Senin, 31 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 10

Sisa hari kami habiskan dengan termangu menatap danau di depan kami. Seindah apapun ruangan ini, tanpa jalan pulang, semuanya terasa hambar. Ini sudah hari ketiga kami berada di Bor-O-Budr. Tepatnya tiga hari, dua malam. Itu setara lima jam waktu Klan Bumi. Di luar sana sudah petang, saatnya rombongan kembali ke hotel. Apakah Bu Ati sudah cemas mencari kami? Bagaimana jika kami benar-benar tidak bisa pulang, terkunci selama-lamanya bersama si kembar. Mereka sudah dua ribu tahun tinggal di ruangan ini.
“Aku tidak mau tinggal di ruangan ini selama-lamanya.” Seli menunduk.
“Tidak ada yang mau, Seli. Kita akan pulang. Ayolah, kita akan menemukan caranya.” Ali menyemangati. 
Seli diam. 
“Mungkin masih ada cara keluar dari ruangan ini. Aku akan memikirkannya.” Ali berusaha menghibur.
Matahari semakin turun di dinding barat. 
Splash. Ngglanggeran muncul di dekat kami.
“Kalian harus segera bersembunyi.”
Aku mengangguk, aku tahu peraturan itu. Bangkit berdiri. Disusul oleh Ali dan Seli.
Ngglanggeran membawa kami ke dalam stupa. Sekali lagi bilang tentang larangan jangan berisik, jangan menyalakan sesuatu, jangan coba-coba keluar dari stupa, kemudian dia melakukan teleportasi keluar.
Persis matahari tenggelam di dinding barat, meski kami tidak melihatnya langsung, tubuh Ngglanggeran dan Ngglanggeram mulai berubah menjadi monster gajah. Raungan kencang terdengar, monster itu mulai memukuli dasar danau.
Aku menahan nafas. Lantai candi bergetar kencang. Cipratan air terhempas ke segala arah, sebagian merembes masuk ke dalam stupa.
Seli tidak terlihat takut seperti malam sebelumnya. Bukan karena gajah itu terlihat lebih lucu sekarang, melainkan di kepala Seli, rasa cemas tidak bisa pulang jauh lebih besar dibandingkan ketakutan kepada Slon. Sementara Ali, Si Biang Kerok itu mulai tidur. Meluruskan kaki, bersidekap, memejamkan mata. Aku menatap wajah Ali lamat-lamat. Aku ingin sekali seperti Ali, yang selalu tenang dan rileks dalam setiap masalah. Entah itu kelebihan atau kelemahan aku tidak tahu. Ali yang meski kusam, rambut berantakan, tapi— 
Ali mendadak membuka matanya, menoleh.
“Kamu memperhatikanku, Ra?” Bertanya.
Wajahku langsung memerah. Aku buru-buru menggeleng.
Ali nyengir, “Akui sajalah, kamu memperhatianku sejak tadi, kan?”
Aduh, aku hendak menjelaskan, enak saja, itu tidak seperti yang dibayangkan. Aku tidak memperhatikan Si Biang Kerok ini, eh, baiklah, aku memang memperhatikannya, tapi itu bukan apa-apa, eh, hanya memperhatikan. Wajahku semakin merah padam.
Ali melambaikan tangan, dia memejamkan mata lagi, melanjutkan tidur.
Aku menghembuskan nafas pelan. Dasar menyebalkan.
Beruntung Seli tidak menggodaku. Seli tetap diam.

***
Seperti hari sebelumnya, Ngglanggeran muncul di dalam stupa persis saat matahari terbit. Tersenyum ramah dan hangat. Sama sekali tidak ada sisa-sisa monster buas itu. Dia menawarkan sarapan. Ali mengangguk, bilang bagus sekali, dia sudah lapar berat.
Bagaimana mungkin si Biang Kerok ini sudah lapar? Baru juga satu jam lalu kami menghabiskan ikan bakar rica-rica besar? 
“Siklus waktu yang lebih cepat di ruangan ini juga berpengaruh pada bioritme kita, Ra. Jadwal makan tubuh kita menyesuaikan diri. Memangnya kalian tidak lapar?”
Aku dan Seli menggeleng pelan. 
Pagi itu, Ngglanggeram memasak sop ikan. Dia memunculkan dengan mudah belanga besar, juga mangkok-mangkok keramik indah, dia membuatnya dari tanah saat itu juga di depan kami, seperti sihir melihatnya.
“Teknik manipulasi ruang dan waktu memungkinkan kita membuat apapun dari benda sekitar, Ra.” Ngglanggeran menjelaskan, “Itu bukan sihir. Itu adalah teknologi. Hanya karena kita tidak bisa memahami logikanya, bukan berarti itu tidak masuk akal.”
Tetap saja aku susah membayangkannya.
“Di Klan kami mereka juga memiliki teknologi ini. Tapi lebih primitif” Ali ikut bicara.
“Hei? Sungguh?” Ngglanggeran tertarik.
“Iya, kami menyebutnya printer 3D. Masukkan rancangan mangkok di komputer, misalnya, lantas tekan enter, printer 3D akan mencetaknya sama persis seperti rancangan itu dari material yang ada. Bukan hanya mangkok, mereka juga sudah bisa mencetak benda-benda rumit lainnya secara langsung dari file digital.”
“Hei, itu menarik.” Ngglanggeran mengangguk, “Kalian ternyata cukup maju dua ribu tahun terakhir. Tidak percuma kami mengajarkan banyak hal ke penduduk asli dulu.”
Aku bisa memahami logika printer 3D, tapi bagaimana Ngglanggeram bisa ‘mencetak’ mangkok dari tanah hanya dengan melambaikan tangan. Itu tetap mustahil?
“Itulah kenapa dia bilang, hanya karena kita tidak bisa memahami logikanya, bukan berarti itu tidak masuk akal, Ra. Bagi si kembar, tubuh mereka, alam sekitar, adalah komputer sekaligus printernya. Mereka melihat ruang dan waktu seperti kode biner, sistem digital. Jika kita tahu logikanya, itu bukan sihir.” Ali berbisik menjelaskan, “Atau sama seperti jaman dulu, saat orang-orang melihat nyala api pertama kali, mereka bahkan menganggapnya itu pekerjaan dewa-dewa. Api bahkan disembah segala. Padahal saat dia tahu itu hanya ilmu fisika sederhana, api jelas bukan pekerjaan sihir atau keajaiban.”
Aku menggeleng, itu berbeda. Semua orang juga tahu menyalakan api bukan sihir.
Aroma lezat sop ikan menguar. Menghentikan percakapan.
Perutku mendadak terasa lapar. Juga Seli. Kami tidak menolak saat Ngglanggeram menumpahkan sop ikan memenuhi mangkok besar. Sejenak, kami bisa melupakan kesedihan tidak bisa pulang.
“Ini enak sekali.” Seli berkata semangat. Wajahnya cerah.
Aku mengangguk. Setuju. Lebih enak dibanding ikan bakar rica-rica kemarin.
Ali tertawa, “Bukankah kalian bilang tadi tidak lapar, heh?”
Aku dan Seli menyeringai, mengabaikan Ali.
Tapi kesenangan sarapan itu hanya bertahan sebentar. Saat kami selesai menghabiskan mangkok sup, kami teringat lagi jika kami masih terkurung di ruangan, lima puluh kilometer di perut Bumi. Dinding-dinding raksasa mengungkung kami. 
Seli menghabiskan sisa hari dengan duduk bermuram durja menatap permukaan danau.
Aku menemaninya, lebih banyak berdiam diri.
Ali, dibantu oleh Ngglanggeran dan Ngglanggeram membawa kapsul perak ILY ke dekat stupa. Kapsul itu masih utuh, tidak ada kerusakan berarti, material Klan Bintang yang digunakan Ali membuatnya bertahan dari pukulan Slon dua malam sebelumnya.
Ali mengaktifkan ILY kembali—termasuk mode suaranya.
“Aku tidak mengenali ruangan ini, Ali…. Ini bukan Klan Bintang….” 
ILY mendesing, terbang rendah di dekat kami, memeriksa sekitar.
“Kita terkurung di ruangan Klan Aldebaran.”
“Aldebaran? Apa itu…. Apakah ini lokasi yang kita tuju beberapa jam lalu? Aduh, aku sudah melarang kamu masuk ke lorong itu, Ali. Kenapa kamu nekad? Seharusnya aku memberitahu Av atau Miss Selena.”
“Mereka juga tidak akan bisa membantu, ILY. Kita terkurung di teknologi Klan yang jauh lebih maju.”
“Jika demikian, masalah ini pelik sekali... Ali, semoga ini menjadi pelajaran berharga buatmu. Lihat akibatnya, kita terdampar di sini. Kalian sudah semakin besar, kalian harus menunjukkan sikap orang dewasa yang bertanggung-jawab dan penuh perhitungan. Bukan remaja atau kanak-kanak—” 
Tidak terima diceramahi, Ali mematikan kembali mode suara ILY, bersungut-sungut, “Dasar cerewet!”
ILY mendesing, terlihat marah, tapi tidak bisa bicara lagi.
Aku dan Seli memperhatikan pertengkaran mereka.
Menjelang matahari terbit, kali ini tanpa perlu disuruh Ngglanggeran, aku sudah menarik tangan Seli, agar bersiap masuk ke dalam stupa. Seli mengangguk pelan, beranjak berdiri.

*** 
Dan waktu melesat dengan cepat.
Siang, malam, siang, malam….
Tidak terasa kami sudah sebulan di ruangan itu.
Pagi hari selalu lebih mudah, karena Ngglanggeram akan memasakkan makanan lezat, termasuk jika kami request sesuatu, dia dengan senang hati akan memasaknya. Setelah sarapan, siang mulai terasa berat. Aku dan Seli tidak punya kegiatan selain melihat-lihat seluruh ruangan. Awalnya masih menyenangkan saat Ngglanggeran mengajak kami terbang berkeliling. Lama-lama jadi membosankan. Aku dan Seli lebih sering duduk di pelataran Candi, sesekali ditemani ILY, yang terbang mengambang di sebelah, ikut mengobrol. Ali mengembalikan mode suaranya. Kapsul perak itu memang cerewet, tapi aku dan Seli membiarkannya bicara sendiri. 
Ali lebih sering bersama Ngglanggeran dan Ngglanggeram, membahas tentang teknologi, menunjukkan proyektor transparan miliknya, bertanya banyak hal. Mungkin bagi Ali, ini seperti karya wisata, dan dia menemukan tour guide yang tahu banyak hal. Seru ditanya-tanya. 
Ngglanggeran dan Ngglanggeram juga menawarkan mengajari kami melakukan teknik dunia paralel. Aku sudah berhasil melakukan teleportasi benda lain tanpa menyentuhnya, meski radiusnya baru satu meter, kalah kuat dibanding milik si Kembar. Seli juga bisa melakukan teknik kinetik kepada air. Dia seperti ‘pengendali air’, membuat permukaan danau bergerak, menari, melakukan gerakan sesuai perintahnya. Ngglanggeran tertawa senang melihatnya. 
