Senin, 06 Agustus 2018

Ular-ular Merah dalam Tubuh Kakek

Aku cukup terkejut, di malam yang seharusnya sudah sangat larut ini, ada juga orang yang masuk ke kamar ini, dan melihat sesuatu yang seharusnya tak dilihatnya!

Ia, si cucu kesayangan, terpaku melihat ular-ular yang sedang merayap masuk ke tubuh kakeknya, yang sudah beberapa hari ini nyaris tak bergerak. Membuatnya langsung berteriak, hingga membangunkan ibunya.

“Kakek sudah mati!” serunya berulang kali saat ibunya muncul.

“Kau ini! Kurang ajar sekali mengatakan hal seperti itu!” Sang ibu yang masih mengantuk nampak gusar.

“Tapi… ada ular dalam tubuh kakek! Jumlahnya banyak, dan mereka bersembunyi lewat luka-luka yang menganga itu!”

“Dasar anak penghayal! Bagaimana bisa ular bersembunyi di tubuh manusia!”

“Maka itulah aku bilang tadi… kalau kakek sudah mati!”

“Hentikan ucapanmu! Bisa kualat kau nanti!”

Si cucu hanya bisa terdiam. Namun sejak itu, ia yang biasanya selalu melendot manja di tubuh kakeknya, dan mau mengurusi semua kebutuhan kakeknya selama sakit, tak mau lagi mendekat. Bahkan memasuki kamarnya pun enggan. Ia hanya berdiri di ambang pintu, dengan wajah setengah ketakutan.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

Keluarga ini memang bodoh!

Mereka sama sekali tak mengenal kakeknya sendiri. Jelas sekali kalau kakek kesayangan mereka telah mati. Tubuhnya kaku, tak lagi bisa bergerak, walau napas dan detak jantungnya masih tersisa. Tapi harusnya mereka tahu kalau itu bukan napas dan detak jantung yang seharusnya!

Aku mengenal sekali kakek mereka. Aku sudah bersamanya jauh sebelum mereka ada.

Mereka sama sekali tak tahu, kalau kakek tercintanya ini punya sejarah yang mengerikan. Walau ia berusaha mengubur masa lalunya. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengubur masa lalu seutuhnya?

Itu bukan perkara mudah. Dulu, mencari makan bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu pengorbanan besar. Aku tahu sekali, kakek yang kala itu masih sangat muda, bukan orang yang sepenuhnya berani. Satu waktu ia memang dapat menguasai pasar itu bersama kawan-kawannya. Tapi pasar bagaikan pemikat bagi laki-laki nekad lainnya. Di situ uang mengalir tanpa henti. Tak heran bila beberapa hari sejak menguasai pasar, orang-orang mulai berusaha merebutnya.
Ular-ular Merah dalam Tubuh Kakek ilustrasi Budiono/Jawa Pos

Saat itulah, ia mulai memintaku hadir untuk bersemayam di dalam tubuhnya. Aku tentu senang ia memintaku, apalagi aku tahu bagaimana berat ikhtiarnya. Pelan-pelan aku mulai membuka titik-titik paling tersembunyi dalam dirinya. Sehingga ia dapat merasakan tanda-tanda lebih tajam tentang apa yang akan terjadi padanya. Ia akan tahu kabar buruk yang akan datang. Itulah yang selama ini membuatnya survive. Ia menjadi licin tak terkejar musuh-musuhnya—termasuk polisi—dan juga dapat dengan mudah melakukan pembalasan pada lawan-lawannya, karena mampu memilih waktu yang paling sempurna.

Seharusnya diriku saja sudah cukup baginya. Toh, aku tak pernah membayar setengah-setengah orang yang sepenuhnya percaya padaku. Tapi rupanya itu tak cukup baginya. Ia mencari lagi sesuatu yang lain, untuk disandingkan bersamaku.

Aku lebih suka menyebutnya si pengganggu. Ialah yang pada akhirnya menjerumuskannya dalam keadaan seperti ini!

Aku, si penganggu.

Terserah ia mau menyebutku apa. Tapi, aku jelas lebih berguna dibanding dirinya. Ia tak bisa memungkiri kalau akulah yang membuat kakek tua ini tak terkalahkan sepanjang hidupnya. Sejak terjadi pengeroyokan pertama yang mengerikan itu, aku tahu ia tak bisa menghindari untuk mengagumiku di balik sifat sinisnya. Jelas sekali saat itu sabetan golok mendera tubuh kakek tua ini beberapa kali, tapi ia tetap tak mati. Ia hanya terluka, dan luka selalu bisa disembuhkan. Akulah yang membuatnya seperti itu. Dan kakek tua ini tahu sekali akan hal itu. Ia bahkan sangat bersyukur untuk itu, melebihi syukurnya untuk hal lain.

