Jumat, 31 Agustus 2018

Dongeng Tarka dan Sarka

Maka mereka pun hanya membuka telinga badaniah mereka, sebelum mampu membuka yang batin. Mereka Tarka dan Sarka mencoba membuka telinga dan menutup lisan.

“Lakukanlah pekerjaan kalian sebagaimana biasa, namun dengan satu pantangan: jangan berbicara sepatah kata pun tentang apapun,” begitu pesan ayah mereka, yang memang seorang pertapa.

Sarka, sang adik. yang bertubuh kurus dan selalu lapar itu mempertanyakan ‘pelajaran’ yang baru saja diterima dari ayahnya. Menurutnya, itu hal yang hampir mustahil bisa dilakukan di tengah kehidupan masyarakat negeri Hastina yang makmur ini.

“.. Kalian akan mendengar begitu banyak pengetahuan secara diam-diam. Dengan mendengar, berarti kalian bisa menyimak. Dengan membisu, lisan kalian akan terjaga dari pengucapan yang sia-sia.. Karena seringkali lidah kita mengeluarkan racun fitnah yang tak bisa kita duga…” begitu pesan sang ayah kepada kedua kakak-beradik Tarka-Sarka yang mengais rejeki dengan menjual jasa menyeberangkan orang-orang dari tepi utara ke tepi selatan sungai Liman Benawi.

“Nanti.. kalau ada yang mbayar kurang, bagaimana, ayah?” protes Sarka lagi. “Apa, kami tidak boleh omong?”

Pertapa tua itu tersenyum, kemudian menjawab dengan lembut, “Terimalah. Jangan bertanya atau mempertanyakan. Terimalah berapapun yang mereka berikan pada kalian. Mudah-mudahan Yang Maha Adil akan memberimu keadilan.”

Maka, sejak empat puluh hari lalu, kedua kakak beradik itu bekerja dalam kebisuan. Mereka hanya tersenyum atau mengangguk. Kadang menggeleng. Berapa besar pun kepeng uang yang diberikan para penumpang, mereka terima dengan dada lapang. Dan nyatanya, pendapatan mereka lebih besar daripada sebelumnya.

Baca juga: Salawat Dedaunan – Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 2 Oktober 2011)

Para penumpang, yang umumnya adalah istri-istri tentara Hastina—yang tentu saja memiliki uang lebih—dengan senang hati memberikan bayaran lebih, karena menganggap kedua juru getek itu sangat sopan dan tak banyak tanya.

***

Sore itu, ketika mereka menambatkan rakit bambu di tepi selatan, sambil menunggu penumpang, Tarka dan Sarka dikejutkan oleh suara mendesing dan ceburan kuat di permukaan sungai. Bola kulit. Mereka pun kemudian hanya diam, dan membiarkan bola itu dibawa hanyut ke muara.

Sepak bola, permainan baru yang hanya boleh dimainkan kalangan istana. Dan tentunya, bola itu milik kaum bangsawan Hastinapura. Sebuah permainan aneh yang dibawa dari manca. Bulatan itu mereka kejar, untuk mereka tendang. Memang kelihatan menarik, tetapi bagi Tarka dan adiknya, tak lebih dari permainan orang bodoh. Mereka tak tertarik, dan karenanya, mereka diamkan saja bola itu hanyut dibawa arus sungai Liman Benawi.

Hening senja itu. Langit di barat sudah menunjukkan garis-garis jingga. Sebentar lagi, sesaat sebelum matahari benar-benar tenggelam, mereka akan pulang. Namun, sampai saat itu tiba, mereka memang masih menunggu, barangkali saja masih ada satu atau dua orang yang ingin menggunakan tenaga mereka.

Tiba-tiba… “Ahh, pasti masuk sungai. Sena, kau yang harus mencarinya.. tendanganmu terlalu kuat!”

Ketiga kesatria muda Hastina itu—Duryudana, Dursasana dan Sena—sampai di tepian sungai. Mereka tak melihat apa-apa kecuali gelegak arus sungai dan kedua kakak-beradik itu.

“Hei, kalian? Apakah kalian melihat sebuah bola, bola kami, meluncur ke arah ini?” tanya Dursasana pada Tarka dan Sarka.

Kedua orang itu menyembah, lalu salah seorang menunjuk arah sungai dengan ibu jarinya.

“Bodoh! Mengapa kalian diam saja? Seharusnya kalian mengejarnya!” sergah Duryudana.

Kedua orang itu diam saja.
Dongeng Tarka dan Sarka ilustrasi Polenk Rediasa/Kompas
Sena tak bicara sepatah pun, segera mencebur ke dalam arus sungai dan berenang menuju muara.

Sepeninggal Sena, Duryudana dan adiknya mondar-mandir gelisah. Nafas mereka masih memburu. Sementara itu, Tarka dan Sarka masih bersimpuh di tanah, menunduk memandang ke bawah. Entah nasib apa yang berikutnya akan menggilas mereka.

“Hei, siapa namamu?” tiba-tiba Duryudana membentak.

Tarka diam saja, karena hari itu dia memang bertapa bisu.

Duryudana tercenung, tidak biasanya seorang jelata diam bila ditanya bangsawan.

Tiba-tiba kaki Dursasana bertengger di pundak Tarka, “Hei, tanah liat, apakah kau tuli. Pangeran Duryudana bertanya siapa namamu, mengapa kau diam saja.” Digerak-gerakkannya tubuh Tarka dengan kaki kirinya. Tarka masih diam.

“Dan kau.. apakah kau juga bisu-tuli?” segah Dursasana pada Sarka.

Sarka menggigil ketakutan.

“Siapa namamu?” ulang Duryudana geram.

Keduanya masih saja membisu. Sebuah pelajaran penting yang mereka rasakan begitu berat, terjadi di senja itu. Pesan sang ayah, agar mereka tidak berbicara, tiba-tiba mengubah situasi menjadi pilihan, yang sangat mungkin berakhir buruk.

Burung-burung kembali ke sarang. Udara mendingin. Cerecet monyet bersahutan berebut dahan di hutan-hutan. Semua berubah tanpa ada yang pernah menyadarinya.

Duryudana naik pitam. Siapakah kedua manusia jelata ini, yang dengan keras kepala berani menentang seorang pangeran Hastina? Baru kali ini. Duryudana merasa dirinya diabaikan rakyatnya. Tidak, ini tidak boleh terjadi.

“Apakah kau akan tetap membisu, manakala rajamu bertanya padamu? Apa kau pikir dengan begitu kau bisa lebih hebat dari penguasamu? Hah? Jawab!” dan sebuah tendangan menghantam wajah Tarka.

Tarka terguling, hidungnya mengucurkan darah. Sarka mencoba membantu kakaknya, namun tendanganlah yang mencegahnya.

Kedua kakak-beradik itu terguling dengan darah bercampur tanah di wajah. Berkelebat pesan sang ayah bahwa membisu, menjaga lidah agar tak melisankan apapun, sepertinya laku yang mudah. Akan tetapi, pada kenyataannya, apalagi di tengah masyarakat yang suka mengobral lisan dengan berbagai dalih, adalah sesuatu yang sangat sulit.

Membisukan lidah, pada hakikatnya adalah membiasakan diri berserah tanpa bertanya. Dengan berserah tanpa suara, seseorang akan berlatih menuju alam kekosongan dirinya sendiri. Dan dengan mengosongkan diri sendiri, seseorang akan dengan mudah menerima keheningan dari sang Maha Hening. Hanya dengan menyatu pada sang Maha Hening inilah manusia mampu mencapai kesempurnaan dirinya, dan dengan kesempurnaan itulah dia akan bisa menuju Sang Maha Sempurna. Demikian kelebat ucapan sang ayah ketika menuturkan rahasia laku bisu.

Karenanya, Tarka dan Sarka, pemuda yang belum genap 17 tahun itu hanya diam tak melawan ketika kedua bangsawan Hastina itu menghajar mereka. Ada sesuatu yang jauh lebih mulia dan layak diperoleh dengan mengorbankan nyawa sekalipun, yang membuat mereka tahan terhadap siksaan badaniah. Mereka bahkan diam-diam memanjatkan doa agar Duryudana dan Dursasana mendapatkan cahaya pengetahuan, untuk akhirnya memahami bahwa mereka melakukan kesalahan.

Akan tetapi, kedua orang bangsawan Hastina itu, yang dengan bangga mengatakan berdarah Kuru, anak keturunan keluarga Kuru itu, bahkan seakan ingin menunjukkan kekuasaan. Tak ada bola, tubuh manusia pun jadilah!

Senja yang menggelap, seakan memekatkan hati nurani mereka. Kejengkelan mereka memuncak, manakala setiap kali terjungkal, Tarka dan Sarka berusaha bangkit dan bersimpuh seperti semula. Sarka, si adik, menangis dalam kebisuannya, usianya yang masih terbilang kanak-kanak belum terlalu kuat menerima siksaan. Tarka memeluknya, dan tanpa sebisik pun suara, dia mengajak adiknya bersimpuh hormat sebagaimana layaknya manusia yang memiliki kehormatan.

Duryudana yang bertubuh tinggi besar, kuat, tegap dan selalu berlatih gulat di kasatriannya, bukanlah tandingan Tarka; pemuda desa yang bertubuh kurus kering, kecil dan berkulit coklat gelap itu, yang bahkan lebih menyukai puasa dan bersepi diri. Tak heran jika tubuhnya menjadi bulan-bulanan Duryudana. Begitu pula dengan Dursasana. Kekuatan tenaganya seakan ditimpakannya ke tubuh Sarka—adik Tarka.

