untuk membahagiakan orang lain, apalagi menghabiskan waktu mendengar komentar orang lain.

Tere Liye : Pulang

***
Kisah ini dimulai dua puluh tahun silam. Usiaku lima belas.
Sejak pagi, kampung tanah kelahiranku ramai.
Dua bulan lagi ladang padi tadah hujan akan panen, pucuk padi menghijau terlihat di lereng-lereng bukit. Hutan lebat menghadang di atasnya, berselimutkan kabut. Dedaunan masih basah, embun menghias tepi-tepinya. Udara terasa dingin, uap keluar setiap kali menghembuskan nafas. Tiga mobil dengan roda berkemul lumpur merapat di depan rumah Bapak. Hanya mobil tertentu yang bisa melewati jalanan terjal bukit barisan, lepas hujan deras tadi malam. 
Dua belas orang lompat dari mobil-mobil itu, mereka memakai sepatu bot, celana tebal, jaket, topi, terlihat gagah, serta yang paling menyita perhatianku, mereka membawa senapan. Itu bukan kecepek, senapan api rakitan kampung yang pernah kulihat, mereka membawa senjata api milik pasukan militer. Otakku langsung berpikir, jangan-jangan di ransel mereka, juga ada bertampuk granat. Tapi itu berlebihan, aku mengusap wajah yang terkena jaring laba-laba.
Demi melihat mobil-mobil itu, Bapakku, beringsut turun dari anak tangga, berpegangan, menyeret kakinya yang lumpuh satu, tertawa lebar mendekati rombongan. Aku jarang melihat Bapakku, yang sakit-sakitan, tertawa selepas itu. Biasanya dia lebih banyak mengomel, marah-marah. Salah-satu dari rombongan itu mendekat, sepertinya pimpinan mereka, juga ikut tertawa lebar. Mereka berpelukan, menepuk bahu. Seperti sahabat lama.
“Syahdan, lama sekali kita tidak bertemu.” Orang itu, dengan mata sipit, berseru. Usianya kutilik sebaya dengan Bapakku, berkisar lima puluh. Tubuhnya pendek, gempal, hanya sepundak Bapakku. 
Bapak terkekeh. Balas menepuk punggung.
“Bagaimana perjalanan kalian, Tauke Muda?”
“Buruk, Syahdan. Tadi malam, kami hampir tersesat, satu mobilku juga hampir terguling ditelan lembah gelap. Satu lagi pecah bannya, masih tertinggal di belakang, semoga tiba di sini sebelum petang, atau rencana kami jadi tertunda, mobil itu membawa tiga ekor anjing pemburu. Astaga! Bagaimana ceritanya kau bisa tinggal di sini, Syahdan? Jauh dari manapun, seperti di ujung bumi. Susah sekali kami menemukannya. Dan menjadi petani? Sejak kapan orang yang hanya mengenal berkelahi bisa menanam padi, hah? Kau pukul padinya?”
“Panjang ceritanya, Tauke Muda.” Bapak tertawa lagi, menggenggam lebih kokoh tongkatnya, “Kalian naiklah ke atas, istriku sudah menyiapkan kopi dan juadah. Kita bisa bicara sambil sarapan. Tentu lapar perut setelah diombang-ambing jalanan berliku.”
Orang bermata sipit itu mengangguk. Berseru, memerintah rombongannya.
Aku berdiri di dekat anak tangga, mendengar percakapan. Beberapa warga kampung lain juga ikut menonton keramaian, mereka berdiri di halaman rumah Bapakku. Tertarik menatap mobil jeep dengan roda besar-besar, jarang sekali mobil masuk kampung kami.
Aku tahu siapa rombongan ini, aku sudah diberitahu Bapak sejak sebulan lalu. Akan ada pemburu dari kota yang datang, mereka akan berburu babi hutan. 
