Minggu, 30 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 08

Matahari sudah tumbang di dinding barat saat aku membuka mata.
Mengerjap-ngerjap. 
“Hei, akhirnya kamu siuman.” Seseorang menyapaku.
Aku menoleh. 
Salah-satu pemuda yang terakhir kali kulihat sebelum pingsan menungguiku. Senang melihatku siuman. Tersenyum ramah.
Aku beranjak duduk. Teringat sesuatu, reflek mengangkat tangan, bersiap-siap atas situasi buruk.
Pemuda itu tertawa, “Tidak perlu cemas, dua Slon itu telah pergi.”
Slon?
“Iya, Slon…. Maksudku gajah. Begitu klan kalian menyebutnya, bukan?”
Aku mengangguk, menurunkan tangan. Teringat sesuatu lagi, bergegas menatap sekitar. 
Ali, Seli, dua orang yang kucari duduk tidak jauh dariku. Bersandarkan stupa besar. Mereka juga barusaja siuman. Terlihat baik-baik saja. Pemuda yang lainnya sedang bercakap-cakap dengan mereka.
Eh? Aku menatap candi dengan heran. Tidak ada stupa yang bolong. Tidak ada puing-puing. Juga bebatuan. Candi ini kembali utuh. Juga hutan yang porak-poranda, danau yang berlubang, pegunungan salju yang sompal. Semua terlihat seperti sedia kala. Indah.
“Hei, Ngglanggeran! Apakah yang satu itu sudah siumana?” Pemuda di dekat Ali dan Seli berseru.
“Iya!” Pemuda di dekatku menjawab, sambal berdiri, “Ayo, mari bergabung dengan dua temanmu.”
Aku ikut berdiri. Mengikuti langkahnya. 
“Kalian tidak apa-apa, Ali, Seli?” Aku langsung bertanya.
Ali dan Seli mengangguk.
Bengkak di paha kanan Ali sudah kempes. Seli terlihat sehat, wajahnya tidak pucat lagi.
“Mereka berdua memiliki teknik penyembuhan.” Seli berbisik menjelaskan.
Dua pemuda itu duduk jongkok di depan kami. Menatap bersahabat—syukurlah, mereka bukan musuh kami. Dalam kondisi yang lebih baik, aku bisa menatapnya lebih jelas. Wajah mereka berdua bagai pinang dibelah dua. Persis sekali. 
“Teknik penyembuhan…. Apakah kalian dari Klan Bulan?” Aku bertanya.
“Klan Bulan? Oh, maksudmu klan yang tidak berpenghuni itu. Tidak. Kami tidak datang dari sana.”
Aku menatap penuh selidik lawan bicaraku. Klan tidak berpenghuni? Jelas-jelas Kota Tishri memiliki jutaan penduduk.
“Mereka berdua sepertinya datang dari dunia paralel yang lebih jauh, Ra.” Ali memberitahu.
Dunia paralel yang lebih jauh? Bukankah hanya ada empat Klan?
Sungguh tidak mudah mencerna informasi baru yang kudapatkan dari dua pemuda ini—meskipun Ali sudah membantu menyederhanakannya.
“Kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Ngglanggeran.” Pemuda itu menunjuk dirinya, lantas menoleh ke samping, “Dia Ngglanggeram.”
“Apakah kalian kembar?” Seli ingin tahu.
“Kembar? Oh, maksud kalian binjak? Iya, kami memang kembar, binjak.” Ngglanggeran tersenyum.
“Tentang Klan, kami datang dari Klan Aldebaran.” Ngglanggeram menambahkan.
Aldebaran? Aku tidak pernah mendengar tempat itu.
“Itu bintang paling terang di konstelasi Taurus. Jaraknya 65 tahun cahaya dari Matahari. Salah-satu bintang dalam tata surya kita.” Ali berbisik memberitahu.
Aku menoleh kepada Ali.
Dari bintang lain? Si kembar ini alien?
Ali menggeleng, “Itu Klan lain yang ada di dunia paralel, Ra. Sama seperti Klan Bulan, Klan Matahari atau Klan Bumi. Mereka bukan alien seperti film-film. Konsepnya berbeda.” 
Tapi bukankah Ali tadi bilang itu nama salah-satu bintang di galaksi Bima Sakti.