Kupikir, sejak kakek tua ini memintaku hadir di tubuhnya, ia jadi tak berguna. Aku sebenarnya mencoba mempengaruhi kakek tua ini agar mau melepaskan saja dirinya. Karena tanpa disadari, sebenarnya dirinyalah yang membuat kakek tua ini menjadi seperti pengecut selama ini. Ia selalu nampak was-was, dan akan memilih lari pada hal-hal yang sebenarnya belum terjadi.

Aku benci melihat keadaan itu!

Aku tahu, tahun-tahun terakhir ini peranku semakin kecil. Semakin kakek ini menua, dan memutuskan meninggalkan pasar, peranku nyaris lenyap. Aku sebenarnya bisa menerima bila ia melepaskanku. Tapi ia tak melakukannya. Aku merasa, ia masih menyadari kalau akulah yang selama ini membuatnya bertahan hingga di titik ini.

Aku ingat, ia bisa jadi mati 3 kali.

Orang-orang paling mengerikan pernah mendatanginya untuk membalas dendam. Rumahnya telah dikepung. Golok dan pedang sudah diangkat. Aku membisikkan semua itu, dan ia dapat merasakannya dengan jelas. Tapi ia tak tahu harus melarikan diri ke mana. Akulah yang saat itu memandunya. Kugesekkan daun-daun di dekatnya, dan ia mengikuti gesekan itu satu demi satu. Hingga akhirnya ia bisa selamat!

Polisi juga pernah berniat menangkapnya dalam satu operasi besar. Seorang sniper sudah dalam posisi paling sempurna untuk menembak jantungnya. Tapi aku memberi tanda rasa sakit di kakinya, sehingga ia membungkuk bertepatan peluru melayang di atas kepalanya. Ia selamat lagi saat itu.

Satu lagi yang kuingat adalah tantangan duel dari bromocorah kampung sebelah. Aku tahu, ia tak menguasai ilmu bela diri apa pun. Tubuhnya hanya kuat, membuat sabetan goloknya bisa sangat cepat. Tapi lawannya adalah jawara paling mengerikan di sini, dan ia berhasrat sekali menguasai pasar ini. Aku memberinya tanda agar ia menyelipkan pisau kecil di sakunya. Dan itu ternyata yang menyelamatkan jiwanya. Saat ia jatuh terpuruk dan sesaat lagi terputus lehernya, ia mengambil pisau kecil itu dengan cepat dan menusukkan ke arah jawara yang tengah berada di atas tubuhnya. Ia menang dalam duel itu.

Kini semuanya sudah berbeda. Aku sebenarnya ingin pergi saja dari tubuhnya, agar ia dapat meninggalkan dunia ini dengan tenang. Setidaknya aku tahu, di sisi hidupnya yang kelam-pekat, ia sebenarnya laki-laki yang baik. Ia mencintai istrinya, juga sangat sayang terhadap anak dan cucunya. Kupikir, ia mau melakukan apa saja agar orang-orang di sekelilingnya bisa bahagia.

Tapi aku tak bisa pergi, bila bukan ia yang menyuruhku pergi!

Selama ini, aku sudah membuat kakek tua ini kebal terhadap apa pun. Aku senang dengan itu. Bagaimanapun kakek tua ini menghadirkanku bukan dengan cara yang mudah, walau ia tahu ada beberapa cara mudah lainnya. Tapi ia memilih cara yang tersulit, dan untuk itulah ia mendapatkanku.

Tak terhitung, aku sudah menyelamatkannya berkali-kali. Beberapa kali duel, senjata-senjata musuh sudah melukainya. Sebenarnya ada satu-dua sabetan yang mampu membuatnya selesai. Tapi ia hanya terluka saja. Tak lebih dari itu.

Tapi semenjak ia menarik diri dari dunia hitam, aku seperti tak lagi bermanfaat. Apalagi di ujung hidupnya yang seperti ini. Sungguh, sebenarnya aku ingin sekali mengatakan padanya, kalau kemampuanku sebenarnya tak hanya sampai di sini saja. Aku bisa melakukan hal yang lebih berguna lagi, terlebih di keadaannya yang seperti ini.

Aku bisa membuat seseorang hidup abadi!

Sejak setahun ini, setelah kakek tua ini jatuh dan orang-orang mengatakannya terkena stroke, si penganggu sudah melakukan hal-hal yang sangat mengerikan. Aku tak tahu secara pasti apa itu. Tapi semenjak kakek ini hanya bisa terdiam di kamarnya, ia mengundang ular-ulang datang. Tentu bukan ular-ular biasa. Ular-ular berwarna merah seperti darah dan mampu masuk ke tubuh melalui bekas-bekas luka yang ada di sekujur tubuh kakek ini.