Sore hari jadwal kami masuk ke dalam stupa. ILY juga dimasukkan ke stupa lainnya. Jika dibiarkan di lantai candi, Slon akan menendang ILY sesuka dia. Membuatnya tersangkut di pegunungan salju, atau melesak dalam di hutan lebat.
Aku sendiri yang melakukan teleportasi membawa Seli dan Ali ke dalam stupa. Si kembar tidak perlu lagi mengingatkan, kami tahu peraturannya. 
Malam hari selalu menjadi bagian paling berat. Karena semakin lama kami berada di ruangan ini, semakin menipis kans kami untuk pulang. Ali buntu, dia tidak menemukan jalan keluar. Si Kembar selalu menggeleng, bilang mereka dan atau Slon juga tidak bisa keluar selama dua ribu tahun terakhir, apalagi kami.
Ruangan stupa lengang.
Seli menandai dinding stupa dengan guratan kerikil. Menghitung hari. 
Hari ke-31. Seli menghembuskan nafas perlahan. Itu berarti sudah 62 jam kami berada di sini. Lebih dari cukup untuk membuat Bu Ati panik. Mungkin Bu Ati di atas sana sudah melapor ke petugas Candi atau malah polisi, menelepon orang tua kami. Menghilangnya kami dari rombongan karya wisata bukan hal sepele. Ini sudah lebih dari 2x24 jam.
“Mama dan Papa akan cemas sekali.” Seli berkata pelan, menatap dinding stupa, kami sedang menunggu di dalam stupa, mengobrol pelan, di luar sana Slon sedang bermain air danau—alias berdentum melubangi danau semau mereka.
“Syukurlah, orang tua-ku tidak akan peduli.” Ali menyahut, meluruskan kaki, “Mereka paling juga menganggapku sedang kabur ke rumah Paman atau saudara yang lain. Sudah biasa.” 
Sebagai keluarga super kaya-raya, orang tua Tuan Muda Ali memang super sibuk dengan bisnis raksasa mereka. Bisa dipahami.
Aku menghela nafas pelan, aku memikirkan Mama dan Papa di rumah. Entah apa yang dilakukan Mama sekarang? Jangan-jangan Mama sudah panik menelepon Tante-ku yang bekerja di televisi, memintanya membuat pengumuman di media. Pihak sekolah juga akan panik, karya wisata itu berubah jadi bencana. Jika Miss Selena sedang berada di Klan Bumi, dia mungkin bisa membantu meredakan kecemasan. Tapi aku tidak tahu Miss Selena sedang di mana. Entah apa pula komentar Av? Juga Faar, Hana? Dua minggu lagi, mereka merencanakan pertemuan di Kota Zaramaraz membahas tentang koalisi tiga Klan menghadapi lolosnya Si Tanpa Mahkota. Jika kabar menghilangnya kami sampai di sana, acara itu boleh jadi batal, digantikan mengirim tim SAR, mencari kami.
Malam itu berlalu seperti malam-malam sebelumnya.
Terasa panjang tak berkesudahan. 
Aku memejamkan mata. Beranjak tidur di tengah suara gemuruh gunung salju berguguran. Slon sedang memukuli salju-salju.
Kami persis seperti tahanan seumur hidup—tanpa prospek kapan bisa bebas.

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 09

Meski hanya satu jam, mendengar Slon mengamuk di luar sana, malam terasa sangat panjang. Sesekali aku menahan nafas, terutama saat Slon berada di dekat stupa, monster itu seperti menciumi sekitar stupa, mencari sesuatu. Kemudian meraung, marah memukuli lantai candi.
Seli pias, berusaha tidak berseru. Aku menggenggam jemarinya, meyakinkan dia bahwa semua akan baik-baik saja. Sekali kami ketahuan berada di dalam stupa, kami tidak kuat bertarung melawan mereka.
Ali nyengir, dia justeru hendak tidur. 
Entah hati dan kepala si Biang Kerok ini terbuat dari apa, Ali selalu rileks. Bagaimana mungkin dia mengantuk saat Slon berada beberapa meter di luar stupa. 
“Ngglanggeran sudah bilang. Tempat ini aman, Seli. Mereka pasti telah memasang penangkal atau sesuatu di dalam stupa ini agar kita tidak ketahuan. Apa yang harus kamu cemaskan? Ini seperti menonton film dan kita sudah tahu ending-nya. Slon tidak bisa menemukan kita.” Ali menggeliat, meluruskan kaki.
Setidaknya ada empat kali Slon berada di dekat stupa, dia seperti mencari sesuatu. Mungkin benda yang dulu dicuri Si Tanpa Mahkota.
Tombak perak besarnya terdengar mengiris lantai candi, stupa kami. Suaranya nyaring membuat kuping sakit. Tangan besarnya mengetuk-ngetuk stupa. Tapi hanya itu, sejenak, Slon kembali berlarian ke gunung-gunung salju. Melepas pukulan berdentum berkali-kali.
Satu jam sepertinya lama sekali.
Lantas semua mendadak lengang.
Aku menghembuskan nafas.
Matahari telah terbit. Lihatlah, cahayanya melewati lubang-lubang kecil stupa, tiba di lantai candi, satu siluet menerpa wajah kami.
Seli ikut menghembuskan nafas.
Slon telah menghilang.
“Hoaaeemm!” Ali menguap lebar, bangun. Si Biang Kerok itu ternyata sungguhan tertidur.
“Perutku lapar. Apakah ruangan stupa ini ada makanannya?” Ali memeriksa sekitar. Berdiri.
Aku hampir menimpuk Ali dengan batu kerikil. Dia jelas mengambil jatah makananku dan Seli saat di atas pesawat sebelumnya, dan tetap merasa lapar? 
“Petualangan begini selalu membuat selera makanku membaik, Ra. Semoga makanan mereka bukan bubur putih lengket Klan Bintang itu.” Ali mengangkat bahu, terus memeriksa.
Aku ikut berdiri, disusul Seli. Ruangan itu kosong, tidak ada apapun.
Kami mungkin sebaiknya keluar dari ruangan stupa. 
Splash!
Ngglanggeran (atau boleh jadi Ngglanggeram, kami tidak tahu bedanya), muncul lebih dulu di dalam stupa.
“Selamat pagi, Raib, Seli, Ali.” Pemuda itu tersenyum ramah.
Aku dan Seli menatapnya jerih. Tak terbayangkan jika beberapa detik lalu, dia adalah Slon. Monster ganas berbadan manusia berkepala gajah.
“Pagi.” Ali yang menjawab salam. Santai.
“Aku mendengar kamu bertanya apakah ada makanan di sini, Ali?” Pemuda itu menatap Ali, “Tentu saja ada. Mari, kita akan membuat sarapan untuk kalian.”
Pemuda itu mengangkat tangannya.
Splash.
Kami berempat menghilang, splash! Muncul di luar stupa. 
Wajah kami ditimpa cahaya pagi. Sunrise yang menawan. Tapi bukan itu pemandangan spektakulernya, melainkan pemuda yang satu lagi, sedang berada di atas danau, terbang mengambang di sana. Dia mengangkat tangannya, keluar cahaya putih dari sana, dan satu-persatu, dia mulai menyulam ruangan. Pepohonan roboh kembali tegak. Dedaunan kembali menghijau. Bunga kembali bermekaran. Puing-puing bebatuan terbang berkumpul, mulai membentuk stupa, tangga, bangunan candi. Juga dasar danau, seperti melukis, lubang-lubang besar disaput kuas bebatuan koral yang baru. Terumbu karang, ikan-ikan kembali berenang. Utuh seperti sedia kala kami melihatnya.
“Hei, Ngglanggeram! Anak-anak ini lapar.” Pemuda yang berada di dekat kami berseru kepada kembarannya di atas danau—itu berarti dia adalah Ngglanggeran.
“Baik! Tunggu sebentar. Aku hampir selesai.” Ngglanggeram menjawab dari kejauhan. Tangannya terus bergerak menyulam permukaan ruangan, memperbaiki kerusakan amuk Slon tadi malam. Gunung-gunung kembali berbaris, salju seperti ditumpahkan ke atasnya. Terakhir, dia meletakkan awan putih di langit-langit ruangan, tak ketinggalan pelangi. Simetris empat sisi.
Tidak lama menunggu, Ngglanggeram melakukan teleportasi, muncul di dekat kami. Dia datang membawa seekor ikan besar.
Ikan? Kami makan ikan mentah? Tidak ada alat masak di dekat kami.
Ngglanggeran menunjuk saudara kembarnya yang datang, “Menu sarapan kita sudah ditentukan. Ikan. Jangan cemas, semaju apapun teknologi Klan Aldebaran, Ngglanggeram tidak akan pernah mau memakan masakan buatan mesin. Dia mungkin satu-satunya yang tersisa dari bangsa kami yang pandai memasak secara manual. Maka jika kalian lapar, bicaralah dengannya. Kamu akan membuat masakan ikan apa pagi ini?”
“Ikan bakar bumbu rica-rica.” Ngglanggeram menjawab lugas.
“Kamu tahu cara memasak ikan bakar bumbu rica-rica?” Seli menyelidik, bertanya ragu-ragu. 
Ngglanggeram tertawa riang, “Aku yang mengajari penduduk Bumi memasak, Seli. Mereka dulu hanya memakan hewan mentah, ikan, hasil berburu. Aku datang mengajarinya membakar, menggoreng, mengolahnya. Tentu saja aku bisa.”
Kami duduk di lantai candi. Ngglanggeram mulai memasak.
Lima menit, aroma lezat dari ikan bakar tercium pekat. Asapnya mengepul. Dengan teknik dunia paralel, memasak jadi sangat hebat. Ngglanggeram cukup melambaikan tangan, api muncul di bebatuan candi. Tangannya terangkat, segala bahan masakan melesat terbang mendekat. Termasuk daun kemangi yang segar, dipetik dari jarak jauh. Ikan besar itu bahkan mengambang sendiri di atas bara api. Kaar, koki hebat di Klan Bintang sekaligus pemilik restoran ternama Lezazel, yang juga masak dengan teknik Klan Matahari, mungkin akan menangis terisak jika melihat langsung betapa hebatnya Ngglanggeram menyiapkan sarapan kami.
Kami bertiga juga terdiam mematung saat mulai mengunyah makanan.
Seli mengusap ujung matanya yang berkaca-kaca.
“Ini enak sekali.” Seli berbisik, terharu. 
Aku mengangguk. Enak…. Susah dijelaskan dengan kata-kata. Aku tidak tahu jika masakan bisa selezat ini. Lidah kami seperti mengalami wahana fantasi panca indera.
