Minggu, 11 Maret 2018

Seratus Tahun Berlari

Sudah tujuh hari, tujuh malam, ia terus berlari. Kakinya semakin ringan untuk melangkah. Tenaganya tidak juga habis. Pria itu hanya berhenti untuk minum dan makan. Itu pun jika ada seorang yang dengan rela memberi.

Kalau tidak ada, ia hanya minum. Dan itu sudah cukup baginya. Ia tidak ingin hidup manja atau terikat seperti kebanyakan orang. Ia ingin bebas dan terlepas dari segala belenggu pikiran serta kenyataan hidup yang pelik: tagihan listrik, tagihan air, dan segala beban hidup lainnya. Paling penting lagi, ia bermimpi menjadi manusia yang tak tersekap oleh hal-ihwal ketakutan segala kehidupan. Maka ia terus berlari.

Semua ini seperti berlari dari suatu realita—masalah-masalah yang menumpuk. Beban hidup selalu berganti setiap hari. Masalah terus terlahir dari rahim kesibukan masyarakat kota: takut terlambat masuk kantor, takut gaji dipotong, takut dimarahi istri, takut tak dapat membayar bulanan anak, takut ditinggal pacar simpanan, hingga istri kedua.

Tak ada masalah yang benar-benar dapat dituntaskan dengan penuh. Mungkin hanya Tuhan yang dapat melakukannya dengan mengakhiri dunia. Lalu hal yang dapat ia lakukan hanya belari. Ia tidak memiliki tujuan saat berlari atau kapan akan berhenti? Kedua kakinya seperti memiliki jalan berpikir sendiri untuk terus membawanya.

Hujan dan badai berkesiur diterjang. Terik matahari yang lekat, bulat tekat Tarno tak lelah. Ia berlari. Terus menyeret-nyeret kakinya ke suatu tempat di ujung dunia yang ia sendiri tak tahu. Kota dan pedesaan ia lalui. Kenyang ia melihat pemadangan gemerlap lampu-lampu, pekik tawa dalam pesta-pesta penuh hidangan lezat, atau rintih tengah malam para perempuan dari gedung-gedung gemerlap tempat para penjual cinta.

Sudah muak ia dengan semua itu. Demikian juga dengan kemalangan orang-orang pinggiran yang bertahan hidup: para petani yang kehilangan harapan karena musim kemarau, nelayan yang karam perahunya karena ombak. Tarno berpikir: Hidup ini sudah dirancang dengan semua kekacauannya. Tuhan sedang bermain-main dengan umat-Nya.

Tarno sudah lupa dari mana mulai berlari. Mungkin dari pintu kantornya, setelah ia jemu melayani atasanya yang banyak tingkah di kantor; tentang anggaran belanja kantor, gaji, dan segala kepentingan yang sebenarnya hanya menguntungkan pria tambun itu.

Yang lebih parah lagi, semua anggaran itu diambil dari uang pajak rakyat. Ia tidak sanggup melakukan semua itu. Ia lelah membayangkan hidup sengsara, tertimbun di rumah kontrakan kecil bersama seorang istri melar yang cerewet dan terus mendesaknya untuk melakukan korupsi seperti bosnya.

Namun ia tidak melakukan itu. Semuanya bertentangan dengan etika yang sudah ia bangun sejak kecil. Maka pilihan satu-satunya yang ia dapat lakukan hanya berlari sejauh mungkin. Hingga tidak ada masalah yang merentet di belakangnya.

Malam-malam yang panjang dilaluinya dengan terus berlari. Pagi dan siang yang membosankan ia hadapi dengan terus berlari. Tenaganya tetap sama. Tuhan bagai memberi keajaiban di tubuhnya yang tak pernah bisa lelah itu.

Namun, ketika berlari, terkadang juga terbetik pikiran, di mana batas semua kenyataan ini? Apakah kenyataan hidup memiliki batas yang nyata? Setidak-tidaknya, Tarno dapat rehat sejenak dari beban yang bisa setiap saat melintas; melejit menyudutkan hidup seorang. Tarno terus berlari menuju ujung dunia yang sebenarnya masih barang kali.

