Sabtu, 24 Maret 2018

Tere Liye : Kisah Cinta Sie Sie

“Adalah Han, kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga yang repot mengurus anak-anak sekaligus repot bekerja sebagai babu separuh hari di rumah orang kaya. Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, daerah kumuh, tidak sedap dilihat, tidak enak dicium. Jauh lebih baik gang sempit tepian Kapuas milik kita.

“Dari tujuh anak mereka, adalah Sie Sie anak tertua, gadis remaja usia enam belas. Mekar menjadi kembang daerah kumuh itu, rambutnya panjang, tinggi semampai, berkulit putih, berlesung pipit dan amboi manis sekali senyumnya. Kalau kau bertemu dengan Sie di oplet, tidak akan menyangka dia amoy dari keluarga miskin, atau gadis remaja yang setiap hari harus bekerja keras, mengurus enam adik sejak shubuh buta sampai larut malam saat adiknya yang masih bayi jatuh tertidur.

“Kalau saja Sie ditakdirkan lahir di keluarga berada, lemari di rumah mereka pasti penuh dengan piala-piala, gadis itu pintar, rajin dan tidak suka mengeluh. Sejak kecil sudah terbiasa membantu orang-tuanya. Lihatlah, dia bisa ditemukan di rumah sedang menggendong adiknya yang paling kecil, sekaligus menyuapi dua adiknya yang lain, meneriaki adiknya yang cukup besar agar berhenti bertengkar, sambil menjahit pakaian dengan singer tua berkarat. Sayangnya Sie tidak sekolah, tidak berpendidikan. Satu-satunya keahlian dia adalah membuat baju pesanan yang dipelajarinya sendiri, itupun untuk membantu beban orang-tuanya.

“Keluarga mereka mampu bertahan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun hingga cobaan besar itu datang, ketika Ibu Sie Sie jatuh sakit. Apalagi yang diharapkan dari pemukiman kumuh, air bersih terbatas, ventilasi rumah buruk, lantai lembab? Semua mengundang banyak penyakit, Ibu Sie kena paru-paru basah, penumonia. Kondisinya memburuk, parah karena tidak segera mendapat pengobatan yang baik.

“Sejak Ibu mereka sakit, separuh penghasilan keluarga hilang, sialnya harus ditambah dengan pengeluaran baru, uang untuk membeli berbagai obat yang tidak kunjungmenyembuhkan. Semua beban itu jatuh pada Sie Sie, selain mengurus enam adik-adiknya, dia juga harus merawat Ibunya, ditambah pula harus bekerja hingga larut malam menyelesaikan pesanan baju yang bayarannya tidak seberapa. Tidak terbayangkan, gadis usia enam belas memikul beban fisik dan pikiran sebanyak itu. Dan situasi semakin rumit saat Bapak mereka dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang—tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Bapak mereka mengambil jalan pintas.”
Pak Tua berhenti sejenak, meneguk teh aroma melati di atas meja.

Andi menatap gelas teh tidak sabaran.

“Di tengah situasi kacau-balau, Han mereka masuk bui, sakit istrinya tambah parah, harus segera dibawa ke rumah sakit, Sie Sie mendengar kabar ada pemuda Taiwan yang datang ke Singkawang mencari istri. Sie tentu sering mendengar percakapan, bisik-bisik tetangga tentang ‘nikah foto’. Dua orang teman dekatnya, setahun silam juga dipaksa orang-tua mereka menikah dengan lelaki dari Hongkong. Sie Sie sendiri yang menyaksikan dua temannya itu menangis hingga kering air-mata, Sie Sie sendiri yang memeluk, menghibur, melakukan apa saja untuk dua temannya yang tidak punya kekuatan menolak. Sie benci dengan pernikahan itu, sebenci dia dengan kemiskinan dan kebodohan yang menjerat mereka.

“Sayangnya, kebencian yang besar terkadang tidak cukup untuk melawan sesuatu. Malam itu, Ibu Sie jatuh pingsan, tubuh membiru, dengus nafas mulai habis. Bapak mereka yang masih di penjara tidak membantu. Sie Sie sendirian, dengan menumpang oplet, susah payah membawa Ibunya ke rumah sakit, pihak rumah sakit menolak Ibunya tanpa jaminan pembayaran. Sie terjepit. Di tengah situasi darurat itu, di tengah kalut pikiran, tidak ada tetangga, kerabat atau sahabat yang membantu, Sie Sie memutuskan mengambil pilihan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, pilihan yang amat dia benci, dia bersedia menjadi istri belian.

“Berangkatlah Sie Sie ke hotel itu, tempat pemuda dari Taiwan mencari istri. Sudah ada lima amoy pendaftar di lorong hotel, berbisik-bisik. Pemuda Taiwan itu ditemani salah-satu karyawan hotel melakukan seleksi—sepertinya karyawan hotel itu sudah terbiasa dengan proses mencari amoy. Ke sanalah Sie Sie pergi, mendaftar menjadi calon istri belian.”

Pak Tua berhenti sejenak, memainkan sumpit, menghela nafas.

Aku dan Andi ikut menghela nafas. Sementara malam semakin larut, restoran tempat kami menghabiskan choi pan tinggal berisi satu-dua pengunjung. Pelayan restoran terlihat asyik mengobrol dengan bahasa China.

“Nama pemuda Taiwan itu adalah Wong Lan, anak semata wayang dari keluarga kaya. Keluarga mereka punya pabrik tekstil, hidup makmur, berkecukupan. Sejak usia Wong Lan menginjak kepala tiga, Bapak Ibunya sudah sibuk mengingatkan agar dia segera menikah, mencari gadis pilihan, membina keluarga sendiri. Sayangnya, sejak usia tiga belas, kelakuan Wong Lan jauh bumi jauh langit dari harapan orang tuanya. Dia malas sekolah, lebih suka keluyuran, merokok, minuman keras, berjudi, berteman dengan orang-orang salah. Tabiatnya buruk, suka berteriak, dan kadang memukul pembantu di rumah. Bapak Ibunya berharap, kalau Wong Lan akhirnya menikah, maka perangainya akan sedikit berubah. Maka tidak terhitung anak gadis kenalan, kolega bisnis, tetangga yang diajak ke rumah, berkenalan dengan Wong Lan, sia-sia, anak semata wayang mereka lebih suka hidup bebas.

“Saat usia Wong Lan tiga puluh lima, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di atas Laut China Selatan. Dari jasad yang tidak pernah ditemukan, orang tua Wong Lan mewariskan pabrik tekstil dan semua harta benda pada anak semata wayang mereka. Dan karena besar sekali harapan serta keyakinan Ibunya bahwa Wong Lan akan berubah setelah punya istri dan anak, maka surat warisan yang dipegang pengacara keluarga mensyaratkan dia harus telah menikah untuk memperoleh semua harta-benda. Isi wasiat itulah yang membuat kapiran semua masalah, Wong Lan cerdas, tidak hilang akal, dia tahu tentang amoy Singkawang, maka berangkatlah dia mencari istri yang bisa dibeli, yang tidak banyak tingkah.

“Wong Lan tidak jelek, apalagi buncit. Dia tampan, kacik sedikit dibanding ketampanan kau, Andi.” Pak Tua bergurau, tertawa, “Tetapi perangainya buruk. Apalagi dari awal, niat pernikahan itu sudah tak lurus. Dia mencari istri sekadar memenuhi syarat agar harta warisan jatuh padanya. Pemuda itulah yang ditemui Sie Sie di kamar hotel. Karyawan penginapan yang menemani wawancara berbisik kalau yang satu ini sepertinya memang masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang sebelumnya. Berbisik ini, berbisik itu.