Entah pada hantaman yang ke berapa, batas kekuatan tubuh kakak beradik itu sampailah. Sebuah detak teredam, tulang-tulang yang remuk terasakan. Duryudana dan Dursasana sebetulnya merasakan dan mengetahui bahwa tulang-tulang dua manusia malang itu remuk, namun, entah mengapa, mereka tak berhenti.

Adik-adik Duryudana yang lain, karena merasa ketiga orang itu cukup lama tak kembali ke lapangan, menyusul dan menyaksikan kedua orang itu tengah menghempaskan Tarka dan Sarka. Mereka merasa ngeri menyaksikan tubuh Tarka dan Sarka, yang berlumuran darah bercampur tanah.

Seekor burung hitam, secara aneh terbang melintas dan merobek sunyi dengan teriakan paraunya.

Hening berlalu begitu saja. Senja menjadi kereta kesunyian yang menghantarkan Tarka dan Sarka kembali ke alam keabadian. Bahkan, lihatlah, matahari seakan bergegas menarik tirai temaram, tak sampai hati menyaksikan penderitaan yang dialami kakak beradik yang bahkan tak melakukan kesalahan apapun itu. Angin membeku, seakan tak percaya bahwa Tarka dan Sarka yang selama ini mereka belai-belai ketika beristirahat di atas rakit mereka, nyaris membentuk seonggok daging berbalut debu dan darah.

Duryudana dan Dursasana, dua bangsawan, dua kekuasaan Hastinapura, pergi begitu saja.

Senja tak berwarna, lindap, senyap.


Cerpen Yanusa Nugroho (Kompas, 19 Agustus 2018)
Yanusa Nugroho lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk di redaksi majalah Berita Buku Ikapi, lalu menjadi copy-writer di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Kumpulan cerpennya antara lain Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), dan Menggenggam Petir (1996). Novel karyanya, Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005).

Polenk Rediasa lahir di Tambakan, Buleleng 1979. Bernama lengkap I Nyoman Rediasa, perupa dan dosen di Undiksha, Singaraja. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Denpasar, ISI Denpasar, dan pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Berpameran tunggal sejak tahun 2004 di sejumlah kota. Pernah mendapatkan penghargaan dalam Biennale Beijing tahun 2008.

Baruna

Terlahir sebagai seorang buta tidaklah begitu buruk. Setidaknya bagiku. Aku masih bisa merasakan hangatnya sinar mentari di permukaan kulitku, juga masih mampu meminta tambah untuk setiap masakan Simbok. Aku tak terlalu menderita. Selama hidungku masih dapat menghirup udara seberapa pun yang kumau, aku masih terhitung bahagia.

Aku tak tahu sejak kapan aku buta. Mama dan Simbok tak pernah mau membahasnya. Kata mereka, tak penting membicarakan yang sudah-sudah, kecuali jika keadaan bisa diubah. Jadi aku menurut saja. Toh, aku tak pernah tahu bagaimana rasanya bisa melihat, jadi tidak terlalu berguna juga untuk sakit hati karena ini.

Mamaku, seorang perempuan tentunya. Ia yang melahirkanku, tetapi Simbok yang membesarkanku. Simbok merupakan anak dari kepala asisten rumah tangga di rumah Mama ketika masih kecil. Katanya, ketika Mama mengandungku, Simbok yang sudah tiga kali kawin-cerai dan tak punya anak pun jadi iba, lalu memutuskan untuk tak pernah menikah lagi dan membantu membesarkanku. Aku tak tahu mengapa Simbok iba pada Mama kala itu. Mungkinkah karena setiap janin membawa petaka, tanyaku padanya. Simbok tergelak sedikit, kemudian berkata bahwa aku adalah keberuntungannya. Sejak saat itu aku tahu, aku tak boleh lagi bertanya seperti itu.

Rutinitas di rumahku konstan sama setiap hari. Mama dan Simbok bangun pagi. Kemudian Mama berangkat ke kantornya dan Simbok membereskan rumah sebelum membangunkanku. Setelahnya aku bersiap dan menunggu di teras sampai guru privatku tiba. Mama mungkin bisa saja memasukkanku ke sekolah khusus, tapi nyatanya tidak.

Guruku seorang laki-laki. Pertama ia mengajariku membaca dengan huruf Braille di usiaku yang genap enam tahun, dilanjutkan dengan teori gravitasi Newton ketika umurku sepuluh tahun dan teori Comte tentang tiga tahap perkembangan intelektual ketika umurku lima belas. Sempat kukira ia pacar Mama, ayahku mungkin. Dan ia terdengar mendengus kesal sambil berkata, “Mamamu lebih tua dariku.”

Aku tak tahu apa yang salah jika mamaku lebih tua darinya. Kalaupun memang betul ia pacar Mama, aku tidak keberatan. Itu artinya mamaku akan punya teman dan tidak sendirian lagi.

Tapi, tidak. Aku bohong. Aku terbiasa dengan Mama yang bersikap seadanya cenderung dingin. Tak dapat kubayangkan jika suatu hari nanti Mama berubah hangat karena hal yang disebut cinta. Dan lagi, memangnya apa itu cinta?

“Kamu membenci ayahmu?” tanya guruku.

“Aku tidak membencinya, hanya tidak mencintainya.”

“Mengapa begitu?”

“Sama seperti melihat, aku tak pernah merasakan punya ayah. Aku tidak bisa membenci apa yang tak pernah kumiliki. Memangnya kenapa? Kau ayahku, atau kau mau jadi ayahku?”

Dan ia tertawa. Keras sekali, lalu terdiam. “Mamamu lebih tua dariku,” ulangnya untuk kesekian kali. “…, dan aku terlalu muda untuk jadi ayahmu.”
Baruna ilustrasi Gilang Muhammad Ajiswara/Kompas 


Perlu kuakui ia terkadang bodoh. Ia tidak pandai berhitung jadi ia tak pernah mengajariku. Ini buktinya. Usinya hanya tiga tahun di bawah Mama, dan beraninya ia berkata bahwa ia terlalu muda untuk jadi ayahku!

Dari cerita yang kudengar, Mama bertemu dengan guruku di kantor tempat Mama bekerja—dulu ia rekannya. Mama dulu prihatin melihat guruku—yang saking pintarnya—katanya jadi kacung bos-bos besar. Mama bilang, “Kau terlalu pintar untuk diperintah bandot-bandot tua itu. Lebih baik kau keluar, lalu mengajar anakku di rumah. Anakku buta, tapi kujamin ia tidak kalah cerdas dari anak normal di luar sana. Ia bisa mendeskripsikan warna dengan baik, kau tahu.”

Harusnya ia tahu kalau Mama hanya bergurau. Namun, keesokan harinya ia memutuskan untuk keluar dari kantor, lalu sebagai gantinya ia datang ke rumahku. Selama hampir dua belas tahun tanpa satu hari pun alpa, Sabtu dan Minggu tidak dihitung tentunya. Padahal, upah yang didapatkan dari mengajarku tidaklah sebanding dengan gaji yang diterimanya dari kerja kantoran. Entah kenapa ia begitu betah. Mungkin ia betulan naksir Mama, atau lidahnya sudah kecanduan masakan Simbok sepertiku. Bisa jadi juga ia menderita penyakit kronis yang sama denganku; kesepian stadium akhir. Sebagai sesama orang kesepian, tentulah kami harus saling menemani.

“Kau tak sopan, Meer. Harusnya kau panggil aku ‘Pak Guru’, ‘atau ‘Kak’. Bukan hanya memanggil namaku,” tiba-tiba ia memecah keheningan di antara kami. Aku hanya diam karena tak tahu apa yang harus kukatakan padanya.

Aku tak tahu bagaimana caranya bersikap sopan terhadap orang lain selain Simbok dan Mama. Aku meniru apa pun yang mereka lakukan. Saat pertama kali bertemu dengannya, Mama memperkenalkan dengan seorang pria bernama Baruna, bukan Pak Guru. Ayolah, aku tidak bodoh. Aku tahu ia adalah guruku. Namun, di mataku yang hanya bisa melihat hitam ini, ia tetaplah Baruna, guruku—bukan Pak Guru, guruku. Toh, Mama dan Simbok juga tidak pernah meralat panggilanku terhadapnya.

Satu-satunya teman yang kupunya adalah Baruna. Mama sibuk bekerja, Simbok lebih rajin mempelajari resep baru ketimbang mengobrol denganku. Baruna baik. Tubuhnya tinggi, dan jika matahari sudah terlalu menyengat dan menyilaukan, ia langsung pasang badan di depan jendela agar aku tidak terkena sinar matahari langsung. Sungguh, sangat menyenangkan berada di dekatnya. Kali ini aku jujur, aku tidak keberatan ia jadi ayahku.

***

Rutinitasku yang sama setiap hari berubah di satu hari yang sejak awal kurasa janggal. Baruna menghentikan pelajaran sebelum waktunya dan Simbok membuatkan sop ayam yang keasinan sampai aku ragu apakah itu betul buatan Simbok atau bukan.

Semuanya terasa berlalu begitu lamban. Aku bosan luar biasa. Kesal juga karena masakan Simbok tumben-tumbennya tidak ada yang terasa lezat. Aku meringkuk di dalam selimutku, merasa terlalu gelisah untuk keluar. Baruna belum pergi, aku tahu. Mama biasanya pulang larut, masakan Simbok sedang tidak enak, dan suasana hatiku tidak secerah biasanya untuk diajak tertawa bersama. Jadi entah apa yang membuatnya begitu betah di rumahku hari itu.