“Aku juga bertanya-tanya hal yang sama,” Seli ikut berbisik, "Kenapa mereka menamai klan-klan dunia paralel dengan nama Bumi, Bulan, Matahari, Aldebaran? Mereka meniru benda-benda langit saat menamai-nya, Ali?"
"Keliru, Seli!" Ali menggeleng, "Sebaliknya. Kitalah yang meniru mereka. Dulu, informasi tentang klan-klan dunia paralel masih diketahui banyak orang. Lantas orang-orang meniru, menamai benda-benda langit dengan nama klan-klan tersebut. Bumi, Bulan, Matahari, Bintang dan seterusnya. Hari ini tidak ada lagi yang tahu. Kita hanya tahu itu hanya benda langit, tanpa mengetahui itu juga adalah nama dunia paralel."
Seli mengangguk--itu masuk akal. Sepertinya itulah muasal nama-nama benda langit, datang dari nama klan.
Ngglanggeran yang masih duduk jongkok di depan kami ikut mengangguk, “Teman kalian yang satu ini, dia pintar sekali menyimpulkan sesuatu.”
Ali memperbaiki posisinya, lebih tegak. Wajahnya terlihat senang dipuji.
Aku menyikut Ali. Melotot.
“Siapa nama kalian, kalau boleh tahu?” Ngglanggeram bertanya.
Aku menyebut nama kami masing-masing. Lengkap dengan asal Klan.
Ngglanggeran dan Ngglanggeram menatap kami penuh antusiasme, “Hei, sudah lama sekali kami tidak keluar dari ruangan ini. Kami baru tahu jika Klan Bulan dan Klan Matahari telah berpenghuni. Empat puluh ribu tahun lalu saat kami datang, semuanya masih kosong.”
Aku hampir loncat dari duduk. Empat puluh ribu tahun lalu saat mereka datang?
“Berapa usia kalian?” Seli bertanya ragu-ragu.
“Lupa. Kami tidak menghitungnya.” Ngglanggeram tertawa.
Aku dan Seli saling tatap. Ini semakin sulit dicerna.
“Ini ruangan apa?” Aku bertanya hal lain.
“Ruangan ini dulunya adalah tempat tinggal terbaik kami. Bor-O-Bdur” Wajah Ngglanggeran terlihat berubah, menjadi suram, “Empat puluh ribu tahun lalu kami adalah anggota ekspedisi besar Aldebaran untuk menemukan klan-klan lain di dunia paralel. Pemimpin Klan membuka portal raksasa menuju seluruh penjuru. Tidak kurang empat puluh kapsul terbang melintasi portal menuju klan yang tidak pernah dikunjungi. Itu ekspedisi dengan tujuan mulia, kami mencari Klan lain yang memiliki kehidupan. Menyebarkan pengetahuan Aldebaran. Atau kami belajar darinya jika ternyata teknologi mereka lebih tinggi. Aku dan Ngglanggeram tiba di Klan Bumi bersama sekitar seratus orang lainnya.”
“Sungguh menakjubkan. Klan Bumi adalah tempat terhijau yang pernah aku lihat. Tumbuh-tumbuhan subur menghijau. Kami menemukan penduduk aslinya. Masih sangat primitif, satu-dua curiga dan menyerang kami, tapi itu bukan masalah besar, kami datang dengan damai. Kami memutuskan menetap di klan ini, membaur dengan mereka. Membagikan pengetahuan. Termasuk bahasa. Kita sekarang bisa bicara dengan mudah, karena aku mengenali bahasa yang kalian gunakan, salah-satu bahasa yang pernah kami ajarkan. Mungkin satu-dua istilah seperti slon, binjak, yang telah berkembang dengan sendirinya.”
“Kami juga mengajari penduduk Klan Bumi mengenal api, membuat alat berburu, menetap, bertani, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Mereka tidak secepat itu belajar, klan kalian tidak memiliki kode genetik belajar cepat, tapi itu tetap saja kemajuan. Satu-dua diantara mereka bahkan membuat kerajaan, negara-negara, senjata, dan aduh, sifat jahat mereka keluar. Menyedihkan melihatnya, penduduk bumi berperang satu sama lain. Maka kami memutuskan membuat bangunan besar ini, memisahkan diri dari penduduk asli Bumi. Aslinya ruangan ini ada di permukaan sana, bangunan di tengah danau indah. Ribuan tahun kami hidup damai, terputus dari hiruk-pikuk Klan Bumi. Hingga pada suatu hari. Persisnya dua ribu tahun lalu. Semua berubah.”