“Dalam pertemuan lima belas menit itu, Sie hanya sekali menatap wajah Wong Lan, dan sekujur tubuhnya berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas apa yang telah dilakukannya. Hanya karena bayangan wajah Ibunya yang sekarat, membuat Sie bertahan. Sie mendengar syarat-syarat yang disampaikan oleh pemuda Taiwan itu, yang sepertinya berkenan melihat Sie.

“Wawancara itu ditutup dengan angka nominal harga pernikahan itu. Sie hanya menunduk, mencegah orang melihat dia menangis, mencengkeram pahanya agar tidak gemetar, dia mengangguk, sepakat. Sekian ratus ribu di bayar saat pernikahan dilangsungkan, sekian puluh ribu akan dibayar setiap bulan untuk keluarga Sie selama setahun ke depan. ‘Kalau semua sudah beres, apakah pembayaran bisa dilakukan sekarang?’ Sie dengan suara bergetar bertanya. Karyawan hotel yang membantu Wong Lan tertawa, bilang, mana ada pembayaran sebelum menikah. Sie menahan tangis bilang dia butuh uang segera, berharap kalau memang memungkinkan, pernikahan dilangsungkan hari itu juga. Astaga, Sie yang dulu benci sekali dua temannya dipaksa menikah, hari itu, siang itu, justeru yang meminta pernikahan dilaksanakan segera.

“Kalian tahu, Borno, Andi,” Pak Tua menghela nafas panjang, ikut tertunduk dalam-dalam, menekuri meja makan restoran, “Dalam hidup ini, kita masih beruntung, karena kita selalu punya banyak pilihan. Apapun masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi yang tersedia. Sie Sie tidak punya. Dia sungguh tidak punya pilihan. Bapaknya di penjara, Ibunya sekarat, adik-adiknya butuh makan, pernikahan ini akan memberikan jalan keluar. Jaman itu, uang ratusan ribu terbilang besar, dan pembayaran bulanan yang dijanjikan pemuda Taiwan nilainya tiga kali lipat dari penghasilan keluarga mereka selama ini.

“Pikirannya buntu, bagi Sie, itu lebih terhormat dibanding mengemis, meminta-minta atau menjual diri seperti gadis-gadis lain. Lagi-pula, tidak ada hukum yang melarang membeli istri, bukan? Itu sah, anggap saja pembayaran mahar. Sie berlari sepanjang halaman hotel dengan air-mata berlinang. Dia ingin berteriak, tapi kerongkongannya kelu, dia ingin marah, pada siapa? Pada Tuhan? Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua pilihannya sendiri, apapun resiko dan harganya.

“Surat wasiat Ibu Wong Lan mensyaratkan pernikahan resmi, maka surat-menyurat harus diurus, itu kabar baik bagi Sie, karena banyak amoy lain yang tidak jelas status hukumnya. Wong Lan ingin segera membawa istri pulang ke Taiwan, Sie Sie ingin segera punya uang, tujuan yang cocok, karyawan hotel segera berangkat mengurus dokumen. Menjelang malam karyawan hotel itu datang ke rumah sakit, mengabarkan semua beres, semua siap. Pernikahan bisa dilaksanakan kapan saja, tinggal membubuhkan tanda-tangan.

“Dan tibalah waktunya Sie bilang kepada Ibunya tentang keputusan gila yang telah dia buat. Kalian bayangkan, ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang. Suster jaga menunggu di sudut ruangan, dokter sudah pulang. Sie gemetar, mengabarkan pada Ibunya, perihal dia akan menjadi isteri belian, dibawa orang asing pergi ke negeri seberang lautan.

‘Sie janji, Ma. Sie janji semua akan baik-baik saja.’
Remaja enam belas tahun itu memeluk ibunya, menahan menangis.
‘Kau tidak boleh melakukannya, Nak.’
‘Sie janji, Ma.’ Gadis itu berbisik terisak.
‘Kau sungguh tidak boleh melakukannya, Nak.’ Ibunya terbatuk pelan, ikut menangis.
‘Keputusan Sie sudah bulat, Ma. Semua sudah diatur, semua sudah selesai, Sie sudah jadi istri orang.’ Sie Sie menyeka bibir Ibunya, ‘Biarlah, Ma. Tidak mengapa. Dengan begini… dengan begini Ma bisa sembuh, kita punya uang untuk makan, adik-adik bahkan bisa sekolah.’
‘Tidak boleh, Nak. Tidak boleh. Ya Tuhan, semua ini salah kami. Kenapa Sie yang harus menanggung semua beban?’ Ibunya tersengal.
Sie Sie memeluk erat Ibunya, ‘Sie janji, Ma. Pernikahan ini akan bahagia. Sie akan mencintai dia apa adanya. Sie janji Ma, dia juga akan mencintai Sie apa-adanya.’

Aku dan Andi tercenung, bersitatap satu sama lain.

Tentu saja Pak Tua tidak meng-adegankan kejadian itu dalam ceritanya, tidak bilang seperti apa dialognya, tapi kami bisa membayangkan betapa menyakitkan kejadian itu. Mengingatkanku pada keputusan almarhum Bapak mendonorkan jantungnya dulu, ketika aku mengamuk di lorong rumah-sakit. Itu sama menyakitkan, bedanya aku menolak pengorbanan Bapak, Sie Sie justeru memilih mengorbankan dirinya.

“Andi, Borno, itulah janji suci yang diucapkan seorang amoy yang masih berusia enam belas tahun. Dia berjanji, akan mencintai apa-adanya suaminya yang datang dari antah berantah. Dan dia juga berjanji, akan membuat suaminya mencintainya apa-adanya. Sie Sie berjanji akan memaksa perasaan itu tumbuh mekar di pernikahan mereka.” Pak Tua menengadahkan kepala, menatap langit-langit restoran, “Ah, cinta, selalu saja misterius. Bisa apa seorang gadis tanggung enam belas tahun di negeri orang? Menikah dengan seseorang yang bertabiat buruk dan sejak awal sudah benci pernikahan itu. Bisa apa dia?”

***

Dan waktu berjalan cepat.

“Wong Lan membawa Sie Sie ke Taiwan esok paginya, lebih cepat lebih baik. Kepergian yang menyedihkan, karena tidak seperti pengantin baru yang dilepas dengan perasaan suka-cita, doa-doa dan pengharapan, tidak ada satu pun kerabat yang mengantar Sie ke terminal bus menuju Pontianak, kemudian menumpang pesawat ke Jakarta, transit di Singapura lantas Taiwan.Sie Sie bahkan tidak sempat pamit pada Bapaknya, menyedihkan.

“Dia sudah berdiri di depan pintu ruang bezuk, kakinya gemetar, matanya basah, dan saat sipir penjara berteriak memanggil, “Siapa yang bernama Sie Sie? Bapak Han sudah menunggu di dalam.” Sie justeru sedang membujuk mati-matian agar dirinya berdiri tegar, “Siapa yang bernama Sie Sie? Waktu bezuk hanya setengah jam?” Petugas berteriak, kepalanya melongok. Sie menggigit bibir sampai terasa asin, dia ingin bertemu Bapaknya sebelum pergi jauh, ingin mengabarkan keputusan itu, meminta doa restu. “Woi, mana yang namanya Sie Sie? Aku tidak akan menunggu seharian di sini, ada banyak urusan lebih penting.” Petugas mendengus marah. Sie sudah menangis, dia berlarian sepanjang lorong, kakinya berkhianat, menyuruh menyingkir sejauh mungkin.