Kampung kami ini sebenarnya tidaklah seperti desa yang kalian kenal. Kami menyebutnya talang. Hanya ada dua atau tiga puluh rumah panggung dari kayu, letaknya berjauhan dipisahkan kebun atau halaman. Jika hendak memanggil tetangga, kalian bisa membuka jendela lantas berteriak sekencang mungkin—itulah kenapa intonasi orang pedalaman Sumatera terdengar kasar. Tahun ini, babi hutan menyulitkan kami, mereka banyak sekali, dan menyerbu ladang. Jika tidak diatasi, ladang padi yang susah payah dirawat bisa rusak binasa. Meski tiap malam ladang padi dijaga, dipasangi kaleng pengusir, juga dilingkari pagar kokoh, hasilnya percuma. Babi-babi itu selalu punya cara masuk, dan mereka tidak takut suara kaleng, jumlah mereka puluhan atau mungkin ratusan. Tetua kampung sudah menyerah, Bapak tidak, dia bilang akan meminta bantuan pemburu dari kota.
“Apakah kita harus membayar mereka, Syahdan?” Tetua kampung bertanya cemas.
Bapak menggeleng, dalam pertemuan sebulan lalu, “Tidak sepeser pun, Bang. Mereka memang suka berburu babi. Itu hobi orang kota. Mungkin beberapa babi akan dibawa oleh mereka, untuk dimakan. Hanya itu bayarannya.”
Aku yang juga ikut di pertemuan, langsung bisa menyimpulkan, itulah pasti orang-orang yang boleh makan babi. Karena Mamakku di rumah bilang berkali-kali, babi haram dimakan.
“Bujang!” Bapakku berseru dari atas, sudah naik teras rumah panggung, “Kau bantu Mamak kau menyiapkan makanan. Jangan hanya berdiri tak guna di bawah sana.”
Aku mengangguk, segera menaiki anak tangga. 
Lima belas menit. Dua belas pemburu itu sudah duduk di atas hamparan tikar, senjata api mereka diletakkan berbaris di balai bambu. Juga ransel, senter besar, tali, jaring dan peralatan lain. Aku segera tahu, menilik gerakan cekatan, mereka pastilah pemburu berpengalaman. Yang aku tidak menduganya adalah, Bapakku ternyata kenal dekat dengan pimpinan rombongan ini. Mereka duduk berdekatan di sudut tikar, bercakap seperti sahabat lama tak bersua.
“Kemari kau Bujang.” Bapakku berseru lagi.
Aku yang sedang mengangkat ceret berisi kopi panas menoleh.
“Ayo!” Bapakku melotot, tidak sabaran.
Aku bergegas melangkah ke sudut tikar.
“Ini anakku, Tauke Muda.” Bapak menunjukku, “Usianya lima belas. Namanya Bujang.”
“Ah, kau tidak bilang dalam suratmu kalau kau punya anak laki-laki, Syahdan?” Orang bermata sipit itu menatapku, dari ujung kepala hingga kaki, “Tubuhnya gagah besar seperti bapaknya. Sudah seperti pemda dewasa. Matanya hitam tajam. Aku suka dia. Kelas berapa kau sekarang?”
Bapakku menggeleng, tertawa, “Tidak sekolah. Seperti Bapaknya.”
Orang bemata sipit masih menatapku, “Kemari, Bujang. Lebih dekat.”
Aku melangkah lagi, duduk dengan lutut di tikar.
“Apakah kau pandai berburu babi hutan seperti bapakmu?”
“Jangan harap.” Bapak terkekeh, memotong jawaban, “Dia bahkan tidak pernah masuk hutan sendirian. Mamaknya sangat pencemas. Semua serba dilarang, takut sekali anaknya terluka. Mentang-mentang anak satu-satunya.”
Orang bermata sipit mengangguk-angguk takjim.
“Kau mau ikut berburu nanti petang?”
Aku mengangguk dengan cepat—bahkan sebelum melihat ekspresi wajah Bapakku yang duduk di sebelah.
“Bagus sekali! Mari kita lihat seberapa hebat kau di dalam sana. Bapak kau ini dulu, adalah pemburu yang hebat, berikan senapan padanya, dia akan menjatuhkan satu-persatu babi.”