Kini di setiap kota yang dilaluinya berlari selalu ada orang-orang yang menyambut. Mereka menunggunya dipinggir jalan. Tarno bagai seorang artis yang dieluelukan setiap orang. Bahkan setiap hari, ada saja sebuah helikopter yang merekam khusus perjalanannya.

Namun Tarno tak peduli dengan semua itu. Ia terus berlari tanpa menghiraukan orang-orang yang menyorakinya. Terkadang juga ia malah menertawai orang-orang yang mengelu-elukannya, “Bodoh!”

Orang-orang itu tidak pernah tahu kalau sesuatu sedang mengintai mereka: kejemuan yang mengerikan. Rentetan peristiwa yang melulu dan membuat seorang jengah. Ia berlari untuk menyelamatkan diri dari semua belenggu itu.

Namun—anehnya—orang menganggap dirinya sebagai hiburan. Orang-orang kota yang terlalu sibuk dengan segala hal di luar dirinya, acap kehilangan gairah hidup. Ketakutan dan kemalangan orang bisa menjadi hiburan tersendiri. Begitu juga dengan Tarno. Setelah ia berhasil mengelilingi dunia dengan terus berlari tiada henti, dan menarik minat para agen stasiun televisi, lembar-lembar koran, dan siaran singkat di radio; ia mulai dielu-elukan sebagai seorang artis. Keganjilannya—berlari tanpa tujuan yang jelas—dianggap sebagai suatu kelebihan di dunia. Betapa hidup ini sudah kehilangan hiburan yang bermutu.

Bibir kamera terus merekam. Tidak ada yang luput darinya. Orang-orang memantaunya dari tabung televisi masing-masing di rumah. Ada juga satu stasiun televisi yang khusus—sepanjang hari—menayangkan Tarno yang berlari: melewati lembah-lembah, mengarungi sungai-sungai, dan meniti di kapal mengarungi laut.
Seratus Tahun Berlari ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Seratus Tahun Berlari ilustrasi Rendra Purnama/Republika


Orang-orang bagai takut kehilangan sosok idola baru tersebut. Bahkan ada seorang wartawan khusus pula yang mencoba melakukan wawancara dengan Tarno. Dengan mobilnya, wartawan itu membuntuti dan melemparkan pertanyaannya.

“Apa tujuan anda berlari?” Tanya wartawan itu menyodorkan mikrofon.

Tarno tidak menjawab. Nyalang matanya menatap ke depan dan tak mau berpaling.

Si wartawan tidak menyerah. “Ke mana tujuan saudara sebenarnya?”

Tarno masih tidak mau menjawab. Mungkin memang tidak ada tujuan pasti ke mana ia akan berhenti. Tarno hanya ingin berlari sesuai kata hatinya. Kaki-kakinya seakan menciptakan takdir kehidupannya sendiri.

Tarno tanpa jengah, lincah mengayuh telapak kakinya. Langkah demi langkah hingga begitu jauh. Pun akhirnya bertahuntahun lebih wartawan itu mencoba mewawancarainya.

“Apakah ada seorang yang mengejar saudara, maka saudara terus berlari?” Wartawan itu sudah kehabisan pertanyaan. Namun satu patah kata pun belum terucap dari bibir Tarno. Merasa frustasi dan sia-sia, wartawan itu bertanya malas-malasan: “Apakah sebenarnya anda melakukan ini semua untuk lari dari kenyataan?”

Karena si wartawan sudah tidak lagi memiliki pertanyaan, tapi atasanya di kantor terus mendesak agar wartawan itu mendapat berita tentang Tarno; dengan ngawur dan serampangan wartawan itu bertanya macam itu.