“Kalian tahu, dari ketinggian langit, tidak macam penumpang yang pertama kali naik pesawat terbang, antusias melihat cakrawala luas, awan-awan putih, Sie hanya menatap kosong batas pulau Kalimantan. Entah di mana Singkawang, di mana Pontianak, di mana kotanya, yang terlihat hanya kontras warna biru gelap dan biru muda yang semakin memudar. Dia sudah ribuan kilometer meninggalkan tanah kelahiran. Sie Sie menyeka ujung mata, dia berjanji, ini untuk terakhir kalinya dia menangis, tidak, dia tidak akan lagi menangis apapun yang terjadi. Dia berjanji sungguh-sungguh, menyeka ingus. Sementara suaminya, Wong Lan, sejak pesawat lepas landas mendengkur tidak peduli di kursi sebelah.”

Pak Tua diam sebentar, menghela nafas.
Aku dan Andi ikut menghela nafas.

“Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, juga tidak banyak bicara saat tiba di rumah keluarga Wong. Tidak ada acara menyambut menantu, tidak ada kerabat, tetangga bahkan pembantu yang tahu mereka datang. Peduli Wong Lan hanya satu, mengundang pengacara sesegera mungkin, memperlihatkan Sie Sie, surat menyurat dan bukti dokumen pernikahan sah. Syarat telah dipenuhi, harta warisan keluarga resmi menjadi milik Wong Lan. Senang bukan kepalang pemuda Taiwan itu, hingga tidak peduli mau apa, hendak apa, dan siapa Sie Sie baginya. Cuma pada pengacara itu Wong Lan mengaku Sie istrinya, sedangkan pada tamu yang berkunjung, teman yang datang, Wong santai bilang kalau Sie adalah pembantu impor dari Indonesia, “Gajinya murah, cukup diberi makan tiga kali sehari. Sudah senang dia. Kau mau kucarikan satu?” Bergaya Wong Lan menunjuk-nunjuk jidat Sie Sie.

“Tidak ada di keluarga itu yang menghargai Sie, termasuk pembantu sekalipun. Sopir, tukang kebun, tukang pel, di belakang sibuk memonyongkan bibir tanda tidak suka, “Istri belian, wanita murahan, statusnya lebih rendah dibanding kita.” Membiarkan gadis usia enam belas itu berjuang sendiri melakukan penyesuaian. Negeri baru, iklim baru, musim panas, musim dingin, musim semi, mana ada salju di Singkawang? Aksen dan kosakata mandarin yang berbeda, racikan bumbu masakan yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, semuanya berbeda.

“Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adiknya selama ini, setidaknya Sie cukup tangguh. Wong Lan juga belum menyakiti Sie secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka. Dua tahun itu, Sie menyibukkan diri, belajar menjadi istri yang baik, melakukan apa saja yang bisa dia kerjakan, melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju, memasangkan dasi, menyemir sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur. Memasang wajah riang, tidak peduli meski Wong Lan melempar piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut dasi yang dipasangkan, menginjak tangannya saat melepas sepatu. Sie sudah berjanji pada Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.

“Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim dari Singkawang, isinya pendek:
Tadi malam senin tanggal dua satu bulan lima pukul delapan tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU tidak perlu dicemaskan Ibu akan segera dikebumikan esok pagi. peluk sayang dari adik adikmu.
“Kelu bibir Sie Sie membaca telegram itu. Uang memang berhasil memperpanjang usia, tapi takdir tidak pernah terkalahkan. Sie ingin pulang ke Singkawang, setidaknya melihat pusara merah Ibunya. Sie rindu adik-adiknya. Sie juga rindu memeluk Bapaknya. Apalah yang bisa dia lakukan? Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak pegang, paspor, surat-menyurat terkunci rapat di lemari besi Wong Lan. Apakah dia akan menunjukkan telegram itu pada suaminya? Wong Lan tidak pernah peduli urusan Sie, ekspresi wajahnya selalu sama, menyingkir, urus saja diri kau sendiri.

“Situasi memburuk saat pernikahan memasuki tahun ketiga, bukan karena memang di tahun-tahun itu rasa bosan, masalah, salah-paham lazim muncul bagi kebanyakan pasangan, tapi karena pabrik tekstil kecil Wong Lan terkena imbas krisis harga minyak tahun 80-an, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Dan situasi diperburuk dengan kenyataan Wong Lan tidak becus mengurus pabriknya. Dia lebih suka keluyuran dibanding mengawasi pekerja, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dibanding kolega bisnis, lebih suka bersenang-senang dibanding memikirkan strategi dagang yang baik. Aliran uang mulai tersendat, hutang menumpuk, tabiat Wong Lan yang suka marah-marah dan memukul kambuh. Siapa lagi yang bisa dicaci dan dipukul seenak perutnya? Sie Sie.

“Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang. Dan situasi terus memburuk dari hari ke hari. Teman-teman dekat Wong Lan pergi, tak ada uang, tak ada kesenangan, semua menjauh darinya. Pekerja pabrik macam kartu remi dirobohkan, satu persatu berhenti, termasuk orang-orang kepercayaan orang tua Wong Lan dulu, pembantu di rumah, hanya soal waktu minta berhenti, tidak tahan dengan marah-marah sepanjang hari. Hanya tersisa Sie Sie sebagai sansak, pelampiasan seluruh tabiat buruk suaminya sendiri. Siang-malam Sie tersiksa lahir-batin, macam di terowongan gelap tanpa titik terang. Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya. Sementara pabrik tekstil Wong Lan mati segan hidup tak mau, mereka bertahan hidup dari sisa harta benda.

“Dua tahun masa kelam, datang kabar besar, Sie Sie hamil. Dia mengandung buah cinta, kalau memang ada cinta di pernikahan itu. Seharusnya itu kabar baik. Jauh langit jauh bumi, Wong Lan malah menuduh Sie dihamili orang lain, memukuli istrinya yang sedang hamil muda. Itu situasi darurat, tidak mungkin Sie membiarkan kandungannya dalam bahaya, dia akhirnya memutuskan mengungsi, ditampung oleh keluarga konsulat Indonesia. Kasus itu menarik perhatian polisi lokal Taiwan, penyidikan dilakukan, Wong Lan ditahan. Hampir enam bulan dia masuk penjara, lihatlah, tidak seharipun Sie alpa mengunjunginya, membawakan rantang makanan kesukaan, memasang wajah riang bertanya apa kabar. Dan apa balasan Wong Lan? Acuh tak acuh, menatap benci Sie Sie, mengutuknya sebagai penyebab bala bagi seluruh keluarga, membuat pabrik bangkrut, “Dasar wanita pembawa sial.” Tidak sehari pun dengusan seperti itu alpa diterima Sie. Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin membesar, tidak peduli wajah berseri-seri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh proses pengadilan.