Ali yang biasanya rajin mengomentari makanan, juga tidak banyak cakap, dia makan dengan lahap, seolah takut sekali kehabisan.
“Omong-omong, bagaimana situasi Klan Bumi di atas sana?” Ngglanggeran bertanya, memilih topik percakapan pertama kami.
Aku menjelaskan singkat situasi di atas sana—sambil mengunyah makanan.
“Bukan main. Tujuh milyar penduduk. Itu lebih banyak disbanding penduduk Klan Aldebaran. Sudah lama sekali kami meninggalkan permukaan Bumi. Bagaimana dengan Klan Matahari dan Klan Bulan?”
Seli menjelaskan tentang Klan Matahari. Kota Ilios, ibukota dengan bangunan-bangunan kotak. Aku menambahkan tentang Klan Bulan, Kota Tishri, ibukota dengan bangunan tiang-tiang tinggi dan rumah berbentuk bola persis di ujungnya.
“Juga masih ada Klan Bintang.” Seli bicara lagi setelah aku selesai.
“Klan Bintang? Tidak ada dunia paralel dengan nama itu.” Ngglanggeram menggeleng, tidak mengerti.
“Ada.” Seli ikut menggeleng, jelas-jelas kami pernah kesana.
“Maksud mereka, memang tidak ada Klan Bintang, Seli.” Ali menjelaskan, “Sama seperti tidak ada dunia paralel dengan nama Klan Planet, atau Klan Satelit. Klan Bintang memang bukan klan utuh tersendiri. Itu sebenarnya Klan Bumi, kota-kotanya berada di perut Bumi, penduduknya datang dari Klan Bulan dan Klan Matahari.”
Seli mengangguk. 
“Hei, apa kamu bilang, Ali? Ini menarik. Mereka sudah bisa membuat peradaban di perut bumi? Itu berarti banyak sekali yang telah mereka kembangkan selama ini. Tidak percuma ekspedisi besar Aldebaran empat puluh ribu tahun lalu.” Ngglanggeram terlihat senang.
“Atau mungkin beberapa rombongan kita memang pindah ke perut bumi sejak dua ribu tahun lalu, menghindari Slon.” Saudara kembarnya, Ngglanggeran menyahut.
“Boleh jadi. Mereka yang memberitahu penduduk asli bagaimana mengukir bebatuan keras, membuat matahari buatan, sungai, dan sebagainya.”
Kami terus bercakap-cakap hingga sarapan kami tandas.
Matahari mulai tergelincir dari titik tertingginya. 
“Bukan main. Kita sarapan tak terasa sekaligus makan siang terlewati.” Ngglangeran bergurau, menatap langit-langit ruangan.
Saudara kembarnya tertawa.
Jika menatap si kembar ini secara langsung, mengobrol, tidak terbayangkan jika mereka adalah Slon. Monster berkepala gajah. Mereka bersahabat sekali. Memiliki selera humor yang tinggi. Seperti Ily yang dulu kami kenal, tapi dalam versi yang lebih tua, periang, dan lebih tampan. 
“Bagaimana caranya kami keluar dari ruangan ini?” Aku bertanya.
Itu pertanyaan yang kutahan sejak tadi. Setelah ikan bakar rica-tica tandas, aku ingat kembali betapa mendesaknya pertanyaan itu.
“Aku minta maaf, Raib. Kalian tidak bisa keluar.” Ngglanggeran menjawab pelan—dia menatapku sedih.
Aduh. Seli mengaduh tertahan di sebelahku.
“Kami harus pulang! Bu Ati menunggu kami di atas sana.”
“Siapa Bu Ati?”
“Guru Sejarah. Kami sedang karya wisata.”
“Apa itu karya wisata?”
Ngglanggeran berusaha memahami kalimat Seli, sejenak, tetap menggeleng, “Aku sungguh minta maaf, Seli. Ruangan ini telah dikunci sedemikian rupa. Kapsul perak kalian—harus kupuji itu bagus sekali, tidak bisa menembus gel transparan di atas sana, menuju mulut lorong. Tingginya tiga puluh kilometer. Kami mendesain pertahanan ruangan ini sedemikian rupa agar Slon tidak bisa lolos membahayakan dunia luar.”
Seli terlihat panik. Wajah Ali juga terlihat serius. Prospek kami akan terkurung selamanya di ruangan ini membuatnya sedikit serius.
“Bagaimana dengan Buku Kehidupan-mu, Ra!” Ali mengingatkanku. 
Itu benar. Aku reflek mengangguk. Semangatku seketika pulih. Kami punya solusi terbaik.
Meraih ransel sekolahku. Aku selalu membawa buku itu kemana-pun pergi. Buku itu adalah pembuka portal yang diberikan oleh Miss Selena. Sepanjang kami pernah berada di sebuah titik, maka kami bisa menuju kesana secara digital. Buku Kehidupan akan membukakan portal menuju ke sana.
Aku menggenggam Buku Kehidupan. Buku itu bersinar. 
“Halo Puteri Raib!” Buku Kehidupan bicara kepadaku, lewat suara yang merambat di tangan. 
“Apakah kamu bisa membuka portal ke Klan Bumi?” Aku bertanya lebih dulu—sebelum Buku Kehidupan seperti biasa bertanya kemana aku hendak pergi.
Lengang sejenak. 
Buku Kehidupan mendesing. Kencang. Kemudian terhenti.
“Aku minta maaf, Puteri Raib. Teknologi ruangan ini tidak bisa kutembus. Ada enskripsi tingkat tinggi yang tidak bisa kupahami. Berasal dari tempat jauh.”
Aku mematung. Astaga? Tadi aku yakin sekali kami bisa pulang dengan Buku Kehidupan.
“Ada apa, Ra?” Seli bertanya cemas—melihat wajahku.
Aku menggeleng. Buku Kehidupan tidak bisa membuka portal kemanapun.
Seli mengaduh lagi, wajahnya pias.
“Hei, bukan main.” Ngglanggeran menunjuk buku yang kupegang, “Penduduk klan kalian ternyata sudah bisa membuat pembuka portal.”
Aku menoleh ke arah si kembar.
“Apa namanya tadi? Buku Kehidupan. Itu nama yang keren. Boleh aku pegang?”
Aku menyerahkan buku itu.
“Ini pembuka portal yang baik.” Ngglanggeran memeriksa buku, “Pembuatnya cukup jenius. Dan multi guna, benda ini selain portal, sepertinya juga bisa sekaligus mencatat perjalanan kalian di dalamnya. Sayangnya, ini tidak cukup canggih, Raib. Tidak ada yang bisa membuka portal dari ruangan ini, kami telah mengunci portal apapun.”
Aku mengangguk pelan. Menerima kembali Buku Kehidupan dengan lesu. Padahal Av bilang, buku ini pusaka Klan Bulan. Ternyata tetap tidak bisa membantu kami.
Bagaimana ini? Kami tidak bisa pulang. Aku menghembuskan nafas panjang.
Mata Seli mulai berkaca-kaca—dan kali ini bukan karena masakan lezat si kembar.

Minggu, 30 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 08

Matahari sudah tumbang di dinding barat saat aku membuka mata.
Mengerjap-ngerjap. 
“Hei, akhirnya kamu siuman.” Seseorang menyapaku.
Aku menoleh. 
Salah-satu pemuda yang terakhir kali kulihat sebelum pingsan menungguiku. Senang melihatku siuman. Tersenyum ramah.
Aku beranjak duduk. Teringat sesuatu, reflek mengangkat tangan, bersiap-siap atas situasi buruk.
Pemuda itu tertawa, “Tidak perlu cemas, dua Slon itu telah pergi.”
Slon?
“Iya, Slon…. Maksudku gajah. Begitu klan kalian menyebutnya, bukan?”
Aku mengangguk, menurunkan tangan. Teringat sesuatu lagi, bergegas menatap sekitar. 
Ali, Seli, dua orang yang kucari duduk tidak jauh dariku. Bersandarkan stupa besar. Mereka juga barusaja siuman. Terlihat baik-baik saja. Pemuda yang lainnya sedang bercakap-cakap dengan mereka.
Eh? Aku menatap candi dengan heran. Tidak ada stupa yang bolong. Tidak ada puing-puing. Juga bebatuan. Candi ini kembali utuh. Juga hutan yang porak-poranda, danau yang berlubang, pegunungan salju yang sompal. Semua terlihat seperti sedia kala. Indah.
“Hei, Ngglanggeran! Apakah yang satu itu sudah siumana?” Pemuda di dekat Ali dan Seli berseru.
“Iya!” Pemuda di dekatku menjawab, sambal berdiri, “Ayo, mari bergabung dengan dua temanmu.”
Aku ikut berdiri. Mengikuti langkahnya. 
“Kalian tidak apa-apa, Ali, Seli?” Aku langsung bertanya.
Ali dan Seli mengangguk.
Bengkak di paha kanan Ali sudah kempes. Seli terlihat sehat, wajahnya tidak pucat lagi.
“Mereka berdua memiliki teknik penyembuhan.” Seli berbisik menjelaskan.
Dua pemuda itu duduk jongkok di depan kami. Menatap bersahabat—syukurlah, mereka bukan musuh kami. Dalam kondisi yang lebih baik, aku bisa menatapnya lebih jelas. Wajah mereka berdua bagai pinang dibelah dua. Persis sekali. 
“Teknik penyembuhan…. Apakah kalian dari Klan Bulan?” Aku bertanya.
“Klan Bulan? Oh, maksudmu klan yang tidak berpenghuni itu. Tidak. Kami tidak datang dari sana.”
Aku menatap penuh selidik lawan bicaraku. Klan tidak berpenghuni? Jelas-jelas Kota Tishri memiliki jutaan penduduk.
“Mereka berdua sepertinya datang dari dunia paralel yang lebih jauh, Ra.” Ali memberitahu.
Dunia paralel yang lebih jauh? Bukankah hanya ada empat Klan?
Sungguh tidak mudah mencerna informasi baru yang kudapatkan dari dua pemuda ini—meskipun Ali sudah membantu menyederhanakannya.
“Kita belum berkenalan secara resmi. Namaku Ngglanggeran.” Pemuda itu menunjuk dirinya, lantas menoleh ke samping, “Dia Ngglanggeram.”
“Apakah kalian kembar?” Seli ingin tahu.
“Kembar? Oh, maksud kalian binjak? Iya, kami memang kembar, binjak.” Ngglanggeran tersenyum.
“Tentang Klan, kami datang dari Klan Aldebaran.” Ngglanggeram menambahkan.
Aldebaran? Aku tidak pernah mendengar tempat itu.
“Itu bintang paling terang di konstelasi Taurus. Jaraknya 65 tahun cahaya dari Matahari. Salah-satu bintang dalam tata surya kita.” Ali berbisik memberitahu.
Aku menoleh kepada Ali.
Dari bintang lain? Si kembar ini alien?
