Rabu, 25 April 2018

Selamanya Cinta

(Habis)

Enam bulan usia Hibban kini. Senyumnya manis sama seperti senyumnya Mas Faisal. Kami tak pernah mendapat berita. Namun, selalu kuselipkan doa setiap saat, setiap waktu.

Hujan merintik manja diakhir Desember, taxi Blue Bird merapat ke halamanku. Seorang wanita cantik yang sudah lama kukenal keluar dari mobil itu. Dia memelukku dalam pelukan yang hangatnya berbeda dari pelukan sebelumnya.

Arina, kulihat mendung yang tersamarkan dari indahnya bola matamu. Arina menanyakan kabarku, ibu, dan adik bungsuku. Arina datang mengunjungiku membawa pesan Mas Faisal. Mas Faisal telah menyampaikan pada Arina tentang pernikahan kami, Arina menyadari akan kelemahan dirinya. Untuk itu, dia datang ke rumahku tanpa api amarah dalam genggamannya. Terasa pahit kerongkonganku, sesak dadaku, degub jantungku seakan terhenti. Bagaimana tidak, Mas Faisal mengalami kelumpuhan karena kecelakaan yang dialaminya. Satu hal yang membuat Mas Faisal merasa hidup terus, yaitu dengan mengambil Hibban dari tanganku. Lalu bagaimana dengan diriku? Mas Faisal langsung menalakku karena kondisi kesehatannya kini, Mas Faisal mempersilakan padaku untuk menikah kembali.

Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita Republika
Selamanya Cinta ilustrasi Amanina Asiah Qonita/Republika
Aku berjuang keras untuk menjadi Muslimah yang baik dan menepati janji. Pernah kukatakan pada Mas Faisal bahwa cinta itu tak harus memiliki. Cinta terindah manakala kita dapat memberikan kebahagiaan pada orang yang kita cintai. Inilah saatnya aku membuktikan cinta terbaikku padamu Mas, kubuktikan bahwa kata-kata itu bukanlah kata-kata klise. Kuikhlaskan Hibban dan dirimu berlalu dari kehidupanku, tetapi akan selalu bersamaku dalam relung batinku, hidup dalam hatiku. Sampai cinta dan rindu ini Allah ambil dariku.

“Bagaimana Ra, setuju dengan permintaan Mas Faisal?” Pertanyaan Arina yang tiba-tiba mengagetkanku hingga surat Mas Faisal terjatuh dari tanganku. “Aku tahu tidak mudah menerima ini, seperti halnya aku memahami kalian berdua, tetapi aku berusaha agar orang yang kita cintai memiliki semangat hidup,” ungkap Arina sambil tertunduk. Aku tak bisa menahan air mata. “Baiklah aku penuhi janjiku pada Mas Faisal akan makna cintaku kepadanya, asal izinkan aku untuk menyusui Hibban sampai selesai masa penyusuannya, ASI-ku akan kukirim sesteril mungkin.” Pintaku menghiba pada Arina. “Baiklah, jika itu yang terbaik,” kata Arina.

Ya Allah, aku ingin malam ini 10 kali lebih panjang dari malam-malam sebelumnya. Aku masih ingin menyusui putraku, memeluk hangat dan mencium harum tubuh anakku. Kucium berkali-kali Hibban tampan yang terlelap dalam tidurnya. Anakku, malam ini malam terakhir kita, kamu dan Umi. Esok kau akan bertemu Abi dan akan bersama Abi selamanya. Sampaikan salam Umi untuk Abi ya Nak, sampaikan lewat senyum manismu dan tawa ceriamu. Selalu tersenyum ya Nak, jangan buat gundah hati Abi. Kupeluk dan kuciumi Hibban, kuresapi wangi kayu putih yang menempel di badannya. Hingga hari itu berganti. Kukemasi beberapa potong pakaian Hibban, ASI di botol-botol kecil yang telah kusiapkan kutata dengan apik agar Hibban bisa menikmati ASI-ku. Kutulis salam terakhir untuk orang yang aku cintai:

“Mas semoga Allah selalu menetapkanmu dalam kebaikan, kukirim Hibban untukmu. Izinkan aku untuk mencintaimu selamanya, selamanya sampai akhir hidupku. Jaga dia dalam asuhanmu. Asuhan terbaik dan terindah yang selalu kau ceritakan padaku, meski mulai saat ini asuhan itu bukan bersama aku, syafakallahu syifaan ajilan, aku menolak talakmu Mas, biarkan aku menjadi istrimu sampai kita berdua datang kepada-Nya.”