“Usia bayi mereka satu bulan saat Wong Lan dibebaskan. Setidaknya, dengan kehadiran bayi di rumah, walau mulutnya tetap kotor, Wong Lan berpikir dua kali untuk memukuli Sie. Anak pertama mereka laki-laki, tampan macam Bapaknya, rambutnya lurus hitam legam seperti Ibunya. Wong Lan tidak peduli, sama tidak pedulinya meski nama anak itu mewarisi namanya. Dia jarang ada di rumah, selalu pergi, dan saat pulang, mulutnya bau alkohol, pakaiannya kusut, rambutnya berantakan, dan selalu berteriak-teriak. Wong Lan tidak memenuhi kebutuhan Sie dan bayi mereka, dia sendiri saja menjual hampir seluruh harta benda yang ada. Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu perabotan digadaikan. Tinggallah Sie yang harus menanggung keperluan, susu si kecil, kebutuhan rumah tangga. Kabar baik, dia pernah melakukannya di Singkawang, waktu usianya enam belas, tidak masalah dia melakukannya sekali lagi di Taiwan. Sie menerima pesanan jahitan, membuat poster, berkeliling dari pintu ke pintu sambil menggendong si kecil, menawarkan jasa membuat baju.
“Dua tahun bertahan hidup, Sie hamil lagi, bayi kedua. Percuma, Wong Lan tetap tidak peduli, hatinya tidak tersentuh, dia asyik dengan dunianya sendiri, terakhir terbetik kabar dia menjual seluruh bangunan dan tanah pabrik. Uang itu sebenarnya cukup banyak, tapi hanya habis dalam hitungan minggu. Habis di meja judi, penginapan, tempat hura-hura. Wong Lan merasa dunianya kembali, teman-teman seperti laron datang merubung, dia lupa, saat uangnya habis, dia kembali sendirian di meja-meja minum, sepi di tengah keramaian.

“Enam tahun berlalu, bayi ketiga dan keempat lahir, kembar. Lucunya tak terkira, amat menggemaskan. Sia-sia, Wong Lan tetap tidak peduli, mengunjungi Sie di rumah sakit pun tidak. Dia baru saja menggadaikan rumah besar, harta terakhir warisan orang-tuanya. Bersenang-senang dengan tumpukan uang yang dengan cepat menipis. Tinggallah Sie repot mengurus empat anaknya, berusaha mencari tempat berteduh sementara. Untuk kedua kalinya Sie Sie ditampung keluarga konsulat. Salah-satu staf konsulat menasehati Sie agar menghentikan pernikahan itu, minta cerai. Semua
dokumen bisa disiapkan, paspor pengganti, paspor untuk anak-anaknya. Sie menolak mentah-mentah, menggeleng tegas, dia sambil menahan air-mata tumpah bilang tentang janji hebat itu. Dia akan mencintai suaminya apa-adanya, dan dia akan memaksa perasaan yang sama muncul di hati suaminya. Itu gila! Itu benar-benar kalimat paling gila tentang cinta yang pernah kudengar.” Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala, mengusap uban.

Aku dan Andi ikut mengusap kepala.

“Siapa Wong Lan sekarang? Tidak lebih seorang laki-laki berusia empat puluhan, tidak punya pekerjaan, pemabuk, penjudi dan ratusan tabiat buruk lainnya. Kalau dulu Sie bertahan, masuk akal, dia membutuhkan wesel bulanan ke Singkawang agar adik-adiknya bisa makan, bisa sekolah. Sekarang, bahkan untuk membeli popok si kembar, itu hasil keringat Sie Sie sendiri. Aku tidak bisa mempercayai Sie yang menahan tangis, tersendat, kedat, bilang, ‘Aku mencintai suamiku sejak pertama kali naik bus menuju Pontianak. Dan aku akan terus mencintai dia hingga mati.’ Lantas menciumi bayi kembarnya, mati-matian menahan tangis karena dulu dia pernah bersumpah tidak akan menangis lagi.

“Di mana Wong Lan? Tidak ada yang tahu. Dia menghilang lepas menjual rumah besar milik keluarganya, gelap beritanya, sosoknya raib ketika si kembar lahir, meninggalkan begitu saja istri dan empat anaknya. Lantas apa yang dilakukan Sie atas kepergian suaminya? Setelah seharian sibuk mengurus anak-anak dan bisnis jahit menjahit, setelah si kembar tidur lelap, Sie mulai melahap semua berita di koran, menandai iklan mencari orang, bertanya kesana kemari, mengunjungi kantor polisi, mengunjungi pub-pub, tempat hura-hura, Sie menghabiskan malam untuk mencari suaminya. Dia lakukan itu tanpa alpa semalam selama enam tahun. Bayangkan, enam tahun. Tidak putus pengharapan. Tidak mundur selangkah pun.

“Saat anak pertama mereka berusia dua belas, kabar baik itu datang, salah-satu karyawan yang disuruh mencari Wong Lan, akhirnya melaporkan suaminya ditemukan terlunta-lunta di Hongkong. Usia suaminya lima puluh, lelaki tua yang hidup sendirian, sakit-sakitan, tanpa teman, terlupakan dari dunia. Kabar itu membuat hati Sie bungah, dia tidak sabaran, memutuskan berangkat malam itu juga ke Hongkong, menjemput suaminya, menjemput bapak dari anak-anaknya. Tapi saat dia menuju bandara, melesat kabar duka dari Singkawang, telepon dari salah-satu adiknya, bilang Bapak Sie Sie meninggal dunia.

“Lama nian Sie menahan kerinduan pulang. Tahun-tahun terakhir, dengan keleluasaan yang dia miliki, kesempatan itu bisa dilakukan kapan saja, tapi dia tidak akan melakukannya tanpa ditemani Wong Lan. Dia ingin pulang, menziarahi makam Ibu, bilang kalau janjinya sudah dipenuhi. Malam itu, kabar kematian Bapaknya membuat kerinduan datang tak tertahankan. Adik-adiknya di Singkawang bilang, jika Sie bersedia pulang, jasad Bapak akan menunggu dia. Separuh hatinya ingin pulang ke Indonesia, memenuhi kewajiban terakhir mengantar Bapak ke pemakaman. Tapi suaminya menunggu di Hongkong, dirawat di salah-satu rumah sakit. Urusan ini muda ditebak, lima belas menit menatap layar jadwal keberangkatan pesawat di bandara, Sie memilih menjemput suaminya. Itulah keluarganya sekarang, itulah keluarganya sejak dia memutuskan dibeli suaminya lima belas tahun lalu.

“Tubuh Wong Lan kurus kering saat dibawa kembali ke Taiwan, kebiasaan buruk menggerogoti fisiknya. Dan bukan itu masalah terbesarnya, melainkan anak tertua Sie menolak mentah-mentah memanggil Bapak pada Wong Lan, usianya dua belas, sudah lebih dari tahu cerita penderitaan Ibunya selama ini. Dia berteriak marah, mengusir Wong Lan dari kamar perawatan di rumah. Itu bagian menyakitkan kesekian yang harus dialami Sie, dia memeluk anaknya, meminta dengan sangat, sambil menangis, agar si sulung mau memanggil Wong Lan, ‘Bapak’. Si sulung mengibaskan tangan Ibunya, berlari. Hanya si kembar yang bersedia menemani Ibunya merawat Wong Lan.

“Berbulan-bulan Sie merawat suaminya dengan tulus. Proses rehabilitasi kecanduan. Lelah mengurus bisnisnya, capai mengurus tingkah anaknya, sering dia ditemukan jatuh tertidur di ranjang tempat suaminya berbaring lemah. Rambut Sie yang dulu hitam legam mulai beruban. Wajahnya yang dulu periang, mata sipit bersinar-sinar, tinggal gurat muka penuh ketabahan dan sorot mata tulus. Tubuhnya yang dulu ramping, tinggi semampai, sekarang bungkuk, kaki pincang sisa pukulan-pukulan kasar suaminya. Janji itu luar biasa, janji itu macam mercu suar di pinggiran kota Taiwan, dia sungguh akan mencintai suaminya apa-adanya. Maka bulan-bulan perawatan itu menjadi simbol paling agung rasa cinta Sie. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan. Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luar-biasa.” Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu.