Wartawan itu terbawa suasana hatinya. Perasaanya yang melankoli—karena rindu anak dan istrinya yang sakit di rumah—  terbawa. Bahkan hingga istrinya mati sakit keras, wartawan itu tetap dilimpahkan tugas oleh atasnya untuk meliput Tarno. Namun—setelah bertahun-tahun terus berlari tanpa henti—sejenak Tarno termenung. Ia memandang wartawan yang telah putus asa itu.

“Maukah kau ikut denganku?” Tukasnya kepada wartawan itu.

Dengan air muka keruh karena putus asa, wartawan itu menjawab. “Ke mana?”

“Entahlah. Yang jelas ke sebuah dunia yang jauh dari kenyataan!”

Pun akhirnya wartawan itu membanting mikrofon dan mengacungkan jari tengahnya ke kamera. Syahdan wartawan itu ikut berlari bersama Tarno. Juru kamera yang kebingungan pun menggantikan tugas wartawan tersebut. Sambil mengambil gambar nya sendiri, juru kamera mengabarkan situasi.

“Pemirsa di mana pun kalian berada, tak ada yang tahu ke mana pria itu akan berhenti untuk berlari. Mungkin mereka hanya akan berhenti pada suatu ujung kenyataan; akhir dari segala pertanyaan tentang hidup!”

Kamera itu mati. Karena juru kamera ikut berlari bersama Tarno.

***

Sudah tujuh kali ia mengelilingi dunia. Dan semakin banyak orang yang mengikuti Tarno di belakang. Kebanyakan dari orang-orang itu berlari karena jemu dengan hidup. Mereka ingin berlari terlepas dari belenggu-belenggu.

Namun tidak semua permasalahan hidup usai hanya dengan berlari. Selalu saja ada hal yang menggoyahkan hati para pelari itu untuk berhenti; singgah ke suatu hal yang membuat orang lena serta tinggal. Orang-orang yang berlari bersama Tarno tidak semuanya teguh pendirian, ada yang hanya ikut-ikutan.

Karena hampir setiap kali memasuki sebuah kota baru, rombongan pelari itu disambut elu-elu yang begitu meriah dari orang-orang kota yang sudah kehilangan hiburan yang mencerdaskan. Tarno terkadang hanya mengambil botol air atau potong roti yang diacung-acungkan kepadanya. Itu pun ia lakukan tanpa menoleh.

Begitu cepat Tarno menyambar. Tak ada selintas pikiran untuk berhenti berlari. Namun, ada juga dari rombongan itu yang singgah. Kebanyakan mereka terkena rayuan racun para wanita penjual cinta murahan di pinggir jalan. Dengan sekali sentuh, tekad mereka yang bulat pada awal, lumer menjadi gembur. Orang-orang itu lebih memilih berhenti menjual dirinya pada kenikmatan hidup yang fana.

“Singgahlah sebentar, Sayang!” Kata wanita penggoda. “Dan rasakanlah nikmat pelukan dan ciumanku!”

“Tubuhku hangat menunggumu, sayang!”

“Apa yang kalian cari di dunia ini? Tak ada yang benar-benar kalian cari di dunia ini,” rayu mereka terus. “Maka singgahlah dan nikmati kenyataan ini, sayang!”

Terkadang separuh dari rombongan ikut berhenti. Namun di suatu kota atau simpang jalan yang muram, orang-orang yang terhenti itu akan tergantikan dengan sosok-sosok baru. Mereka ikut berlari ke suatu tempat yang begitu jauh—hingga tak ada yang lebih jauh dari tempat yang ingin mereka capai.

Namun tak ada satu pun dari mereka yang tahu di mana tempat itu; sebuah batas dari kenyataan hidup tersebut; suatu akhir dari pertanyaan-pertanyaan ganjil hidup; tentang masalah-masalah yang memang tak akan pernah tuntas untuk diakhiri. Mereka terus berlari, ke lubang-lubang nasib yang kelam; seperti seorang musafir yang kehilangan rumah dan alasan.

Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 04 Maret 2018)
Risda Nur Widia, buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

0 komentar:

Posting Komentar