Sabtu, 18 Agustus 2018

Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati, Tuhan

Menjelang usia ke-90, aku mulai merasakan kesepian yang sangat. Di dalam ruang jiwaku, kegelapan seolah menyelimuti hidupku yang pahit. Aku tak lagi mengetahui apa pun yang terjadi di dunia ini. Keadaan ini, membuatku merasa tidak bahagia lagi. Pohon-pohon yang bergoyang di halaman rumah, kuperhatikan selalu dengan irama yang sama. Di malam-malam yang sungsang, mata anjing sialan yang biasa di depan rumahku pun menyala merah dan menggonggong seakan tak mengenaliku. Padahal ia milik tetanggaku. Sungguh, aku bosan dengan kehidupan.

Setiap bangun tidur, tulangku yang kaku berderit bersama ranjangku yang usang. Otakku seolah lengket. Aku hanya mampu mengingat jarak antara desaku dengan desa tetangga. Jalan yang berdebu, pintu rumah yang terkelupas catnya, dan tahi kerbau yang bercecer di jalanan. Orang-orang seusiaku juga semakin langka. Mereka satu-satu mati dan digantikan oleh anak-anak muda yang asing dan tak bisa mengerti bahasaku. Aku pun tak mampu memahami mereka. Mereka banyak bicara hal-hal asing di dunia ini. Aku merasakan dunia ini seolah sudah terbalik. Kebahagiaan mereka bercerita tentang dunia yang tak aku pahami ini membuatku iri.

Anak-anak muda itu juga semakin tak menghormatiku. Mereka menganggap aku—orang tua ini, seperti kerbau dungu yang pantas mereka tertawakan. Sungguh, adab mereka tak lagi anak-anak muda di zamanku. Mereka juga hidup dengan dirinya sendiri. Meskipun aku lihat mereka berkumpul dengan mainan menyala di tangan.

***

Istriku, di masa lalu, adalah sosok perempuan manis yang mengetahui banyak hal. Terutama tentang orang-orang di pasar, tempatnya berjualan. Mereka membuatnya sering mengomel setelah menagih tak kunjung hasil. Ia juga banyak tahu nama-nama orang berikut jumlah utangnya, meskipun bukan berutang padanya. Ia suka sekali cerita tentang dunia luar sana yang katanya terlalu ribut. Jika aku merasa capek menanggapi—ia segera pergi ke rumah Jumiyem, tetangga sebelah yang mirip istriku, sembari membawa sedikit makanan agar ada alasan untuk tetap tinggal dan menggunjing orang-orang yang menggelisahkannya. Sepulang dari rumah Jumiyem, ia suka sekali bercerita tentang Kerto. Suami Jumiyem yang pakai kacamata dan membaca koran. Di sisi itu, harus kuakui, istriku adalah perempuan yang penuh perhatian. Kepadaku dan pada orang-orang di luar sana. Oleh sebab itu, ia jadi tahu banyak hal dan membuatnya hidup tak kesepian tanpa anak.

Suatu ketika, istriku memintaku memakai kacamata seperti suami Jumiyem. Katanya, “Pak, besok kamu harus pakai kacamata, biar bisa baca koran seperti Kerto.”

“Besok kalau dapat tagihan, aku belikan dulu saja. Tapi diganti, jangan lupa, Pak.” Tapi kacamata itu tak pernah sempat ia belikan. Istriku mungkin lupa selama itu, dan akhirnya keburu meninggal karena darah tinggi.

Setelah istriku tiada, duniaku menjadi berubah sama sekali. Tentu saja, aku sangat kehilangan satu-satunya teman di dunia yang memberiku banyak kesenangan, meskipun aku tak pernah tahu isi dunia ini. Ia seperti menjadi mata dan kegembiraanku. Di makamnya yang sederhana tanpa nisan di ujung desa, aku memberinya bekal sebuah kendi yang kuisi air setiap pekan. Air itu kurasa akan cukup untuk bekalnya dalam perjalanannya di padang masyar yang katanya panas. Sering kusampaikan kesedihanku padanya. Betapa aku kehilangan kehidupanku s telah ia pergi, bahkan sebelum aku mati sungguhan. Aku hanya berharap agar segera bisa menyusul dan bersamanya menyusuri dunia baka dengan gembira.