Andi malah kedat hidung.
Aku menyikut Andi pelan, kau tidak akan menangis, kan?
Andi melotot, enak saja.

“Kalian tahu, Andi, Borno? Apakah kau bisa memaksa perasaan cinta? Sie bisa melakukannya. Dia bisa membuat suaminya mencintai dia apa-adanya, bahkan walau sebelumnya Wong Lan amat membencinya. Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi, ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah lelah istrinya yang jatuh tertidur di pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya. Lihatlah, wanita yang selama ini dia sakiti, tega dia beli lantas dibawa pergi jauh dari rumahnya, wanita yang dia renggut dari masa remajanya yang indah, begitu tulus merawat dirinya enam bulan terakhir. Wong Lan tergugu, menyentuh bekas carut luka di kening istrinya, luka itu bekas lemparan asbak darinya.

“Tangan Wong Lan gemetar menyentuh rambut beruban Sie, lihatlah, wajah teduh ini, wajah penuh kasih-sayang istrinya. Ini tetap wajah yang sama meski dulu dia lempar, dia injak, wajah yang sama meski dulu dia kutuk wanita pembawa sial. Wong Lan menangis dalam diam, terisak dalam senyap. Alangkah bodoh dirinya selama ini. Bodoh sekali. Disangka teman-temannya akan selalu ada, itu dusta. Disangka semua

kesenangan itu abadi, itu tipu. Semua tidak hakiki. Adalah cinta Sie yang sejati, cinta wanita yang dia sia-siakan, wanita yang dia aniaya bertahun-tahun. Malam-malam rehabilitasi itu menjadi saksi saat cinta Wong Lan tumbuh mekar, cinta seorang pemuda Taiwan yang terlambat lima belas tahun. Benar-benar terlambat. Tapi tak mengapa, itu tetap berakhir bahagia, tidak mengurangi nilainya.”
Pak Tua terdiam lama. Menghela nafas panjang, menatap jalanan depan restoran yang lengang. Pelayan sudah bersiap merapikan meja-meja. Tidak ada lagi pengunjung selain kami.

“Itulah cinta sederhana amoy Singkawang. Cerita hebat yang tidak diketahui sopir sok-tahu tadi siang. Tidak semua amoy yang pergi ke Taiwan bersama seseorang yang baru dikenalnya sehari dua hari bernasib buruk. Hidup adalah perjuangan, bukan? Kebahagiaan harus direngkuh dengan banyak pengorbanan. Sie Sie telah membuktikan janjinya.”

Andi benar-benar menyeka mata, tidak peduli aku meliriknya.

Pak Tua tersenyum, “Kalian pasti bertanya, lantas apa hubunganku atas kisah ini? Aku ada di konsulat Taiwan itu saat Sie mengungsi. Akulah yang berseru, gila! Menilai kalimat Sie berlebihan dan tidak masuk akal. Ah, itu masa-masa saat orang-tua ini melakukan perjalanan ke mana-mana, melihat banyak hal, belajar banyak hal. Lantas kenapa kita malam ini ada di Singkawang? Karena besok, Sie dan Wong Lam akan menikahkan salah-satu si kembar di kota ini. Aku turut diundang. Si kembar berjodoh dengan amoy Singkawang saat berkunjung ke sini beberapa tahun lalu. Tentu, pernikahan itu bukan ‘pernikahan foto’. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu di Pekong Surga-Neraka. Nah, besok juga adalah pertama kali Sie Sie pulang ke Singkawang. Besok, dia akan bilang ke pusara Ibunya, janji itu telah dipenuhi, dia bisa memaksa perasaan itu tumbuh di hatinya dan di hati suaminya. Janji hebat seorang gadis yang baru berusia enam belas tahun. Ah, bisa apa dia? Dia bisa membuktikannya.”

Kisah Cinta Sie Sie adalah salah satu kisah yang terdapat dalam kumpulan cerpen karya Tere Liye yang berjudul Sepotong Hati Yang Baru

Minggu, 11 Maret 2018

Seratus Tahun Berlari

Sudah tujuh hari, tujuh malam, ia terus berlari. Kakinya semakin ringan untuk melangkah. Tenaganya tidak juga habis. Pria itu hanya berhenti untuk minum dan makan. Itu pun jika ada seorang yang dengan rela memberi.

Kalau tidak ada, ia hanya minum. Dan itu sudah cukup baginya. Ia tidak ingin hidup manja atau terikat seperti kebanyakan orang. Ia ingin bebas dan terlepas dari segala belenggu pikiran serta kenyataan hidup yang pelik: tagihan listrik, tagihan air, dan segala beban hidup lainnya. Paling penting lagi, ia bermimpi menjadi manusia yang tak tersekap oleh hal-ihwal ketakutan segala kehidupan. Maka ia terus berlari.

Semua ini seperti berlari dari suatu realita—masalah-masalah yang menumpuk. Beban hidup selalu berganti setiap hari. Masalah terus terlahir dari rahim kesibukan masyarakat kota: takut terlambat masuk kantor, takut gaji dipotong, takut dimarahi istri, takut tak dapat membayar bulanan anak, takut ditinggal pacar simpanan, hingga istri kedua.

Tak ada masalah yang benar-benar dapat dituntaskan dengan penuh. Mungkin hanya Tuhan yang dapat melakukannya dengan mengakhiri dunia. Lalu hal yang dapat ia lakukan hanya belari. Ia tidak memiliki tujuan saat berlari atau kapan akan berhenti? Kedua kakinya seperti memiliki jalan berpikir sendiri untuk terus membawanya.

Hujan dan badai berkesiur diterjang. Terik matahari yang lekat, bulat tekat Tarno tak lelah. Ia berlari. Terus menyeret-nyeret kakinya ke suatu tempat di ujung dunia yang ia sendiri tak tahu. Kota dan pedesaan ia lalui. Kenyang ia melihat pemadangan gemerlap lampu-lampu, pekik tawa dalam pesta-pesta penuh hidangan lezat, atau rintih tengah malam para perempuan dari gedung-gedung gemerlap tempat para penjual cinta.

Sudah muak ia dengan semua itu. Demikian juga dengan kemalangan orang-orang pinggiran yang bertahan hidup: para petani yang kehilangan harapan karena musim kemarau, nelayan yang karam perahunya karena ombak. Tarno berpikir: Hidup ini sudah dirancang dengan semua kekacauannya. Tuhan sedang bermain-main dengan umat-Nya.

Tarno sudah lupa dari mana mulai berlari. Mungkin dari pintu kantornya, setelah ia jemu melayani atasanya yang banyak tingkah di kantor; tentang anggaran belanja kantor, gaji, dan segala kepentingan yang sebenarnya hanya menguntungkan pria tambun itu.

Yang lebih parah lagi, semua anggaran itu diambil dari uang pajak rakyat. Ia tidak sanggup melakukan semua itu. Ia lelah membayangkan hidup sengsara, tertimbun di rumah kontrakan kecil bersama seorang istri melar yang cerewet dan terus mendesaknya untuk melakukan korupsi seperti bosnya.

Namun ia tidak melakukan itu. Semuanya bertentangan dengan etika yang sudah ia bangun sejak kecil. Maka pilihan satu-satunya yang ia dapat lakukan hanya berlari sejauh mungkin. Hingga tidak ada masalah yang merentet di belakangnya.

