Rabu, 25 April 2018

Selamanya Cinta

(Habis)

Enam bulan usia Hibban kini. Senyumnya manis sama seperti senyumnya Mas Faisal. Kami tak pernah mendapat berita. Namun, selalu kuselipkan doa setiap saat, setiap waktu.

Hujan merintik manja diakhir Desember, taxi Blue Bird merapat ke halamanku. Seorang wanita cantik yang sudah lama kukenal keluar dari mobil itu. Dia memelukku dalam pelukan yang hangatnya berbeda dari pelukan sebelumnya.

Arina, kulihat mendung yang tersamarkan dari indahnya bola matamu. Arina menanyakan kabarku, ibu, dan adik bungsuku. Arina datang mengunjungiku membawa pesan Mas Faisal. Mas Faisal telah menyampaikan pada Arina tentang pernikahan kami, Arina menyadari akan kelemahan dirinya. Untuk itu, dia datang ke rumahku tanpa api amarah dalam genggamannya. Terasa pahit kerongkonganku, sesak dadaku, degub jantungku seakan terhenti. Bagaimana tidak, Mas Faisal mengalami kelumpuhan karena kecelakaan yang dialaminya. Satu hal yang membuat Mas Faisal merasa hidup terus, yaitu dengan mengambil Hibban dari tanganku. Lalu bagaimana dengan diriku? Mas Faisal langsung menalakku karena kondisi kesehatannya kini, Mas Faisal mempersilakan padaku untuk menikah kembali.

Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita Republika
Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita/Republika
Aku berjuang keras untuk menjadi Muslimah yang baik dan menepati janji. Pernah kukatakan pada Mas Faisal bahwa cinta itu tak harus memiliki. Cinta terindah manakala kita dapat memberikan kebahagiaan pada orang yang kita cintai. Inilah saatnya aku membuktikan cinta terbaikku padamu Mas, kubuktikan bahwa kata-kata itu bukanlah kata-kata klise. Kuikhlaskan Hibban dan dirimu berlalu dari kehidupanku, tetapi akan selalu bersamaku dalam relung batinku, hidup dalam hatiku. Sampai cinta dan rindu ini Allah ambil dariku.

“Bagaimana Ra, setuju dengan permintaan Mas Faisal?” Pertanyaan Arina yang tiba-tiba mengagetkanku hingga surat Mas Faisal terjatuh dari tanganku. “Aku tahu tidak mudah menerima ini, seperti halnya aku memahami kalian berdua, tetapi aku berusaha agar orang yang kita cintai memiliki semangat hidup,” ungkap Arina sambil tertunduk. Aku tak bisa menahan air mata. “Baiklah aku penuhi janjiku pada Mas Faisal akan makna cintaku kepadanya, asal izinkan aku untuk menyusui Hibban sampai selesai masa penyusuannya, ASI-ku akan kukirim sesteril mungkin.” Pintaku menghiba pada Arina. “Baiklah, jika itu yang terbaik,” kata Arina.

Ya Allah, aku ingin malam ini 10 kali lebih panjang dari malam-malam sebelumnya. Aku masih ingin menyusui putraku, memeluk hangat dan mencium harum tubuh anakku. Kucium berkali-kali Hibban tampan yang terlelap dalam tidurnya. Anakku, malam ini malam terakhir kita, kamu dan Umi. Esok kau akan bertemu Abi dan akan bersama Abi selamanya. Sampaikan salam Umi untuk Abi ya Nak, sampaikan lewat senyum manismu dan tawa ceriamu. Selalu tersenyum ya Nak, jangan buat gundah hati Abi. Kupeluk dan kuciumi Hibban, kuresapi wangi kayu putih yang menempel di badannya. Hingga hari itu berganti. Kukemasi beberapa potong pakaian Hibban, ASI di botol-botol kecil yang telah kusiapkan kutata dengan apik agar Hibban bisa menikmati ASI-ku. Kutulis salam terakhir untuk orang yang aku cintai:

“Mas semoga Allah selalu menetapkanmu dalam kebaikan, kukirim Hibban untukmu. Izinkan aku untuk mencintaimu selamanya, selamanya sampai akhir hidupku. Jaga dia dalam asuhanmu. Asuhan terbaik dan terindah yang selalu kau ceritakan padaku, meski mulai saat ini asuhan itu bukan bersama aku, syafakallahu syifaan ajilan, aku menolak talakmu Mas, biarkan aku menjadi istrimu sampai kita berdua datang kepada-Nya.”

Roda mobil yang melindas kerikil halaman rumahku, melempar dan menghujam dasar hatiku. Aku menangis di balik tirai jendela. Menyaksikan putraku yang baru enam bulan bersamaku harus berlalu dariku. Tapi, aku berusaha mengenyahkan kepedihan ini, karena kepergiannya untuk bertemu Abinya, orang yang menghadirkan dia di dunia ini. Kututup jendela perlahan. Dalam hening, dalam sunyi, dan sepi yang mengigit sepanjang hari. Allahu akbar, aku tidak boleh bersedih. Batinku harus selalu sehat, agar ASI yang kukirimkan tidak berkurang. Anakku perlu ASI. Sedapat mungkin aku harus memompanya setiap hari dan mengirimkannya ke Singapura. Dengan kesungguhan cinta jarak Bogor-Singapura adalah jarak yang pendek.

Hari kesatu, kedua, dan seterusnya, kupompa ASI-ku, kukirim melalui jasa pengiriman yang sudah tepercaya. Kabar balik dari Arina bahwa ASI-ku sudah sampai adalah kabar kebahagiaanku. Bulan kesatu, tahun kesatu, hingga kering sudah ASI-ku di pengiriman untuk dua tahun terakhir. Ya Allah, pasti Hibban sudah besar. “Rabbana hablana min ajwajina wa dzuriyatina qurrota’ayun waja’alna lil muttataqinna immama” setiap saat dalam hela napas, hingga 60 tahun usiaku kini.

Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Berpulang kepada yang maha pencipta. Untuk semua orang, begitu pun dengan Mas Faisal. TPU Blender mengharu biru, aku menahan diri untuk tidak berbaur di sana. Saat seluruh pelayat kembali pulang. Perlahan kulangkahkan kaki yang mulai ringkih ini. Kubersimpuh luruh di hadapan tanah merah yang menutup orang yang aku cintai. Dalam doa yang bersimbah air mata, kumohonkan pada-Mu ya Rabb, terimalah suamiku dengan cinta-Mu.

Selamat jalam Mas, kau pernah sematkan untaian melati putih di jilbabku, semoga harumnya mengantarkan perjalananmu. Kau bawa aku ke langit biru dengan cintamu, semoga birunya cintamu meneduhkan perjalananmu. Aku di sini, dalam doa dan cinta yang tak pernah berakhir. Untukmu selamanya.

Doaku terhenti saat ujung sepatu hitam bergerak ke arahkau dalam lirikan mataku. Langkah itu semakin dekat. Aku masih bersimpuh, dan terpaku dalam kesedihanku, andai Nabiku membolehkan sudah kepeluk gundukan tangan merah itu, hangat tubuh Mas Faisal tak pernah aku lupakan. Ujung sepatu itu mendekat dan terhenti di sebelah kiriku. Perlahan kudengar suara lirih, “Umi, assalammualaikum”. Tengadah wajahku ke arah suara itu. “Subhanallah, kaukah Hibban anak Umi?”

Lelaki tampan berkulit putih dengan waajah mirip Mas Faisal meraih dan mencium tanganku, lalu memelukku begitu erat. Darah di tubuhku yang hampir membeku seakan mencair kembali. Berhadapan wajah kami, dalam linangan air mata kerinduan yang hampir 18 tahun tertahan. “Umi, Hibban sampaikan amanah Abi untuk Umi,” katanya, sambil mengambil kotak merah hati dari kantong kemeja kokonya. “Ini Umi dari Abi untuk Umi”. Kubuka kotak merah hati itu. Kukeluarkan isinya, untaian tasbih cantik dari butiran mutiara Lombok, dalam untaiannya tergantung kertas bertuliskan “UMI TERIMA KASIH UNTUK KESETIAAN CINTA UMI, ABI TUNGGU UMI DI RUMAH ALLAH. ABI MENCINTAI UMI SELAMANNYA, MAAFKAN ATAS KESALAHAN ABI.”