Ali menggeleng, “Itu Klan lain yang ada di dunia paralel, Ra. Sama seperti Klan Bulan, Klan Matahari atau Klan Bumi. Mereka bukan alien seperti film-film. Konsepnya berbeda.” 
Tapi bukankah Ali tadi bilang itu nama salah-satu bintang di galaksi Bima Sakti.
“Aku juga bertanya-tanya hal yang sama,” Seli ikut berbisik, "Kenapa mereka menamai klan-klan dunia paralel dengan nama Bumi, Bulan, Matahari, Aldebaran? Mereka meniru benda-benda langit saat menamai-nya, Ali?"
"Keliru, Seli!" Ali menggeleng, "Sebaliknya. Kitalah yang meniru mereka. Dulu, informasi tentang klan-klan dunia paralel masih diketahui banyak orang. Lantas orang-orang meniru, menamai benda-benda langit dengan nama klan-klan tersebut. Bumi, Bulan, Matahari, Bintang dan seterusnya. Hari ini tidak ada lagi yang tahu. Kita hanya tahu itu hanya benda langit, tanpa mengetahui itu juga adalah nama dunia paralel."
Seli mengangguk--itu masuk akal. Sepertinya itulah muasal nama-nama benda langit, datang dari nama klan.
Ngglanggeran yang masih duduk jongkok di depan kami ikut mengangguk, “Teman kalian yang satu ini, dia pintar sekali menyimpulkan sesuatu.”
Ali memperbaiki posisinya, lebih tegak. Wajahnya terlihat senang dipuji.
Aku menyikut Ali. Melotot.
“Siapa nama kalian, kalau boleh tahu?” Ngglanggeram bertanya.
Aku menyebut nama kami masing-masing. Lengkap dengan asal Klan.
Ngglanggeran dan Ngglanggeram menatap kami penuh antusiasme, “Hei, sudah lama sekali kami tidak keluar dari ruangan ini. Kami baru tahu jika Klan Bulan dan Klan Matahari telah berpenghuni. Empat puluh ribu tahun lalu saat kami datang, semuanya masih kosong.”
Aku hampir loncat dari duduk. Empat puluh ribu tahun lalu saat mereka datang?
“Berapa usia kalian?” Seli bertanya ragu-ragu.
“Lupa. Kami tidak menghitungnya.” Ngglanggeram tertawa.
Aku dan Seli saling tatap. Ini semakin sulit dicerna.
“Ini ruangan apa?” Aku bertanya hal lain.
“Ruangan ini dulunya adalah tempat tinggal terbaik kami. Bor-O-Bdur” Wajah Ngglanggeran terlihat berubah, menjadi suram, “Empat puluh ribu tahun lalu kami adalah anggota ekspedisi besar Aldebaran untuk menemukan klan-klan lain di dunia paralel. Pemimpin Klan membuka portal raksasa menuju seluruh penjuru. Tidak kurang empat puluh kapsul terbang melintasi portal menuju klan yang tidak pernah dikunjungi. Itu ekspedisi dengan tujuan mulia, kami mencari Klan lain yang memiliki kehidupan. Menyebarkan pengetahuan Aldebaran. Atau kami belajar darinya jika ternyata teknologi mereka lebih tinggi. Aku dan Ngglanggeram tiba di Klan Bumi bersama sekitar seratus orang lainnya.”
“Sungguh menakjubkan. Klan Bumi adalah tempat terhijau yang pernah aku lihat. Tumbuh-tumbuhan subur menghijau. Kami menemukan penduduk aslinya. Masih sangat primitif, satu-dua curiga dan menyerang kami, tapi itu bukan masalah besar, kami datang dengan damai. Kami memutuskan menetap di klan ini, membaur dengan mereka. Membagikan pengetahuan. Termasuk bahasa. Kita sekarang bisa bicara dengan mudah, karena aku mengenali bahasa yang kalian gunakan, salah-satu bahasa yang pernah kami ajarkan. Mungkin satu-dua istilah seperti slon, binjak, yang telah berkembang dengan sendirinya.”
“Kami juga mengajari penduduk Klan Bumi mengenal api, membuat alat berburu, menetap, bertani, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Mereka tidak secepat itu belajar, klan kalian tidak memiliki kode genetik belajar cepat, tapi itu tetap saja kemajuan. Satu-dua diantara mereka bahkan membuat kerajaan, negara-negara, senjata, dan aduh, sifat jahat mereka keluar. Menyedihkan melihatnya, penduduk bumi berperang satu sama lain. Maka kami memutuskan membuat bangunan besar ini, memisahkan diri dari penduduk asli Bumi. Aslinya ruangan ini ada di permukaan sana, bangunan di tengah danau indah. Ribuan tahun kami hidup damai, terputus dari hiruk-pikuk Klan Bumi. Hingga pada suatu hari. Persisnya dua ribu tahun lalu. Semua berubah.”
Ngglanggeran diam, menatap dinding timur. Matahari semakin rendah. Cahaya lembutnya menyiram seluruh ruangan.
“Apa yang terjadi?” Aku bertanya tidak sabaran. Si kembar ini barusaja menyebut ‘dua ribu tahun lalu’, frase itu sangat penting dalam setiap petualangan kami.
“Ada seseorang yang berhasil mendatangi bangunan kami—seperti yang kalian lakukan saat ini. Seorang anak muda. Usianya paling hanya dua puluh tahun menurut ukuran Klan kalian. Menarik sekali, anak muda ini sepertinya bukan penduduk asli Klan Bumi. Dia menguasai teknik-teknik yang kami bawa dari Aldebaran. Pukulan berdentum, teknik penyembuhan, menghilang, dan sebagainya, dia pastilah memiliki garis keturunan dari sana, meski telah bercampur dengan penduduk asli. Atau dia datang dari Klan lain tempat ekspedisi besar kami mendarat.”
“Anak muda ini datang hendak belajar. Kami menyambutnya dengan baik. Kami selalu suka dengan orang-orang yang mau belajar. Apalagi seseorang yang bisa menemukan tempat kami tinggal, melewati kesulitan yang kami buat agar orang luar tidak tahu lokasi kami. Hei, anak muda ini sangat ambisius, tidak sabaran dan keras kepala. Dan pintar tentu saja. Aku seperti menemukan murid terbaik yang pernah ada. Bertahun-tahun dia tinggal di sini, hingga dia memaksa belajar menguasai teknik paling penting milikku dan Ngglanggeram.”
Si kembar diam lagi.
“Teknik apa?” Seli mendesak.
“Teknik manipulasi ruang dan waktu.” Ali yang menjawabnya, bergumam.
“Hei!” Ngglanggeran menoleh ke arah Ali, tertawa kecil, “Kamu jenius sekali, Ali. Itu tebakan yang sangat akurat. Aku tidak percaya kamu penduduk asli Klan Bumi. Kamu seperti datang dari Aldebaran, salah-satu penduduk paling pintarnya.”
Ali sekali lagi menegakkan badannya—sok bergaya.
Aku menoleh ke Ali—tidak menyikutnya. Bagaimana dia bisa menebaknya?
“Itu mudah, Ra. Ruangan ini hancur lebur tadi malam, saat kita siuman, lihat saja, semuanya telah pulih. Mereka bisa memperbaikinya, dengan memanipulasi ruang dan waktu.”
“Akurat sekali, Ali.” Ngglanggeran mengangguk, tersenyum, “Kami bisa memanipulasi bentuk ruang dan waktu. Itu teknik langka Klan Aldebaran.”
“Apa yang terjadi dengan orang itu?” Seli memotong, mengembalikan topik percakapan.
“Kami menolak mengajarkan teknik itu kepadanya. Sepintar apapun dia. Satu, teknik itu sesungguhnya tidak bisa diajarkan, teknik itu datang dengan sendirinya kepada orang yang layak. Dua, teknik itu bisa membahayakan seluruh dunia paralel jika disalahgunakan. Meski kecewa, anak muda itu sepertinya bisa menerima keputusan kami, hingga esok harinya, kami baru menyadari, anak muda itu telah pergi diam-diam, dan dia mengambil benda paling penting milikku dan Ngglanggeram.”
“Tanpa benda itu terjadilah hal paling mengerikan.”
“Hal mengerikan?” Suara Seli tertahan.
“Iya. Benda itu menjaga Slon, dua monster gajah yang kalian hadapi sebelumnya. Slon adalah mahkluk mengerikan dari Aldebaran, keluar setiap malam tiba. Sekali matahari tenggelam, Slon muncul. Mulai menyerang siapapun, mengamuk. Saat matahari terbit, mahkluk itu menghilang, menyisakan kerusakan besar. Satu persatu anggota rombongan kami tewas, dan tidak hanya itu, Slon juga menyerang kota-kota, desa-desa di Klan Bumi lainnya. Aku dan Ngglanggeram tidak bisa mengendalikan Slon itu tanpa benda yang dicuri anak muda sebelumnya. Maka setiap malam tiba Slon akan muncul. Itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.”
Wajah Ngglanggeran terlihat sedih.
“Kami akhirnya memutuskan memasukkan ruangan ini ke dalam perut bumi. Menguncinya dengan lorong-lorong dan selaput gel tak terlihat agar Slon tidak bisa melarikan diri. Benda atau apapun bisa masuk ke sini—seperti kapsul perak kalian, tapi tidak bisa keluar. Kami juga membuat siklus siang dan malam lebih pendek di ruangan ini, agar Slon tidak merusak banyak hal terlalu lama. Inilah ruangan tersebut. Bor-O-Budr. Replika kecilnya ada di permukaan Bumi, dibuat oleh penduduk asli. Inilah ruangan indah kami dulu, tempat kami terkunci entah berapa lamanya.”
“Benda apakah yang dicuri?” Seli bertanya, penasaran.
Ngglanggeran tidak menjawab, dia menoleh, menatap dinding barat. Wajahnya cemas. Matahari bersiap tenggelam.
“Waktu kita tidak banyak, Seli, Ali, Raib. Kalian harus bersembunyi.”
“Bersembunyi?” Seli mencicit.
“IYA! Bergegas. Matahari hampir tenggelam.” Si kembar yang lain mulai panik.
Dia mengangkat tangannya. 
Splash. Tubuh kami telah menghilang, untuk splash! Muncul di dalam salah-satu stupa. Keren, itu teknik teleportasi tanpa harus menyentuh orang lain, radius beberapa meter, seluruhnya menghilang bersama si kembar.
“Kalian tinggal di dalam stupa ini. Jangan keluar, jangan menyalakan apapun, jangan berisik. Sepanjang kalian tetap di sini, Slon tidak akan mengganggu kalian. Apapun yang terjadi, jangan keluar.” Ngglanggeran menatap kami serius.
Kami bertiga mengangguk.
Si kembar beranjak hendak pergi.
“Eh, kalian mau kemana?” Seli bertanya. Apakah mereka tidak ikut bersembunyi bersama kami di dalam stupa, demikian maksud pertanyaan Seli.
Ngglanggeran menggeleng, “Kami akan ke stupa lainnya.”
Sekejap, dua pemuda itu telah menggunakan teknik teleportasi. Menghilang.
Di luar sana, matahari sempurna tenggelam. Gelap menyelimuti ruangan.
Terdengar raungan panjang.
Itu Slon! Monster itu sudah keluar.
“Kenapa mereka tidak tinggal bersama kita, Ali?” Seli mengusap wajahnya yang pias. Lantai ruangan stupa tempat kami bersembunyi bergetar setiap kali Slon meraung dari berlarian kesana-kemari.
“Karena Slon adalah mereka. Ngglanggeran dan Ngglanggeram. Si kembar yang berubah wujud menjadi monster gajah setiap kali malam tiba. Mereka tidak bisa mengendalikan perubahan tersebut tanpa alat yang dicuri.”
Astaga?
Aku dan Seli terdiam. Apakah Ali serius? Atau dia sembarang membuat kesimpulan.
“Dan anak muda yang mencuri sesuatu dari mereka itu adalah Si Tanpa Mahkota! Dua ribu tahun lalu, saat berpetualang ke berbagai Klan, Si Tanpa Mahkota menemukan Bor-O-Budr, ruangan ini, masih di atas permukaan Bumi.” Ali menghela nafas pelan.
Aku hampir tersedak. Segera menutup mulut—kami tidak boleh berisik.
Sekali lagi di kejauhan terdengar raungan panjang. 
Slon mengamuk, memukuli gunung-gunung salju. Dentuman kencang terdengar silih-berganti. 
Lantai stupa bergetar hebat. Debu berjatuhan dari atap stupa.
Seli gemetar di sebelahku.
Aku mengusap wajah. Ini jelas bukan karya wisata menyenangkan.

Sabtu, 29 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 07

Pertarungan dimulai.
Tersisa jarak lima puluh meter dari kami, Seli melepas dua petir biru. Itu petir yang besar. Susul-menyusul. 
Dua monster itu lincah menghindar, petir itu menghantam udara kosong, meletup. Jangankan kena, memperlambat gerakan pun tidak.
Aku mengatupkan rahang, sepuluh meter, menunggu hingga dekat, giliranku melepas pukulan berdentum. 
Monster gajah itu kali ini tidak menghindar, salah-satunya mengarahkan tombak ke depan, balas mengirim pukulan berdentum. Dua pukulan serupa bertemu. Suara pekak membuat sakit telinga. Butiran salju menyelimuti sekitar candi. Tubuhku terpelanting lima meter. Monster itu bergeming, selangkah pun tidak berpengaruh, tetap bergerak maju. 
Giliran Ali menyambutnya, dia loncat, mengirim tinju ke depan. Meski tubuhnya bukan lagi ‘beruang pemarah’, pukulan Ali sama kuatnya.
Pukulan berdentum dibalas pukulan berdentum. Tinju dibalas tinju. Jual beli. Monster yang lainnya loncat, tangan kosongnya menyambut tinju Ali.
BUUM!!
Ali terbanting ke belakang sama sepertiku.
Dua monster itu beringas mengejar Ali. 
Splash! Tubuhku yang masih mengambang di udara menghilang, untuk kemudian splash! Teknik teleportasi. Muncul di depan dua monster itu, memotong gerakan mereka. Tanganku teracung ke depan. Bukan pukulan berdentum, aku mengirim teknik energi dingin ke arah mereka.
SROOM!
Dua larik cahaya keluar dari tanganku, telak mengenai dada dua gajah itu, suhu di sekitar kami langsung jatuh minus 100 derajat. Gerakan dua monster itu terhenti. Tubuh mereka membeku. Diselimuti es tebal, merayap cepat ke arah kaki, tangan, wajah. Sepertinya akan berhasil.
Monster itu meraung. Tombak perak mereka terlihat membara, panas. Sekejap, seluruh es itu luruh ke bebatuan candi. Tombak itu sekarang terangkat ke arahku, menyemburkan api—bukan pukulan berdentum.
Astaga! Aku belum pernah melihat teknik itu. Aku tidak tahu jika tombak itu bisa mengeluarkan api. 
Splash! Tubuhku menghilang, sambil meraih tangan Seli yang mematung kaget menyaksikan api menyambar, splash! Aku dan Seli muncul di atas stupa besar, Ali juga loncat ke sana, menjauh.
Bola api menghanguskan apapun radius dua puluh meter. 
“Ini tidak akan mudah.” Ali menggeram.
Aku mengangguk, dua monster ini tangguh.
“Apa yang akan kita lakukan, Ra?”
“Gunakan latihan kita.” Aku menjawab tegas.
Sepulang dari Klan Bintang, menyaksikan betapa kompaknya Pasukan Bayangan dan Pasukan Matahari bahu-membahu bertempur, aku, Seli dan Ali ikut melatih gerakan itu. Kami bisa saling mengisi gerakan, bekerjasama memaksimalkan teknik setiap klan. Jika ada yang menyerang, ada yang bersiap membuat pertahanan, dan sebaliknya.
Kami bertiga segera memasang kuda-kuda.
Waktu kami tidak banyak, dua monster itu sudah loncat ke atas stupa. Langsung mengirim pukulan berdentum dengan tombak perak.
Aku sudah siap, membuat tameng transparan yang kokoh. Tameng itu berhasil menahannya. Saat monster itu masih mengambang, membutuhkan sepersekian detik mengirim serangan berikutnya, atau memperbaiki posisi, aku berseru, “SELI!” 
Seli mengangguk, dia keluar dari tameng, mengirim petir biru. Tidak sempat menghindar, telak mengenai dua monster itu. Menahan gerakan mereka.
“ALI!!” Aku menoleh ke kanan.
Ali tangkas loncat ke atas, tinjunya bergerak cepat. Tinju Ali silih berganti mengenai wajah gajah-gajah itu. Dua monster itu terbanting ke bawah sebelum menyadari apa yang mengenai mereka.
“Semua maju!” Aku berseru lagi.
Kami bertiga lompat turun dari stupa. 
Kerjasama tim kami berhasil, meskipun serangan Seli dan Ali sepertinya tidak terlalu berarti bagi dua monster gajah itu, tapi dengan saling mengisi, kami bisa mengendalikan pertarungan. Timing penting sekali dalam pertempuran jarak dekat.
Dua monster itu berusaha bangkit.
“SELI! Teknik kinetik.” Aku berseru lagi. Kami tidak akan memberikan ruang bagi mereka.
Seli mengangkat tangannya, berteriak. Puing-puing stupa ikut terangkat ke udara. Sebelum dua monster itu betulan berdiri, puing-puing bebatuan itu seperti peluru menembaki mereka.
Dua gajah itu meraung marah.
“ALI!” 
Ali melesat ke depan, kembali mengirim tinju.
Terlambat, salah-satu dari gajah itu masih sempat mengacungkan tombak perak, siap mengirim pukulan berdentum ke arah Ali.
Aku tidak akan membiarkan itu. Melesat ke depan, membuat tameng transparan.
BUM!! Pukulan itu mengenai tamengku. Aku terbanting dua langkah, tapi tamengku utuh, tidak meletus.
“SELI!!”
Seli tahu apa yang harus dia lakukan, dia maju lagi, mengirim petir biru. Giliran dua monster itu terbanting ke belakang.
Inilah latihan kami. Saling mengisi. Saling melindungi. Bergerak cepat, satu sama lain, seperti menari tandem tiga orang.
Setengah jam berlalu. 
Arena pertempuran kami hampir memporak-porandakan separuh ruangan itu. Danau yang berlubang, hutan-hutan yang hangus, candi yang runtuh separuhnya. Sejauh ini kami berhasil menahan serangan dua monster gajah itu. 
Tetapi masalah terbesarnya, stamina kami mulai habis. Hingga kapan kami bisa menahannya?
Tubuhku basah kuyup oleh keringat. Seli tersengal, dia mulai lelah.
Dan kami tidak menggunakan seragam hitam-hitam desain Ilo. Kami memakai jaket merah marun seragam sekolah. Tanpa seragam Ilo dengan teknologi tinggi itu, setiap kali kami terbanting atau terkena pukulan, tubuh kami terasa sakit, nyeri bahkan bengkak. Tidak ada yang melindungi.
Setengah jam lagi berlalu cepat. 
“Sisi kanan, Ali! Pertahanannya terbuka.” Aku berseru.
Ali melesat ke sana, mengirim tinju, mengenai dada salah-satu monster. Cukup untuk menahan laju serangan. 
“SELI!!”
Seli lompat, giliran dia mengirim petir. Salah-satu monster lainnya juga tertahan. Tapi hanya dua detik, mereka merangsek maju lagi.
“Mundur!”
Aku segera membuat tameng transparan. Seli dan Ali berkumpul di belakangku.
BUUM!! Dua bola api mengenai tamengku. Hawa panas tetap terasa menyengat kulit meski tamengku berhasil menahannya.
Ali di belakang ikut membuat tameng transparan. Membantu pertahanan.
“Terima kasih, Ali.”
Si Jenius itu mengangguk, tersengal. Keringat mengalir di pelipisnya
Kami sudah bertahan habis-habisan satu jam terakhir. Jika diawal pertarungan kami yang lebih menguasai ritme, semakin lama dua monster itu yang unggul jauh. Mereka masih terlihat segar bugar. Gerakan mereka tetap tangkas dan buas. Sejauh ini pukulan kami hanya bisa menahan mereka, tidak bisa melukai apalagi menghabisi. Tubuh monster gajah ini kuat sekali.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?” Seli berbisik, nafasnya satu-dua. 
“Bertarung sampai titik penghabisan.” Aku menjawab tegas.
Ali, yang fisiknya lebih kuat dibanding kami juga terlihat tertatih, tadi salah-satu tombak perak menghantam pahanya, membuat paha kanannya bengkak.
“Kamu tidak apa-apa, Ali?” Aku bertanya.
Ali mengangguk, dia baik-baik saja.
“Apakah dua monster ini punya kelemahan, Ra?” 
Aku tidak tahu. Semua teknik yang kami keluarkan sia-sia.
Ali yang biasanya jenius, kali ini juga mentok. Dia tidak punya ide bagaimana mengalahkan dua gajah ini.
Dan kami tidak punya banyak waktu untuk ‘mengobrol’ membahasnya. Lihatlah, dua monster itu sudah merangsek untuk kesekian kalinya, kembali menyerang. Seperti tidak pernah kehabisan nafas.
“SELI!!” Aku berseru. 
Seli mengirim petir, berusaha menahan dari jauh. Petir itu sudah tidak seterang sebelumnya, mudah saja dihindari. 
Dua tombak perang teracung. Aku bergegas membuat tameng transparan. 