Kegundahanku mereda sudah saat Mama datang lebih awal dari waktunya. Mama membawa seseorang, hal yang tak lazim Mama lakukan kecuali saat tiba giliran rumah kami yang jadi tuan rumah arisan kompleks. Seorang laki-laki yang bertubuh tak kalah tinggi dari Baruna, karena tubuhnya menghalangi sinar matahari untukku. Wangi parfumnya sungguh maskulin dan suara decit sepatunya yang beradu dengan ubin membuatku ingin bertaruh kalau pasti malam sebelumnya sudah disemir sampai mengilat.

Lelaki itu menjabat tanganku, juga Simbok dan Baruna. Tangannya bergetar dan licin karena keringat. Ia lalu duduk di sampingku, dan tanpa kuduga-duga menangis. Isaknya terdengar jelas meski seusahanya diredam. Tubuhnya yang berguncang juga ikut mengguncang sofa tempat kami duduk. Aku sungguh merasa tidak nyaman.

Laki-laki itu bilang, ia adalah ayahku. Ia meminta maaf karena hampir tujuh belas tahun tak pernah berusaha bertemu denganku. Salahnya karena meninggalkan aku dan Mama, membawa segala ketidakpercayaan dirinya belasan tahun yang lalu. Malamnya, aku tidak bisa tidur sama sekali memikirkan sosok yang tak pernah kupedulikan keberadaannya tiba-tiba datang. Aku tidak siap.

Hari-hari selanjutnya, ayahku rutin datang berkunjung tiap sore. Dibawakannya susu kedelai kesukaanku tiap hari dan sekeranjang buah segar di akhir minggu. Ayah bilang, dulu ditinggalkannya Mama yang sedang hamil besar karena ia malu, hanya bisa menafkahi calon bayinya dengan sufor murahan. Sungguh alasan yang tak bisa kutolerir, tetapi tetap kumaafkan karena ia adalah orang yang sebenarnya menyenangkan.

Aku menawarinya untuk tinggal di rumah. Tidak, katanya. Untuk menemui Mama dan aku saja butuh rasa tak tahu malu yang besar, apalagi untuk tinggal bersama kami. Ah, andai dari dulu aku tahu betapa serunya mempunyai seorang ayah, aku pasti tak keberatan jika tumbuh besar hanya dengan minum sufor murahan.

Tak ada perubahan yang begitu drastis sejak kehadiran Ayah di hidupku. Mama tetap pulang sore dan sikapnya masih seadanya cenderung dingin. Masakan Simbok hanya tidak enak di satu hari janggal nan istimewa itu, setelahnya tetap menjadi candu untuk lidahku. Yang berbeda hanyalah berkurangnya intensitas kedatangan Baruna ke rumahku seperti sebelum kehadiran Ayah. Aku tidak kesepian karena Ayah sekarang menemani tiap sore. Hanya aku takut ia ternyata menghindari Mama karena cemburu dengan Ayah. Bagaimanapun juga, ia sosok yang cukup berarti di hidupku. Aku tak mau membiarkannya sedih, jadi kutelepon dia di suatu malam setelah berminggu-minggu tak lagi datang.

“Kau tak pernah datang lagi. Kau cemburu pada Ayah? Tenang saja, kalaupun nanti kedua orangtuaku bersama lagi, pasti waktunya akan cukup lama untuk mereka berdua bisa saling menerima satu sama lain. Kesempatanmu masih banyak.” Aku berusaha menghibur Baruna di ujung sana. Ayah akan tetap jadi ayahku, tapi ia belum tentu jadi pasangan Mama lagi. Jadi kesempatan bagi Baruna akan selalu terbuka lebar, kan?

Namun yang kudapati hening di ujung sana. Cukup lama. Terdengar beberapa kali helaan napasnya sampai akhirnya ia bertanya, “Sameera, kau sayang ayahmu atau aku?”

Kali ini aku yang terdiam. Sepertinya cukup lama juga. Aku belum menyayangi ayahku karena kehadirannya di hidupku baru hitungan minggu. Mungkin saja aku menyayangi Baruna, tapi aku tak tahu bagaimana cara menyayanginya jadi belum bisa terlalu yakin.

“Aku suka ada ayahku. Dia baik dan menyenangkan,” jawabku akhirnya.

Tak sampai semenit kemudian, sambungan telepon diputus dari seberang.

***
Pagi ini aku bangun lebih awal, tepat saat kudengar suara mesin mobil Mama pergi meninggalkan pekarangan. Malam sebelumnya, Simbok sudah memberi tahuku kalau dia mungkin akan pergi ke pasar dalam waktu yang lama. Tenang saja, katanya, makanan sudah disiapkan di kulkas dan Ayah akan datang menemaniku sampai Simbok pulang.

Kuputuskan untuk bergelung saja di tempat tidur hingga Ayah datang. Aku sebetulnya ingin sekali buang air kecil, tapi kutahan karena aku tak berani keluar kamar tanpa seorang pun membantu. Tolong jangan salahkan kebutaanku.

Hening. Semenit, dua menit, lalu belasan menit. Akhirnya terdengar suara langkah kaki seseorang di teras. Baguslah, aku ingin cepat-cepat ke kamar mandi.

Pintu kamarku dibuka perlahan. Aku refleks duduk dan tersenyum. Kuulurkan tanganku—berharap segera dibantu ke luar, sebelum kutarik lagi. Ia bukan Ayah, wangi parfumnya berbeda. Ditambah samar-samar bau amis memuakkan yang ditangkap indera penciumanku.

“Baruna.” Aku hafal aroma parfum Baruna.

Ia hanya diam, tetapi terus berjalan mendekat. Tanganku meraba-raba di udara sampai menyentuh kemejanya. Basah dan dingin, juga tercium amis yang makin menyengat. Ia duduk di sampingku. Sebelah tangannya memelukku, sebelahnya lagi kurasa menjatuhkan sesuatu di lantai. Terdengar seperti logam yang berdenting di bawah sana.

“Ayahmu di luar,” bisiknya. “Maaf.”

Tubuhku seketika menggigil saat pelukan Baruna semakin erat. Lama-lama seluruh ototku jadi mati rasa, Baruna juga tak kunjung bergerak. Amis yang menempel pada kemeja Baruna membuatku pusing. Sepertinya aku mengompol karena celanaku basah.

Baruna kesepian, sama sepertiku. Ia dibesarkan neneknya karena kedua orangtuanya terlalu sibuk bertengkar lalu lupa memperhatikannya. Selama tahunan ia bolak-balik ke psikiater, sampai aku tak ingat kapan tepatnya terakhir ia pergi menebus obat. Ia bilang ia sudah bahagia meski kadang masih kesepian. Jadilah kami sebagai sesama orang kesepian harus saling menemani.

“Tahukah kau, Meer, nenekku pernah bilang kalau Baruna artinya penguasa lautan. Mamamu juga bilang, namamu—Sameera, diambil dari kata ‘meer’ yang berarti laut dalam bahasa Jerman. Aku bersyukur kita bertemu, Meer.”

Demi Tuhan, aku dapat mendengar senyuman di kalimatnya.


Cerpen Meutia Swarna Maharani (Kompas, 26 Agustus 2018)
Meutia Swarna Maharani, biasa disapa Ara, lahir di Jakarta pada 6 September 2001. Sekarang bersekolah di SMA Negeri 1 Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Sudah menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpan anak pada tahun 2011 berjudul Melukis Pelangi dan sebuah novel berjudul Langkah Kecil di tahun 2017. Mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017.

Gilang Muhammad Ajiswara, lahir di Garut 9 Januari 1979. Berdomisili di Bandung. Menyelesaikan pendidikan S-1 – Seni Lukis, jurusan Seni Rupa Murni di FSRD ITB (1998-2004). Sekarang berprofesi sebagai pengajar di bidang Seni Rupa di ITB.

Minggu, 19 Agustus 2018

Hanya Anjing yang Boleh Kencing di Sini

RATMI membuka jendela kamarnya, pesing yang begitu pekat segera menyeruak ke lubang hidungnya. Membuatnya ingin muntah. Kurang ajar, para begundal itu pasti kencing di situ lagi, umpatnya dalam hati.

Semenjak pasar baru itu diresmikan tiga bulan lalu, setiap malam selalu saja ada orang-orang kurang kerjaan yang suka begadang di gardu pinggir pasar—hanya beberapa meter dari rumah Ratmi. Mereka bermain gitar, bermain kartu, atau mengobrolkan hal-hal yang menurut Ratmi tak penting. Mereka penggaduh yang tak tahu aturan. Tak jarang, tengah malam anak Ratmi yang masih bayi terbangun karena kaget mendengar ledakan tawa dari gardu di pinggir pasar itu. Ratmi atau tetangga lainnya tak ada yang berani menegur. Dan yang paling membuat Ratmi geram, mereka hobi sekali mengencingi pohon sawo di halaman sebelah rumah Ratmi. Pohon sawo yang menjadi pembatas antara rumah Ratmi dan area parkir pasar baru itu. Hingga aromanya menyebar sampai ke kamar.

Ratmi memang tak pernah melihat secara langsung orang-orang itu kencing di bawah pohon sawonya. Tapi, siapa lagi kalau bukan mereka? Anjing liar? Mereka itu anjing liarnya. Dan bau pesing itu agak aneh. Tidak seperti bau kencing orang normal. Baunya lebih busuk. Barangkali mereka terlalu banyak meneguk alkohol hingga air kencing mereka berbau seperti amonia. Tajam, busuk, dan seolah beracun.