Tentang mati ini, sesungguhnya aku cukup optimistis selama lima tahun lalu, mcngingat sebayaku sudah banyak yang menemui ajal. Tapi, kenyataannya berbeda, sampai saat ini aku masih hidup dan menjalani kehidupan yang semakin membosankan. Terkadang aku merasa jengkel dan berpikir Tuhan telah melewatkanku. Tapi bagaimana mungkin Tuhan melupakanku? Aku, meskipun tak selalu ingat, aku suka menyebut namaNya.

Hingga kemudian, suatu waktu, aku bertemu dengan anak dari cucu luar jauh istriku di depan balai desa. Anak muda itu langsung mengenaliku, meskipun aku merasa belum pernah bertemu. Tapi aku juga tak yakin. Aku mungkin pernah mampir di rumah orangtuanya, atau dia mampir ke rumahku bersama orangtuanya. Ia mengingatku dan aku melupakannya. Itu bisa saja terjadi. Usianya menurutku sekitar 30 tahun. Bisa lebih bisa kurang. Kulitnya agak gelap seperti istriku. Rambutnya hitam berombak. Matanya awas di atas hidungnya yang bersila. Tapi ia sungguh baik terhadap orang tua sepertiku. Katanya, ia akan mengirimku sebuah kacamata agar aku bisa membaca. Karena ia baik, aku bilang padanya agar segera mengirim kacamata itu.

“Jangan lupa, bilang pada bapakmu untuk mengirimku uang juga.”

Anak muda itu, memang berbeda dengan yang lain, meskipun aku lupa menanyakan namanya—ia tetap mengiyakan dan mencium tanganku dengan penuh rasa sopan yang semakin sirna di desaku.

Beberapa hari kemudian, aku masih mengingat mukanya, ia datang berkunjung ke rumah dan membawa sebuah kacamata serta amplop berisi uang. Di teras rumahku yang dipenuhi tahi ayam milik tetangga, aku mencoba kacamata itu. Pertama yang aku lihat dengan kacamata itu adalah sobekan kertas yang berisi huruf latin dengan tinta yang hampir luntur. Aku yakin itu tulisan generasi kedua setelah dua generasi dariku. Tulisannya buruk seperti bunyinya, kamu membosankan.
Aku Tak Ingin Kacamata, Aku Hanya Ingin Mati, Tuhan ilustrasi Ampun Sutrisno/Kompas 

Hari itu aku sangat bersemangat. Semua kesepianku tiba-tiba sirna. Aku merasa bahagia dan senang. Aku basahi permukaan kaca bulatnya dengan uap mulut dan menggosoknya dengan ujung serbet berulang kali. Mengenakannya dan menatap diriku sendiri di depan cermin lemari. Istriku pasti sangat senang bila tahu aku memiliki kacamata seperti Kerto. Esok paginya aku sengaja berjalan ke ujung desa dan menemui istriku. Kukenakan kacamata itu sepanjang jalan, meskipun jarak pandangku menjadi kabur. Anak-anak muda yang berkumpul di poskamling kulihat—mereka—dan aku yakin mereka menatapku dengan pandangan iri. Di makam, aku katakan pada istriku bahwa cucunya yang baik sudah memberiku kacamata. Jadi, tidak perlu khawatir lagi, aku sudah seperti Kerto dan akan melihat isi dunia ini. Aku tak akan kesepian lagi menunggu ajalku.

Aku mulai membaca koran dengan kacamataku. Mula-mula aku melihat kehidupan dunia seperti cahaya mozaik yang berkelap-kelip. Aku melihat dunia yang membesar. Cahayanya menyenangkan. Ini sungguh membuatku seperti menelusuri pasar malam di masa lalu, ketika aku berusia sekitar sepuluh tahun. Ada banyak makanan dan gula-gula yang menarik di sana. Badut-badut yang melucu di tenda sirkus yang berada di alun-alun kota di bulan menjelang puasa. Aku bersama tiga temanku sering masuk tanpa tiket melalui lubang tenda yang sobek dan dikejar-kejar penjaga dan diteriaki, “Hei, bajingan cilik! Jangan lari!” Kami berlari ketakutan, tapi tertawa senang.

Namun, semakin aku membaca—sedikit demi sedikit, perasaanku menjadi khawatir dan getir. Aku menjadi seolah melihat dunia masa lalu yang dipenuhi perang, begal, para durjana dan kemelaratan orang-orang menggunakan goni berkutu untuk bahan pakaian. Dunia menjadi terasa pengap dan gelap. Setiap hari aku menjadi merasa ketakutan. Aku melihat kematian yang tak semestinya setiap hari.

