Minggu, 12 Maret 2017

Tak Ku Sangka

Joey seorang imigran dari kelompok etnis minoritas. Bahasa inggrisnya patah-patah dan kental aksennya. Joey bekerja pada divisi perawatan fasilitas di sebuah perusahaan jaringan telepon dan sangat bersyukur memiliki penghasilan tetap dan bisa menyisakan uang untuk membantu para kerabatnya. Dia bekerja keras dan rajin, dan tak pernah berhenti belajar dan mengasah ketrampilannya. Namun dia sadar betul bahwa aksennya sangat kental dan dia kurang panda berbicara.

Kota Manusia


Supervisornya, Bill, seorang pria kulit putih yanng kekar dan suka melintarkan lelucon rasialis. Perutnya buncit dan sikapnya kasar. Joey curiga Bill seorang rasialis. Tapi dia tak pernah dapat membuktikannya.

Joey tahu Billtidak menyukainya, setiap kali ada kerja lembur di lokasi yang jauh, Bill selalu menunjuk Joey. Kalau ada tugas perbaikan yang sangat rumit, sudah pasti Bill akan menunjukkan Joey untuk mengerjakannya sampai selesai. Bukan itu saja, kalau ada pegawai lain yang mengerjakan tugas serupa, Bill pasti akan mampir, melihat apa yang mereka kerjakan sambil mengumbar lelucon. Bill tidak pernah sekalipun menengok Joey yang sedang bekerja.

Diam-diam rasa benci tumbuh di dalam hati Joey. Rasa benci itu menusuk ulu hatinya, dan tak pernah mau hilang. Dia mulai susah tidur dan dokter mendiagnosis dia terkena tukak lambung. Dia ingin keluar saja, tapi tak banyak alternatif untuk lelaki setua dia dengan pendidikan begitu rendah. Jadi, dia terpaksa menahan kebenciannya, dan sekarang wajahnya mulai berkerut.

Tindakan supervisor yang selalu menyuruhnya lembur itu juga menyalahi peraturan serikat pekerja. Pada suatu hari, ketika menjelang pulang, Joey di beri tugas yang sangat menyebalkan, maka dia mencoba protes. :tadi malam saya sudah lembur. Begitu pula dua malam sebelumnya,” teriak kesal. “Bob belum pernah lembur selama setahun. Kenapa bukan dia saja?”
“Kau yang kupilih bung bukan Bob, Sahut Bill dengan ketus. “sekarang cepatlah kesana. Di sana ada pipa pecah, jadi mungkin kau harus mengerjakannya sepanjang malam. Tetaplah di sana sampai kerusakannya bisa di atasi”

Habis sudah kesabaran Joey. Dia kerjakan tugas itu, kemudian bersiap-siap mengajukan keluhan. Tapi dia merasa takut dan kurang paham prosedurnya. Dia takut kehilangan pekerjaan di anggap membangkang, tapi dia juga merasa tak tahan lagi.

Ketika keluhannya di teruskan kepada seorang arbitrator dan petugas itu memintanya menjelaskan keluhannya, meledaklah amarah Joeyseperti tanggul yang bobol, semua kesumatnya, perasaaan terhina dan di perlakukan tak adil tumpah ruah. Dia berbicara penuh emosi cukup lama.

Sesudah puas, dia menatap garang kepada Bill, dan dadanya terasa lega karena seluruh uneg-unegnya telah dia keluarkan. Dia merasa heran kenapa Bill tak tampak marah. Bahkan supervisor itu kelihatan kaget dan merasa menyesal.

“Busyet, Joey,” ujar Bill, “Saya tak tahu kau punya perasaan seperti itu. Pasti kau tertekan sekali selama ini. Kenapa kau tidak katakan sendiri kepadaku? Saya selalu memberimu tugas-tugas menyebalkan itu karena kaulah yang terbaik selama ini. Setiap kali ku kirim kau, saya yakin pekerjaanmu beres. Jika kau yang menangani, saya tenang dan tak perlu was-was.

“Kalau orang lain mengerjakan pekerjaan yang rumit, saya harus mampir dan mengawasinya. Saya tak pernah mengawasimu karena kau andal sepertiku. Bahkan mungkin lebih baik. Bahasa inggrismu semakin bagus sekarang, dan kurekomendasikan kau menjadi supervisor.”

Prof. Srikumar S. Rao (Guru besar Columbia Business School, New York)

0 komentar:

Posting Komentar