Aku hanya bisa bergidik. Jelas, ini sesuatu yang mengerikan. Kupikir kakek ini seharusnya telah mati karena penyakitnya. Kamilah yang membuat bertahan sampai seperti ini. Dan si penganggu itu benar-benar tak rela untuk pergi. Ia sepertinya berniat untuk hidup abadi di tubuh ringkih ini!

Dasar iblis mengerikan!

Tapi itulah yang membuat keadaan kakek membaik. Ia mulai dapat meggerakkan tangannya yang semula kaku. Ini tentu saja disambut dengan gembira oleh anaknya. Hanya si cucu yang tak mau menanggapi apa-apa. Aku tahu, ia menyadari kalau kekeknya memang seharusnya sudah mati.

Aku tak ingin semua ini menjadi semakin mengerikan. Dengan kemampuanku yang tersisa, aku mencoba memberi tanda pada si cucu. Namun karena ia tak ada di dekatku, aku hanya bisa menghadirkan mimpi-mimpi padanya.

“Kau harus membunuh kakekmu!” bisikku berulang, “Di dalam tubuhnya bersemayam sesuatu yang mengerikan!”

Dan si cucu hanya bisa terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. Kubuat kejadian itu terjadi bekali-kali, hingga akhirnya ia memutuskan bicara pada ibunya.

“Ibu, kakek benar-benar sudah mati. Ada yang mengerikan di dalam tubuhnya.”

“Ibu tak suka kau bicara tak menentu seperti itu! Tidakkah kau lihat kakek semakin sembuh? Ia sudah bisa menggerakkan tangannya.”

“Tapi itu bukan kakek yang menggerakkannya!”

“Ibu tak mau mendengarkanmu lagi! Kau semakin kurang ajar terhadap kakekmu!”

“Ibuuuu!!!”

Aku tahu, tak akan berguna ia mengatakan apa yang diketahuinya pada ibunya. Jadi aku terus membisikkan saja padanya hal lainnya. Kali ini dengan lebih berani, kutunjukkan pada matanya sebuah belati kecil yang selama ini dibawa kakeknya.

“Itu… akan mengakhiri semuanya…” bisikku berulang.

Dan si cucu dengan langkah ragu mulai mendekati belati itu. 

Pengecut tetaplah pengecut!

Ia rupanya mencoba mempengaruhi cucu tolol itu. Ia tak berani berhadapan langsung denganku, sehingga harus menyuruh anak kecil melakukan keinginannya. Huh, apa dia pikir tusukan belati akan mengakhiri semuanya? Tolol sekali!

Apa ia tak berpikir, kalau aku sedang menimbang-nimbang satu tubuh agar aku—dan tentunya bersama dirinya—dapat hidup abadi di sini?

Tapi ia terlalu pengecut untuk itu! Jadi aku tak akan sungkan lagi. Saat cucu tolol itu mendekat dan mengacungkan belatinya, aku menahannya. Belati itu meluncur ke tubuh kakek tua ini, tapi sama sekali tak melukai apa-apa. Gerakannya malah seperti terpental dan berbalik sendiri ke arah si cucu!

Belati itu menancap di tubuhnya.

Aku hanya menyeringai.

Kupikir, aku memang benar-benar telah kalah!

Aku lihat keesokan paginya, ibu menemukan anaknya dengan belati di perutnya bersama darah yang menggenang sedemikian rupa. Ia menangis histeris. Memeluk erat-erat anaknya.

Tapi tiba-tiba, si cucu menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kaku. Si ibu tersenyum lega sambil mengusap air matanya. “Anakku, kupikir kau pergi meninggalkan ibu…”

Tapi si cucu tak bereaksi apa-apa. Wajahnya tetap kaku seperti semula.

Aku hanya bisa memejamkan mata kuat-kuat. Aku tahu sekali, beberapa saat sebelumnya ular-ular merah di tubuh kakeknya ini sebagian keluar dan menuju tubuh si cucu. Mereka kemudian secara perlahan masuk satu demi satu melalui luka di tusukan itu.

Aku tak bisa membayangkan apa lagi yang akan terjadi. Aku hanya tersadar, kalau aku akan terjebak selamanya bersama si mengerikan ini! 

Cerpen Yudhi Herwibowo (Jawa Pos, 27 Mei 2018)
Yudhi Herwibowo. Menulis beberapa buku. Bukunya yang segera rilis: Sang Penggesek Biola, sebuah roman Wage Rudolf Supratman (Imania).

0 komentar:

Posting Komentar