“Orang-orang ini tak punya otak, kencing kok di halaman rumah orang. Tapi, pengelola pasar juga tak punya otak. Gara-gara toilet pasar digembok, mereka jadi kencing di halaman rumah orang. Mereka sama-sama tak punya otak,” ratusan kali Ratmi menyerapahi mereka. Hanya menyerapahi.

“Laporkan saja ke Pak RT biar ditegur,” saran seorang tetangga. Tapi, itu sudah basi, Ratmi sudah melapor ke Pak RT sebanyak dua kali dalam tiga bulan terakhir. Kata Pak RT, mereka sudah ditegur. Mereka iya-iya, berjanji tak bikin gaduh. Ketika Pak RT bertanya perihal siapa yang kencing sembarangan di halaman rumah orang, mereka tak mengaku. Mereka bilang tak ada satu orang pun di antara mereka yang kencing di halaman rumah Ratmi. Hal itu membuat Ratmi semakin geram. Jelas-jelas bau pesing itu menusuk hidung. Dalam hati Ratmi berjanji, ia akan membuktikan bahwa para begundal kurang kerjaan itulah yang nyaris setiap malam menjadikan pohon sawonya sebagai kakus gratisan.

Untuk menangkap basah si tukang kencing itu, suatu malam, Ratmi meminta suaminya untuk berjaga dan mengintai manusia seperti apa yang sudah mengencingi halaman rumahnya. Tapi, suami Ratmi maupun Ratmi sendiri tak pernah memergoki secara langsung. Mereka selalu ketiduran setiap kali mencoba berjaga. Ratmi pernah berpikir ingin memasang beberapa jebakan tikus, menyebarnya di bawah pohon sawo yang remang itu. Tak perlu umpan. Karena jebakan itu memang bukan untuk para tikus. Tapi, untuk kaki-kaki sialan yang berjalan mengendap-endap di halaman rumahnya dan melepaskan hajat di pokok pohon sawonya. Tapi, Ratmi tak pernah melakukan itu. Justru sebuah ide lain muncul di kepala Ratmi.
Hanya Anjing yang Boleh Kencing di Sini ilustrasi Budiono/Jawa Pos 

“Orang-orang kencing di sini karena tempat ini gelap,” ujar Ratmi kepada suaminya. “Jadi, kita pasang lampu saja, tepat di bawah pohon itu, kita gantung di salah satu dahan. Dan jangan lupa, kita tempel plang dari tripleks dan kita tulisi ‘Hanya Anjing yang Boleh Kencing di Sini’. Tulisi yang besar biar mereka melek.”

Suami Ratmi segera bertindak. Setelah lampu dan plang itu terpasang, Ratmi menghela napas karena beranggapan halaman rumahnya akan terbebas dari aroma memuakkan itu. Tapi, rupanya Ratmi salah. Esok harinya dan esok harinya lagi, aroma pesing itu masih saja tercium sampai ke dalam kamarnya. Bahkan, aromanya semakin pekat. Seolah aroma pesing itu melayang-layang di udara dan membeku di sana. Saban pagi, Ratmi menyiram pokok pohon sawonya itu dengan air bekas cucian piring atau air bekas mandi bayinya agar bau pesing itu enyah dari sana. Tapi esoknya, setiap pagi baru tiba, aroma pesing itu datang lagi.

“Baiklah, ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi,” ujar Ratmi megap-megap, menahan aroma mujarab yang meringsek ke lubang hidungnya. “Kalau sampai terbukti, mereka harus dibawa ke polisi, mereka kudu diperkarakan,” tambahnya.

“Tapi, tugas polisi bukan menangkap orang yang kencing di halaman rumah orang,” sahut suaminya.

“Tapi, mereka mengganggu ketenteraman orang, itu tindak pidana. Yah, kalau polisi tak mau menangkap mereka, kudoakan saja supaya Tuhan atau siapa saja mengebiri barang mereka. Biar mereka tak bisa kencing sembarangan lagi.”

Suami Ratmi tertawa kecil.

“Coba malam ini kamu ke gardu, tegur mereka secara baik-baik,” pinta Ratmi dengan muka cemberut.

“Tapi, Pak RT kan sudah pernah menegur mereka.”

“Beda. Pak RT sudah tidak bisa diharapkan lagi. Aku pengin dengar apa yang mereka katakan padamu. Soalnya yang dikencingi ini rumahmu, bukan rumah Pak RT.”

“Wah, aku malas sekali kalau harus berurusan dengan orang-orang seperti itu,” balas suami Ratmi, enggan.

“Malas atau takut?” sindir Ratmi. “Kasihan itu anakmu, tiap hari harus menghirup udara beracun.”

“Kita tutup saja jendelanya.”

“Jendela dibuat supaya angin bisa keluar masuk, kok ditutup.”

“Lha kalau tak ditutup baunya pesing, kamu ngomel–ngomel.”

“Makanya, kamu tegur mereka baik-baik. Kamu kan laki-laki.”

Malam harinya. Dengan muka tertekuk dan ragu-ragu, suami Ratmi pun mendatangi segerombolan orang di gardu itu. Ratmi mengintip dari balik jendela. Tampak suaminya berbicara dengan beberapa orang. Sesekali ia tersenyum masam. Suaminya tampak mengangguk beberapa kali. Terdiam sejenak. Berbicara lagi. Mengangguk lagi dan berlalu.

“Mereka bilang, tak ada yang pernah kencing di situ,” ujar suami Ratmi bersungut-sungut.

“Kurang ajar! Masih belum ada yang mengaku. Kalau bukan mereka yang kencing di situ, terus siapa lagi?”

Suami Ratmi menggeleng. Putus asa.

“Cuma mereka yang suka begadang sampai tengah malam di situ.”

“Sepertinya mereka orang baik-baik,” lirih suami Ratmi. “Mereka hanya suka begadang dan bermain kartu.”

“Dan mengencingi halaman rumah orang,” sambar Ratmi.

“Mereka bilang tidak kencing di situ,” suara suami Ratmi agak meninggi.

“Lalu siapa?”

Setelah berembuk alakadarnya, Ratmi dan suaminya bersepakat untuk tidak tidur malam ini. Benar-benar tidak tidur. Setidaknya, sampai mereka memergoki makhluk seperti apa yang mengencingi pohon sawonya. Ratmi telah memasang dua kursi di depan jendela. Berhadap-hadapan. Untuknya dan suaminya. Setelah bayinya tertidur. Ratmi membuat dua cangkir kopi pekat untuk berjaga malam. Malam pun menyambut. Mulai merangkak. Semakin menggelapkan yang sudah gelap. Dan gardu di sebelah rumah Ratmi, yang semula sepi itu, mulai ramai didatangi orang.

“Lihat mereka. Pasti salah satu dari mereka yang mengencingi pohon sawo kita,” bisik Ratmi sambil mengintai dari balik jendela.

Semakin malam seharusnya semakin sunyi, namun gardu di depan pasar itu berbeda. Semakin malam justru semakin riuh. Jarum jam sudah menukik, menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Tapi, tak tampak seorang pun yang mendatangi halaman rumah Ratmi.

“Tak ada yang kencing di situ. Jangan-jangan memang bukan mereka,” gumam suami Ratmi, pelan.

“Kita lihat saja.”

Sambil berjaga dan menyesap kopi yang semakin dingin itu sesekali, mereka berbincang lirih. Seperti dua orang yang sengaja berbisik. Sementara jarum jam terus bergerak, sampai ke angka dua belas, lalu ke angka satu, dan seterusnya.

Pukul setengah tiga, Ratmi dan suaminya sudah mengerut. Lubang mata mereka sudah menggelap serupa sepasang mata panda. Mereka nyaris putus asa, hingga tiba-tiba Ratmi terlonjak karena melihat kelebatan di antara pohon sawonya.

“Sebentar, lihat itu!” Wajah Ratmi bergeser mendekati jendela yang sedikit terbuka. Suaminya mengikutinya dengan malas.

Di bawah pohon sawo itu, tampak seekor anjing liar berjalan mondar-mandir, sebelum akhirnya mengangkangkan kaki dan mengencingi pokok pohon itu. Kepala Ratmi mau meledak. Anjing itu tak bersalah. Ya, memang hanya anjing yang boleh kencing di situ.

Surabaya, 2015

Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 12 Agustus 2018)
Mashdar Zainal. Lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya tepercik di berbagai media. Kumpulan cerita terbarunya “Lumpur Tuhan’’ pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2017. Kini bermukim di Malang

Riwayat Haji

“Doa apa yang hendak kalian titipkan padaku sewaktu di depan ka’bah nanti?” Haji Mashurat mengajukan pertanyaan, disertai anggukan kepala berulang-ulang. Jam dinding berputar di atas kepalanya. Haji Mashurat mengedarkan pandangan. Membiarkan orang-orang berbisik serupa suara lalat. Bulan muncul dari balik dekapan awan dan merayap di permukaan langit. Mereka datang ke rumah Haji Mashurat guna mendoakan keselamatan laki-laki gemuk, berkumis tebal itu berangkat haji untuk kelima kalinya.

“Doakan yang baik-baik saja. Semoga kelak kami juga bisa naik haji,” terpaksa Rahnawi menjawab. Ia tak ingin memancing emosi Haji Mashurat karena tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan. Haji Mashurat melilitkan sorban putih di kepalanya. Kerut-kerut di dahinya mulai tampak membentuk garis yang terombang-ambing. Jari jemarinya dipenuhi cincin akik berbagai macam warna.