Itu percakapan yang terlalu cepat. Bahkan sebelum aku menyadarinya, aku telah memperoleh tiket emas yang selama ini aku idamkan. Setengah jam kemudian, di dapur rumah panggung, Mamak tidak senang, wajahnya yang berkeringat karena sedang memasak gulai, nampak masam. Tapi Bapak meyakinkan kalau semua baik-baik saja. Mereka bicara khusus, tentang ijin beburu untukku.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan, Midah. Anakmu hanya ikut berburu. Ada dua belas pemburu bersamanya, juga beberapa pemuda kampung. Mereka membawa senter besar, senjata api. Paling anakmu hanya tergores duri, atau kakinya digigit lintah.”
Mamak melengos, menatap kuali berasap.
“Ayolah, Midah. Tauke Muda memintanya sendiri, dan harus berapa kali aku bilang, kita tidak bisa menolak permintaannya. Aku berhutang segalanya.”
Mamak hanya diam, menyeka pelipis. Tapi sepertinya dia bisa memahaminya, mengalah. Hal yang jarang sekali dia berikan jika menyangkut diriku. 
“Jangan buat aku malu, Bujang.” Bapak menatapku tajam, kemudian melangkah ke depan, kembali bergabung dengan rombongan dari kota.
Aku mengangguk. Aku tahu maksud tatapan Bapak. 
Mamak mencengkeram lenganku, berbisik lembut, “Mamak mengijinkanmu pergi. Tapi berjanjilah, kau hanya menonton di hutan sana, Nak. Kau tidak akan melakukan apapun. Hanya menonton yang lain berburu.”
Aku mengangguk. Aku juga tahu maksud tatapan Mamak.
“Jangan lakukan hal bodoh di rimba sana! Kau dengar, Bujang?” Mamak memastikan.
Aku sekali lagi mengangguk. 
Siang hari, lepas matahari tergelincir di titik puncaknya, mobil keempat akhirnya tiba di halaman rumah. Penumpangnya hanya dua orang. Sisanya, tiga ekor anjing pemburu diturunkan. Anjing-anjing berbadan besar itu menyalak galak, membuat ramai halaman. Beberapa pemburu berusaha menahan rantai yang terikat di leher anjing, berusaha menenangkan. Sepertinya anjing-anjing ini bersemangat, seolah bisa merasakan babi-babi di dekat mereka. Beberapa pemuda kampung juga telah tiba, ada delapan orang, empat diantaranya datang dari talang lain yang jaraknya belasan kilometer. Ladang mereka juga terganggu oleh hama babi hutan, mereka menawarkan diri membantu.
Semua orang makan siang di hamparan tikar teras rumah panggung. Mamak mengeluarkan masakan yang dia siapkan sejak kemarin. Juga tetangga, mereka ikut membawakan makanan. Rumah Bapak semakin ramai. Lepas makan, mereka bersiap-siap untuk terakhir kalinya, mengenakan ransel, memeriksa perlengkapan, menyambar senapan, dan persis pukul tiga sore, para pemburu siap berangkat.
Aku memegang kokoh tombak yang dipinjamkan Bapak. Tombak itu terbuat dari kayu trembesi, dengan ujung logam tajam. Kakiku tidak mengenakan alas apapun, tidak punya. Lagipula, anak kampung lebih suka masuk hutan dengan telanjang kaki. 
“Jaga anakku, Tauke Muda. Atau Mamaknya akan marah melihatnya pulang terluka walau sesenti.” Bapak menepuk bahu orang bermata sipit.
Orang itu menggeleng, “Kau keliru, Syahdan. Dialah yang akan menjagaku. Seperti yang pernah kau lakukan untuk Ayahku dulu.”
Bapak tersenyum, mengangguk. 
Aku berdiri di belakang, mendengarkan. 
Setelah sejenak basa-basi, kami akhirnya berangkat. Mamak berdiri di atas anak tangga, bersama Ibu-Ibu lain, menatapku penuh rasa cemas. Aku melangkah mantap mengikuti rombongan. Mulai mendaki lereng, melewati jalanan setapak, menuju jantung rimba Sumatera.

**bersambung

1 komentar: