Minggu, 22 April 2018

Selamanya Cinta

(Bagian I)

Hanya lampu temaram yang menerangi saat itu. Aku masih duduk terdiam di muka teras sambil mengumpulkan cerita yang siang tadi bergulir begitu cepat, tapi masih saja menyita dimensi ruang waktu hingga aku tenggelam dalam lamunan.

“Teteh!” panggil adik bungsuku.

“Ni hape teteh bunyi.” Panggilan tak terjawab muncul di ponselku.

“Siapa sih Teh, malam-malam gini telepon?” Tanya adikku dengan rasa penasaran, matanya yang belo dihiasi bulu mata jentik menyorot tajam ke arahku.

“Oh, itu teman kantor Teteh.”

“Ikhwan apa akhwat? Kan ini sudah jam sembilan lebih?” Rentetan pertanyaan adikku seperti memberondong kawanan penjahat saja, pikirku.

Ya,… Anda memang penjahat Mas Faisal, mencuri dan mencari perhatianku. Aku manusia biasa, yang bisa menilaimu sama dengan kaum hawa di manapun. Kamu laki-laki yang cerdas, saleh, disegani banyak teman, dan terkenal dengan gaya bicaramu. Ya Allah, bagaimana aku harus bersikap jika harus bertemu dengannya setiap hari. Mana mungkin aku harus memasang muka masam atau jaim untuk mengekspresikan rasa tidak suka ini. Bukan benci, tapi dengan kau memberikan perhatian lebih padaku, aku jadi tidak nyaman. Bergulir lamunanku, berceloteh rasa dalam hatiku.

Detak jam dinding menjadi ilustrasi musik detak jantungku malam itu. Ingin segera kurebahkan diri untuk rehat, tapi mataku tak terpejam juga. Berkali-kali aku berwudhu, membasuh hati mendinginkan rasa. Perlahan, mataku merajut malam, menjemput embun pagi esok hari.

Kumandang azan Subuh, kulipat selimut hangatku. Alhamdulillah ya Rabb, kumasuki pagi-Mu dengan penuh syukur kepada-Mu. Triiit bunyi ponselku. Muncul tulisan di layar Whatsappku.

“Assalamualaikum Ustazah Zahra, selamat pagi dan selamat beraktivitas”. Tanpa pikir panjang, kubalas pesan Whatsapp itu dengan emotikon jempol. Selang lima menit usai berpakaian dan berkemas, terdengar klakson mobil Arina yang tak asing lagi di pendengaranku.

“Assalamualaikum, Ra. Aku tunggu ya, pagi ini kita jalan bareng dan kita sarapan bareng.”

Aku hanya menjawab singkat, “Ya, tunggu sebentar.”

Arina sahabatku istri dari Mas Faisal, lelaki yang sering mencuri dan mencari perhatianku serta melelehkan imanku. Ya Allah, semoga selalu terjaga. Aku dan Arina bersahabat sejak kecil, kami bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Bahkan, di perguruan tinggi pun kami mengambil jurusan yang sama pula. Teman-teman semua sudah mengenali kami, di mana ada Arina di situ ada Zahra.

Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita/Republika

Awal pertemuan dengan Mas Faisal pun Arina selalu bercerita kepadaku. Hingga mereka menikah dan kini kurang lebih lima belas tahun usia pernikahannya. Namun, selama usia pernikahan itu Arina sahabatku tidak juga menampakkan kehamilan. Padahal, aku melihat dari raut mereka betapa mereka rindu malaikat kecil yang menghangatkan rumah mereka.

Hingga suatu saat Arina pernah bercerita kepadaku tentang kondisinya, Arina tidak bisa lagi memberikan anak untuk Mas Faisal karena ada kelainan dalam rahimnya. Akan tetapi, Arina pun tidak bisa menutupi kegundahan Mas Faisal yang merindukan momongan.

Hingga pada suatu saat Arina pernah menangis dan menghambur dalam pangkuanku bahwa baru saja Faisal menelepon seorang wanita dan berbicara mesra sekali. Aku terhenyak, darahku mendesir hangat. Jangan-jangan Arina tahu bahwa Mas Faisal sering meneleponku atau mengirimkan pesan singkat kepadaku melalui Whatsapp. Dia menangis histeris dan mengulang kata-katanya.