Angin dari balik perbukitan membawa hawa dingin. Menghunusnya ke dalam pori-pori kulit. Haji Mashurat membenarkan posisi. Pada saat itulah, dengan binar-binar kebanggaan di matanya, Haji Mashurat kembali akan mengurai kisah-kisahnya sewaktu di Mekkah. Ia mengedarkan pandangan. Menandai penghargaan atas kehadiran tamu undangan. Berdehem-dehem guna menghilangkan sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Ia atur alur napasnya.

“Dulu…” Haji Mashurat diam sejenak. Menunduk. Dua bola matanya menyimpan gerimis tipis sehalus sutra. Kurang lebih satu menit ia melanjutkan,“Saya tidak menyangka bisa mencium hajar aswad bahkan sampai berulang-ulang. Dan berkali-kali pula menginjakkan kaki di tanah suci. Saya merasa nikmat disana. Itulah mengapa saya tak ingin berhenti pergi ke sana.”

“Saya bermimpi bertemu Rasulullah. Kata orang, tidak akan datang Nabi ke dalam mimpi seseorang kecuali ia sudah bersih hati dan memang dipilih Gusti Allah.” Mata Haji Mashurat berkaca-kaca. Ia mengusap gerimis yang meleleh di kedua pipi tembemnya dengan sorban. Orang-orang terharu. Terkagum-kagum. Sampai-sampai ada yang ikut meneteskan air mata. Ada pula yang berbisik-bisik dan mencibir.

“Membual! Mana mungkin Rasulullah hadir dalam mimpimu!” Rahnawi melenguh dalam hati. Menyimpan cibiran di dalam dadanya. Melintas dalam  ingatan Rahnawi, tiga tahun lalu ucapan Haji Mashurat melubangi dadanya. Jantung Rahnawi hampir copot dari tangkainya kala itu. Namun ia tetap bersikap wajar kepada haji Mashurat. Tak memelihara dendam.

Riwayat Haji ilustrasi Rendra Purnama/Republika 
Waktu itu, jam delapan pagi. Matahari mendaki permukaan langit dari balik bukit Garincang. Seekor burung melayang-layang, sesekali hinggap di atas dahan. Isak tangis Simar, istri Rahnawi membuatnya terhisap memasuki kepedihan demi kepedihan di dalam hatinya. Misdar, anak mereka sakit keras. Ia cuma dibiarkan terbaring berhari-hari di atas ranjang.

Padahal bocah tujuh tahun itu harus segera dioperasi karena usus buntu. Sebagai kepala keluarga Rahnawi tentu merasa bertanggung jawab. Tapi, laki-laki kurus kerempeng itu tidak sanggup membawa anak lelaki satu-satunya ke rumah sakit lantaran terhalang biaya. Rahnawi cuma seorang petani. Kerja serabutan. Penghasilan tak jelas. Mendengar tangis istrinya yang panjang dan menyayat kian membuat Rahnawi merasa bersalah dan mengutuk dirinya sendiri atas ketakberdayaan yang mencekiknya.

“Haji Mashurat.” Gumam istri Rahnawi diantara isak tangisnya. Tubuh Misdar merasakan sakit yang teramat pada perutnya. Ia meronta-ronta, diseratai jerit melengking. Dengan sandal jepit yang dikenakannya, Rahnawi melangkah terpiuh-piuh untuk sampai di rumah gedung bertingkat, dengan lampu-lampu serupa bunga mawar milik Haji Mashurat.

Gemetar merambat dari ujung tumitnya begitu ia tiba di rumah Haji Mashurat. Seorang pembantu menyambutnya. Menyilakan masuk. Di ruang tamu berpendingin, segelas teh dihidangkan oleh pembantu. Dinanti-nanti Haji Mashurat belum juga menemui Rahnawi yang mengatur alur napasnya sejak tadi. Ia meremas-remas tangannya yang mulai basah.

Tidak lebih dari enam menit. Haji Mashurat telah keluar membawa sebungkus rokok. Rahnawi berdoa agar laki-laki bersorban di hadapannya bersedia membantu kesulitan yang tengah membelitnya. Dengan tersenyum, Haji Mashurat menyodorkan sebatang rokok. Rahnawi merasakan keringat mengucur di sekujur tubuhnya. Ia belum berani mengatakan maksud kedatangan.

“Tumben kau kesini?” Haji Mashurat memulai. Mengurai ketegangan yang merambat sekujur tulang belulang Rahnawi. Ia tergagap untuk bicara. Ia melempar pandangan keluar jendela, pada baris pohon-pohon siwalan yang diterpa angin.

“Begini…” suara Rahnawi terputus. Ia seakan tak sanggup menguarai niat kedatangannya. Jam dinding di atas kepalanya berdetak tak seirama dengan laju degup jantungnya yang dirasakan payah. Sesaat kemudian, dengan menarik napas dalam-dalam ia bicara pelan seperti desir angin. “Saya butuh bantuan Mas Haji.” Haji Mashurat mengangguk-anggukkan kepala.

“Anak saya sakit keras. Ia harus dioperasi. Kalau boleh, saya ingin pinjam uang.” Haji Mashurat menyemprotkan asap rokoknya. Laki-laki bergamis, dengan sorban melilit di kepalanya itu mengernyitkan dahi, menimbang-nimbang apa akan menuruti permohonan Rahnawi atau membiarkan laki-laki kerempeng itu menelan kesedihannya sendiri. Haji Mashurat mengulas bibirnya dengan senyum kecut.

“Maaf…maaf saya tidak dapat membantu.” Jawab Haji Mashurat pendek. Mendengar ucapan itu, Rahnawi merasa seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Terbayang sudah bagaimana nasib anaknya. Ia seperti kehilangan tenaga untuk bangkit dari duduknya.

“Semua uang saya sudah disetor untuk naik haji. Saya harus berangkat haji lagi.” Haji Mashurat memang dikenal lantaran kehajiannya yang berulang-ulang. Namun ia juga dikenal lantaran sifat kikirnya yang teramat kepada tetangga.

“Bukannya Mas Haji sudah berkali-kali ke tanah suci?” Pertanyaan ini sempat diajukan Rahnawi sebelum lelaki kurus kering itu pulang menelan kekecewaan. Haji Mashurat menampakkan gigi-giginya yang mulai berkurang. “Saya cinta Rasulullah. Makanya saya harus naik haji berkali-kali selama masih hidup.” Rahnawi terlihat ingin meludah mendengar ucapan Haji Mashurat yang seperti itu. Tapi, ia buru-buru pamit pulang. Sehingga tubuhnya sudah hilang ditelan pengkolan jalan ketika Haji Mashurat mendengar keresak kasar sandalnya makin menjauh.

“Haji kampret!” Ia menyimpan umpatan itu di dalam dadanya yang meletup-letup. Langit sedang menghampar warna biruh cerah. Lima hari setelah itu, Misdar dijemput Izrail. Suami istri itu mengutuk dirinya atas ketakberdayaan memboyong anak lelakinya ke rumah sakit. Tangis Simar, kian panjang dan dalam. Penuh gumpalan kesedihan. Ia berusaha menenteramkan goncangan jiwanya dengan menabur bunga-bunga di atas pusara sang anak.

Dengan mata berkaca-kaca, Rahnawi tersadar dari lamunan panjangnya. Suara keras Haji Mashurat membuyarkan ingatan akan peristiwa kelam dalam hidupnya. “Kalau ingin naik haji bersihkan hati kalian. Tentunya kalian harus punya uang untuk sampai kesana.” Haji Mashurat menggulung sebagain baju di lengannya sehingga tampak arloji kuning keemasan berkilauan. Malam kian larut. Bulan timbul tenggelam dalam dekapan awan. Orang-orang bubar. Haji Mashurat bangkit, menerima uluran tangan orang-orang yang bersalaman kepadanya. Ia pun menepuk semua pundak orang-orang dan berujar, “Semoga bisa naik haji sama seperti saya.”

***

Dalam temaram lampu teplok yang terpiuh-piuh ditiup angin. Rahnawi tengah menyandarkan tubuhnya ke dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Hujan menggedor-gedor atap rumahnya. Hidupnya bergelantungan di garis kemiskinan. Segelas teh tanpa gula dihidangkan di atas meja oleh Simar. Meskipun begitu, ia terbilang laki-laki nekat. Nekat naik haji. Tempo hari, laki-laki yang makin menonjolkan tulang belulang di tubuhnya itu bilang kepada Simar bahwa ia akan menabung demi bisa sampai di tanah suci.

“Jangan nekat, Mas.” Istrinya merasa tak yakin Rahnawi akan sampai di Mekkah. Menanggapinya Rahnawi memberikan senyuman.

“Untuk ibadah ya harus nekat. Yakinlah pasti dikabulkan.” Rahnawi meyakinkan. Mantap. Ia hisap sebatang kelobot. Asapnya berputar-putar di udara.

Kini hampir satu tahun kurang sepuluh hari. Tersimpan sudah dua puluh juta di dalam lemari. Rahnawi banting tulang demi tanah suci. Dengan pencapaian itu, Rahnawi semakin yakin dirinya bisa mencium hajar aswad atau berdoa di depan makam para Nabi. Jam delapan malam. Angin menusuk-nusuk daun mangga. Terdengar pintu diketuk. Rahnawi meminta Simar segera membukanya.

Seorang perempuan tua, keriput, dan bungkuk sedang berdiri di ambang pintu. Simar dapat mendengar tarikan napasnya berat dan goyah. Ia bicara terbata-bata disertai derai batuk. Bahwa cucu satu-satunya sedang terbaring di rumah sakit dan mesti dioperasi. Tak lama kemudian, perempuan tua itu menangis panjang dan sangat dalam.

“Berapa yang dibutuhkan untuk biaya operasi nek?” Rahnawi menggeser posisinya, duduk di sebelah si perempuan renta itu. Mengelus-elus tengkuknya.

“Rp 20 juta.” Jawaban nenek itu pendek. Kaget Rahnawi mendengar si nenek menyebut angka sebesar itu. Ia tarik napas dalam-dalam. Rahnawi masuk kedalam kamar. Dengan bungkusan berisi uang Rahnawi memberikan kepada nenek tersebut. Perempuan tua itu berniat mencium tangan suam istri itu pertanda terimakasih. Namun mereka menolaknya. Simar mengantar nenek itu sampai di depan pintu.

“Kenapa Mas berikan semua uang itu? Bukankah uang itu akan disetor untuk naik haji?”

“Apa guna saya naik haji kalau masih ada tetangga di sebelah rumah kita yang kelaparan. Apalagi ada tetangga yang sangat membutuhkan seperti nenek tadi.”

“Memang Mas kenal dengan nenek tadi?” Pertanyaan Simar membuat Rahnawi terperangah. Ia menggeleng. Sampai langit dibungkus gelap. Bintang ditabur di permukaan langit. Perempuan tua itu tetap diselimuti misteri. Suami istri itu berpegangan tangan ketika terlelap di atas ranjang. Dalam mimpi, Rahnawi bertemu dengan perempuan tua tadi. Walaupun wajahnya tampak jauh lebih muda. Ia tetap bisa dikenali. Tubuhnya mengeluarkan pendar-pendar cahaya. Ia berdiri di samping ka’bah. Melambai-lambaikan kedua tangannya kepada Rahnawi.

Pulau Garam, 2017

Cerpen Zainul Muttaqin (Republika, 12 Agustus 2018)
Zainul Muttaqin Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media nasional dan lokal. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (Edukasi Press; IAIN Walisongo Semarang. 2013). Perempuan dan Bunga-bunga  (Obsesi Press; STAIN Purwokerto. 2014). Sepotong Senja, Sepenggal Sangka (FAM Indonesia, 2016). Tinggal di Madura. Email: lelakipulaugaram@gmail.com
 

Sabtu, 18 Agustus 2018

Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati, Tuhan

Menjelang usia ke-90, aku mulai merasakan kesepian yang sangat. Di dalam ruang jiwaku, kegelapan seolah menyelimuti hidupku yang pahit. Aku tak lagi mengetahui apa pun yang terjadi di dunia ini. Keadaan ini, membuatku merasa tidak bahagia lagi. Pohon-pohon yang bergoyang di halaman rumah, kuperhatikan selalu dengan irama yang sama. Di malam-malam yang sungsang, mata anjing sialan yang biasa di depan rumahku pun menyala merah dan menggonggong seakan tak mengenaliku. Padahal ia milik tetanggaku. Sungguh, aku bosan dengan kehidupan.

Setiap bangun tidur, tulangku yang kaku berderit bersama ranjangku yang usang. Otakku seolah lengket. Aku hanya mampu mengingat jarak antara desaku dengan desa tetangga. Jalan yang berdebu, pintu rumah yang terkelupas catnya, dan tahi kerbau yang bercecer di jalanan. Orang-orang seusiaku juga semakin langka. Mereka satu-satu mati dan digantikan oleh anak-anak muda yang asing dan tak bisa mengerti bahasaku. Aku pun tak mampu memahami mereka. Mereka banyak bicara hal-hal asing di dunia ini. Aku merasakan dunia ini seolah sudah terbalik. Kebahagiaan mereka bercerita tentang dunia yang tak aku pahami ini membuatku iri.

Anak-anak muda itu juga semakin tak menghormatiku. Mereka menganggap aku—orang tua ini, seperti kerbau dungu yang pantas mereka tertawakan. Sungguh, adab mereka tak lagi anak-anak muda di zamanku. Mereka juga hidup dengan dirinya sendiri. Meskipun aku lihat mereka berkumpul dengan mainan menyala di tangan.

***

Istriku, di masa lalu, adalah sosok perempuan manis yang mengetahui banyak hal. Terutama tentang orang-orang di pasar, tempatnya berjualan. Mereka membuatnya sering mengomel setelah menagih tak kunjung hasil. Ia juga banyak tahu nama-nama orang berikut jumlah utangnya, meskipun bukan berutang padanya. Ia suka sekali cerita tentang dunia luar sana yang katanya terlalu ribut. Jika aku merasa capek menanggapi—ia segera pergi ke rumah Jumiyem, tetangga sebelah yang mirip istriku, sembari membawa sedikit makanan agar ada alasan untuk tetap tinggal dan menggunjing orang-orang yang menggelisahkannya. Sepulang dari rumah Jumiyem, ia suka sekali bercerita tentang Kerto. Suami Jumiyem yang pakai kacamata dan membaca koran. Di sisi itu, harus kuakui, istriku adalah perempuan yang penuh perhatian. Kepadaku dan pada orang-orang di luar sana. Oleh sebab itu, ia jadi tahu banyak hal dan membuatnya hidup tak kesepian tanpa anak.

Suatu ketika, istriku memintaku memakai kacamata seperti suami Jumiyem. Katanya, “Pak, besok kamu harus pakai kacamata, biar bisa baca koran seperti Kerto.”

“Besok kalau dapat tagihan, aku belikan dulu saja. Tapi diganti, jangan lupa, Pak.” Tapi kacamata itu tak pernah sempat ia belikan. Istriku mungkin lupa selama itu, dan akhirnya keburu meninggal karena darah tinggi.

Setelah istriku tiada, duniaku menjadi berubah sama sekali. Tentu saja, aku sangat kehilangan satu-satunya teman di dunia yang memberiku banyak kesenangan, meskipun aku tak pernah tahu isi dunia ini. Ia seperti menjadi mata dan kegembiraanku. Di makamnya yang sederhana tanpa nisan di ujung desa, aku memberinya bekal sebuah kendi yang kuisi air setiap pekan. Air itu kurasa akan cukup untuk bekalnya dalam perjalanannya di padang masyar yang katanya panas. Sering kusampaikan kesedihanku padanya. Betapa aku kehilangan kehidupanku s telah ia pergi, bahkan sebelum aku mati sungguhan. Aku hanya berharap agar segera bisa menyusul dan bersamanya menyusuri dunia baka dengan gembira.

Tentang mati ini, sesungguhnya aku cukup optimistis selama lima tahun lalu, mcngingat sebayaku sudah banyak yang menemui ajal. Tapi, kenyataannya berbeda, sampai saat ini aku masih hidup dan menjalani kehidupan yang semakin membosankan. Terkadang aku merasa jengkel dan berpikir Tuhan telah melewatkanku. Tapi bagaimana mungkin Tuhan melupakanku? Aku, meskipun tak selalu ingat, aku suka menyebut namaNya.

Hingga kemudian, suatu waktu, aku bertemu dengan anak dari cucu luar jauh istriku di depan balai desa. Anak muda itu langsung mengenaliku, meskipun aku merasa belum pernah bertemu. Tapi aku juga tak yakin. Aku mungkin pernah mampir di rumah orangtuanya, atau dia mampir ke rumahku bersama orangtuanya. Ia mengingatku dan aku melupakannya. Itu bisa saja terjadi. Usianya menurutku sekitar 30 tahun. Bisa lebih bisa kurang. Kulitnya agak gelap seperti istriku. Rambutnya hitam berombak. Matanya awas di atas hidungnya yang bersila. Tapi ia sungguh baik terhadap orang tua sepertiku. Katanya, ia akan mengirimku sebuah kacamata agar aku bisa membaca. Karena ia baik, aku bilang padanya agar segera mengirim kacamata itu.

“Jangan lupa, bilang pada bapakmu untuk mengirimku uang juga.”

Anak muda itu, memang berbeda dengan yang lain, meskipun aku lupa menanyakan namanya—ia tetap mengiyakan dan mencium tanganku dengan penuh rasa sopan yang semakin sirna di desaku.

Beberapa hari kemudian, aku masih mengingat mukanya, ia datang berkunjung ke rumah dan membawa sebuah kacamata serta amplop berisi uang. Di teras rumahku yang dipenuhi tahi ayam milik tetangga, aku mencoba kacamata itu. Pertama yang aku lihat dengan kacamata itu adalah sobekan kertas yang berisi huruf latin dengan tinta yang hampir luntur. Aku yakin itu tulisan generasi kedua setelah dua generasi dariku. Tulisannya buruk seperti bunyinya, kamu membosankan.
Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati, Tuhan ilustrasi Ampun Sutrisno/Kompas 

Hari itu aku sangat bersemangat. Semua kesepianku tiba-tiba sirna. Aku merasa bahagia dan senang. Aku basahi permukaan kaca bulatnya dengan uap mulut dan menggosoknya dengan ujung serbet berulang kali. Mengenakannya dan menatap diriku sendiri di depan cermin lemari. Istriku pasti sangat senang bila tahu aku memiliki kacamata seperti Kerto. Esok paginya aku sengaja berjalan ke ujung desa dan menemui istriku. Kukenakan kacamata itu sepanjang jalan, meskipun jarak pandangku menjadi kabur. Anak-anak muda yang berkumpul di poskamling kulihat—mereka—dan aku yakin mereka menatapku dengan pandangan iri. Di makam, aku katakan pada istriku bahwa cucunya yang baik sudah memberiku kacamata. Jadi, tidak perlu khawatir lagi, aku sudah seperti Kerto dan akan melihat isi dunia ini. Aku tak akan kesepian lagi menunggu ajalku.