Ya Allah, Mas Faisal. Kuseka airmata kesedihan dan kebahagiaan saat itu. “Hibban, di mana Bunda Arina? Umi ingin bertemu dengannya,” sambil menuntunku Hibban menjawab dengan nada yang ringan,

“Bunda sudah pulang dengan suami barunya sampai Abi meninggal beliau sudah tidak bersama kami.” Sesak sesal menendang ulu hatiku. Tapi, denyut kepasrahan menyeruak batinku. Mas, kau berpulang saat genap 20 tahun pernikahan kita. Terima kasih kau kembalikan Hibban untukku.

Serasa kau ada di sini, kurasakan wangi nafasmu, kurasakan hangat sentuhanmu. Aku menunggu hari dalam taat dan takutku pada-Nya, Untuk menjumpaimu. Allah penulis skenario terbaik. Aku tak bisa mendampingimu di dunia-Nya, semoga di akhirat-Nya. Karena aku cinta padamu Mas, selamanya.

Cerpen Suzi (Republika, 22 April 2018)
Bu Suzi, begitu ibu dari empat putra-putri ini disapa. Ibu yang memiliki nama lengkap Susilowati ini lahir di Banten, 6 Oktober 1973. Tak sengaja menjadi guru, begitu ungkapnya. Mengawali karir sebagai penyiar radio swasta di Bogor dan public relations di salah satu lembaga penyiaran swasta pada tahun 1993-1998. Karir gurunya dirintis pada tahun 1999, merasa tidak memiliki ilmu keguruan Bu Suzi menimba ilmu pendidikan Islam di STIAI Gunung Puyuh Sukabumi. Lalu mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT Rohmatul Ummah kini TAAM Rohmatul Ummah. Tahun 2008-2012 Bu Suzi menimba ilmu kependidikan di Universitas Terbuka. Belajar sepanjang hayat itu adalah moto hidupnya. Di mana pun dan dengan siapa pun selalu ada ilmu yang didapatkannya. Selain aktif di berbagai komunitas pemberdayaan perempuan, ibu dengan empat anak ini pernah menjadi Dosen di STAI Al Hidayah Bogor dan kini Bu Suzi merupakan salah satu staf pengajar di PONDOK PESANTREN AL-MINHAJ SHAHABAH.

Pengalaman menulis buku Bu Suzi peroleh pada 2008 dengan menulis buku Aritmatika Sempoa untuk Sekolah Dasar Kelas 1-6 yang diterbitkan oleh Insantama Pers. Pengalaman menulis artikel diperoleh Bu Suzi bersama Komunitas Guru Menulis dan Membaca (KAGUM LITERAT) dalam buku Asa Terurai Karya Tertuai dan Dari Pinggiran Menjadi Pusaran yang diterbitkan oleh KAGUM PUBLISHER, genre penulisan Bu Suzi tidak hanya di sekitar nonfiksi, Masih Ada Matahari Terbit yang diterbitkan oleh D3 MQail adalah antologi puisi pertamanya bersama 45 Wanita Penulis Puisi Indonesia, dan rasa cintanya untuk Bogor Bu Suzi dedikasikan melalui antologi Senandung Rindu Bogorku, Bogormu, Bogor Kita, bersama Komunitas Pegiat Literasi Bogor. Selain menulis Buku, Bu Suzi menulis juga di web gurusiana.id.

Minggu, 22 April 2018

Saat Ayah Meninggal Dunia

Saya bertemu dengannya beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saat pagi hari lebih menyerupai malam hari. Saat gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Saat kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka. Saat rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan. Kehidupan mendadak lebih menyerupai kematian. Seperti ada yang merenggut paksa lain mcnghempaskan saya ke lubang yang lebih kelam daripada kelir malam. Dan induk dari segala sunyi menyambangi.

Saat itu tamu-tamu, baik saudara maupun kerabat dekat ayah sudah mulai berdatangan. Teman-teman saya pun datang dan itu membuat saya heran. Dari mana mereka mendapat kabar? Saya sama sekali belum sempat memberi kabar. Dan peristiwa itu terjadi saat saya masih berumur sebelas tahun, sekitar tahun delapan puluhan. Tidak seperti zaman sekarang di mana kita bisa tahu segala hal mulai dari pensil alis merek apa yang seseorang kenakan hari ini, makanan apa yang mereka konsumsi malam tadi, dan segala hal remeh-temeh lewat sosial media, zaman itu telepon genggam pun kami tak punya. Satu-satuya alat komunikasi di rumah kami hanyalah telepon warna jingga yang tak henti-hentinya berdering tanpa bisa saya mute atau reject, kecuali dengan cara mengangkat gagang telepon lalu menutup kembali atau dengan cara mencabut kabelnya. Tapi otak saya tengah enggan berpikir.

Saat Ayah Meninggal Dunia ilustrasi Yuswantoro Adi/Kompas

Keheranan saya begitu saja menguap di antara lantunan para tamu yang tengah berdzikir. Ucapan belasungkawa yang tak berhenti mengalir. Sedu-sedan. Pertanyaan-pertanyaan. Yang semua terdengar bagai suara ledakan kembang api yang selalu saya benci. Melengking dengan notasi tinggi sebelum menggelegar, bergetar di langit hitam yang mendadak warna-warni. Saya selalu benci dengan keindahan sejenis itu. Keindahan yang congkak, pekak, begitu memaksa untuk diaku. Dan saya membenci semua suara yang saya dengar saat itu. Selain satu suara, dari mulutnya yang tak sekali pun berkata-kata.

Ia datang bersama teman sekelas saya yang langsung menubruk, memeluk, dan menangis lebih keras daripada saya. Di belakang punggungnya bisa saya lihat antrean orang-orang yang menunggu giliran dengan tangis yang tak kalah kerasnya. Wajah-wajah yang saya kenal. Wajah-wajah yang tidak saya kenal. Wajah-wajah yang berusaha keras untuk menunjukkan simpati dengan akting sekelas pemain sinetron. Jika tidak bisa menangis, paling tidak mengernyit sedikit dengan mulut mengerut seperti ikatan balon. Seolah tahu diri, ia yang datang bersama teman saya langsung memisahkan diri. Ia hanya menganggukkan kepalanya kepada saya, lalu pergi. Hal itulah yang membuat saya menyadari.

Ada banyak cara untuk menunjukkan simpati. Dan antrean simpati memanjang yang mengingatkan saya dengan permainan “Ular Naga Panjangnya Bukan Kepalang” ini, bukanlah bentuk simpati yang saya butuhkan. Bahkan saya merasa tidak semua dari mereka yang datang karena memang benar-benar ingin memberi dukungan. Banyak dari mereka yang hanya ingin melihat dan dilihat. Mungkin juga supaya wajahnya ikut masuk siaran berita. Mengingat ayah saya adalah seorang pelukis ternama. Atau mereka hanya ingin menjadi salah satu saksi, atas gosip apa yang mungkin timbul setelah ini. Atau bisa jadi ada yang berharap mendapat warisan. Semasa ayah hidup, tidak jarang saya menyaksikan keluarga maupun kerabat datang meminta bantuan. Saya masih di bawah umur, maka masih harus berada di bawah perwalian. Sementara sejak orangtua saya bercerai, Ibu bak raib ditelan bumi. Ada yang bilang ia masih sendiri. Ada yang bilang ia menikah lagi. Saya tak peduli. Tapi saya berharap mereka peduli di situasi seperti ini. Jadi tidaklah berlebihan jika saya merasa mereka hanya pura-pura menaruh simpati. Sebab jika memang mereka benar bersimpati, mengapa mereka tidak peduli dengan apa yang saya butuhkan? Mengapa mereka lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan? Saya hanya butuh sendiri. Terlebih saya tak butuh pertanyaan-pertanyaan seperti:

“Mama udah datang, Sayang?”

“Mama udah dikabari kan?”

“Mama kok belum keliatan?”

“Mama kamu di mana?”

“Mama?”

“Mana?”

“MAMA?”

“MANA?”

“DIAAAAAAAAM! BUBAR SEMUA KALIAN!”

“Teman sekelas saya terjungkal dari pelukan. Entah karena ia sendiri yang melepaskan. Atau saya yang tidak dengan sengaja melontarkan. Suasana mendadak hening. Yang terdengar hanya suara putaran kipas angin. Wuuus… wuuus… wuuus… wuuus… Seolah mewakili dengus napas para tamu di dalam ruangan. Kini mereka benar-benar memerhatikan. Kini mereka benar-benar mendengarkan. Semua mata menatap ke satu tujuan. Mata-mata itu bagai lampu suar yang menyorot ke satu obyek. Lagi-lagi tidak untuk memelajari. Tapi… Menghakimi. Menelanjangi. Tanpa ampun. Sedikit pun.

Saya tidak pernah tahu jika yang lebih menyakitkan bukan menghadapi kematian melainkan menghadapi kehidupan. Kenyataan menjadi begitu sulit untuk diterima nalar. Dan seketika dunia saya jungkir balik. Pagi hari lebih menyerupai malam hari. Gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka. Rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan. Dan para tamu itu, lebih menyerupai hantu. Baik hantu masa depan maupun masa lalu.

Saya pun pergi meninggalkan ruangan dan masuk ke kamar. Menjauh dari para hantu yang sedang menyamar. Dari dalam kamar bisa saya dengar suara Wuuus… wuuus… wuuus… wuuus… kipas angin seketika dirubung suara Bzzz… bzzz… bzzz… bzzz… menyerupai lebah. Tangis saya pun pecah.

Entah berapa lama saya menangis sambil memejamkan mata. Yang saya tahu ketika membuka mata, ia sudah berada di sana. Duduk di atas kursi meja belajar saya. Tak berkata-kata. Tapi bisa saya rasakan ada ketulusan di matanya. Ketulusan dari seseorang yang baru saya kenal beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saya balik menatapnya. Dan kami terlibat perbincangan panjang tanpa kata-kata. Saya menikmati caranya menyentuh saya tanpa menggunakan tangannya. Raga dan jiwa saya bergetar saat ia mengecup saya tanpa menggunakan bibirnya. Dan tanpa sadar saya menjawab semua pertanyaan yang tak ia utarakan.

“Mama saya ada di sini. Ia tak pernah pergi. Setiap hari ia bangun paling pagi. Membangunkan kami yang sedang asyik bermimpi. Dalam mimpi kami. Mama sudah pergi. Mengapa saya katakan kami? Sebab saya bisa melihat kebingungan yang sama di wajah ayah saya setiap kami bangun tidur. Pintu di sebelahmu itu, pintu yang menyambung ke kamar ayah saya. Setiap kali ayah bangun, yang pertama kali ia lakukan adalah membuka pintu itu untuk membangunkan saya. Tapi setiap ia membuka pintu, saya sudah terbangun juga. Saya terbangun karena dibangunkan oleh Mama. Saya heran, mimpi saya begitu nyata. Mama sudah tidak ada. Tapi kenapa bisa ia membangunkan saya? Dan keheranan yang tersirat di wajah ayah saya, sudah cukup membuat saya yakin jika ia mengalami hal yang serupa. Bahwa kami sama-sama bermimpi. Mama sudah pergi. Tapi setiap hari. Mama bangun paling pagi dan membangunkan kami. Ajaib, bukan?”

Ia berjalan menuju pintu tanpa menggunakan kakinya. Lalu membuka pintu tanpa menggunakan tangannya. Saya ikut berjalan ke sisinya. Kamar ayah saya terlihat rapi. Terlihat sunyi. Ada sebuah tempat tidur jati, dengan kelambu putih yang terikat di empat sisi. Sepasang lemari yang juga terbuat dari jati, berdiri di kanan kiri. Sepasang patung pengantin jawa, duduk dengan anggunnya di atas tikar yang terhampar di depan kaki tempat tidur. Selebihnya, tumpukan kanvas-kanvas kosong dan yang sudah disapu kuas ada yang bertumpuk, ada yang berjajar bersandar di dinding yang catnya mulai luntur. Ada dua pintu lagi di dalam kamar ayah. Salah satunya pintu keluar kamar di mana saya dan ia bisa mendengar suara. Bzzz… bzzz… bzzz… bzzz… menyerupai lebah yang belum juga berhenti. Dan satunya lagi pintu menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuat dari partisi Jepang yang biasa disebut shoji. Berupa rangka kayu berlapis kertas transparan. Sehingga jika lampu sedang dinyalakan oleh seseorang dari dalam, kita bisa melihat bayangan.

“Ada Mama di dalam.”

Bayangan berkelebat dari dalam. Membuat saya ingin segera keluar kembali ke kamar. Ia berjalan mengikuti saya dari belakang tanpa menggunakan kakinya. Dan menutup pintu kembali tanpa menggunakan tangannya.

“Setiap kami berangkat tidur. Mama selalu menyelimuti kami. Karena itu saya tahu, Mama tidak hanya bangun paling pagi, melainkan juga tidur paling malam. Tapi Mama selalu pergi dalam mimpi kami. Saya tidak tahu dengan cara apa Mama pergi. Tidak ada adegan melambaikan tangan. Tidak ada adegan cium perpisahan. Tidak ada adegan berjalan keluar pintu. Tidak ada adegan apa pun kecuali Mama tidak ada.”

Kami kembali bertatapan. Cukup panjang, amat panjang sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya kepada saya, lalu pergi. Untuk yang kedua kali.

“Mama mana?”

Teman sekelas saya bertanya pelan. Tapi cukup keras terdengar di pendengaran. Dan cukup jelas untuk membuyarkan lamunan. Di belakang punggungnya bisa saya lihat antrean orang-orang semakin menyerupai permainan, “Ular Naga Panjangnya Bukan Kepalang.”



Catatan:

Permainan Ular Naga: Dimainkan berkelompok. Dua anak menjadi gerbang, berpegangan tangan ke atas, sedangkan anak-anak lainnya saling memegang bahu temannya sehingga mirip ular yang panjang berjalan mengitari gerbang.

Ular Naga Panjangnya— Ciptaan: Ibu Sud.

Cerpen Djenar Maesa Ayu (Kompas, 15 April 2018)
Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri. Banyu Bening dan Bidari Maharani. Eyang putri dari Embun Kinnara ini lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, dan 5AM. Djenar juga menerbitkan sebuah novel berjudul Nayla.

Yuswantoro Adi, perupa tinggal di Yogyakarta, lahir di Semarang, 11 November 1966. Selain melukis juga aktif mengajar dan memberikan workshop senirupa, terutama untuk anak-anak se-Indonesia. Meraih penghargaan Grand Prize Winner Philip Morris Asean Art Award 1997 di Manila, Filipina.

Selamanya Cinta

(Bagian I)

Hanya lampu temaram yang menerangi saat itu. Aku masih duduk terdiam di muka teras sambil mengumpulkan cerita yang siang tadi bergulir begitu cepat, tapi masih saja menyita dimensi ruang waktu hingga aku tenggelam dalam lamunan.

“Teteh!” panggil adik bungsuku.

“Ni hape teteh bunyi.” Panggilan tak terjawab muncul di ponselku.

“Siapa sih Teh, malam-malam gini telepon?” Tanya adikku dengan rasa penasaran, matanya yang belo dihiasi bulu mata jentik menyorot tajam ke arahku.

“Oh, itu teman kantor Teteh.”

“Ikhwan apa akhwat? Kan ini sudah jam sembilan lebih?” Rentetan pertanyaan adikku seperti memberondong kawanan penjahat saja, pikirku.

Ya,… Anda memang penjahat Mas Faisal, mencuri dan mencari perhatianku. Aku manusia biasa, yang bisa menilaimu sama dengan kaum hawa di manapun. Kamu laki-laki yang cerdas, saleh, disegani banyak teman, dan terkenal dengan gaya bicaramu. Ya Allah, bagaimana aku harus bersikap jika harus bertemu dengannya setiap hari. Mana mungkin aku harus memasang muka masam atau jaim untuk mengekspresikan rasa tidak suka ini. Bukan benci, tapi dengan kau memberikan perhatian lebih padaku, aku jadi tidak nyaman. Bergulir lamunanku, berceloteh rasa dalam hatiku.

Detak jam dinding menjadi ilustrasi musik detak jantungku malam itu. Ingin segera kurebahkan diri untuk rehat, tapi mataku tak terpejam juga. Berkali-kali aku berwudhu, membasuh hati mendinginkan rasa. Perlahan, mataku merajut malam, menjemput embun pagi esok hari.

Kumandang azan Subuh, kulipat selimut hangatku. Alhamdulillah ya Rabb, kumasuki pagi-Mu dengan penuh syukur kepada-Mu. Triiit bunyi ponselku. Muncul tulisan di layar Whatsappku.

“Assalamualaikum Ustazah Zahra, selamat pagi dan selamat beraktivitas”. Tanpa pikir panjang, kubalas pesan Whatsapp itu dengan emotikon jempol. Selang lima menit usai berpakaian dan berkemas, terdengar klakson mobil Arina yang tak asing lagi di pendengaranku.

“Assalamualaikum, Ra. Aku tunggu ya, pagi ini kita jalan bareng dan kita sarapan bareng.”

Aku hanya menjawab singkat, “Ya, tunggu sebentar.”

Arina sahabatku istri dari Mas Faisal, lelaki yang sering mencuri dan mencari perhatianku serta melelehkan imanku. Ya Allah, semoga selalu terjaga. Aku dan Arina bersahabat sejak kecil, kami bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Bahkan, di perguruan tinggi pun kami mengambil jurusan yang sama pula. Teman-teman semua sudah mengenali kami, di mana ada Arina di situ ada Zahra.

Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita/Republika

Awal pertemuan dengan Mas Faisal pun Arina selalu bercerita kepadaku. Hingga mereka menikah dan kini kurang lebih lima belas tahun usia pernikahannya. Namun, selama usia pernikahan itu Arina sahabatku tidak juga menampakkan kehamilan. Padahal, aku melihat dari raut mereka betapa mereka rindu malaikat kecil yang menghangatkan rumah mereka.

Hingga suatu saat Arina pernah bercerita kepadaku tentang kondisinya, Arina tidak bisa lagi memberikan anak untuk Mas Faisal karena ada kelainan dalam rahimnya. Akan tetapi, Arina pun tidak bisa menutupi kegundahan Mas Faisal yang merindukan momongan.

Hingga pada suatu saat Arina pernah menangis dan menghambur dalam pangkuanku bahwa baru saja Faisal menelepon seorang wanita dan berbicara mesra sekali. Aku terhenyak, darahku mendesir hangat. Jangan-jangan Arina tahu bahwa Mas Faisal sering meneleponku atau mengirimkan pesan singkat kepadaku melalui Whatsapp. Dia menangis histeris dan mengulang kata-katanya.

“Aku tidak ridha Zahra, kalau Mas Faisal menikah lagi.” Kata-kata itu yang selalu kuingat manakala Mas Faisal menggodaku.

“Ra, pulang ngantor mau ke mana?” Tanya Arina di sela-sela merapihkan berkas-berkas kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul 16.45 saat itu.

“Ya, langsung pulanglah. Si bungsu dan Mamah menungguku untuk makan malam bersama,” jawabku.

“Ra, maaf ya, jangan marah nih kalo aku tanya,” sambung Arina.

“Mau tanya apa?” Jawabku tanpa melirik.

“Kangen ga, Ra, dinanti suami atau anak di rumah? Kalau kangen ayo segera cari pasangan, berani eggga pacaran. Harus berani dong, jodoh itu harus dicari, itu bagian dari ikhtiar loh.” Ulas Arina sambil mengaitkan tas pada pundaknya. Aku hanya tersenyum, menyimak ulasan Arina tentang kesendirianku.

“Ya sudah, nanti aku kasih info ke kamu via Whatsapp saja ya, Ra?” Tegas Arina sambil mencium kedua pipiku tanda pamitan “Oke, aku tunggu ya,” jawabku.

Ahad yang cerah mentari bersinar cerah dengan memantulkan pijarnya masuk ke jendela kamarku. Perlahan kuputar nasyid indah kesukaanku dari grup nasyid Edcoustik yang berjudul “Jalan Masih Panjang”. Triit, bunyi ponsel menghela ke asyikanku saat itu.

“Assalammualaikum Ra, aku mohon doa darimu, jam dua pagi tadi aku terbang ke Singapura, kelainan di rahimku harus segera diangkat karena jika di diamkan akan menjalar ke yang lainnya,jika operasi berjalan lancar aku akan mengahabiskan waktuku di Singapura. Aku akan tinggal bersebelahan dengan apartemen Omku, dan Mas Faisal berjanji akan mengadopsi anak dari Indonesia. Sementara Mas Faisal akan bertugas dulu di Riau selama dua tahun ini. Sekali lagi mohon doanya ya, Ra.” Getir dan perih menyelinap di hatiku, teryata Allah membeikan ujian pada manusia dari sisi mana saja.

Dua bulan berlalu, aku tak lagi bertemu Arina di kantorku. Sementara, Mas Faisal yang semula Izin ke Arina untuk bertugas di Riau semakin intens menemuiku. Benteng pertahanan hatiku jebol juga. Hingga pada suatu malam pada malam Ahad Mas Faisal menemui Mamah dan menuturkan keinginannya untuk menjadikan aku istri kedua setelah Arina. Mamah seorang Muslimah yang taat syariat baginya di lamar menjadi pertama atau kedua tidaklah masalah, apalagi usiaku yang sedang merangkak tua, tiga tahun lagi usiaku genap empat puluh tahun. Maafkan aku Arina, bukan aku mendustaimu. Mas Faisal mengutarakan ini untuk menjaga dirinya dari zina, Mas Faisal mengutarakan seluruh kegundahannya selama ini, Mas Faisal merindukan manisnya kehidupan berumah tangga dengan pelayanan terbaik, kesehatan yang baik dan hadirnya seorang anak. Mas Faisal manusia biasa begitu juga aku. Bismillah. Aku menerima lamaran Mas Faisal.

Akad pernikahan yang indah dan penuh kebahagian meskipun dalam suasana yang sederhana. Terima kasih Mas, semoga aku bisa menjagamu dari sikap flamboyanmu, dan dari lirikan wanita-wanita nakal. Semoga dengan aku di sampingmu, engkau menjadi lelaki terbaik dan imam terbaik yang akan menarik kami ke surganya Allah.

Waktu berlalu begitu cepat, hinga detik kehidupan berdenyut dalam rahimku.

“Mas, aku hamil,” begitu teriakanku, memanggil Mas Faisal yang sedang berkemas. Mas Faisal akan bertolak ke Singapura mengunjungi Arina. Haru bahagia menyelimuti kami di pagi itu, Mas Faisal memeluk erat dan merangkul Mamah serta adik bungsuku.

Sukacita kami tak terbayangkan dengan kata-kata saat itu. Tiba saatnya Mas Faisal pamitan padaku.

“Jaga diri baik-baik Umi, Abi akan mengunjungi umi tiga bulan berikutnya, mohon ridhanya. Dan mohon doakan Arina agar segera pulih.” Begitu pinta dan izin pertama kalinya Mas Faisal kepadaku. Perih menyayat hatiku, tapi aku segera beristighfar, ini garis tangan yang Allah berikan untukku.

“Pergilah, Mas. Fii amanilah. Aku akan se lalu merindukanmu, dan doaku ada dalam setiap langkah kakimu.” Kucium tangan hangatnya, dan Mas Faisal memeluk dan mencium keningku. Yaa Rabb semoga ini bukan pelukan dan ciuman terakhirnya untukku.

Aku dalam penantian panjang, kandunganku terus membesar, jagoan Mas Faisal semakin hari semakin mendesak ingin keluar, sementara aku ingin persalinanku ditemani Mas Faisal. Namun, kenyataan berkata lain, aku melahirkan bayi laki-laki yang tampan tanpa Mas Faisal di sam pingku. Hingga waktu berlalu, ratusan Whatshapp ter-pending tanpa ceklis ataupun warna biru. Begitu pun dengan panggilanku. Ada apa dengan Mas Faisal semoga baik-baik saja. “De, kita berdoa untuk Abi yuk, semoga Allah selalu menjaga Abi di mana pun Abi berada.” Aku tak peduli Mas Faisal membaca emailku atau tidak, kutuliskan perkembangan hari demi hari jagoan kecil kami yang kuberinama Hibban Faisal Akmal. Kukirimkan foto dan video Hibban hari demi hari, sampai aku lelah untuk mengirimkannya.

Cerpen Suzi (Republika, 15 April 2018)
Bu Suzi, begitu ibu dari empat putra-putri ini disapa. Ibu yang memiliki nama lengkap Susilowati ini lahir di Banten, 6 Oktober 1973. Tak sengaja menjadi guru, begitu ungkapnya. Mengawali karir sebagai penyiar radio swasta di Bogor dan public relations di salah satu lembaga penyiaran swasta pada tahun 1993-1998. Karir gurunya dirintis pada tahun 1999, merasa tidak memiliki ilmu keguruan Bu Suzi menimba ilmu pendidikan Islam di STIAI Gunung Puyuh Sukabumi. Lalu mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT Rohmatul Ummah kini TAAM Rohmatul Ummah. Tahun 2008-2012 Bu Suzi menimba ilmu kependidikan di Universitas Terbuka. Belajar sepanjang hayat itu adalah moto hidupnya. Di mana pun dan dengan siapa pun selalu ada ilmu yang didapatkannya. Selain aktif di berbagai komunitas pemberdayaan perempuan, ibu dengan empat anak ini pernah menjadi Dosen di STAI Al Hidayah Bogor dan kini Bu Suzi merupakan salah satu staf pengajar di PONDOK PESANTREN AL-MINHAJ SHAHABAH.

Pengalaman menulis buku Bu Suzi peroleh pada 2008 dengan menulis buku Aritmatika Sempoa untuk Sekolah Dasar Kelas 1-6 yang diterbitkan oleh Insantama Pers. Pengalaman menulis artikel diperoleh Bu Suzi bersama Komunitas Guru Menulis dan Membaca (KAGUM LITERAT) dalam buku Asa Terurai Karya Tertuai dan Dari Pinggiran Menjadi Pusaran yang diterbitkan oleh KAGUM PUBLISHER, genre penulisan Bu Suzi tidak hanya di sekitar nonfiksi, Masih Ada Matahari Terbit yang diterbitkan oleh D3 MQail adalah antologi puisi pertamanya bersama 45 Wanita Penulis Puisi Indonesia, dan rasa cintanya untuk Bogor Bu Suzi dedikasikan melalui antologi Senandung Rindu Bogorku, Bogormu, Bogor Kita, bersama Komunitas Pegiat Literasi Bogor. Selain menulis Buku, Bu Suzi menulis juga di web gurusiana.id.

Kamis, 05 April 2018

Hari Libur Kebinasaan

SEPULUH tahun lalu Herolena yang beberapa kali disalahpahami sebagai keturunan para nabi, mengharapkan Tuhan menurunkan firman-firman baru tentang kematian. “Tidak adil Tuhan terus-menerus tidak memberi pekerjaan kepada malaikat pencabut nyawa. Tidak adil setiap saat kita menghadapi hari libur kebinasaan. Orang-orang Ranarene makin lama kian takut pada kehidupan. Mereka ingin merasakan kematian yang indah juga,” ujar Herolena kepada diri sendiri.

Saat itu ketika berjalan-jalan di perdesaan penuh rumah-rumah bertaman luas, ia melihat beberapa perempuan tua menggantung diri di pohon-pohon berdaun biru, tetapi tak ada seorang pun yang mati. Beberapa lelaki menusukkan pedang ke perut, tak seorang pun yang menjemput ajal. Kali lain dia melihat puluhan anak terjun bebas dari pohon tertinggi, tetapi mereka justru tertawa riang begitu kepala-kepala mungil itu menghujam ke tanah penuh batu-batu dan koral.

Setahun kemudian ada rombongan pedagang dari luar kota meminta izin Herolena, yang pada waktu itu dipercaya jadi Kepala Desa Ranarene, untuk tinggal di lapangan terluas di perdesaan. Mereka mendirikan tenda-tenda warna-warni.

Warga Ranarene tidak begitu tahu apa yang dilakukan para pedagang. Ketika melewati lapangan, pada saat-saat tertentu-paling tidak tujuh kali sehari-mereka hanya mendengar ada yang berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu para pengembara itu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan mengakhiri tindakan itu dengan menangis bersama.

Mereka baru tahu ada yang bernama Krosakbabikri ketika lelaki bercula lembut dan berjubah merah muda itu menawarkan aneka benda yang bakal menjadikan Ranarene sebagai perdesaan beradab. Menjadi tamu terhormat Herolena, Krosakbabikri memperkenalkan radio.

Cerpen Triyanto Triwikromo Koran Tempo ilustrasi Imam Yunni
Hari Libur Kebinasaan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo

Tentu saja Herolena takjub mendengarkan aneka suara berupa bisikan lembut, percakapan sengau, teriakan-teriakan tak jelas, nyanyian-nyanyian keras, dan doa-doa serupa racauan yang terdengar dari kotak ajaib itu.

“Kau bisa mendengarkan apa pun yang berasal dari kawasan yang jauh dari benda yang ditemukan oleh para cendekiawan terkemuka ini,” kata Krosakbabikri.

“Apakah kami bisa mendengarkan suara Tuhan?”

“Kau bahkan bisa mendengarkan suara iblis.”

“Suara hewan-hewan di langit?”

“Tentu,” kata Krosakbabikri sambil memutar-mutar tombol, “Kau juga bisa mendengarkan suara orang-orang yang sedang menggali emas di dasar bumi.”

“Berapa harga benda ini?” tanya Herolena.

“Kau hanya perlu menukar radio ini dengan sebidang tanah dan beberapa pohon yang bisa kami gunakan untuk membangun rumah.”

Herolena menyetujui permintaan Krosakbabikri.

Beberapa hari kemudian, Krosakbabikri menawarkan topeng berbahan kulit tipis yang jika dikenakan akan membuat sang pemakai memiliki wajah yang berbeda. Pada saat sama Krosakbabikri juga menawarkan cermin seukuran wajah manusia.

“Semua benda yang kujual akan membawamu ke dunia lain. Apakah kau siap hidup dengan banyak kejutan?”

“Jangan memberiku kemustahilan,” kata Herolena.

“Justru hal-hal yang dianggap mustahil yang selalu akan kutawarkan kepadamu.”

“Kau akan memberi tahu bagaimana aku melihat segala apa pun yang akan dilakukan Tuhan?”

“Pada saatnya nanti kau akan tahu apa pun yang disembunyikan oleh pengetahuan. Kau akan tahu berapa jumlah malaikat dan apa pun yang mereka sembunyikan selama ini. Kau akan tahu berapa jumlah nabi dan apa yang tak boleh mereka lakukan di dunia.”

Herolena tampak masih hendak mendebat, tetapi Krosakbabikri lebih cepat meminta kepala desa itu segera mengenakan topeng dan menggunakan cermin. Herolena lalu memilih salah satu topeng. Dia memilih topeng pria berwajah garang. Dia kemudian bercermin.

“Ya, Tuhan!” Herolena melepaskan cermin, “Siapa dia?”

Krosakbabikri tak segera menjawab pertanyaan, tetapi lebih berjuang menyelamatkan cermin yang jatuh. Hup! Cermin itu terselamatkan.

“Siapa dia?” tanya Herolena.

“Itu kamu juga.”

“Dia lebih garang dari semua lelaki Ranarene.”

“Ya, tetapi dia bukan orang lain,” kata Krosakbabikri, “Tetapi sudahlah kau jangan terlalu kagum pada ilmu pengetahuan yang kuperkenalkan kepadamu. Pada akhirnya nanti semua hal menjadi biasa setelah kau ketahui rahasia-rahasianya. Yang penting sekarang, kau mau membeli topeng dan cermin atau tidak?”

“Berapa harganya?”

“Kau hanya perlu memberiku beberapa bukit dan sebatang sungai.”

Herolena tidak keberatan. Herolena akan keberatan jika para pedagang, meminta segala satwa di langit dan di sungai-sungai. Karena itu dia bilang kepada Krosakbabikri, “Kau boleh minta bukit, tetapi jangan kauminta kupu-kupu, burung-burung, segala satwa melata, dan hewan apa pun yang berkeliaran dan terbang di kawasan itu. Kau boleh minta sungai, tetapi jangan kau minta kepiting, ikan-ikan, belut atau apa pun hewan yang berada di tempat itu. Apakah kau setuju?”

Krosakbabikri mengangguk. Radio, cermin, dan topeng pun berpindah tangan.

***
SUDAH sebulan Herolena asyik masyuk dengan radio. Meskipun ada siaran tentang presiden-presiden dari negeri-negeri jauh yang tumbang akibat kudeta, ia tetap hanya terpaku pada siaran tentang danau-danau yang bisa menyedot orang-orang yang merindukan kematian cepat.

“Tempat mati yang indah ini bernama Danau Megattutek,” kata sang penyiar, “Berbondong-bondonglah menyongsong kematian dengan cara berdiri satu kilometer dari tepi danau. Tunggulah badai datang. Biarkan tubuhmu diterbangkan oleh badai itu hingga ke atas danau.”

“Setelah itu?” Herolena bertanya dalam hati.

Radio tidak menjawab. Tak lama kemudian muncul bunyi krusak-krusek. Herolena memutar tombol untuk mendapatkan sinyal. Hanya sebentar suara radio menjadi jernih kembali.

“Akan tetapi kehendak untuk mati itu racun,” kata penyiar itu, “Siapa pun sebaiknya mati secara wajar. Tidak perlu diburu-buru. Tidak perlu dinanti-nanti.”

“Enak saja bicara seperti itu,” Herolena membatin, “Kami sudah bertahun-tahun menunggu kematian tetapi Tuhan tak pernah berkenan memberikan kematian kepada kami. Tuhan mungkin sudah lupa pernah menciptakan kami. Atau Tuhan hanya memberikan kehidupan tetapi sama sekali tak memberikan kematian kepada kami. Kami takut menjadi abadi.”

Tentu saja penyiar tidak mendengarkan keluhan Herolena. Penyiar yang sepanjang waktu tidak pernah mendengarkan apa pun yang dikeluhkan oleh para pendengar itu dengan santai bilang, “Agama yang baik selalu menyediakan cara-cara menjemput kematian yang indah. Agama yang buruk selalu menganggap kematian hanyalah omong kosong.”

“Omong kosong?” Herolena membatin lagi, “Agama kami tak pernah menganggap kematian sebagai omong kosong. Kematian bagi agama kami ibarat zat asam. Ia ada meskipun kami tidak pernah melihat warga Ranarene menjemput ajal.”

“Tetapi,” kata penyiar, “Telah muncul agama baru yang disyiarkan oleh nabi baru. Agama ini khusus untuk para pemuja kematian. Siapa pun yang ingin segera mati segeralah memeluk agama yang ritualnya selalu dimulai dari berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan diakhiri dengan menangis bersama itu.”

Kali ini Herolena agak terkejut. Dia merasa telah mengenal agama itu. “Jangan-jangan ini agama yang dianut oleh Krosakbabikri. Jangan-jangan Krosakbabikri bukan sekadar pedagang. Jangan-jangan Krosakbabikri adalah nabi baru yang disebut-sebut oleh penyiar itu?” Herolena tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia yakin setelah bertemu dengan Krosakbabikri akan bisa menjawab pertanyaan itu.
***
SAYANG sekali justru ketika sangat dibutuhkan, Krosakbabikri tidak berada di Ranarene. Kata para pedagang lain, Krosakbabikri sedang berada di kota lain.

“Dia bersama para pedagang pengembara sedang menjemput para penemu Kitab Halali di Gua Raelling dekat Sungai Copottati.”

“Kitab Halali?” tanya Herolena sambil mengenang nama kitab yang dia dengar lima tahun lalu.

“Ya. Itu kitab untuk orang-orang yang ingin meninggalkan agama lama. Itu kitab baru yang selama 1.300 tahun menghilang dan dihalang-halangi untuk dibaca oleh siapa pun.”

“Apa keistimewaan kitab itu? Melebihi kitab berisi kisah-kisah para rasul? Berisi kisah-kisah pewahyuan?” tanya Herolena mencoba memancing pengetahuan sang pedagang agar segera menguar.

“Kitab itu mengajari siapa pun untuk mendapatkan cara mati yang indah.”

“Siapa nama nabi paling agung di kitab itu?”

“Aku belum paham benar siapa nabi atau Tuhan di kitab itu. Yang jelas, Krosakbabikri akan menjual kitab itu kepadamu.”

“Apakah Kitab Halali berbeda dari kitab-kitab lama?”

“Tidak terlalu berbeda. Namun ada rahasia-rahasia lain yang jika dibaca 1.300 tahun lalu akan membuat siapa pun tidak percaya pada Tuhan masa kini atau meledek nabi-nabi yang telah memberikan teladan-teladan indah.”

“Apa rahasia-rahasia lain itu?”

“Itu yang belum kubaca. Aku hanya mendengar dari Krosakbabikri semua agama yang kita anut hari ini salah. Diperlukan kitab baru agar orang benar-benar mendapatkan surga yang benar-benar surga.”

“Memang ada surga palsu?”

“Semua surga yang dipercayai orang-orang masa kini palsu.”

“Siapa yang bilang?”

“Krosakbabikri.”

“Dari mana Krosakbabikri tahu semua surga yang dipercayai oleh orang-orang masa kini palsu?”

“Dari Kitab Halali.”

Herolena tidak percaya pada jawaban semacam itu. Pengetahuan Herolena tentang Kitab Halali berbeda. Kata para pedagang barang antik, kitab itu sebenarnya lebih ingin menyatakan, dunia tidak diciptakan oleh satu tuhan. Karena tidak diciptakan oleh satu tuhan, tuhan lain bisa menjadikan kehidupan tanpa kematian atau kehidupan sehari dua-hari. Para tuhan juga tidak menciptakan satu surga dan satu neraka. Malah ada juga yang tidak menciptakan surga dan neraka. Adapun nabi utama kitab itu bernama Poo, saudara kembar Kain yang tidak pernah diceritakan di kitab-kitab lama.

Kitab Halali ditulis oleh Bahib Hozameh. Baib Hozameh adalah pria setinggi 2,9 meter yang mengaku mendapatkan wahyu rahasia dari Nabi Poo. Apa ajaran utama Nabi Poo? Ada 13. Pertama, semua manusia diciptakan oleh tuhan yang suka berperang. Tuhan yang meminta para umat bertikai sepanjang masa. Kedua, malaikat diciptakan dari kotoran kuda. Karena itulah derajat para malaikat tak pernah bisa setinggi manusia. Ketiga, musuh utama manusia bukan iblis. Manusia adalah raja-raja yang bertakhta di kerajaan iblis. Keempat, minta mati secepat mungkin kepada tuhan dan nabi adalah kebajikan tertinggi. Hidup sehari-dua hari merupakan tindakan suci. Kelima, Tuhan tak menghendaki manusia berkorban terus-menerus. Keenam, puncak pengkhianatan manusia terjadi jika mereka hanya percaya pada satu tuhan. Ketujuh, berdaganglah dengan orang-orang bodoh. Kedelapan, pilihlah pemimpin yang berani menista agama lama. Kesembilan, jika ingin mati cepat, matilah di bawah pohon pisang. Ke-10, teriakkan nama tuhan dan nabi keras-keras saat berperang. Ke-11, jangan bergurau ketika bercinta. Ke-12, membunuhlah sesuka hati jika agamamu dilecehkan. Ke-13, bakarlah kitabmu jika kau merasa tidak perlu beragama dan bertuhan lagi.

Selesai menulis Kitab Halali, Bahib Hozameh melarikan diri ke Negeri Gurun Muruah. Dia hendak dibunuh oleh para serdadu Kacrut Bokaah. Setelah itu Kitab Halali hilang. Bahib Hozameh juga tidak pernah kembali ke Kacrut Bokaah. Dia juga tidak pernah ke Ranarene, bagian tak penting dari Kacrut Bokaah itu.

Apakah orang-orang Kacrut Bokaah pernah membaca Kitab Halali? Sebagian ada yang membaca. Orang-orang yang tinggal di Gua Raelling dekat Sungai Copottati pernah bertemu dengan Bahib Hozameh. Mereka juga pernah membaca Kitab Halali. Kini, Krosakbabikri sedang menjemput penemuan Kitab Halali dan akan menjual aneka kisah rahasia yang termaktub di buku itu kepada Herolena.

Ada juga Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Kitab itu ditulis oleh Raceetha dengan bahasa Hejo, bahasa kuno Kacrut Bokaah. Inti ajarannya: Pertama, tuhan hidup tetapi tidak pernah menciptakan apa pun. Apa pun yang berkait dengan dunia dikreasi oleh manusia. Kedua, kehancuran dunia tidak akibat tangan jahil tuhan melainkan oleh ulah manusia sendiri. Ketiga, manusia pada akhirnya hanya akan jadi budak dari apa pun yang diciptakan oleh manusia.

Yang mengejutkan pernah muncul Kitab Halali versi Huzum Ogreh. Huzum Ogreh menyatakan, “Semua tuhan telah mati. Semua agama telah hancur. Semua nabi hanyalah nonsens. Tuhan, agama, dan nabi bisa diciptakan siapa pun dan kapan pun.”

Hingga saat ini Herolena belum menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.
***
SEBELUM bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena membaca Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Herolena heran mengapa di kitab itu tertulis, “Tuhan bersabda pada Nabi Poo: Tinggalkan agama yang sekarang ini. Aku akan memberimu rahasia-rahasia untuk mati secara cepat. Kau juga tidak perlu lagi percaya kepada surga dan neraka.”
Karena itulah begitu bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena bertanya, “Apakah Kitab Halali berkisah tentang rahasia-rahasia untuk memperoleh kematian tercepat?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah Tuhan meniadakan dirinya sendiri di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah tak ada surga dan neraka di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah setiap orang bisa jadi nabi?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah kau akan menjual Kitab Halali versi Bahib Hozameh kepadaku?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Berapa harganya?”
“Kau tidak perlu membayar sedikitpun untuk kitab ini. Kau hanya perlu menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.”
“Menjadi penganut?”
“Ya, kau harus meninggalkan agama lama.”
“Kalau aku memberimu setengah Ranarene, apakah kau tetap akan memintaku menjadi penganut agama baru?”
“Kauberi satu desa pun, aku tak akan memberikan kitab itu kepadamu jika kau tidak menganut agama baru.”
“Apakah setelah membaca Kitab Halali dan menganut agama yang ditawarkan, orang-orang Ranarene akan bisa menjemput kematian dengan gampang?”
Krosakbabikri mengangguk.
Tak ada cara lain, demi kematian yang agung, Herolena menerima tawaran Krosakbabikri.
***
AKAN tetapi semua tindakan Herolena hanyalah taktik untuk mendapatkan pengetahuan tentang kematian. Meskipun demikian, Herolena tetap membaca prinsip-prinsip yang termaktub di dalam Kitab Halali. Menurut kitab itu para tuhan ada begitu saja di dunia. Para tuhan tak menciptakan apa pun karena alam semesta juga muncul begitu saja. Meskipun demikian, pada suatu masa, terjadi perang antar-tuhan. Banyak tuhan terbunuh dan muncul satu tuhan yang paling perkasa.

Tuhan yang paling perkasa itu kemudian bersabda kepada Nabi Poo. “Poo kau adalah juru selamat orang Yoalhude yang dikirim oleh Tuhan orang Yoalhude untuk menggenapi Kitab Halali. Kau dan umatmu dari belahan dunia mana pun harus beribadah sesuai yang dilakukan oleh orang Yoalhude. Tak patuh pada ayat-ayat di Kitab Halali akan membuat siapa pun tak bisa mendapatkan kematian yang indah.”

“Mengapa Tuhan orang-orang Yoalhude merupakan tuhan yang mengancam?” pikir Herolena.

Di Bab Horombale Pasal 1 Ayat 12 juga terdapat ancaman. “Aku (Poo, nabimu) tidak menyukai orang-orang yang lemah. Berperanglah demi agamamu. Berperanglah demi nabi dan tuhanmu.”

Herolena tak nyaman membaca ayat-ayat semacam itu. Karena itulah setelah mempelajari ayat-ayat yang berkait dengan cara cepat memperoleh kematian, dia punya gagasan menghilangkan pengaruh Kitab Halali. Pertama, dia tak akan mensyiarkan kitab itu di Ranarene. Kedua, dia akan membunuh Krosakbabikri. Dia tidak akan menusuk jantung Krosakbabikri tetapi hanya akan meracun lelaki bercula lembut itu dengan sorareh, yakni minuman keras khas Ranarene, sebanyak-banyaknya.
***
APAKAH Krosakbabikri bisa mati di Ranarene? Herolena yakin hari libur kebinasaan hanya berlaku untuk warga Ranarene. Karena itulah sebelum Krosakbabikri bertamu ke rumah, Herolena sudah mempersiapkan sorareh. Namun, di luar dugaan, Krosakbabikri datang ke rumah Herolena bersama 13 pedagang berobor yang kini lebih tampak sebagai serdadu itu.

“Aku tahu kau tak akan mensyiarkan Kitab Halali kepada warga Ranarene. Aku sejak dulu tahu kau lebih setia pada agama lama yang dianut oleh warga Ranarene. Tetapi ketahuilah, aku datang ke desa ini bukan untuk berdagang. Aku ke sini untuk menyebarkan agama baru. Aku akan membunuh siapa pun yang menghalangiku,” kata Krosakbabikri, “Aku sendirilah yang akan menyebarkan segala ayat yang termaktub di dalam Kitab Halali.”

Herolena kaget. Meskipun demikian, Herolena menantang Krosakbabikri. “Aku tak takut mati. Mati adalah kebajikan tertinggi warga Ranarene.”

“Kami akan membakarmu,” kata Krosakbabikri.

“Aku tak takut pada apimu. Aku tak takut pada apa pun yang akan kaulakukan kepadaku.”

Lalu, tak menunggu lama, tanpa disuruh oleh Krosakbabikri, sebagian pedagang memborgol tubuh Herolena di tiang dengan tali, sebagian lagi memukul kepala Herolena dengan linggis, sebagian lagi segera membakar kaki, tangan, dan seluruh tubuh Herolena.

Juga tidak perlu menunggu lama, Herolena mulai terbakar. Saat itu Herolena mulai tidak yakin apakah hari libur kebinasaan masih berlaku di Ranarene. Herolena hanya mendengar Krosakbabikri berteriak, “Bunuh tuhan lamamu! Bunuh Tuhan lamamu! Aku akan mengampunimu.”

Membunuh Tuhan? Herolena tidak yakin apakah dia bisa membunuh Tuhan. Meskipun demikian, Herolena masih punya hasrat. Mati atau tak mati, Herolena menentang apa pun yang akan dilakukan Krosakbabikri. Herolena sama sekali tidak takut meskipun dalam gemuruh 13 pedagang yang berteriak-teriak menyebut nama tuhan dan nabi mereka, api terus menjalar ke tubuhnya yang rapuh.

“Aku hanya takut pada keabadian, ya Tuhan. Aku hanya takut jika tak mati-mati sepanjang waktu yang Kauciptakan untukku.”
 Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 24-25 Maret 2018)
Triyanto Triwikromo adalah peraih Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa dan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia antara lain menulis kumpulan cerita 
Ular di Mangkuk Nabi dan Surga Sungsang.

Minggu, 01 April 2018

Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang

Ketika pertama kali aku melihatnya, aku sudah bertanya tanya dalam hati. Aku melihatnya dari jendela kereta api menjelang keberangkatanku dari stasiun S menuju kota J. Seorang gadis cilik beralis tebal berdiri sendirian di peron, memandangiku. Semula aku kira dia sedang mengantar dan ingin melambai seseorang lain, orangtuanya atau saudaranya atau siapa. Tapi kulihat matanya yang cemerlang tertuju langsung kepadaku dan hanya kepadaku. Saya membayangkan atau mengharapkan dia tersenyum. Bila tersenyum, pasti akan semakin indah bibir mungil itu. Tapi dia sama sekali tidak tersenyum. Hanya pandangannya saja yang tidak terlepas dari diriku. Aku sama sekali tidak bisa menafsirkan atau sekadar menerka ncrka kehadiran dan pandangannya. Wajah manis itu tidak mengekspresikan apa apa.

Sampai keretaku berangkat, wajah gadis kecil beralis tebal bermata cemerlang itu masih memandangiku. Anak siapa gerangan? Mengapa sendirian di stasiun? Bukan. Menilik pakaian dan sikapnya, dia pasti bukan gelandangan. Pakaiannya bersih, sikapnya mantap. Dan matanya itu, mata yang cemerlang itu, meski tidak memancarkan kegembiraan, tidak menyiratkan sedikit pun penderitaan atau sekadar kegelisahan seperti umumnya kebanyakan mata anak gelandangan.

Keretaku semakin melaju. Stasiun yang menyimpan misteri gadis kecil itu sudah lenyap dari pandangan. Tapi wajah gadis kecil itu tak kunjung hilang dari benakku. Dia terus mengikutiku. Sampai kondektur memeriksa karcis. Sampai kru KA menyuguhkan makan malam. Sampai aku makan. Sampai aku tertidur.

Tahu-tahu aku sudah sampai di stasiun kota J. Dengan taksi aku menuju rumah kenalanku yang menjanjikan akan mengenalkanku dengan adiknya yang katanya cantik seperti bintang film kesukaanku. Sopir taksi menanyakan seperti biasa. “Lewat mana?” Saya pikir ini kiat sopir taksi untuk mengetahui apakah penumpangnya ngerti jalan atau tidak. Kalau ketahuan tidak mengerti jalan, maka dia putar-putar seenaknya agar argonya bisa tinggi. Maka aku bilang, “Terserah abang sajalah!” Dan ternyata karena aku memang tidak mengerti jalan, aku pun tidak tahu apakah dia putar-putar atau tidak.

Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang ilustrasi Wayan Kun Adnyana/Kompas
Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang ilustrasi Wayan Kun Adnyana/Kompas


Rumah kenalanku, Sahlan, terletak di kampung yang padat Aku keluar masuk gang, tanya sana-sini, haru akhirnya ketemu. Rumahnya sederhana sekali seperti umumnya rumah-rumah yang lain.

