Selasa, 27 Februari 2018

Surga di Kolong Ranjang

LAGI-LAGI, saya menemukan Alessa merebah di kolong ranjang di kamarnya. Sudah tiga kali saya temukan ia di sana. Tertidur pulas di lantai keramik berwarna gradasi abu-abu muda. Dengan posisi menyamping, dan telapak tangan yang menyelip di antara lantai dan pipinya, Alessa tertidur sambil tersenyum. Ingin saya membelai dan mengecup keningnya, atau bahkan memeluk tubuhnya, tetapi saya tahan. Saya khawatir, jika itu saya lakukan, saya hanya akan mengganggu tidurnya. Atau malah membangunkannya. Saya tidak mau itu terjadi. Oleh sebab itu, saya merebahkan diri dan mengawasi Alessa hanya dari pinggir kolong. Sambil mereka-reka apa yang sedang dimimpikan oleh keponakan saya tersebut.

Barangkali, Alessa sedang memimpikan sebuah istana yang terbuat dari cokelat, yang di dalamnya terdapat kolam besar yang berisikan madu. Atau, mungkin juga, saat ini Alessa sedang memimpikan sepasang boneka kelinci raksasa yang jarijemarinya dapat diemut bagaikan permen. Sebagaimana yang pernah ia ceritakan kepada saya dua hari yang lalu–ketika saya baru saja tiba di rumah ini, setelah kakak saya (mama Alessa) meminta saya untuk datang menemani Alessa selama beberapa hari ke depan. “Om, apakah di surga ada boneka kelinci raksasa?”

Pertanyaannya itu membuat saya tersenyum. Ia menggandeng saya ke kamarnya. “Tentu saja, Alessa. Di sana, apa pun yang menyenangkan hati kamu, pasti ada.”

“Meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda?”

“Ya, meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda. Asalkan hati kamu merasa gembira, boneka yang bagaimanapun bedanya, di sana pasti ada.”

Dengan senyum kanak-kanaknya yang khas, Alessa memandangi saya cukup lama, kemudian mulai bercerita. Ia mengatakan kepada saya, bahwasanya kemarin siang, setibanya di rumah usai pulang sekolah, ia terburu-buru masuk ke dalam kamar dan tanpa sengaja menjatuhkan botol minumnya. Dan, ketika hendak mengambil botol minumnya tersebut, ia melihat kerlip bintik-bintik cahaya yang beterbangan memenuhi kolong ranjang. Ia terkejut–sekaligus penasaran. “Seperti kunang-kunang?” tanya saya. Alessa lekas mengiyakan, “Iya, maksudku itu, Om, seperti kunang-kunang.”

Alessa kembali meneruskan ceritanya. Ia bilang, dirinya mengamati kerlip bintik-bintik cahaya itu terlebih dahulu—dalam beberapa menit—sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kolong. Dan, ketika dirinya telah berada di tengah-tengah kerumunan kerlip bintik-bintik cahaya—yang entah apa—itu, ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengisap tubuhnya kuat-kuat. Hingga ia tersedot dan terlempar jauh ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. “Dan, tempat itu benar-benar indah, Om!”

Ia tampak begitu ceria, saat mengatakan, di tempat itu ia melihat sebuah danau yang tidak terlalu luas, tetapi di tepiannya berderet perahu-perahu karet yang berwarna-warni. Dan, di dekat perahu-perahu karet yang berwarna-warni itu pulalah ia bertemu dengan sepasang boneka kelinci raksasa yang berdiri tegak menghadap ke arah danau. Sepasang boneka kelinci raksasa itu kemudian mengulurkan kedua kelingking mereka masing-masing ke dekat mulut Alessa. Sehingga aroma khas permen mentol yang menguar dari jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa itu tercium olehnya. Alessa pun mengulum satu per satu jari-jemari boneka-boneka kelinci raksasa tersebut.

Selepas menikmati jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa tersebut, Alessa dihampiri oleh seekor merpati yang berukuran besar. Tinggi badan merpati itu setinggi rumah dua lantai, hampir menyamai tinggi boneka-boneka kelinci raksasa tersebut. Merpati itu merebah. Lalu merentangkan sebelah sayapnya, “Naiklah ke punggungku, gadis kecil.” Dengan hati-hati, ia merangkak naik ke punggung merpati yang berwarna putih itu. Kemudian memegangi bulu-bulu yang tumbuh di leher merpati itu erat-erat. Merpati itu membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang sangat tinggi. Dan, di puncak bukit itu, Alessa melihat papanya sedang asyik memetik apel. “Papa? Papa kamu?”

“Iya, Om, papa kandung aku!”

Saya terkejut mendengarnya. Bagaimana Alessa bisa yakin kalau orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah papa kandungnya? Padahal, saya tahu, sekali pun Alessa belum pernah melihat wajah papanya sejak ia berumur dua tahun. Karena mamanya tidak membiarkan hal itu terjadi. Saya ingat, enam tahun silam, dua minggu setelah kepergian papanya dari rumah yang entah ke mana, mamanya mengumpulkan semua foto yang ada di rumah lalu membakarnya. “Pernikahan dengan laki-laki itu adalah sebuah kesalahan,” kata mama Alessa meradang, “dia laki-laki pecundang.”Surga di Kolong Ranjang ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia


Dia bukan pecundang, pikir saya. Dia, laki-laki itu (papa Alessa), hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung. Laki-laki itu bernasib jelek setelah menikahi kakak saya. Dia di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, tepat enam bulan sesudah menikah. Dan, nasibnya kian kurang beruntung setelah tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang baru. Lamaran-lamaran pekerjaannya selalu ditolak, entah mengapa. Barangkali, perusahaan-perusahaan itu tidak menaruh minat kepada orang-orang yang terkena PHK. Atau, mungkin juga, usianya yang tidak lagi mampu bersaing dengan pelamar-pelamar yang jauh lebih muda. Atau memang, belum rezekinya saja. Ya, apa pun itu, menurut saya, papanya Alessa hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung dan menikahi seorang perempuan yang kurang bersabar. Padahal, laki-laki itu laki-laki yang baik. Dia bahkan rela bekerja serabutan menjadi juru parkir liar demi anak dan istrinya. Dan, dia juga rela menerima hardikanhardikan istrinya setiap hari. Sampai pada suatu hari, dia menghilang, dan tak pernah kembali.

“Merpati itu yang memberi tahu, bahwa orang yang ada di puncak bukit itu adalah papaku.”

Betapa senangnya Alessa mengatakan hal itu. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang berbalut kerinduan dalam getar suaranya.

“Ternyata papaku itu orangnya ganteng, ya, Om.”

Saya memalingkan muka. Saya tidak mau Alessa melihat kedua mata saya berkaca-kaca.

“Iya, sekarang kamu tahu, kan, cantiknya kamu itu nurun dari siapa?”

Ia tidak menjawab. Tapi, saya yakin, Alessa sedang tersenyum-senyum sendiri.

“Kasihan kamu, Alessa,” gumam saya pelan.

Ingin rasanya saya memeluk Alessa dan cepat-cepat membawanya pergi dari sini. Betapa sepinya Alessa di rumah ini. Setiap hari, ia hanya berteman dengan boneka-boneka yang ada di kamarnya. Dan seorang pembantu yang terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya, sedangkan mamanya, sungguh, ia tidak pernah peduli. Bagi mama Alessa, tanggung jawabnya hanyalah: menyekolahkan Alessa, memberinya pakaian dan makanan agar Alessa tetap hidup. Cuma itu. Dan itu pun sudah lebih daripada cukup buat seorang anak yang terlahir dari sebuah kesalahan. “Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayang yang dia butuhkan?” protes saya kala itu. “Untuk hal-hal demikian, Kakak percayakan sama kamu,” jawabnya ringan.

Dan, ketidakpedulian mamanya itu kian menjadi-jadi setelah menikah lagi, setahun kemarin. Mamanya cuma sibuk mengurusi dan memberi perhatian kepada suami barunya saja. Sedangkan Alessa? Entahlah. Mungkin, baginya, Alessa hanyalah setitik debu di kehidupannya. Ah, seandainya saja kedua orangtua saya (kakek dan nenek Alessa) masih hidup.

Tiba-tiba, ponsel di saku celana saya bergetar. Sebuah pesan pendek dari kakak saya yang memberitahukan bahwa ia dan suaminya akan pulang esok pagi. Saya melihat jam yang tertera di layar ponsel: 19:09 PM. Ternyata, sudah hampir dua jam saya mengawasi Alessa dari pinggir kolong. Saya harus segera membangunkan Alessa untuk mengajaknya makan malam. Saya tidak mau ia masuk angin lalu sakit. Perlahan saya mendekati Alessa.

“Alessa, ayo bangun, kita makan dulu,” bisik saya ke telinganya.

Ia tidak merespons. Alessa masih terlihat pulas dengan senyumnya yang tampak begitu polos. Saya mencoba sekali lagi, “Alessa, ayo kita makan dulu, nanti setelah makan malam, kamu boleh tidur lagi,” bisik saya dengan suara yang agak lebih tinggi.

Alessa tetap tidak menjawab. “Alessa, bangun,” saya mengguncangkan badannya. Tapi, Alessa tetap tidak bereaksi. Saya menyentuh pipinya, kemudian memegangi tangannya. Dan, yang saya rasakan saat ini, pipi dan tangan Alessa terasa sangat dingin. Lalu saya mendekapnya. “Alessa, ayo bangun, sayang….”

Kemudian saya lepaskan dekapan saya dan berbaring di sampingnya. Saya kembali teringat, siang tadi, Alessa berkata: “Om, di tempat yang indah itu, aku melihat sebuah istana yang sangat megah. Dan, di situ, aku melihat banyak bidadari cantik yang berdiri di dekat Papa. Aku juga melihat Kakek, Nenek, dan Om ada di sana. Tapi…, kenapa aku tidak melihat Mama ada di sana, ya?”

Tidak lama kemudian, tiba-tiba, saya melihat kerlip bintik-bintik cahaya bermunculan satu demi satu. Mereka mulai menerangi dan memenuhi kolong ranjang. Kerlip kuning keemasan yang tampak cantik. Membuat saya terlena dan hanyut. Perasaan saya begitu damai. Tenang. Sejuk. Dan, ada rasa bahagia yang merangkul batin saya. Belum pernah saya merasakan kegembiraan seperti sekarang ini. Memaksa saya untuk selalu tersenyum. Hingga, mendadak saya merasakan ada sesuatu yang menarik diri saya dan mengempaskan saya ke suatu tempat. Dan, tempat itu terlihat sangat-sangat indah.

“Alessa?”

Cerpen Abdullah Salim Dalimunthe (Media Indonesia, 25 Februari 2018)
Abdullah Salim Dalimunthe. Kelahiran Medan, Sumut, November 1982. Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Kini ia tinggal di Bandung, Jawa Barat.

0 komentar:

Posting Komentar