Aku mulai membaca koran dengan kacamataku. Mula-mula aku melihat kehidupan dunia seperti cahaya mozaik yang berkelap-kelip. Aku melihat dunia yang membesar. Cahayanya menyenangkan. Ini sungguh membuatku seperti menelusuri pasar malam di masa lalu, ketika aku berusia sekitar sepuluh tahun. Ada banyak makanan dan gula-gula yang menarik di sana. Badut-badut yang melucu di tenda sirkus yang berada di alun-alun kota di bulan menjelang puasa. Aku bersama tiga temanku sering masuk tanpa tiket melalui lubang tenda yang sobek dan dikejar-kejar penjaga dan diteriaki, “Hei, bajingan cilik! Jangan lari!” Kami berlari ketakutan, tapi tertawa senang.

Namun, semakin aku membaca—sedikit demi sedikit, perasaanku menjadi khawatir dan getir. Aku menjadi seolah melihat dunia masa lalu yang dipenuhi perang, begal, para durjana dan kemelaratan orang-orang menggunakan goni berkutu untuk bahan pakaian. Dunia menjadi terasa pengap dan gelap. Setiap hari aku menjadi merasa ketakutan. Aku melihat kematian yang tak semestinya setiap hari.

Aku mungkin tidak lagi terkurung dalam pandangan terbatas. Tapi aku jelas dikurung oleh pelbagai perasaan yang tak bisa diduga. Setiap pagi, aku tiba-tiba seperti didorong untuk marah. Aku mencaci dan menyumpahi orang-orang yang tak kukenal. Aku menjadi curiga pada setiap orang. Bahkan aku mulai tak suka dengan kepala desaku yang kulihat seperti binatang penghisap. Lurah itu kaya-raya. Punya banyak sawah dan rumahnya besar yang dibuat dari kayu jati. Mobil nya juga berderet di halaman rumahnya yang seperti taman surga Hijau dan dihiasi bunga-bunga berwarna merah dan kuning. Tapi lurah itu pasti bajingan. Koruptor yang jahat. Setiap hari aku membaca keadaan itu. Para pejabat yang ditangkap polisi, polisi yang ditangkap polisi dan polisi yang menangkap orang tak bersalah.

Semakin aku mengetahui dunia, semakin aku merasa sepi dan nelangsa. Aku malah tak bisa memahami isi dunia ini. Tidurku menjadi berjarak dan tak lagi nyenyak. Nyamuk-nyamuk di kamarku menjadi resah seperti marah. Ketika pagi menjelang, kulihat anak-anak muda di desaku seolah tumpukan sampah yang bergerak-gerak tertiup angin. Mereka tetap tak berlaku sopan pada orang tua sepertiku. Kerjaannya hanya tertawa dan melongo seperti mabuk masrum.

Setelah waktu yang demikian panjang dan kejam menyiksaku dengan kacamata itu—aku mulai sangat merindukan istriku. Aku datang padanya di tengah malam. Di atas permukaan gundukan makam yang mulai merata, kusiramkan air kendi agar haus istriku terobati di sana.

“Aku tahu kamu merindukanku, Bu,” bisikku di antara bunyi serangga dan derit pohon bambu yang disapu angin malam. Malam itu, bintang-bintang berkelip nyala. Udara terasa nestapa.

“Kamu harus sabar menungguku. Waktuku tak lama lagi, bukan? Iya, semoga Tuhan tak melupakanku lagi. Mintalah padanya memanggilku sekarang. Kamu dekat dengan diriNya, bukan? Atau dia tak ada?” Aku terdiam lama dan tanganku menggaruk-garuk tanah. Sadar telah berucap dosa.

“Aku bosan dengan dunia ini dan aku tak suka kacamata ini. Benar katamu, Bu, aku bisa seperti Kerto, tapi kacamata ini membuatku kehilangan kewarasan. Kacamata ini menyeretku pada dunia yang berbadai. Dunia ini ternyata hanya berisi sampah-sampah. Aku tak mau memakainya lagi,” kataku geram sembari membuangnya di pinggir pagar makam.

Malam itu aku tak mau meninggalkan di mana istriku berada. Aku hanya ingin tenang bersamanya. Mendengarkan suaranya bersama desah angin, ringkik jangkrik, derik ular dan kabut menjelang subuh yang datang. Di samping pusaranya, aku hanya berbaring dan berharap segera datang ajal bersama istriku, menjemputku. Tapi, kemudian orang-orang kampung pada datang. Memaksaku pulang untuk hidup menerima keadaan. Mereka mengira diri mereka punya rasa kasihan. Betapa sia-sianya mereka tak paham yang aku rasa, dan betapa malangnya aku harus menunggu waktu ajal yang membosankan. Tanpa jeda. []

Cerpen Ranang Aji SP (Kompas, 12 Agustus 2018)
Ranang Aji SP, mengikuti program Kelas Cerpen Kompas 2018, Kompas Institute. Menetap di Magelang, Jawa Tengah. Menerbitkan kumpulan puisi Fang (2011) dan Titik Nol Perlawanan (2012). Tulisannya berupa cerpen, puisi, opini, esai budaya dipublikasikan di berbagai media cetak dan digital

Ampun Sutrisno, lahir 1 Juni 1971 di Bantul, DI Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta, lalu bergabung dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta. Pernah menerima penghargaan nomine Jakarta Art Award, 10 besar lomba lukis Antikorupsi Jakarta. Beberapa kali menggelar pameran tunggal sejak 1993

Senin, 06 Agustus 2018

Ular-ular Merah dalam Tubuh Kakek

Aku cukup terkejut, di malam yang seharusnya sudah sangat larut ini, ada juga orang yang masuk ke kamar ini, dan melihat sesuatu yang seharusnya tak dilihatnya!

Ia, si cucu kesayangan, terpaku melihat ular-ular yang sedang merayap masuk ke tubuh kakeknya, yang sudah beberapa hari ini nyaris tak bergerak. Membuatnya langsung berteriak, hingga membangunkan ibunya.

“Kakek sudah mati!” serunya berulang kali saat ibunya muncul.

“Kau ini! Kurang ajar sekali mengatakan hal seperti itu!” Sang ibu yang masih mengantuk nampak gusar.

“Tapi… ada ular dalam tubuh kakek! Jumlahnya banyak, dan mereka bersembunyi lewat luka-luka yang menganga itu!”

“Dasar anak penghayal! Bagaimana bisa ular bersembunyi di tubuh manusia!”

“Maka itulah aku bilang tadi… kalau kakek sudah mati!”

“Hentikan ucapanmu! Bisa kualat kau nanti!”

Si cucu hanya bisa terdiam. Namun sejak itu, ia yang biasanya selalu melendot manja di tubuh kakeknya, dan mau mengurusi semua kebutuhan kakeknya selama sakit, tak mau lagi mendekat. Bahkan memasuki kamarnya pun enggan. Ia hanya berdiri di ambang pintu, dengan wajah setengah ketakutan.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

Keluarga ini memang bodoh!

Mereka sama sekali tak mengenal kakeknya sendiri. Jelas sekali kalau kakek kesayangan mereka telah mati. Tubuhnya kaku, tak lagi bisa bergerak, walau napas dan detak jantungnya masih tersisa. Tapi harusnya mereka tahu kalau itu bukan napas dan detak jantung yang seharusnya!

Aku mengenal sekali kakek mereka. Aku sudah bersamanya jauh sebelum mereka ada.

Mereka sama sekali tak tahu, kalau kakek tercintanya ini punya sejarah yang mengerikan. Walau ia berusaha mengubur masa lalunya. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengubur masa lalu seutuhnya?

Itu bukan perkara mudah. Dulu, mencari makan bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu pengorbanan besar. Aku tahu sekali, kakek yang kala itu masih sangat muda, bukan orang yang sepenuhnya berani. Satu waktu ia memang dapat menguasai pasar itu bersama kawan-kawannya. Tapi pasar bagaikan pemikat bagi laki-laki nekad lainnya. Di situ uang mengalir tanpa henti. Tak heran bila beberapa hari sejak menguasai pasar, orang-orang mulai berusaha merebutnya.
Ular-ular Merah dalam Tubuh Kakek ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Saat itulah, ia mulai memintaku hadir untuk bersemayam di dalam tubuhnya. Aku tentu senang ia memintaku, apalagi aku tahu bagaimana berat ikhtiarnya. Pelan-pelan aku mulai membuka titik-titik paling tersembunyi dalam dirinya. Sehingga ia dapat merasakan tanda-tanda lebih tajam tentang apa yang akan terjadi padanya. Ia akan tahu kabar buruk yang akan datang. Itulah yang selama ini membuatnya survive. Ia menjadi licin tak terkejar musuh-musuhnya—termasuk polisi—dan juga dapat dengan mudah melakukan pembalasan pada lawan-lawannya, karena mampu memilih waktu yang paling sempurna.

Seharusnya diriku saja sudah cukup baginya. Toh, aku tak pernah membayar setengah-setengah orang yang sepenuhnya percaya padaku. Tapi rupanya itu tak cukup baginya. Ia mencari lagi sesuatu yang lain, untuk disandingkan bersamaku.

Aku lebih suka menyebutnya si pengganggu. Ialah yang pada akhirnya menjerumuskannya dalam keadaan seperti ini!

Aku, si penganggu.

Terserah ia mau menyebutku apa. Tapi, aku jelas lebih berguna dibanding dirinya. Ia tak bisa memungkiri kalau akulah yang membuat kakek tua ini tak terkalahkan sepanjang hidupnya. Sejak terjadi pengeroyokan pertama yang mengerikan itu, aku tahu ia tak bisa menghindari untuk mengagumiku di balik sifat sinisnya. Jelas sekali saat itu sabetan golok mendera tubuh kakek tua ini beberapa kali, tapi ia tetap tak mati. Ia hanya terluka, dan luka selalu bisa disembuhkan. Akulah yang membuatnya seperti itu. Dan kakek tua ini tahu sekali akan hal itu. Ia bahkan sangat bersyukur untuk itu, melebihi syukurnya untuk hal lain.

Kupikir, sejak kakek tua ini memintaku hadir di tubuhnya, ia jadi tak berguna. Aku sebenarnya mencoba mempengaruhi kakek tua ini agar mau melepaskan saja dirinya. Karena tanpa disadari, sebenarnya dirinyalah yang membuat kakek tua ini menjadi seperti pengecut selama ini. Ia selalu nampak was-was, dan akan memilih lari pada hal-hal yang sebenarnya belum terjadi.

Aku benci melihat keadaan itu!

Aku tahu, tahun-tahun terakhir ini peranku semakin kecil. Semakin kakek ini menua, dan memutuskan meninggalkan pasar, peranku nyaris lenyap. Aku sebenarnya bisa menerima bila ia melepaskanku. Tapi ia tak melakukannya. Aku merasa, ia masih menyadari kalau akulah yang selama ini membuatnya bertahan hingga di titik ini.

Aku ingat, ia bisa jadi mati 3 kali.

Orang-orang paling mengerikan pernah mendatanginya untuk membalas dendam. Rumahnya telah dikepung. Golok dan pedang sudah diangkat. Aku membisikkan semua itu, dan ia dapat merasakannya dengan jelas. Tapi ia tak tahu harus melarikan diri ke mana. Akulah yang saat itu memandunya. Kugesekkan daun-daun di dekatnya, dan ia mengikuti gesekan itu satu demi satu. Hingga akhirnya ia bisa selamat!

Polisi juga pernah berniat menangkapnya dalam satu operasi besar. Seorang sniper sudah dalam posisi paling sempurna untuk menembak jantungnya. Tapi aku memberi tanda rasa sakit di kakinya, sehingga ia membungkuk bertepatan peluru melayang di atas kepalanya. Ia selamat lagi saat itu.

Satu lagi yang kuingat adalah tantangan duel dari bromocorah kampung sebelah. Aku tahu, ia tak menguasai ilmu bela diri apa pun. Tubuhnya hanya kuat, membuat sabetan goloknya bisa sangat cepat. Tapi lawannya adalah jawara paling mengerikan di sini, dan ia berhasrat sekali menguasai pasar ini. Aku memberinya tanda agar ia menyelipkan pisau kecil di sakunya. Dan itu ternyata yang menyelamatkan jiwanya. Saat ia jatuh terpuruk dan sesaat lagi terputus lehernya, ia mengambil pisau kecil itu dengan cepat dan menusukkan ke arah jawara yang tengah berada di atas tubuhnya. Ia menang dalam duel itu.

Kini semuanya sudah berbeda. Aku sebenarnya ingin pergi saja dari tubuhnya, agar ia dapat meninggalkan dunia ini dengan tenang. Setidaknya aku tahu, di sisi hidupnya yang kelam-pekat, ia sebenarnya laki-laki yang baik. Ia mencintai istrinya, juga sangat sayang terhadap anak dan cucunya. Kupikir, ia mau melakukan apa saja agar orang-orang di sekelilingnya bisa bahagia.

Tapi aku tak bisa pergi, bila bukan ia yang menyuruhku pergi!

Selama ini, aku sudah membuat kakek tua ini kebal terhadap apa pun. Aku senang dengan itu. Bagaimanapun kakek tua ini menghadirkanku bukan dengan cara yang mudah, walau ia tahu ada beberapa cara mudah lainnya. Tapi ia memilih cara yang tersulit, dan untuk itulah ia mendapatkanku.

Tak terhitung, aku sudah menyelamatkannya berkali-kali. Beberapa kali duel, senjata-senjata musuh sudah melukainya. Sebenarnya ada satu-dua sabetan yang mampu membuatnya selesai. Tapi ia hanya terluka saja. Tak lebih dari itu.

Tapi semenjak ia menarik diri dari dunia hitam, aku seperti tak lagi bermanfaat. Apalagi di ujung hidupnya yang seperti ini. Sungguh, sebenarnya aku ingin sekali mengatakan padanya, kalau kemampuanku sebenarnya tak hanya sampai di sini saja. Aku bisa melakukan hal yang lebih berguna lagi, terlebih di keadaannya yang seperti ini.

Aku bisa membuat seseorang hidup abadi!

Sejak setahun ini, setelah kakek tua ini jatuh dan orang-orang mengatakannya terkena stroke, si penganggu sudah melakukan hal-hal yang sangat mengerikan. Aku tak tahu secara pasti apa itu. Tapi semenjak kakek ini hanya bisa terdiam di kamarnya, ia mengundang ular-ulang datang. Tentu bukan ular-ular biasa. Ular-ular berwarna merah seperti darah dan mampu masuk ke tubuh melalui bekas-bekas luka yang ada di sekujur tubuh kakek ini.

Aku hanya bisa bergidik. Jelas, ini sesuatu yang mengerikan. Kupikir kakek ini seharusnya telah mati karena penyakitnya. Kamilah yang membuat bertahan sampai seperti ini. Dan si penganggu itu benar-benar tak rela untuk pergi. Ia sepertinya berniat untuk hidup abadi di tubuh ringkih ini!

Dasar iblis mengerikan!

Tapi itulah yang membuat keadaan kakek membaik. Ia mulai dapat meggerakkan tangannya yang semula kaku. Ini tentu saja disambut dengan gembira oleh anaknya. Hanya si cucu yang tak mau menanggapi apa-apa. Aku tahu, ia menyadari kalau kekeknya memang seharusnya sudah mati.

Aku tak ingin semua ini menjadi semakin mengerikan. Dengan kemampuanku yang tersisa, aku mencoba memberi tanda pada si cucu. Namun karena ia tak ada di dekatku, aku hanya bisa menghadirkan mimpi-mimpi padanya.

“Kau harus membunuh kakekmu!” bisikku berulang, “Di dalam tubuhnya bersemayam sesuatu yang mengerikan!”

Dan si cucu hanya bisa terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Kubuat kejadian itu terjadi bekali-kali, hingga akhirnya ia memutuskan bicara pada ibunya.

“Ibu, kakek benar-benar sudah mati. Ada yang mengerikan di dalam tubuhnya.”

“Ibu tak suka kau bicara tak menentu seperti itu! Tidakkah kau lihat kakek semakin sembuh? Ia sudah bisa menggerakkan tangannya.”

“Tapi itu bukan kakek yang menggerakkannya!”

“Ibu tak mau mendengarkanmu lagi! Kau semakin kurang ajar terhadap kakekmu!”

“Ibuuuu!!!”

Aku tahu, tak akan berguna ia mengatakan apa yang diketahuinya pada ibunya. Jadi aku terus membisikkan saja padanya hal lainnya. Kali ini dengan lebih berani, kutunjukkan pada matanya sebuah belati kecil yang selama ini dibawa kakeknya.

“Itu… akan mengakhiri semuanya…” bisikku berulang.

Dan si cucu dengan langkah ragu mulai mendekati belati itu. 

Pengecut tetaplah pengecut!

Ia rupanya mencoba mempengaruhi cucu tolol itu. Ia tak berani berhadapan langsung denganku, sehingga harus menyuruh anak kecil melakukan keinginannya. Huh, apa dia pikir tusukan belati akan mengakhiri semuanya? Tolol sekali!

Apa ia tak berpikir, kalau aku sedang menimbang-nimbang satu tubuh agar aku—dan tentunya bersama dirinya—dapat hidup abadi di sini?

Tapi ia terlalu pengecut untuk itu! Jadi aku tak akan sungkan lagi. Saat cucu tolol itu mendekat dan mengacungkan belatinya, aku menahannya. Belati itu meluncur ke tubuh kakek tua ini, tapi sama sekali tak melukai apa-apa. Gerakannya malah seperti terpental dan berbalik sendiri ke arah si cucu!

Belati itu menancap di tubuhnya.

Aku hanya menyeringai.

Kupikir, aku memang benar-benar telah kalah!

Aku lihat keesokan paginya, ibu menemukan anaknya dengan belati di perutnya bersama darah yang menggenang sedemikian rupa. Ia menangis histeris. Memeluk erat-erat anaknya.

Tapi tiba-tiba, si cucu menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kaku. Si ibu tersenyum lega sambil mengusap air matanya. “Anakku, kupikir kau pergi meninggalkan ibu…”

Tapi si cucu tak bereaksi apa-apa. Wajahnya tetap kaku seperti semula.

Aku hanya bisa memejamkan mata kuat-kuat. Aku tahu sekali, beberapa saat sebelumnya ular-ular merah di tubuh kakeknya ini sebagian keluar dan menuju tubuh si cucu. Mereka kemudian secara perlahan masuk satu demi satu melalui luka di tusukan itu.

Aku tak bisa membayangkan apa lagi yang akan terjadi. Aku hanya tersadar, kalau aku akan terjebak selamanya bersama si mengerikan ini! 

Cerpen Yudhi Herwibowo (Jawa Pos, 27 Mei 2018)
Yudhi Herwibowo. Menulis beberapa buku. Bukunya yang segera rilis: Sang Penggesek Biola, sebuah roman Wage Rudolf Supratman (Imania).