“Aku tidak ridha Zahra, kalau Mas Faisal menikah lagi.” Kata-kata itu yang selalu kuingat manakala Mas Faisal menggodaku.

“Ra, pulang ngantor mau ke mana?” Tanya Arina di sela-sela merapihkan berkas-berkas kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul 16.45 saat itu.

“Ya, langsung pulanglah. Si bungsu dan Mamah menungguku untuk makan malam bersama,” jawabku.

“Ra, maaf ya, jangan marah nih kalo aku tanya,” sambung Arina.

“Mau tanya apa?” Jawabku tanpa melirik.

“Kangen ga, Ra, dinanti suami atau anak di rumah? Kalau kangen ayo segera cari pasangan, berani eggga pacaran. Harus berani dong, jodoh itu harus dicari, itu bagian dari ikhtiar loh.” Ulas Arina sambil mengaitkan tas pada pundaknya. Aku hanya tersenyum, menyimak ulasan Arina tentang kesendirianku.

“Ya sudah, nanti aku kasih info ke kamu via Whatsapp saja ya, Ra?” Tegas Arina sambil mencium kedua pipiku tanda pamitan “Oke, aku tunggu ya,” jawabku.

Ahad yang cerah mentari bersinar cerah dengan memantulkan pijarnya masuk ke jendela kamarku. Perlahan kuputar nasyid indah kesukaanku dari grup nasyid Edcoustik yang berjudul “Jalan Masih Panjang”. Triit, bunyi ponsel menghela ke asyikanku saat itu.

“Assalammualaikum Ra, aku mohon doa darimu, jam dua pagi tadi aku terbang ke Singapura, kelainan di rahimku harus segera diangkat karena jika di diamkan akan menjalar ke yang lainnya,jika operasi berjalan lancar aku akan mengahabiskan waktuku di Singapura. Aku akan tinggal bersebelahan dengan apartemen Omku, dan Mas Faisal berjanji akan mengadopsi anak dari Indonesia. Sementara Mas Faisal akan bertugas dulu di Riau selama dua tahun ini. Sekali lagi mohon doanya ya, Ra.” Getir dan perih menyelinap di hatiku, teryata Allah membeikan ujian pada manusia dari sisi mana saja.

Dua bulan berlalu, aku tak lagi bertemu Arina di kantorku. Sementara, Mas Faisal yang semula Izin ke Arina untuk bertugas di Riau semakin intens menemuiku. Benteng pertahanan hatiku jebol juga. Hingga pada suatu malam pada malam Ahad Mas Faisal menemui Mamah dan menuturkan keinginannya untuk menjadikan aku istri kedua setelah Arina. Mamah seorang Muslimah yang taat syariat baginya di lamar menjadi pertama atau kedua tidaklah masalah, apalagi usiaku yang sedang merangkak tua, tiga tahun lagi usiaku genap empat puluh tahun. Maafkan aku Arina, bukan aku mendustaimu. Mas Faisal mengutarakan ini untuk menjaga dirinya dari zina, Mas Faisal mengutarakan seluruh kegundahannya selama ini, Mas Faisal merindukan manisnya kehidupan berumah tangga dengan pelayanan terbaik, kesehatan yang baik dan hadirnya seorang anak. Mas Faisal manusia biasa begitu juga aku. Bismillah. Aku menerima lamaran Mas Faisal.

Akad pernikahan yang indah dan penuh kebahagian meskipun dalam suasana yang sederhana. Terima kasih Mas, semoga aku bisa menjagamu dari sikap flamboyanmu, dan dari lirikan wanita-wanita nakal. Semoga dengan aku di sampingmu, engkau menjadi lelaki terbaik dan imam terbaik yang akan menarik kami ke surganya Allah.

Waktu berlalu begitu cepat, hinga detik kehidupan berdenyut dalam rahimku.

“Mas, aku hamil,” begitu teriakanku, memanggil Mas Faisal yang sedang berkemas. Mas Faisal akan bertolak ke Singapura mengunjungi Arina. Haru bahagia menyelimuti kami di pagi itu, Mas Faisal memeluk erat dan merangkul Mamah serta adik bungsuku.