Sahlan senang sekali melihat aku benar-benar datang memenuhi janjiku. Saking senangnya dia kelihatan seperti gugup. Sebentar-sebentar masuk lalu keluar lagi dan setiap keluar ada saja yang dibawanya: yang minuman, kue-kue, rokok. Terakhir dia bawa peralatan mandi. “Mandi dulu apa?” tanyanya kemudian dijawab sendiri. “Ya, sebaiknya kamu mandi dulu biar segar.” Aku nurut

“Kok sepi? Kau sendiri ya?!” tanyaku ketika dia mengantarku ke kamar mandinya.

“Ya, bapak dan ibu sedang mudik ke M. Aku sendirian dengan adikku, jaga rumah.”

Entah mengapa ada rasa lega ketika mendengar dia sendirian dengan adiknya. Tapi di mana dia gerangan? Mau bertanya agak malu juga, jadi aku diam saja.

“Ini kamarmu. Kalau ingin istirahat dulu, silakan lho!” katanya ramah, “Jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri!”

Di kamar mandi aku mendengar suara gadis sedang menyanyi lagu India. Ini pasti suara adiknya, pikirku. Merdu juga. Pasti orangnya cantik.

Habis mandi aku langsung masuk ke kamar yang disediakan, entah kamar siapa. Mungkin kamar orangtuanya. Kamar ini juga sederhana tapi bersih sekali. Aku ganti baju dan suara lagu India itu masih terus kudengar.

“Sarapan dulu, Mas!” tiba-tiba terdengar suara Sahlan dari luar kamar. “Oke!” jawabku dari dalam kamar.

Ketika aku keluar. Masya Allah, aku tertegun. Kulihat di depanku, seorang perempuan menatapku. Alisnya tebal, matanya cemerlang, dan senyumnya manis sekali; persis seperti yang dimiliki gadis kecil yang menatapku di stasiun S. Tak mungkin perempuan ini ibu dari gadis cilik itu. Terlalu muda sebagai ibu. Atau kakaknya? Tapi Sahlan pernah mengatakan dia hanya mempunyai seorang adik perempuan.

Perempuan itu memberi isyarat, mempersilakan ke meja makan sambil tersenyum manis sekali. Aku mengangguk dengan gugup. Sahlan sudah duduk di meja makan sambil membaca koran. Syukur dia tidak memperhatikan kehadiranku dan tidak melihat kegugupanku. Aku segera memperbaiki sikapku seolah-olah tidak ada apa-apa dan langsung menuju meja makan. Perempuan itu duduk di samping Sahlan. Aku pun mengambil tempat duduk di depan mereka. Merasa saya sudah bergabung, Sahlan buru-buru melipat korannya dan mempersilakan.

“O ya, kenalkan dulu, ini Shakila,” katanya sambil melirik perempuan bermata cemerlang di sampingnya, “Adikku. Adik ketemu gede, ha-ha. Istriku tercinta!” Deg. Ada sesuatu seperti memalu dadaku. Ternyata istrinya. Asem, kau Sahlan, batinku.

Perempuan itu mengulurkan tangannya. Dengan kikuk aku pun mengulurkan tanganku. Kami berjabatan tangan dan terasa ada getar yang kurasakan; entah bersumber dari tanganku atau tangannya yang lembut. Kembali berkelebat wajah gadis kecil di stasiun.

“Ayo, kita mulai! Nanti keburu dingin rawonnya!” Sahlan kembali mempersilakan. Tanpa berbicara sepatah pun, istrinya mengambilkan nasi untukku dan suaminya. Kami, maksudku aku dan Sahlan, makan sambil mengobrol. Istrinya sama sekali tidak ikut bicara. Hanya sesekali tersenyum; seperti ketika suaminya menceritakan asal-usul namanya yang seperti nama bintang film India itu. Bahkan ketika aku sengaja bertanya sesuatu kepadanya, Sahlan yang menjawab. Sekejap terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan istri Sahlan ini bisu. Ah, tidak, lha tadi yang kudengar menyanyi lagu India, kan, dia.

Sehabis makan, aku dan Sahlan masih meneruskan berbincang-bincang, tepatnya Sahlan yang bercerita dan aku hanya kadang-kadang membumbui pembicaraanya; sementara istrinya membereskan meja makan dengan diam. Untunglah Sahlan termasuk jenis manusia yang senang berbicara tanpa peduli didengarkan atau tidak; sehingga dia tidak menyadari kalau aku tidak begitu konsentrasi mendengarkannya. Konsentrasiku terpecah antara mendengarkan pembicaraannya dan memikirkan istrinya. Sejak melihat kemiripannya dengan gadis kecil di stasiun dan mendengar suaranya menyanyikan lagu India, aku mengharap dia itulah adiknya. Ternyata Sahlan, sengaja atau tidak, telah mempermainkanku. Yang dia bilang adiknya ternyata istrinya.

Tiba-tiba Sahlan menepuk lenganku dan berkata seolah-olah dia tahu apa yang sedang kupikirkan, “Kau tahu, adikku itu, eh, istriku itu, betul-betul perempuan istimewa. Betul-betul istimewa. Dia berbicara tidak menggunakan mulut. Mulutnya hanya untuk tersenyum dan bernyanyi. Mungkin kau mendengar nyanyian India tadi, itulah lagu kesukaannya. Merdu ya?! Tapi dia hanya berkata-kata dengan matanya dan sesekali dengan senyumnya. Sejak berkenalan, aku tidak pernah mendengar dia berbicara dengan mulut. Tadinya kukira dia bisu—dan aku tidak peduli biar bisu sekali pun, aku sudah telanjur kesengsem oleh senyum dan matanya yang cemerlang itu—ternyata bila sendirian. sedang mandi, mencuci, atau memasak di dapur, dia menyanyi.”

Sahlan berhenti ketika istrinya datang membawa dua cangkir kopi. Saat meletakkan cangkir kopi di depanku, saya melihat matanya yang cemerlang seperti mempersilakan. “Terima kasih!” kataku dan senyumnya yang manis kulihat seperti mengatakan, “Terima kasih kembali!”

“Lihatlah,” kata Sahlan begitu istrinya berlalu, “dari tadi kau tidak melihatnya berbicara, tapi kau pasti merasakan dia berkata-kata kepadamu. Itulah istriku yang lebih suka kusebut dan kuperkenalkan sebagai adikku. Perkenalanku dengannya juga cukup aneh. Waktu itu aku sedang berada di atas kereta yang akan berangkat dari stasiun S. Dari jendela kereta, kulihat dia, waktu itu masih seorang gadis kecil, berdiri dekat gerbong keretaku. Matanya yang cemerlang memandang lurus ke mataku tanpa berkedip. Aku mencoba tersenyum. Ternyata dia membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis itu.”

Sahlan berhenti sejenak matanya menerawang, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa lalu. Aku sendiri kontan teringat gadis kecil beralis tebal yang juga memandangiku di stasiun S ketika keretaku akan berangkat.

“Percaya atau tidak.” tiba-tiba Sahlan melanjutkan, “beberapa tahun kemudian ketika aku pulang ke M setelah capek keluyuran seperti kau sekarang, ibuku memperkenalkanku dengan seorang gadis cantik beralis tebal bermata cemerlang. Gadis yang tak lain dan tak bukan ialah gadis yang pernah kulihat di stasiun S. Singkat cerita, ketika ibuku menawariku untuk mengawini gadis yang bernama India itu, tanpa pikir panjang aku mau. Kami kawin dengan wali hakim, karena dia gadis lola, tak punya orangtua dan saudara. Ia adalah anak asuh kawannya ibuku yang memu-ngutnya sejak bayi. Kawan ibuku itu menemukan bayi di stasiun S dan sudah diurus ke mana-mana, tak ada yang mengakuinya. Akhirnya kawan ibuku itulah yang memeliharanya. Beliau menamakannya dengan bintang film India kesayangannya, Shakila.” Aku tak lagi mendengar apakah Sahlan masih terus berbicara atau tidak karena tiba-tiba gadis kecil beralis tebal dan bermata cemerlang datang, entah dari mana, dan tersenyum manis sekali.

Cerpen A. Mustofa Bisri (Kompas, 01 April 2018)
A Mustofa Bisri, lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agus-tus 1944, dari keluarga santri. Belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dikenal sebagai kiai yang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang. Gus Mus, demikian namanya lebih dikenal, telah menghasilkan beberapa buku kumpulan puisi dan cerpen.