Malam-malam yang panjang dilaluinya dengan terus berlari. Pagi dan siang yang membosankan ia hadapi dengan terus berlari. Tenaganya tetap sama. Tuhan bagai memberi keajaiban di tubuhnya yang tak pernah bisa lelah itu.

Namun, ketika berlari, terkadang juga terbetik pikiran, di mana batas semua kenyataan ini? Apakah kenyataan hidup memiliki batas yang nyata? Setidak-tidaknya, Tarno dapat rehat sejenak dari beban yang bisa setiap saat melintas; melejit menyudutkan hidup seorang. Tarno terus berlari menuju ujung dunia yang sebenarnya masih barang kali.

Kini di setiap kota yang dilaluinya berlari selalu ada orang-orang yang menyambut. Mereka menunggunya dipinggir jalan. Tarno bagai seorang artis yang dieluelukan setiap orang. Bahkan setiap hari, ada saja sebuah helikopter yang merekam khusus perjalanannya.

Namun Tarno tak peduli dengan semua itu. Ia terus berlari tanpa menghiraukan orang-orang yang menyorakinya. Terkadang juga ia malah menertawai orang-orang yang mengelu-elukannya, “Bodoh!”

Orang-orang itu tidak pernah tahu kalau sesuatu sedang mengintai mereka: kejemuan yang mengerikan. Rentetan peristiwa yang melulu dan membuat seorang jengah. Ia berlari untuk menyelamatkan diri dari semua belenggu itu.

Namun—anehnya—orang menganggap dirinya sebagai hiburan. Orang-orang kota yang terlalu sibuk dengan segala hal di luar dirinya, acap kehilangan gairah hidup. Ketakutan dan kemalangan orang bisa menjadi hiburan tersendiri. Begitu juga dengan Tarno. Setelah ia berhasil mengelilingi dunia dengan terus berlari tiada henti, dan menarik minat para agen stasiun televisi, lembar-lembar koran, dan siaran singkat di radio; ia mulai dielu-elukan sebagai seorang artis. Keganjilannya—berlari tanpa tujuan yang jelas—dianggap sebagai suatu kelebihan di dunia. Betapa hidup ini sudah kehilangan hiburan yang bermutu.

Bibir kamera terus merekam. Tidak ada yang luput darinya. Orang-orang memantaunya dari tabung televisi masing-masing di rumah. Ada juga satu stasiun televisi yang khusus—sepanjang hari—menayangkan Tarno yang berlari: melewati lembah-lembah, mengarungi sungai-sungai, dan meniti di kapal mengarungi laut.
Seratus Tahun Berlari ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Seratus Tahun Berlari ilustrasi Rendra Purnama/Republika


Orang-orang bagai takut kehilangan sosok idola baru tersebut. Bahkan ada seorang wartawan khusus pula yang mencoba melakukan wawancara dengan Tarno. Dengan mobilnya, wartawan itu membuntuti dan melemparkan pertanyaannya.

“Apa tujuan anda berlari?” Tanya wartawan itu menyodorkan mikrofon.

Tarno tidak menjawab. Nyalang matanya menatap ke depan dan tak mau berpaling.

Si wartawan tidak menyerah. “Ke mana tujuan saudara sebenarnya?”

Tarno masih tidak mau menjawab. Mungkin memang tidak ada tujuan pasti ke mana ia akan berhenti. Tarno hanya ingin berlari sesuai kata hatinya. Kaki-kakinya seakan menciptakan takdir kehidupannya sendiri.

Tarno tanpa jengah, lincah mengayuh telapak kakinya. Langkah demi langkah hingga begitu jauh. Pun akhirnya bertahuntahun lebih wartawan itu mencoba mewawancarainya.

“Apakah ada seorang yang mengejar saudara, maka saudara terus berlari?” Wartawan itu sudah kehabisan pertanyaan. Namun satu patah kata pun belum terucap dari bibir Tarno. Merasa frustasi dan sia-sia, wartawan itu bertanya malas-malasan: “Apakah sebenarnya anda melakukan ini semua untuk lari dari kenyataan?”

Karena si wartawan sudah tidak lagi memiliki pertanyaan, tapi atasanya di kantor terus mendesak agar wartawan itu mendapat berita tentang Tarno; dengan ngawur dan serampangan wartawan itu bertanya macam itu.

Wartawan itu terbawa suasana hatinya. Perasaanya yang melankoli—karena rindu anak dan istrinya yang sakit di rumah—  terbawa. Bahkan hingga istrinya mati sakit keras, wartawan itu tetap dilimpahkan tugas oleh atasnya untuk meliput Tarno. Namun—setelah bertahun-tahun terus berlari tanpa henti—sejenak Tarno termenung. Ia memandang wartawan yang telah putus asa itu.

“Maukah kau ikut denganku?” Tukasnya kepada wartawan itu.

Dengan air muka keruh karena putus asa, wartawan itu menjawab. “Ke mana?”

“Entahlah. Yang jelas ke sebuah dunia yang jauh dari kenyataan!”

Pun akhirnya wartawan itu membanting mikrofon dan mengacungkan jari tengahnya ke kamera. Syahdan wartawan itu ikut berlari bersama Tarno. Juru kamera yang kebingungan pun menggantikan tugas wartawan tersebut. Sambil mengambil gambar nya sendiri, juru kamera mengabarkan situasi.

“Pemirsa di mana pun kalian berada, tak ada yang tahu ke mana pria itu akan berhenti untuk berlari. Mungkin mereka hanya akan berhenti pada suatu ujung kenyataan; akhir dari segala pertanyaan tentang hidup!”

Kamera itu mati. Karena juru kamera ikut berlari bersama Tarno.

***

Sudah tujuh kali ia mengelilingi dunia. Dan semakin banyak orang yang mengikuti Tarno di belakang. Kebanyakan dari orang-orang itu berlari karena jemu dengan hidup. Mereka ingin berlari terlepas dari belenggu-belenggu.

Namun tidak semua permasalahan hidup usai hanya dengan berlari. Selalu saja ada hal yang menggoyahkan hati para pelari itu untuk berhenti; singgah ke suatu hal yang membuat orang lena serta tinggal. Orang-orang yang berlari bersama Tarno tidak semuanya teguh pendirian, ada yang hanya ikut-ikutan.

Karena hampir setiap kali memasuki sebuah kota baru, rombongan pelari itu disambut elu-elu yang begitu meriah dari orang-orang kota yang sudah kehilangan hiburan yang mencerdaskan. Tarno terkadang hanya mengambil botol air atau potong roti yang diacung-acungkan kepadanya. Itu pun ia lakukan tanpa menoleh.

Begitu cepat Tarno menyambar. Tak ada selintas pikiran untuk berhenti berlari. Namun, ada juga dari rombongan itu yang singgah. Kebanyakan mereka terkena rayuan racun para wanita penjual cinta murahan di pinggir jalan. Dengan sekali sentuh, tekad mereka yang bulat pada awal, lumer menjadi gembur. Orang-orang itu lebih memilih berhenti menjual dirinya pada kenikmatan hidup yang fana.

“Singgahlah sebentar, Sayang!” Kata wanita penggoda. “Dan rasakanlah nikmat pelukan dan ciumanku!”

“Tubuhku hangat menunggumu, sayang!”

“Apa yang kalian cari di dunia ini? Tak ada yang benar-benar kalian cari di dunia ini,” rayu mereka terus. “Maka singgahlah dan nikmati kenyataan ini, sayang!”