Keliru. Itu bukan pukulan berdentum. Salah-satu gajah itu mengiris tamengku dengan ujung tombaknya. Meletus. Yang lain bersiap mengirim bola api besar. Kami dalam masalah besar tanpa tameng.
Splash! Di detik terakhir, aku segera memutuskan meraih tangan Seli dan Ali, tubuh kami menghilang, splash! Muncul di atas stupa terbesar candi, satu-satunya bangunan candi yang masih utuh, seratus meter dari dua gajah itu. Bola api membakar tinggi di sana.
Tersengal. 
“Kita tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.” 
“Bagaimana jika kita kembali masuk ke ILY, Ra?” Seli memberi usul, “Terbang setinggi mungkin.”
Ali menggeleng, “Kita tidak bisa terbang tinggi, Seli. Ada lapisan tak terlihat di atas sana. ILY bisa melewatinya turun, tapi tidak bisa melewatinya ke atas.”
Dua gajah itu meraung marah saat tahu bola apinya membakar udara kosong. Menoleh cepat ke segala penjuru mencari kami. Persis melihat posisi kami di atas stupa, mereka berlarian menyerang lagi. 
Kali ini kami benar-benar terdesak. 
Aku berusaha berpikir cepat. Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana meloloskan diri dari dua gajah ini. Kami butuh keajaiban. Nasib petualangan kami bisa berakhir di ruangan ini tanpa keajaiban. 
Dua monster itu tinggal lima puluh meter.
“Ra—“ Seli berkata pelan.
Aku menoleh. Apa?
Seli menunjuk dinding timur.
Ada siluet cahaya di sana.
Itu apa?
“Apakah itu sunrise.”
“Tidak mungkin, kita baru satu jam di ruangan ini, bagaimana mungkin sudah matahari terbit.” 
Tapi itu memang cahaya matahari terbit.
“Ruangan ini sepertinya memiliki siklus siang dan malam lebih cepat. Setiap satu jam berganti siang dan malam. Seperti ruangan di Klan Bintang yang cukup satu jam saja siklus musim sepanjang tahunnya.” Ali berkata pelan.
Entahlah, apakah fakta baru itu membantu kami atau tidak. Dua monster itu tinggal dua puluh meter, kali ini tidak ada ampun mereka melepas pukulan berdentum paling kuat yang mereka miliki.
Aku berusaha membuat tameng transparan dengan sisa-sisa tenaga. Juga Ali dan Seli, mengirim serangan balasan. Kami tahu itu sia-sia, tapi setidaknya kami telah berusaha.
BUUM!! Tamengku robek, pukulan Ali dan Seli juga sia-sia.
Tubuh kami bertiga terbanting jatuh dari stupa. Menggelinding. Aku mengaduh, kaki Ali kembali mengenai wajahku.
Seli pingsan lebih dulu, badannya menghantam bebatuan candi, bongkahan stupa juga menimpa badannya. Ali berusaha merangkak berdiri di antara kepulan debu, tapi terjatuh lagi, paha kanannya semakin bengkak. Aku hanya bisa beranjak duduk.
Dua monster itu tidak memberikan belas kasihan, kembali mengirim pukulan mematikan. Dengan jarak sedekat itu, tidak ada waktu menghindarinya.
Aku mendongak, menatap dinding timur. Matahari akhirnya terbit. Cahayanya telah tiba di pelataran candi, membasuh lembut stupa besar. Menyiram wajahku—dan dua monster itu.
Ini mungkin akhir kisah kami. 
BUUMM!!
Aku memejamkan mata.
Tapi hei, tidak terjadi apa-apa.
Aku membuka mata. 
Bukan kami, justeru dua monster itu seperti habis terkena pukulan keras. Tubuh mereka terbanting ke lantai candi. Kemudian menghilang
Mataku silau, berusaha menerka apa yang terjadi? Kemana monster itu pergi?
Sebagai gantinya, dua orang lain berlarian mendekati kami. 
Bukan monster gajah itu. Melainkan manusia biasa. 
“Kalian tidak apa-apa?”
Salah-satu dari mereka bertanya.
Aku mengerjapkan mata. 
“Bantu yang tertimpa batu, Ngglanggeran! Aku akan membantu yang laki-laki.” Temannya melesat cepat mendekati Seli dan Ali.
Siapa mereka? Dari Klan mana? Ngglanggeran? Itu nama salah-satu dari mereka?
Di setengah kesadaranku, yang bisa kupastikan, dua orang ini terlihat serupa. Usia mereka sekitar dua puluh lima tahun menurut ukuran Klan Bumi. Pemuda. Mengenakan pakaian berwarna abu-abu, terlihat gagah. Rambut mereka terpotong rapi dengan model yang tak pernah kulihat di dunia paralel. Tangan mereka menggenggam tongkat perak kecil. Bentuk hidung, mata, mulut, garis wajah mereka berdua mirip sekali.
Apakah mereka kembar? 
Aku sudah terkulai kehabisan tenaga,
“Yang satunya menyusul pingsan, Ngglanggeram!”

Jumat, 28 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 06

Dua monster itu dengan buas memburu kapsul perak. 
Tinju, tendangan, tombak perak, apapun yang bisa digunakan, silih berganti mengincar ILY. Bahkan belalai mereka bisa menghantam kapsul kami.
Ali menggeram, wajahnya konsentrasi penuh memegang tuas kemudi, membawa ILY melakukan manuver ekstrem, terbang menghindar kesana-kemari. Sia-sia, kemana pun ILY terbang, dua monster itu bisa mengejarnya.
BUMM!! Untuk yang ke sekian kalinya kapsul perak kami terkena pukulan berdentum.
Aku memasang kuda-kuda di lantai ILY, kembali membuat tameng transparan melindungi kapsul. Tameng itu sejauh ini efektif, ILY terpelanting membal seperti bola, Seli berpegangan ke kursi. Baru setengah jalan membal ke atas, tinju monster lainnya datang menghantam. BUMMM!! Telak mengenai kapsul. ILY melayang jauh ke lereng pegunungan salju.
Aku habis-habisan menjaga tameng transparanku.
Sejauh ini, tamengku bisa menahan serangan, mengurangi dampak kerusakan, tapi dengan ILY terus jungkir balik di langit-langit ruangan, terbanting kesana-kemari, konsentrasiku berkurang. Kami seperti berada di wahana roller coaster yang berputar 360 derajat. 
“Apa yang harus kita lakukan?” Seli bertanya cemas, kasihan melihatku.
Kami sudah hampir lima belas menit terbang menghindari dua monster itu. Atas bawah, kiri kanan, termasuk menyelam ke danau, tidak berhasil.
“Kita harus keluar dari kapsul! Hanya itu kesempatan kita.” Ali berseru, dia menarik tuas, berusaha membawa ILY terbang dari pegunungan salju. Dua monster itu sudah mengejar lagi, seperti dua orang yang sudah seminggu kelaparan melihat makanan lezat.
Rumitnya, setiap kali kapsul melewati ketinggian 1.000 meter, seperti ada gel atau seperti itulah yang tak terlihat yang menghambat, membuat ILY tidak bisa terbang lebih tinggi.
“Kita tidak boleh keluar dari kapsul, Ali!” Seli keberatan. ILY adalah benteng pertahanan terbaik kami, lebih baik kami tetap berada di dalam kapsul, itu maksud kalimat Seli.
“Kita akan terus jadi bulan-bulanan jika tetap berada di dalam kapsul, Seli!” Ali berseru, sambil membanting tuas kemudi ke kiri, ILY melenting menuju permukaan danau. 
“Awas sebelah kanan, Ali!” Aku memberitahu.
BUMM!! Pukulan berdentum itu mengenai salah-satu stupa candi, meleset. Membuat porak-poranda.
Ali menggigit bibir, membanting tuas kemudi ke bawah, ILY terbang rendah, hanya sepuluh senti di atas permukaan danau. Dua monster itu persis di belakang kami, jaraknya tinggal dua puluh meter siap mengirim serangan berikutnya. Matanya merah, belalainya melambai. Melenguh kencang.
“Dua monster ini mahkluk apa sebenarnya?” Seli menatap jerih ke belakang.
“Tidak tahu, Seli. Yang jelas dua monster ini bukan gajah yang lucu, imut dan menyenangkan. Dia membuatku jadi membenci gajah sekarang.” Ali menjawab cepat.
Seli menoleh kepadaku.
Aku menggeleng, aku juga tidak tahu. Yang pasti dua monster ini menguasai semua teknik bertarung dunia paralel, seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik kinetik, sambaran petir, bahkan di luar itu, yang belum pernah kami lihat. Tongkat peraknya mirip miik Faar, dalam versi yang lebih besar dan kuat. 
“Awas, Ali! Menghindar!” Aku memberitahu.
Tongkat perak salah-satu gajah itu teracung ke kami.
ILY melenting ke arah Candi, berusaha menghindar.
Gerakan tipuan! 
Itu bukan pukulan. Monster itu justeru bergerak ke arah kami menghindar, seperti bisa membaca pikiran kami. Di sana dia telah menunggu sepersekian detik. 
“BUMM!!” 
Tanpa ampun, pukulan berdentum dari jarak dekat mengantam ILY. Kapsul perak kami terbanting ke arah Candi. Dua stupa raksasa hancur lebur seketika, menahan laju kapsul.
Kali ini, tameng transparanku tidak kuat, meletus di stupa ketiga. Tanpa tameng itu, kami bertiga rebah-jimpah di dalam kapsul. Ali terpelanting dari kursinya, kakinya menimpa wajahku. Seli menghantam dinding kapsul. Mengaduh karena kaget dan sakit.
Lima detik terseret, kapsul kami teronggok di puing-puing stupa candi.
“Aku tidak mau lagi berada di dalam kapsul, Ra.” Ali bangkit, bersungut-sungut.
Aku membantu Seli. Dia baik-baik saja, hanya wajahnya pias.
“Apa yang akan kamu lakukan?” Seli bertanya.
Ali sudah menekan tombol, pintu ILY terbuka.
“Aku memilih bertarung di luar, mau kalah mau menang. Dua gajah dumbo ini harus diajari sopan-santun.” 
“TIDAK BOLEH ALI!”
Ali tidak peduli, “Dua gajah ini bukan Bona Gajah Kecil Berberlalai Panjang, Seli! Dua gajah ini jelas berniat menghabisi kita. Aku memilih bertarung langsung dengannya.”
Seli meremas jemarinya. Dia menatapku. Maksudnya, Ali baru bisa melakukan itu jika aku setuju.
Baiklah. Aku mengangguk. Ali benar, kami hanya jadi sasaran empuk di dalam kapsul perak. Aku tidak bisa terus-menerus membuat tameng transparan. Saatnya kami bertarung serius.
“Terima kasih, Ra. Mari kita bertarung.” Ali lompat ke bebatuan candi yang runtuh. Ali tidak mengeluarkan pentungan kasti yang selama ini dia bawa, dia mengenakan Sarung Tangan Bumi, itulah senjatanya.