Aku mungkin tidak lagi terkurung dalam pandangan terbatas. Tapi aku jelas dikurung oleh pelbagai perasaan yang tak bisa diduga. Setiap pagi, aku tiba-tiba seperti didorong untuk marah. Aku mencaci dan menyumpahi orang-orang yang tak kukenal. Aku menjadi curiga pada setiap orang. Bahkan aku mulai tak suka dengan kepala desaku yang kulihat seperti binatang penghisap. Lurah itu kaya-raya. Punya banyak sawah dan rumahnya besar yang dibuat dari kayu jati. Mobil nya juga berderet di halaman rumahnya yang seperti taman surga Hijau dan dihiasi bunga-bunga berwarna merah dan kuning. Tapi lurah itu pasti bajingan. Koruptor yang jahat. Setiap hari aku membaca keadaan itu. Para pejabat yang ditangkap polisi, polisi yang ditangkap polisi dan polisi yang menangkap orang tak bersalah.

Semakin aku mengetahui dunia, semakin aku merasa sepi dan nelangsa. Aku malah tak bisa memahami isi dunia ini. Tidurku menjadi berjarak dan tak lagi nyenyak. Nyamuk-nyamuk di kamarku menjadi resah seperti marah. Ketika pagi menjelang, kulihat anak-anak muda di desaku seolah tumpukan sampah yang bergerak-gerak tertiup angin. Mereka tetap tak berlaku sopan pada orang tua sepertiku. Kerjaannya hanya tertawa dan melongo seperti mabuk masrum.

Setelah waktu yang demikian panjang dan kejam menyiksaku dengan kacamata itu—aku mulai sangat merindukan istriku. Aku datang padanya di tengah malam. Di atas permukaan gundukan makam yang mulai merata, kusiramkan air kendi agar haus istriku terobati di sana.

“Aku tahu kamu merindukanku, Bu,” bisikku di antara bunyi serangga dan derit pohon bambu yang disapu angin malam. Malam itu, bintang-bintang berkelip nyala. Udara terasa nestapa.

“Kamu harus sabar menungguku. Waktuku tak lama lagi, bukan? Iya, semoga Tuhan tak melupakanku lagi. Mintalah padanya memanggilku sekarang. Kamu dekat dengan diriNya, bukan? Atau dia tak ada?” Aku terdiam lama dan tanganku menggaruk-garuk tanah. Sadar telah berucap dosa.

“Aku bosan dengan dunia ini dan aku tak suka kacamata ini. Benar katamu, Bu, aku bisa seperti Kerto, tapi kacamata ini membuatku kehilangan kewarasan. Kacamata ini menyeretku pada dunia yang berbadai. Dunia ini ternyata hanya berisi sampah-sampah. Aku tak mau memakainya lagi,” kataku geram sembari membuangnya di pinggir pagar makam.

Malam itu aku tak mau meninggalkan di mana istriku berada. Aku hanya ingin tenang bersamanya. Mendengarkan suaranya bersama desah angin, ringkik jangkrik, derik ular dan kabut menjelang subuh yang datang. Di samping pusaranya, aku hanya berbaring dan berharap segera datang ajal bersama istriku, menjemputku. Tapi, kemudian orang-orang kampung pada datang. Memaksaku pulang untuk hidup menerima keadaan. Mereka mengira diri mereka punya rasa kasihan. Betapa sia-sianya mereka tak paham yang aku rasa, dan betapa malangnya aku harus menunggu waktu ajal yang membosankan. Tanpa jeda. []

Cerpen Ranang Aji SP (Kompas, 12 Agustus 2018)
Ranang Aji SP, mengikuti program Kelas Cerpen Kompas 2018, Kompas Institute. Menetap di Magelang, Jawa Tengah. Menerbitkan kumpulan puisi Fang (2011) dan Titik Nol Perlawanan (2012). Tulisannya berupa cerpen, puisi, opini, esai budaya dipublikasikan di berbagai media cetak dan digital

Ampun Sutrisno, lahir 1 Juni 1971 di Bantul, DI Yogyakarta. Ia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta, lalu bergabung dengan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta. Pernah menerima penghargaan nomine Jakarta Art Award, 10 besar lomba lukis Antikorupsi Jakarta. Beberapa kali menggelar pameran tunggal sejak 1993

0 komentar:

Posting Komentar