Terkadang separuh dari rombongan ikut berhenti. Namun di suatu kota atau simpang jalan yang muram, orang-orang yang terhenti itu akan tergantikan dengan sosok-sosok baru. Mereka ikut berlari ke suatu tempat yang begitu jauh—hingga tak ada yang lebih jauh dari tempat yang ingin mereka capai.

Namun tak ada satu pun dari mereka yang tahu di mana tempat itu; sebuah batas dari kenyataan hidup tersebut; suatu akhir dari pertanyaan-pertanyaan ganjil hidup; tentang masalah-masalah yang memang tak akan pernah tuntas untuk diakhiri. Mereka terus berlari, ke lubang-lubang nasib yang kelam; seperti seorang musafir yang kehilangan rumah dan alasan.

Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 04 Maret 2018)
Risda Nur Widia, buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Sabtu, 03 Maret 2018

Yang Terpenjara Waktu

“Sini, Nak,” senandungku. “Duduk di pangkuan. Ayo kita bercengkerama tentang hal-hal manis, seperti gula-gula, sejumput awan dan senyum ayahmu. Cerita-cerita yang akan membuat harimu lebih renyah. Ayo, buka matamu, bangkit dari tempat tidur.”

Kutatap Limara yang belum membuka mata. Memang bagaimanapun juga hari masih terlalu pagi. Baiklah, kumulai saja ceritanya, kita tak ada waktu seharian. Dan apa yang lebih penting untuk diceritakan pada seorang anak, selain asal muasal namanya?

Sedari pertama bertemu, aku sudah tahu ia langit. Tapi kalau benar ia langit dan aku bumi, sungguh tak mengapa sesekali bertemu di lautan, tempat langit dan bumi sesekali berpelukan. Lautanku bernama bumi Sulawesi.

Mereka sebut ia Dewakinnara. Tapi kita harus beri nama samaran yang sama heroiknya. Anggap saja nama terbaik yang pernah kau dengar dalam hidup ditambah satu juta poin lagi, maka kita akan sebut dia itu. Atau sebut saja dia A. Huruf pertama, tanpa akhiran. Karena tak semua yang berawal harus memiliki akhir. Atau itu pikiran gilaku saja yang baru kenal namanya awalan tanpa sudi diberi akhiran.

Tapi apa istimewanya seorang Dewakinnara? Ah. Salah. Seharusnya kau tanyakan apa yang tidak istimewa dari orang itu. Ia tak lebih dan tak kurang adalah pemujaku, dan aku tak lebih dan tak kurang dari pemuja setianya.

Aku bertemu Dewakinnara kala kami berkelana dalam satu kelompok yang mendapat kehormatan menyaksikan upacara Rambu Solo’, tradisi pemakaman, di Toraja. Aku mencari inspirasi untuk masakan khas Indonesia di restoran berbintang-bintang di Dubai sana, ia mencari objek foto untuk dunia internasional saksikan mengenai Indonesia.

Tak sulit untuk jatuh cinta padanya, bagaimanapun juga ia pribadi yang unik dengan isi kepala penuh dengan letupan ide. Tapi aku bersimpuh sepenuhnya karena namanya. Ya, jangan terbahak, ia pernah cerita bahwa namanya diambil dari dewa penguasa segala nyanyian dan tarian. Entah benar atau hanya bagian dari rayuan mautnya, tapi aku berani sumpah, ia memang terlahir untuk menjadi seorang Dewakinnara.
Yang Terpenjara Waktu ilustrasi Da’an Yahya/Republika


Tepat lima puluh bulan setelah pertemuan pertama, kami bergandengan di pelosok Sulawesi, kini berdua saja. Dengan lengan mengepit kamera dan tas-tas yang sesak oleh lensa, ia mengembara serupa layang-layang yang lupa pulang. Aku genggam lengannya sebagai pengingat. Agar ia tak seketika menghilang. Kami berjalan bersisian menapaki bumi Sulawesi. Tanah lengket diam-diam bercengkerama dengan sepatu kami yang sudah menjejak pedalaman Papua dan Kalimantan sejak bertahun-tahun sebelumnya.

“Mau diberi nama siapa, pemberontak kecil kita?” tanya Dewakinnara sambil merunduk-runduk mengambil gambar bumi Sulawesi yang megahnya luar biasa: kadang indah, kadang mengerikan mengancam jiwa. Tapi tak ada hal yang hebat yang bisa diperoleh tanpa perjuangan.

Aku menghela napas sekali lagi, terlalu gengsi untuk mengakui bahwa aku hanya manusia biasa. Berat ternyata jalan-jalan membawa perut sebesar ini, meski hanya ke sisi hutan yang paling datar sambil menyusuri tapaknya perlahan sekalipun. Entahlah. Aku berani ikut ke sini semata-mata karena belum nampak tanda-tanda ia berkenan untuk keluar. Padahal dunia sudah terentang sedemikian luasnya untuk kami jelajahi bertiga. Sang pemberontak, kata Dewakinnara. Seolah ia tak ingin diberi tahu kapan harus keluar.

Dewakinnara sudah berkali-kali ditawari beasiswa ke luar negeri, berkali-kali pula ia tolak dengan santun. Aku ingin membagikan indahnya bumi Indonesia, aku tak tertarik melirik bumi lainnya, ujarnya dengan dada terbusung bangga. Ucapannya diamini oleh berbagai fotografer internasional lainnya yang kerap kami temui berkali-kali di pedalaman Indonesia.

Aku terantuk. Ketubanku pecah juga. Dewakinnara seperti orang gila, setengah tertawa, setengah panik histeris. Tertawa semata-mata lega, akhirnya dewi yang kami tunggu-tunggu hadir juga. Panik karena kami menjelang malam di tengah hutan yang jaraknya berkilo-kilo jauhnya dari desa terdekat.

“Berminggu-minggu sudah kita tunggu dia di dalam rumah yang nyaman, malah memilih ingin keluar sekarang,” Dewakinnara berdecak kagum. Detik pertama ia mulai tergila-gila pada anaknya sendiri. Entah kekuatan dari mana, setelah memasukkan kamera ke dalam tas punggung, Dewakinnara menggendongku sambil berlari menempuh kilo demi kilo hutan yang menggelap.

“Aku takut,” dalam pelukannya, mataku menjelajah pohon-pohon tinggi di langit. Pohon-pohon menjulang yang semakin seram seiring dengan malam yang tanpa ampun mengejar kami.

“Marendeng marampa’ kadadianku,

Dio padang digente’ Toraya Lebukan Sulawesi,

Mellombok membuntu mentanetena,

Nakabu’ uma sia pa’lak na sakkai Salu Sa’dan.”

Dewakinnara nyanyikan Marendeng Marampa, lagu yang sama-sama kami pelajari di Tanah Toraja. Aku tahu ia bersenandung agar aku tidak takut. Sempat-sempatnya ia bernyanyi di sela napas yang tersengal.

“Kamu rindu Toraja kah?” tanyaku begitu kami di desa dan aku selesai berperang melawan maut.

“Teramat sangat,” ia seka keringat dari dahiku sambil menggendong sang bayi.

“Nanti kita ke sana bawa Limara ya?”

Dewakinnara terbahak. “Mau kau namai Limara?”

“Limara. Nama pohon eboni yang terus mengiringi lari-lari kecilmu sepanjang hutan tadi.”

“Limara,” ulang Dewakinnara dengan mata berbinar takjub.