Roda mobil yang melindas kerikil halaman rumahku, melempar dan menghujam dasar hatiku. Aku menangis di balik tirai jendela. Menyaksikan putraku yang baru enam bulan bersamaku harus berlalu dariku. Tapi, aku berusaha mengenyahkan kepedihan ini, karena kepergiannya untuk bertemu Abinya, orang yang menghadirkan dia di dunia ini. Kututup jendela perlahan. Dalam hening, dalam sunyi, dan sepi yang mengigit sepanjang hari. Allahu akbar, aku tidak boleh bersedih. Batinku harus selalu sehat, agar ASI yang kukirimkan tidak berkurang. Anakku perlu ASI. Sedapat mungkin aku harus memompanya setiap hari dan mengirimkannya ke Singapura. Dengan kesungguhan cinta jarak Bogor-Singapura adalah jarak yang pendek.

Hari kesatu, kedua, dan seterusnya, kupompa ASI-ku, kukirim melalui jasa pengiriman yang sudah tepercaya. Kabar balik dari Arina bahwa ASI-ku sudah sampai adalah kabar kebahagiaanku. Bulan kesatu, tahun kesatu, hingga kering sudah ASI-ku di pengiriman untuk dua tahun terakhir. Ya Allah, pasti Hibban sudah besar. “Rabbana hablana min ajwajina wa dzuriyatina qurrota’ayun waja’alna lil muttataqinna immama” setiap saat dalam hela napas, hingga 60 tahun usiaku kini.

Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Berpulang kepada yang maha pencipta. Untuk semua orang, begitu pun dengan Mas Faisal. TPU Blender mengharu biru, aku menahan diri untuk tidak berbaur di sana. Saat seluruh pelayat kembali pulang. Perlahan kulangkahkan kaki yang mulai ringkih ini. Kubersimpuh luruh di hadapan tanah merah yang menutup orang yang aku cintai. Dalam doa yang bersimbah air mata, kumohonkan pada-Mu ya Rabb, terimalah suamiku dengan cinta-Mu.

Selamat jalam Mas, kau pernah sematkan untaian melati putih di jilbabku, semoga harumnya mengantarkan perjalananmu. Kau bawa aku ke langit biru dengan cintamu, semoga birunya cintamu meneduhkan perjalananmu. Aku di sini, dalam doa dan cinta yang tak pernah berakhir. Untukmu selamanya.

Doaku terhenti saat ujung sepatu hitam bergerak ke arahkau dalam lirikan mataku. Langkah itu semakin dekat. Aku masih bersimpuh, dan terpaku dalam kesedihanku, andai Nabiku membolehkan sudah kepeluk gundukan tangan merah itu, hangat tubuh Mas Faisal tak pernah aku lupakan. Ujung sepatu itu mendekat dan terhenti di sebelah kiriku. Perlahan kudengar suara lirih, “Umi, assalammualaikum”. Tengadah wajahku ke arah suara itu. “Subhanallah, kaukah Hibban anak Umi?”

