Selasa, 14 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 1. HARI DILAHIRKAN
-------------------------------------
“Kau sejak dilahirkan memang sudah berbeda, Burlian. Spesial…. Dulu waktu Mamak baru mengandung kau beberapa minggu, setiap malam dari pohon besar belakang rumah selalu terdengar suara burung berisik, berceloteh tidak henti-henti. Suaranya kadang-kadang melenguh nyaring, kadang-kadang berteriak seperti memanggil sesuatu atau seseorang, dan lebih sering lagi seperti meratap sedih tidak berkesudahan.” 
Mamak diam sebentar, meraih gelas air. Kami berempat justru sejak tadi sudah terdiam lama, hanya menelan ludah. Amelia mulai takut-takut beringsut mendekat, menyeka hidungnya yang beringus. Meski semua tahu, jika nakalnya lagi kumat, pilek separah apapun tidak akan menghentikan dia untuk bertingkah. 
“Awalnya Mamak tidak peduli…. Untuk apa pula Mamak pedulikan, bukan? Jadi Mamak diamkan saja, tapi sialnya, semakin tua kehamilan kau, Burlian, suara burung itu semakin mengganggu. Suara meratapnya persis sudah seperti pertanda kalau mau ada yang meninggal di kampung. Melenguh-lenguh.”
Tere Liye Burlian