Seolah mengiyakan, bayi di pelukannya tertawa girang.
***
“Ah, kau yang kepala batu ini pasti masih pula bertanya apa yang lalu terjadi,” aku terkekeh, kembali ke masa kini. Baik, kulanjutkan ceritanya, meski mata Limara masih terpejam.

Sulit untuk tidak jatuh cinta pada Toraja. Alamnya, budayanya, keramahan penduduknya, namun yang sering terlupakan karena butuh waktu untuk memahaminya: filosofi hidup mereka. Ada satu hal yang lebih menarik selain filosofi hidup mereka: filosofi kematian yang mereka junjung.

Sementara seluruh dunia bertarung dan mengunci pintu rapat-rapat dengan ide kematian, orang Toraja justru memeluk erat kematian dengan penuh keakraban. Kematian bukanlah akhir, hanya satu tahap dari proses panjang. Bukan pula perpisahan yang perlu ditangisi.

Kini, Toraja sudah menjadi bagian dari kami, dan kami pun sudah jadi bagian dari Toraja. Kemanapun kami mengembara, pulangnya pasti ke tanah yang sama pula.

Tapi tahun demi tahun melahap bumi Sulawesi dengan tak ramah. Limara, eboni hitam yang mendunia, telah membutakan mata banyak orang. Kami bertiga berjalan dalam diam, masing-masing menjinjing sendu. Tak ada lagi cuitan burung yang bersahut-sahutan. Semakin dalam kami masuk, bekas-bekas penebangan semakin nyata terlihat. Limara meneteskan airmata untuk pepohonan yang namanya disandang pula olehnya.

Krekkk!

Dewakinnara bergegas menutup mulut Limara dan menariknya ke balik semak-semak. Dadaku sesak oleh gemuruh hingga tak terdengar dan tak terpikir apa-apa lagi. Tanganku gemetar, namun tetap kupeluk erat-erat Limara dalam lindunganku.

“Kamu tetap di sini,” bisik Dewakinnara. Ia mengganti lensa kameranya menjadi lensa jarak jauh. Perjalanan singkat ke hutan ini seharusnya sekedar bertemu burung-burung unik untuk foto Dewakinnara dan bahan makanan untuk menu baru restoran Indonesiaku. Tapi sialnya kami bertemu dengan para pembalak yang sudah pasti liar, karena ini hutan lindung. Kalau masih ragu, senapan-senapan yang mereka sampirkan di dada tentu bisa memberi penegasan sendiri.

Dewakinnara mendekat hingga jarak yang ia tentukan aman. Ia ambil foto sebanyak-banyaknya sebagai bukti sebelum kemudian berlari ke arah kami.

“Kita ketahuan!”

Aku tersandung-sandung menarik Limara yang ketakutan. Dewakinnara bergegas menariknya dan seketika itu juga menggendongnya sambil terus berlari begitu cepat.

“Tidak bisa. Mereka akan mengejar kita.”

Tembakan demi tembakan berdesing sedemikian dekatnya di telinga kami. Ini pasti bercanda, ya Tuhan, ini pasti bercanda. Siapa yang bisa membunuh manusia lainnya demi kayu! Aku berpikir histeris.

Dewakinnara berbelok mendadak. Ditariknya aku ikut ke dalam sungai. Ia beri isyarat pada Limara untuk menarik napas. Berbarengan, kami celupkan kepala ke dalam sungai sambil menarik semak-semak menutupi kami. Seekor ular sungai lewat. Aku berdoa pada Tuhan, pada Dewa Bumi, Dewa Sungai, penguasa alam semesta siapa pun itu, beri kami kesempatan hidup. Jejak-jejak mereka berderap di tepian sungai. Orang-orang itu melewati kami!

Sesampainya di desa, Dewakinnara segera berlindung di rumah kepala adat. Masih terengah-engah, ia bercerita tentang apa yang ia temui dan keluarkan kamera dari tas anti-airnya. Ditunjukkannya foto-foto yang membuatku paham mengapa kami diserang sedemikian ganasnya: seorang petinggi negara terkemuka tengah berdiri di atas jeep.

Sementara Dewakinnara berbincang dengan kepala adat, mataku menangkap seorang anak yang tergesa lewat membawa baki berisi makanan. Limara mengajaknya bermain. Anak itu menggeleng sambil memberi isyarat, aku harus taruh ini dulu di kamar Ibu, sambil berjalan menuju loteng. Lamira yang sudah paham pun mengangguk. Istri sang kepala adat memang sudah lama berpulang karena sakit dan tengah menunggu prosesi pemakaman.

Percaya atau tidak, butuh waktu bertahun-tahun untuk kemudian menjebloskan petinggi itu dan membersihkan mereka hingga akar-akarnya. Seperti bola salju, sekian nama yang tak terduga ikut pula terseret. Tapi kami sudah tak lagi di sana untuk merayakan keberhasilan itu. Kami terpaksa mengungsi dari bumi Sulawesi, jauh ke negeri lain, jarak terjauh dari nusantara yang dibenci Dewakinnara. Semata-mata untuk melindungi diri dari ancaman dan teror yang menghantui.
 
***

Sebuah ketukan di pintu mengganggu ceritaku. Disusul dengan ketukan-ketukan lain yang semakin lama semakin keras. Hari sudah petang. Ada apa pula orang bertamu. Kulongokkan kepala, Limara tak kunjung membuka pintu depan. Begitu pula dengan Dewakinnara. Aku mendesah lelah. Aku rapikan piring-piring makan siang mereka dulu sebelum kubuka pintu.

“Selamat siang, Madam,” sepasang polisi membuka topi mereka sebagai tanda hormat. “Kami mendapat laporan dari para tetangga. Boleh kami masuk?”

Tanganku gemetar. Aku menggeleng. Yang kutahu, menggeleng adalah selemah-lemahnya perlawanan. Kulihat selusin manusia telah berkumpul di lorong apartemen. Aku  menelan ludah susah payah ketika para polisi tersebut merangsek masuk. Sesosok perempuan separuh baya yang kutahu berkewarganegaraan Indonesia juga menghampiri, memelukku erat.

“Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Polisi sudah bilang itu karena racun, bukan karena dirimu,” gumam Maya sambil terus menenangkanku.

Para polisi mendobrak pintu demi pintu kamar, menghiraukan tangisanku yang mulai pecah. Tiba di pintu kamarku, semua orang seketika menutup hidung. Tak apa kalau mereka tak mengerti. Tak ada satupun dari mereka yang bisa mengerti kenapa aku melakukan ini.

Maya sungguh tak paham bahwa tak ada yang bisa disalahkan selain kelengahanku yang membiarkan mereka berdua memesan pizza sambil menunggu aku selesai menutup restoran. Andai waktu itu aku memilih memasak di rumah saja, takkan sempat para kronco petinggi itu membalas dendam melalui racun yang mereka tabur di pizza. Takkan tertinggal sendiri aku di alam ini, sementara mereka telah melanjutkan perjalanan ke alam sana. Dua ciptaan Tuhan yang paling kupuja.

“Kami sungguh menghormatimu sebagai tetua di sini, Madam,” ujar salah satu anak muda. “Tapi Madam tidak lagi tinggal di Toraja. Anda bahkan bukan orang Toraja. Ini negeri yang sama sekali berbeda. Tidak boleh menyimpan mayat di dalam rumah.”

Cerpen Zhizhi Siregar (Republika, 25 Februari 2018)
Zhizhi Siregar aktif membuat karya tulis yang dimuat di berbagai media massa. Dia sudah belajar menulis sastra sejak kecil.