Lelaki tampan berkulit putih dengan waajah mirip Mas Faisal meraih dan mencium tanganku, lalu memelukku begitu erat. Darah di tubuhku yang hampir membeku seakan mencair kembali. Berhadapan wajah kami, dalam linangan air mata kerinduan yang hampir 18 tahun tertahan. “Umi, Hibban sampaikan amanah Abi untuk Umi,” katanya, sambil mengambil kotak merah hati dari kantong kemeja kokonya. “Ini Umi dari Abi untuk Umi”. Kubuka kotak merah hati itu. Kukeluarkan isinya, untaian tasbih cantik dari butiran mutiara Lombok, dalam untaiannya tergantung kertas bertuliskan “UMI TERIMA KASIH UNTUK KESETIAAN CINTA UMI, ABI TUNGGU UMI DI RUMAH ALLAH. ABI MENCINTAI UMI SELAMANNYA, MAAFKAN ATAS KESALAHAN ABI.”

Ya Allah, Mas Faisal. Kuseka airmata kesedihan dan kebahagiaan saat itu. “Hibban, di mana Bunda Arina? Umi ingin bertemu dengannya,” sambil menuntunku Hibban menjawab dengan nada yang ringan,

“Bunda sudah pulang dengan suami barunya sampai Abi meninggal beliau sudah tidak bersama kami.” Sesak sesal menendang ulu hatiku. Tapi, denyut kepasrahan menyeruak batinku. Mas, kau berpulang saat genap 20 tahun pernikahan kita. Terima kasih kau kembalikan Hibban untukku.

Serasa kau ada di sini, kurasakan wangi nafasmu, kurasakan hangat sentuhanmu. Aku menunggu hari dalam taat dan takutku pada-Nya, Untuk menjumpaimu. Allah penulis skenario terbaik. Aku tak bisa mendampingimu di dunia-Nya, semoga di akhirat-Nya. Karena aku cinta padamu Mas, selamanya.

Cerpen Suzi (Republika, 22 April 2018)
Bu Suzi, begitu ibu dari empat putra-putri ini disapa. Ibu yang memiliki nama lengkap Susilowati ini lahir di Banten, 6 Oktober 1973. Tak sengaja menjadi guru, begitu ungkapnya. Mengawali karir sebagai penyiar radio swasta di Bogor dan public relations di salah satu lembaga penyiaran swasta pada tahun 1993-1998. Karir gurunya dirintis pada tahun 1999, merasa tidak memiliki ilmu keguruan Bu Suzi menimba ilmu pendidikan Islam di STIAI Gunung Puyuh Sukabumi. Lalu mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu TKIT Rohmatul Ummah kini TAAM Rohmatul Ummah. Tahun 2008-2012 Bu Suzi menimba ilmu kependidikan di Universitas Terbuka. Belajar sepanjang hayat itu adalah moto hidupnya. Di mana pun dan dengan siapa pun selalu ada ilmu yang didapatkannya. Selain aktif di berbagai komunitas pemberdayaan perempuan, ibu dengan empat anak ini pernah menjadi Dosen di STAI Al Hidayah Bogor dan kini Bu Suzi merupakan salah satu staf pengajar di PONDOK PESANTREN AL-MINHAJ SHAHABAH.

Pengalaman menulis buku Bu Suzi peroleh pada 2008 dengan menulis buku Aritmatika Sempoa untuk Sekolah Dasar Kelas 1-6 yang diterbitkan oleh Insantama Pers. Pengalaman menulis artikel diperoleh Bu Suzi bersama Komunitas Guru Menulis dan Membaca (KAGUM LITERAT) dalam buku Asa Terurai Karya Tertuai dan Dari Pinggiran Menjadi Pusaran yang diterbitkan oleh KAGUM PUBLISHER, genre penulisan Bu Suzi tidak hanya di sekitar nonfiksi, Masih Ada Matahari Terbit yang diterbitkan oleh D3 MQail adalah antologi puisi pertamanya bersama 45 Wanita Penulis Puisi Indonesia, dan rasa cintanya untuk Bogor Bu Suzi dedikasikan melalui antologi Senandung Rindu Bogorku, Bogormu, Bogor Kita, bersama Komunitas Pegiat Literasi Bogor. Selain menulis Buku, Bu Suzi menulis juga di web gurusiana.id.

0 komentar:

Posting Komentar