Sukacita kami tak terbayangkan dengan kata-kata saat itu. Tiba saatnya Mas Faisal pamitan padaku.

“Jaga diri baik-baik Umi, Abi akan mengunjungi umi tiga bulan berikutnya, mohon ridhanya. Dan mohon doakan Arina agar segera pulih.” Begitu pinta dan izin pertama kalinya Mas Faisal kepadaku. Perih menyayat hatiku, tapi aku segera beristighfar, ini garis tangan yang Allah berikan untukku.

“Pergilah, Mas. Fii amanilah. Aku akan se lalu merindukanmu, dan doaku ada dalam setiap langkah kakimu.” Kucium tangan hangatnya, dan Mas Faisal memeluk dan mencium keningku. Yaa Rabb semoga ini bukan pelukan dan ciuman terakhirnya untukku.

Aku dalam penantian panjang, kandunganku terus membesar, jagoan Mas Faisal semakin hari semakin mendesak ingin keluar, sementara aku ingin persalinanku ditemani Mas Faisal. Namun, kenyataan berkata lain, aku melahirkan bayi laki-laki yang tampan tanpa Mas Faisal di sam pingku. Hingga waktu berlalu, ratusan Whatshapp ter-pending tanpa ceklis ataupun warna biru. Begitu pun dengan panggilanku. Ada apa dengan Mas Faisal semoga baik-baik saja. “De, kita berdoa untuk Abi yuk, semoga Allah selalu menjaga Abi di mana pun Abi berada.” Aku tak peduli Mas Faisal membaca emailku atau tidak, kutuliskan perkembangan hari demi hari jagoan kecil kami yang kuberinama Hibban Faisal Akmal. Kukirimkan foto dan video Hibban hari demi hari, sampai aku lelah untuk mengirimkannya.

Cerpen Suzi (Republika, 15 April 2018)
Bu Suzi, begitu ibu dari empat putra-putri ini disapa. Ibu yang memiliki nama lengkap Susilowati ini lahir di Banten, 6 Oktober 1973. Tak sengaja menjadi guru, begitu ungkapnya. Mengawali karir sebagai penyiar radio swasta di Bogor dan public relations di salah satu lembaga penyiaran swasta pada tahun 1993-1998. Karir gurunya dirintis pada tahun 1999, merasa tidak memiliki ilmu keguruan Bu Suzi menimba ilmu pendidikan Islam di STIAI Gunung Puyuh Sukabumi. Lalu mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT Rohmatul Ummah kini TAAM Rohmatul Ummah. Tahun 2008-2012 Bu Suzi menimba ilmu kependidikan di Universitas Terbuka. Belajar sepanjang hayat itu adalah moto hidupnya. Di mana pun dan dengan siapa pun selalu ada ilmu yang didapatkannya. Selain aktif di berbagai komunitas pemberdayaan perempuan, ibu dengan empat anak ini pernah menjadi Dosen di STAI Al Hidayah Bogor dan kini Bu Suzi merupakan salah satu staf pengajar di PONDOK PESANTREN AL-MINHAJ SHAHABAH.

Pengalaman menulis buku Bu Suzi peroleh pada 2008 dengan menulis buku Aritmatika Sempoa untuk Sekolah Dasar Kelas 1-6 yang diterbitkan oleh Insantama Pers. Pengalaman menulis artikel diperoleh Bu Suzi bersama Komunitas Guru Menulis dan Membaca (KAGUM LITERAT) dalam buku Asa Terurai Karya Tertuai dan Dari Pinggiran Menjadi Pusaran yang diterbitkan oleh KAGUM PUBLISHER, genre penulisan Bu Suzi tidak hanya di sekitar nonfiksi, Masih Ada Matahari Terbit yang diterbitkan oleh D3 MQail adalah antologi puisi pertamanya bersama 45 Wanita Penulis Puisi Indonesia, dan rasa cintanya untuk Bogor Bu Suzi dedikasikan melalui antologi Senandung Rindu Bogorku, Bogormu, Bogor Kita, bersama Komunitas Pegiat Literasi Bogor. Selain menulis Buku, Bu Suzi menulis juga di web gurusiana.id.

0 komentar:

Posting Komentar