Ngglanggeran diam, menatap dinding timur. Matahari semakin rendah. Cahaya lembutnya menyiram seluruh ruangan.
“Apa yang terjadi?” Aku bertanya tidak sabaran. Si kembar ini barusaja menyebut ‘dua ribu tahun lalu’, frase itu sangat penting dalam setiap petualangan kami.
“Ada seseorang yang berhasil mendatangi bangunan kami—seperti yang kalian lakukan saat ini. Seorang anak muda. Usianya paling hanya dua puluh tahun menurut ukuran Klan kalian. Menarik sekali, anak muda ini sepertinya bukan penduduk asli Klan Bumi. Dia menguasai teknik-teknik yang kami bawa dari Aldebaran. Pukulan berdentum, teknik penyembuhan, menghilang, dan sebagainya, dia pastilah memiliki garis keturunan dari sana, meski telah bercampur dengan penduduk asli. Atau dia datang dari Klan lain tempat ekspedisi besar kami mendarat.”
“Anak muda ini datang hendak belajar. Kami menyambutnya dengan baik. Kami selalu suka dengan orang-orang yang mau belajar. Apalagi seseorang yang bisa menemukan tempat kami tinggal, melewati kesulitan yang kami buat agar orang luar tidak tahu lokasi kami. Hei, anak muda ini sangat ambisius, tidak sabaran dan keras kepala. Dan pintar tentu saja. Aku seperti menemukan murid terbaik yang pernah ada. Bertahun-tahun dia tinggal di sini, hingga dia memaksa belajar menguasai teknik paling penting milikku dan Ngglanggeram.”
Si kembar diam lagi.
“Teknik apa?” Seli mendesak.
“Teknik manipulasi ruang dan waktu.” Ali yang menjawabnya, bergumam.
“Hei!” Ngglanggeran menoleh ke arah Ali, tertawa kecil, “Kamu jenius sekali, Ali. Itu tebakan yang sangat akurat. Aku tidak percaya kamu penduduk asli Klan Bumi. Kamu seperti datang dari Aldebaran, salah-satu penduduk paling pintarnya.”
Ali sekali lagi menegakkan badannya—sok bergaya.
Aku menoleh ke Ali—tidak menyikutnya. Bagaimana dia bisa menebaknya?
“Itu mudah, Ra. Ruangan ini hancur lebur tadi malam, saat kita siuman, lihat saja, semuanya telah pulih. Mereka bisa memperbaikinya, dengan memanipulasi ruang dan waktu.”
“Akurat sekali, Ali.” Ngglanggeran mengangguk, tersenyum, “Kami bisa memanipulasi bentuk ruang dan waktu. Itu teknik langka Klan Aldebaran.”
“Apa yang terjadi dengan orang itu?” Seli memotong, mengembalikan topik percakapan.
“Kami menolak mengajarkan teknik itu kepadanya. Sepintar apapun dia. Satu, teknik itu sesungguhnya tidak bisa diajarkan, teknik itu datang dengan sendirinya kepada orang yang layak. Dua, teknik itu bisa membahayakan seluruh dunia paralel jika disalahgunakan. Meski kecewa, anak muda itu sepertinya bisa menerima keputusan kami, hingga esok harinya, kami baru menyadari, anak muda itu telah pergi diam-diam, dan dia mengambil benda paling penting milikku dan Ngglanggeram.”
“Tanpa benda itu terjadilah hal paling mengerikan.”
“Hal mengerikan?” Suara Seli tertahan.
“Iya. Benda itu menjaga Slon, dua monster gajah yang kalian hadapi sebelumnya. Slon adalah mahkluk mengerikan dari Aldebaran, keluar setiap malam tiba. Sekali matahari tenggelam, Slon muncul. Mulai menyerang siapapun, mengamuk. Saat matahari terbit, mahkluk itu menghilang, menyisakan kerusakan besar. Satu persatu anggota rombongan kami tewas, dan tidak hanya itu, Slon juga menyerang kota-kota, desa-desa di Klan Bumi lainnya. Aku dan Ngglanggeram tidak bisa mengendalikan Slon itu tanpa benda yang dicuri anak muda sebelumnya. Maka setiap malam tiba Slon akan muncul. Itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.”