Amelia sekarang sudah mencengkeram lengan Kak Pukat. Ayuk Eli berhenti menggaruk kaki. Kami mengerti benar maksud kalimat Mamak, sudah jadi ‘kepercayaan umum’ di kampung kalau ada burung yang meratap nyaring malam-malam di pekuburan belakang rumah, itu pertanda bakal ada yang meninggal. Konon katanya, burung yang hinggap di pohon bungur rakasasa itu sedang melihat liang lahat kosong, jadilah ia melenguh sedih. 
“Seminggu sebelum kau lahir, Burlian, Mamak sudah tidak tahan lagi. Jadi di suatu malam yang Mamak lupa kapan persisnya, yang pasti malam itu udara terasa dingin menusuk tulang, hembusan nafas seperti mengeluarkan kabut, Mamak memutuskan mengambil potongan kayu bakar yang membara dari tungku masak kita, membuka pintu, lantas ke belakang rumah.”
“Mak… Mak ke kuburan?” Kak Pukat bertanya mencicit.
Mamak mengangguk kalem, memperbaiki tudung di kepala, “Mamak menyibak kawat pagar kuburan, mendekati pohon bungur besar itu, lantas melempar sekuat tenaga potongan bara ke arah suara burung yang terus berceloteh.”
Mulut-mulut kami terbuka lebar, antara takut dan takjub. 
“Astaga! Selepas lemparan bara pertama, burung itu justru melenguh panjang, disusul dengan suara gaduh burung-burung lain, bahkan suara lolongan anjing ikut terdengar, seketika membuat ramai pekuburan yang gelap. Menyeramkan, seperti seluruh penghuninya sedang marah besar... Dan kau tahu Burlian, tengkuk Mamak tiba-tiba terasa dingin, macam ada tangan tidak terlihat yang menyentuhnya, dan perut besar Mamak juga mendadak terasa berat sekali.”
“Mak… ke… kenapa Mak tidak lari saja?” Kak Pukat bertanya serak. 
“Tentu saja ingin rasanya Mamak lari ke rumah, masuk kamar lantas bergelung di belakang kemul. Tapi siapa yang akan membuat burung itu berhenti berteriak mengganggu? Oi, apa burung itu akan berhenti sendiri?” Mamak bertanya balik.
Kami serempak menggeleng, lebih tepatnya tidak tahu jawaban pertanyaan Mamak. 
“Kalian tahu, kaki Mamak seperti ada tali yang mengikatnya, kaku tidak bisa digerakkan. Seperti kalian yang tengah mimpi dikejar sesuatu, sekuat tenaga hendak kabur tapi tidak kunjung bisa lari…. Waktu itu jam tiga dini hari, harusnya langit cerah berbintang, bulan juga setengah purnama, tapi semua terlihat gelap, hanya ujung-ujung nisan yang membayang, batu-batu pekuburan. Melihat bayangan pohon seperti melihat hantu sedang berbaris. Menatap dedaunan pohon bungur seperti ada sepasang mata bersinar mengintai tajam. Dan dari arah pekuburan tercium pekat aroma bunga melati yang menusuk hidung.”
Kami berempat sudah seperti tumpukan karung, merapat satu sama lain. Tidak ada yang peduli kalau lengan Kak Pukat sudah merah dicengkeram Amelia. 
“Untunglah, setelah membaca Ayat Kursi berkali-kali, Mamak bisa menggerakkan kaki, bergegas mengambil lagi potongan bara yang lebih besar dari perapian, melemparnya kencang-kencang ke arah pohon… kembali lagi ke rumah, mengambil potongan bara api yang lebih besar, melemparnya lagi, begitu seterusnya…. Hampir habis kayu bakar di tungku, hampir habis tenaga Mamak melemparnya, barulah burung-burung itu terbang menjauh, lolongan anjing berhenti, dan suara-suara itu pergi.”
Cengkeraman Amelia di lengan Kak Pukat meregang.
“Dan syukurlah, sejak malam itu sampai kau lahir, Burlian, tidak ada lagi gangguan suara burung dari pekuburan belakang.” Mamak menghela nafas pelan, mengakhiri cerita. 
Kami berempat sudah menghela nafas panjang… amat lega ceritanya selesai. 
Biasanya setiap kali habis bercerita, Mamak akan menutup dengan kalimat “Sudah larut, ayo semua tidur.” Tapi kali ini, tanpa perlu diperintah, tanpa terlebih dahulu berebut bantal kumal, atau saling tarik kemul yang bulunya sudah keluar di mana-mana, kami sudah beringsut mencari posisi tidur. Cerita barusan benar-benar menghabisi niat nakal di kepala masing-masing.
Mamak beranjak hendak meniup lampu canting, tapi aku sudah buru-buru berseru, “JANGAN! Lampunya jangan dimatikan, Mak!” Dan Ayuk Eli, Kak Pukat, serta Amelia kompak ikut mengangguk setuju. Mamak menyeringai, tidak jadi meniup kerlip lampu, memperbaiki kain tudung kepala, lantas melangkah ke dapur.
Semua cerita Mamak ini gara-gara tadi, selepas pulang mengaji dari rumah Nek Kiba, seperti biasa kami bertengkar. Ribut saling mengejek. “Kata Mamak, Kak Pukat itu dulu nemu-nya di bawah pohon jambu.” Kami tertawa—kecuali Kak Pukat. “Biarin! Daripada Ayuk Eli, nemu-nya di dekat siring.” Tertawa lagi—kecuali Ayuk Eli. Hingga akhirnya olok-olok itu berubah jadi pertengkaran. Amelia yang sakit-hati dibilang ditemukan di tempat sampah lompat menarik rambutku, bergumul. Ingusnya jorok berceceran. Sebelum ada yang menangis, Mamak keburu masuk, melotot marah. Kami saling tunjuk, saling menyalahkan. “Kak Burlian jahat. Tadi Amelia dibilang Kak Burlian nemu di tempat sampah. Tidak kan, Mak? Tidak kan?” Amelia beringsut mendekati Mamak, melapor sambil mengelap hidungnya yang berlendir.
Jadilah malam itu, sambil melototiku, Mamak bercerita kejadian saat aku dilahirkan. Suara burung yang meratap, pohon bungur raksasa, aroma melati dan pekuburan kampung yang berada persis di belakang rumah. Cerita itu dengan cepat membuat kami beranjak tidur. Membayangkan suara burung melenguh pertanda kematian itu saja sudah seram, apalagi dihubunghubungkan dengan hari kelahiranku. Aku segera menutup mata mengusir imajinasi cerita yang masih terngiang di kepala, mengabaikan angin malam menembus celah papan. Mengabaikan Mamak yang sekarang sedang berbincang ringan di dapur, ditemani Bapak yang menyeduh kopi.
“Anak-anak itu semakin nakal saja.” Mamak bersungut-sungut.
“Mereka sudah tidur?” Bapak menyeruput kopi luwak-nya. Nikmat.
“Akhirnya sudah.” Mamak mengangguk.
“Kali ini, kau ceritakan apalagi biar mereka mau tidur?”
Mamak tertawa pelan, memperbaiki kerudung di kepala. 
Ah, usiaku, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli saat itu memang baru tujuh, lima, delapan dan dua belas tahun. Bagi kami, dunia masih ‘sepolos’ cerita-cerita Mamak menjelang tidur. Tidak tahu itu bohong atau bukan.
1). Lampu canting: lampu yang terbuat dari kaleng dengan sumbu kain dan minyak tanah, lazim diletakkan di atas meja, atau tempat yang lebih tinggi agar terang apinya memenuhi seluruh ruangan.
2). Kemul: selimut; Siring: parit, got

0 komentar:

Posting Komentar