Sementara dua monster itu berlarian mendekat ke candi. Meraung. Aku melihat bayangan mereka di atas danau.
Ali menggeram. 
Sedetik!! Dia telah berubah, bertransformasi menjadi ‘beruang’. Tubuhnya memang tetap seperti manusia, tapi sarung tangannya, berubah menjadi tangan beruang, dengan bulu-bulu tebal. Faar telah mengajari Ali mengaktifkan kekuatan Sarung Tangan Bumi. Dia bisa mengendalikan sepenuhnya transformasi beruang buas itu. Dia bukan Ali yang lemah setiap pertarungan jarak dekat.
Aku juga lompat ke samping kanan Ali, memasang kuda-kuda. Konsentrasi penuh. Kesiur angin kencang terdengar. Salju turun di sekitar kami. Aku siap bertarung bersisian dengan Ali. 
Seli juga ikut turun, berdiri di samping kiri Ali. Seli tidak akan pernah membiarkan kami bertarung sendirian. Meskipun dia berbeda pendapat, dia selalu ada. Tangan Seli terangkat ke atas. Seketika, sarung tangannya mengeluarkan cahaya terang benderang. Ruangan kubus dengan sisi 30 kilometer itu seperti disinari matahari jarak dekat. Menyilaukan. Kapanpun tangan itu bisa mengirim petir biru.
Sebagai balasannya, dua monster itu justeru mempercepat larinya. Berlarian di atas permukaan danau.
Meraung ganas. Kali ini, seolah melihat makanan lezat setelah sebulan kelaparan.

Kamis, 27 Juli 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 16 : Pengkhianatan Bag. Satu

Pesawat jet yang dikemudikan Edwin mendarat mulus di bandara ibukota.
“Terima kasih telah menemaniku dua hari terakhir, Edwin.” Aku menepuk bahunya.
“Tidak masalah, Capt.” Edwin mengangguk.
Sedan hitam milikku sudah terparkir rapi di hanggar pesawat jet pribadi. Pelayan Keluarga Tong sudah menyiapkannya. Aku mengemudikan mobil itu menuju kantor Parwez, pukul empat sore, jalanan padat, jutaan komuter ibukota mulai pulang. 
Tere Liye : Pulang

Aku tiba di kantor Parwez pukul lima sore. Melangkah melintasi lobi gedung, menuju lift khusus yang langsung ke lantai Parwez. Petugas security gedung mengenaliku, juga beberapa tukang pukul. Basyir sepertinya telah menyuruh beberapa tukang pukul ikut menjaga gedung. Mereka membaur dengan sekitar agar tidak terlalu mencolok, duduk di sofa, membaca koran, pura-pura bermain gadget, sambil mengawasi orang-orang.
“Selamat sore, Si Babi Hutan.” Salah-satu Letnan menyapaku di pintu lift, mengangguk. Dia tidak ubahnya seperti seorang eksekutif muda dengan pakaian rapinya.
Aku balas mengangguk, melangkah masuk ke dalam lift, “Basyir kemana, Joni?”
“Basyir pergi ke pelabuhan empat jam lalu.”
“Pelabuhan?”
“Ada laporan yang sama di sana. Aktivitas mencurigakan dari orang-orang tertentu.” Nama Letnan itu adalah Joni, salah-satu tukang pukul terbaik Keluarga Tong. Berpendidikan, dia juga disekolahkan Tauke hingga sarjana. Dia sering menerima tugas dariku, dia lebih dekat kepadaku dibanding Basyir.
“Apa yang kalian temukan di sini, Joni?” Lift bergerak naik.
“Sejauh ini belum ada, Si Babi Hutan. Orang-orang itu hanya pekerja kantoran biasa, aku telah menginterogasi beberapa di antaranya. Mereka disuruh pihak lain, mereka juga tidak mengerti, hanya menerima bayaran untuk datang ke kantor-kantor di gedung kita secara acak, random. Kejadiannya tidak hanya di sini, atau pelabuhan, tapi juga di belasan titik properti lainnya. Polanya sama, mereka membanjiri semua tempat milik kita.”
“Pengalih perhatian.” Aku bergumam.
“Iya, menurutku juga begitu, Si Babi Hutan.” Joni mengangguk, “Basyir sudah mengirim tukang pukul ke setiap tempat yang melaporkan ada tamu-tamu mencurigakan, memeriksanya satu-persatu. Kita mengerahkan semua anggota keluarga sepanjang hari.”
Aku bergumam, ini serius. Siapapun dibalik situasi ini, mereka sedang menyiapkan rencana, menyebar begitu banyak kemungkinan serangan, membuat konsentrasi terpecah. 
Lift tiba di lantai Parwez. Pintu lift terbuka.
Parwez sedang duduk gugup di belakang meja kerjanya. Wajahnya sedikit pucat, pakaiannya berantakan. Aku tahu, dia sepanjang hari tidak bisa bekerja dengan baik.
“Bujang, akhirnya kau tiba.” Parwez menghembuskan nafas lega, wajahnya sedikit cerah.
“Kau baik-baik saja?” Aku bertanya.
Parwez menggeleng, mengusap dahi, “Aku sudah ke kamar mandi belasan kali, Bujang….. Aku bukan seperti kau atau Basyir, ini membuatku cemas. Aku membatalkan semua meeting hari ini.” 
Aku tersenyum simpul, menepuk bahu Parwez, “Kau berada di gedung dengan sistem keamanan terbaik, Parwez. Sekali kau menekan tombol darurat, lantai ini bahkan tidak bisa ditembus dengan tank atau pesawat tempur, kecuali mereka tahu celahnya. Kau akan aman.”
“Tapi Tauke bilang soal pengkhianat, Bujang. Mereka bisa siapa saja, bukan? Termasuk mungkin sekretarisku, stafku, orang-orang yang ada di lantai ini? Bagaimana jika mereka tiba-tiba membawa senapan, alih-alih membawa berkas yang harus kutanda-tangani, mereka menembakku yang sedang memeriksa laporan keuangan?”
“Kau benar soal pengkhianat, bisa siapa saja. Itu juga mungkin termasuk aku, Parwez.” Aku mencoba bergurau, yang justeru membuat Parwez pias kembali, “Rileks, Parwez, kalau aku pengkhianatnya, kau tidak akan hidup enam detik setelah kita bertemu tadi. Lagipula, setiap tiga bulan aku meminta Joni memeriksa seluruh profil orang-orang di lantaimu, mulai dari sekretaris hingga office boy, bersih, tidak ada yang mencurigakan. Kau mungkin tidak tahu, aku menjaga gedung ini lebih dari yang kau bayangkan. Ini pusat seluruh bisnis legal milik Keluara Tong, jauh lebih penting dibanding properti lain.”
Parwez mengangguk pelan, menghela nafas, “Terima kasih, Bujang.”
Telepon genggamku berbunyi, itu telepon dari Basyir.
“Kau ada di mana sekarang, Basyir?” Aku langsung bertanya saat tersambung.
“Masih di pelabuhan. Menyisir setiap jengkal pelabuhan. Kau ada di mana Bujang? Kau sudah mendarat?”
“Kantor Parwez. Aku baru tiba beberapa menit lalu. Bagaimana pelabuhan?”
“Ini rumit, Bujang. Mereka membuat fokus kita terpecah, aku hampir mengirim semua tukang pukul—“
“Markas besar jangan ditinggalkan, Basyir.” Aku memotong. Dalam situasi rentan seperti ini, tanpa tahu kemana sasaran penyerangan akan terjadi, markas besar prioritas. Kami pernah mengalami kejadian yang sama di kota provinsi dulu.
“Tentu tidak, Bujang. Aku bilang hampir. Pasukan terbaik ada di markas besar, Brigade Tong, dengan Letnan kepala, mereka melindungi Tauke penuh. Tidak akan ada yang bisa melewati mereka, bahkan jika Keluarga Lin datang membawa seluruh anggotanya dari Makau. Mereka akan menemukan lawan tangguh. Tapi aku tidak bisa mengabaikan laporan-laporan di banyak tempat, aku harus memeriksanya satu-persatu.”
Aku mengangguk, menyetujui langkah Basyir. Meninggalkan Brigade Tong di markas besar adalah pilihan yang tepat. Situasi kami masih gelap, ada banyak kemungkinan, kami tidak tahu persis dimana serangan itu akan dilancarkan. 
“Tauke Besar meminta kau pulang, Bujang.” Basyir memberitahu, “Orang tua itu ingin kau berada di sana malam ini.”
“Aku memang segera kembali ke rumah setelah dari kantor Parwez. Kau hati-hati, Basyir.”
“Siap, aku akan segera menyusul pulang setelah urusan di pelabuhan selesai, Tauke Muda.” Basyir sengaja menggodaku.
Aku sudah mematikan telepon—semakin dilarang, Basyir akan semakin menjadi.
Tiga puluh menit kemudian, aku masih memastikan beberapa hal di kantor Parwez, meminta Joni memberikan hasil interogasi, membaca profil orang-orang yang mencurigkan. Buntu. Mereka hanya orang-orang biasa, mereka bahkan tidak kenal siapa yang menyuruh. Siapapun yang berencana menyerang, terlihat sangat rapi dan berpengalaman. Ini bukan Keluarga Lin, mereka tidak akan sempat menyiapkan skenario secepat ini.
Pukul enam, saatnya aku kembali ke rumah, atau Tauke akan mengamuk jika aku lagi-lagi menundanya, “Kau ingin kembali ke apartemenmu? Atau kau mau ikut denganku ke markas, Parwez. Di sana akan lebih aman.”
Parwez mengangguk, dia meraih jas hitamnya.
Kami turun dengan lift khusus, langsung menuju parkiran.
“Pakai mobilku saja, Bujang.” Parwez menuju parkiran mobilnya. 
Aku mengangguk, mobilku ada di lobby gedung, hendak meminta kunci dari Parwez—biar aku yang mengemudi.
Joni lebih cepat, dia mengambil kunci dari tangan Parwez, “Tunggu di sini, biar aku yang menyalakan dan membawa mobilnya, Si Babi Hutan.”
Parwez menatap heran, “Apa yang dia lakukan?”
“Prosedur resmi kondisi darurat.” Aku menjawab sambil menepuk bahu Parwez, “Joni adalah Letnan terbaik di Keluarga Tong. Dia mengambil resiko, jika ada bom yang dipasang di mobil, meledak saat mobilnya dinyalakan, maka Joni akan menjadi martir, meledak duluan bersama mobil itu, sementara kau tetap aman berdiri di sini.”
Parwez menelan ludah, “Ini serius sekali, Bujang.”
“Hei, kita tidak tahu, boleh jadi mereka memasang bom di mobilmu, bukan? Atau kau mau menyalakannya?”
Parwez menggeleng kaku.