Wajah Ngglanggeran terlihat sedih.
“Kami akhirnya memutuskan memasukkan ruangan ini ke dalam perut bumi. Menguncinya dengan lorong-lorong dan selaput gel tak terlihat agar Slon tidak bisa melarikan diri. Benda atau apapun bisa masuk ke sini—seperti kapsul perak kalian, tapi tidak bisa keluar. Kami juga membuat siklus siang dan malam lebih pendek di ruangan ini, agar Slon tidak merusak banyak hal terlalu lama. Inilah ruangan tersebut. Bor-O-Budr. Replika kecilnya ada di permukaan Bumi, dibuat oleh penduduk asli. Inilah ruangan indah kami dulu, tempat kami terkunci entah berapa lamanya.”
“Benda apakah yang dicuri?” Seli bertanya, penasaran.
Ngglanggeran tidak menjawab, dia menoleh, menatap dinding barat. Wajahnya cemas. Matahari bersiap tenggelam.
“Waktu kita tidak banyak, Seli, Ali, Raib. Kalian harus bersembunyi.”
“Bersembunyi?” Seli mencicit.
“IYA! Bergegas. Matahari hampir tenggelam.” Si kembar yang lain mulai panik.
Dia mengangkat tangannya. 
Splash. Tubuh kami telah menghilang, untuk splash! Muncul di dalam salah-satu stupa. Keren, itu teknik teleportasi tanpa harus menyentuh orang lain, radius beberapa meter, seluruhnya menghilang bersama si kembar.
“Kalian tinggal di dalam stupa ini. Jangan keluar, jangan menyalakan apapun, jangan berisik. Sepanjang kalian tetap di sini, Slon tidak akan mengganggu kalian. Apapun yang terjadi, jangan keluar.” Ngglanggeran menatap kami serius.
Kami bertiga mengangguk.
Si kembar beranjak hendak pergi.
“Eh, kalian mau kemana?” Seli bertanya. Apakah mereka tidak ikut bersembunyi bersama kami di dalam stupa, demikian maksud pertanyaan Seli.
Ngglanggeran menggeleng, “Kami akan ke stupa lainnya.”
Sekejap, dua pemuda itu telah menggunakan teknik teleportasi. Menghilang.
Di luar sana, matahari sempurna tenggelam. Gelap menyelimuti ruangan.
Terdengar raungan panjang.
Itu Slon! Monster itu sudah keluar.
“Kenapa mereka tidak tinggal bersama kita, Ali?” Seli mengusap wajahnya yang pias. Lantai ruangan stupa tempat kami bersembunyi bergetar setiap kali Slon meraung dari berlarian kesana-kemari.
“Karena Slon adalah mereka. Ngglanggeran dan Ngglanggeram. Si kembar yang berubah wujud menjadi monster gajah setiap kali malam tiba. Mereka tidak bisa mengendalikan perubahan tersebut tanpa alat yang dicuri.”
Astaga?
Aku dan Seli terdiam. Apakah Ali serius? Atau dia sembarang membuat kesimpulan.
“Dan anak muda yang mencuri sesuatu dari mereka itu adalah Si Tanpa Mahkota! Dua ribu tahun lalu, saat berpetualang ke berbagai Klan, Si Tanpa Mahkota menemukan Bor-O-Budr, ruangan ini, masih di atas permukaan Bumi.” Ali menghela nafas pelan.
Aku hampir tersedak. Segera menutup mulut—kami tidak boleh berisik.
Sekali lagi di kejauhan terdengar raungan panjang. 
Slon mengamuk, memukuli gunung-gunung salju. Dentuman kencang terdengar silih-berganti. 
Lantai stupa bergetar hebat. Debu berjatuhan dari atap stupa.
Seli gemetar di sebelahku.
Aku mengusap wajah. Ini jelas bukan karya wisata menyenangkan.

0 komentar:

Posting Komentar