Setengah menit, Joni merapatkan mobil sedan hitam di depan pintu lift, tanpa kurang satu apapun. Tentu tidak ada bom di mobil Parwez, lantai parkiran aman, tidak ada yang bisa masuk sembarangan. Juga mobil yang kukendari dari bandara, tidak sembarang orang bisa menyentuhnya, diawasi penuh oleh tukang pukul atau pelayan. Aku mengambil alih kemudi.
Parwez adalah generasi terakhir yang bergabung dengan Keluarga Tong, dia tidak pernah mengalami langsung penyerangan. Parwez tidak bersentuhan dengan tukang pukul, situasi menegangkan ini baru baginya. Sejak diambil Tauke dari panti asuhan, Parwez langsung dikirim sekolah ke Singapura. Aku lebih baik mengajaknya pulang ke rumah malam ini, dia akan merasa lebih nyaman, berada dekat Tauke Besar, di sana juga ada Brigade Tong, pasukan khusus yang dibentuk oleh Basyir sepulang dari timur tengah. Brigade itu dibuat atas persetujuan Tauke, Basyir menyeleksi sendiri anggotanya, melatihnya menjadi mesin mematikan bagi musuh-musuh Keluarga Tong lima tahun terakhir. Joni ikut bersamaku naik mobil, dia pengawal tetap Parwez sementara waktu, penjagaan di kantor berlantai tiga puluh itu diberikan ke Letnan lain.
Jalanan padat, mobil yang kukemudikan tersendat. Parwez lebih banyak diam, menghela nafas, mengusap wajah berkali-kali, dia tetap tegang. Joni di sebelahku juga diam menatap ke depan, terus fokus. Gerimis mulai turun, membuat jalanan semakin macet.
Mobil yang kukemudikan melewati kantor pusat bank milik Keluarga Tong, berdiri tegak, menjulang tinggi. Bank ini sejak berdiri telah menjadi alat pencuci uang terbesar yang pernah ada di Asia. Triliunan uang masuk dari dunia hitam, kemudian disalurkan menjadi kredit bisnis legal. Belasan tahun beroperasi semua berjalan lancar, kami menyumpal pengawas dan pejabat pemerintahan. Bankir kami melakukan rekayasa transaksi keuangan tingkat tinggi untuk menyamarkan uang-uang itu. 
Tidak hanya bank milik Keluarga Tong yang melakukan praktek tersebut, hampir sebagian besar perbankan raksasa dunia terlibat dengan shadow economy, sudah menjadi rahasia umum, tahu sama tahu, itu bisnis yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bank membutuhkan uangnya, mereka membutuhkan tempat menyimpannya. Mulai dari uang penyelundupan barang, illegal logging, insider trading, perjudian dan tindak kriminal lainnya. Mulai dari preman kelas bawah, hitungan jutaan, mafia, triad, yakuza hitungan milyaran, hingga keluarga-keluarga penguasa shadow economy hitungan triliunan.
Pencucian uang adalah bisnis besar. Aku sempat bicara dengan Parwez beberapa bulan lalu, membahas kemungkinan menggunakan electronic money sebagai sarana pencucian uang yang lebih maju—termasuk penggunaan cryptocurrencies. Itu akan menjadi masa depan, jauh lebih mudah dilakukan, dan lebih sulit dideteksi regulator. Menggunakan uang yang beredar di dunia maya, sebagai alat pembayaran transaksi online, sebagai alat akumulasi kekayaan, itu cara jenius untuk mencuci uang, karena tidak perlu identitas, tidak bisa di-tracking. Electronic money juga bisa menggandakan uang lebih cepat dibanding uang di dunia nyata yang harus terlihat fisiknya.
Mobil terus merambat maju, melewati komplek hotel sekaligus apartemen kelas atas dan pusat perbelanjaan terkemuka ibukota. Hampir satu blok kawasan elit itu adalah properti Keluarga Tong. Bangunannya gemerlap oleh cahaya lampu, disiram oleh gerimis, berpendar-pendar, seperti lampu petromaks di tengah ladang padi, yang mengundang ribuan laron. Komplek hiburan ini dikunjungi jutaan orang setiap tahun—tanpa tahu-menahu siapa pemilik aslinya, komplek ini menjadi salah-satu cash cow penting bagi Keluarga Tong. 
Mobil juga melewati kantor-kantor lain milik Keluarga Tong, dealer, show room, jaringan fast food, butik, dan sebagainya, lengan gurita bisnis Tauke Besar telah menyentuh setiap lapisan kehidupan. Aku menghela nafas, Salonga benar, dua puluh tahun terakhir, kesuksesan Tauke telah mengundang kebencian dari banyak pihak. Lihatlah, dimana-mana Tauke menancapkan kekuasannya, menyingkirkan siapapun yang merintangi, banyak keluarga yang terpaksa pergi dari ibukota, dan tidak terbilang yang dihapus dari konstelasi dunia hitam. Saat Tauke jatuh sakit, saat dia tidak sekuat dulu, hanya soal waktu mereka menunjukkan rasa tidak suka itu. Boleh jadi mereka menggabungkan kekuatan terakhir, berusaha menyerang malam ini. Aku menatap wiper mobil yang bergerak menyingkirkan tetes air hujan di kaca depan, Guru Bushi juga benar, sejak muda Tauke Besar penuh ambisi, dia terobsesi mengalahkan bayang-bayang Ayahnya, hingga lupa, dia telah lari jauh sekali, dia lebih besar dibanding siapapun. 
Kopong telah meninggal lima tahun lalu, meninggal dengan tenang setelah jatuh sakit tiga hari. Markas besar berkabung selama tujuh hari, Basyir menggantikannya setelah melewati ritual Amok. Mansur menyusul enam bulan berikutnya, juga meninggal dengan tenang, saat sedang bekerja di ruangannya hingga larut malam. Pelayan menemukannya sedang tidur di sofa pagi-pagi, enggan membangunkan, dan masih melihat Mansur tidur pukul sebelas siang, kemudian panik berusaha menggerakkan badannya yang telah dingin. Setelah kematian Mansur, hampir semua anggota keluarga yang dulu dibawa dari kota provinsi telah berganti. Tauke Besar tinggal sendirian dari generasi lama Keluarga Tong, dan dia tetap berlari kencang lima tahun ini, tidak berhenti walau sejenak.
Setelah menghabiskan satu jam di jalanan macet, mobil yang kukemudikan akhirnya tiba di depan gerbang baja markas besar. Gerbang itu membuka otomatis, mengenali penumpang mobil. Hujan deras, aku melintasi parkiran luas, tiba di lobi yang kering, memarkirkan mobil di sana. 
Beberapa anggota Brigade Tong yang berjaga di halaman mengangguk ke arahku. Aku membalasnya selintas, segera melangkah masuk ke dalam bangunan utama, Parwez dan Joni berjalan di belakangku. Petir dan geledek bersahutan di langit gelap.
Bangunan utama nampak lengang—sebenarnya seluruh markas nyaris kosong, hanya menyisakan lima puluh anggota Brigade Tong. Letnan dan ratusan tukang pukul lain sedang disebar oleh Basyir, memeriksa ancaman serangan. Beberapa pelayan masih terlihat bekerja, tapi mereka hanya membereskan sisa-sisa pekerjaan. Sudah pukul delapan, waktunya mereka beristirahat.
Aku menaiki anak tangga, menuju kamar Tauke Besar. Mendorong pintu jati berukiran.
“Hallo, Bujang.” Tauke menyapaku, dia sedang duduk bersandar di ranjang, membaca sesuatu.
“Selamat malam, Tauke.” Aku balas menyapa, tersenyum. Tauke terlihat sehat, piring makan malam yang ada di atas meja sebelah ranjang habis. Tirai jendela kamar dibiarkan terbuka, sesekali terlihat gurat petir di kejauhan.
“Kapan kau tiba dari Hong Kong?” Tauke bertanya, meletakkan buku.
Kapan aku tiba?
Saat itulah. Aku berdiri mematung.
Tiba-tiba kesadaran itu datang di kepalaku. 
Aku keliru sekali. Benar-benar telah keliru. Ini bukan ancaman serangan dari Keluarga Lin, balas dendam. Ini juga bukan datang dari keluarga yang membenci kesuksesan Tauke, dan disingkirkan. Ini adalah skenario lihai. Ini adalah pengkhianatan. Cara lama yang akan terus abadi di dunia hitam.
“Tekan tombol daruratnya, Joni!” Aku berseru.
Joni menoleh, tidak mengerti.
“Aktifkan pertahanan bangunan utama! SEKARANG!” Aku membentaknya. 
Joni kali ini tidak banyak bertanya, dia lari ke dinding dekat ranjang, menekan tombol di sana. Persis saat tombol itu ditekan, suara alarm bahaya terdengar melengking, belasan pintu baja menutup, melapisi pintu-pintu, membentuk benteng pertahanan.
“Ada apa, Bujang? Kenapa kau menyuruh Joni menekan tombol?” Tauke Besar menatapku tidak mengerti.
Nafasku menderu, aku mengusap wajah. Bagaimana mungkin aku lalai melihat semua ini. Bukankah Kopong dulu pernah memberitahuku tentang pekhianatan. Bagaimana aku tidak melihatnya? Dekat sekali. Parwez di sebelahku sudah pucat pasi, situasi di sekitar kami berubah menjadi sangat menegangkan. Suara alarm itu terdengar di seluruh markas besar. Puluhan pelayan langsung berlarian saat mendengarnya, menuju tempat berlindung, mereka sudah berlatih prosedur darurat seperti ini. Apa yang harus dilakukan oleh mereka, apa yang harus diamankan lebih dulu.
“Ada apa, Bujang?” Tauke mendesak.
“Apakah Tauke menyuruhku segera pulang malam ini?” Aku balas bertanya, mendesak. 
Tauke menggeleng,”Aku justeru baru tahu kau tiba dari Hong Kong, Bujang.”
Aku meremas jemari, “Basyir! Adalah Basyir pengkhianatnya.”
Hanya Basyir dan Parwez yang tahu aku telah pulang. Dan sore tadi, saat meneleponku, dia bilang Tauke telah menungguku di rumah. Itu dusta. Itu bagian skenario lihainya, dia sengaja membuatku, Parwez dan Tauke ada di rumah malam ini, berkumpul menjadi satu. Kami adalah pucuk pimpinan Keluarga Tong, sasaran empuk di markas, ketika ratusan tukang pukul lain jsuteru disuruh pergi ke banyak tempat. 
Serangan itu tidak akan dilakukan oleh pihak luar. Serangan itu akan dilakukan dari dalam. Brigade Tong, merekalah yang akan menyerang, hanya menunggu waktu saat kami bertiga berkumpul, kemudian menunggu perintah final Basyir. Brigade Tong jelas sekali adalah kaki-tangan Basyir, dialah yang merekrut, melatih pasukan khusus itu sejak Basyir menggantikan Kopong. Tidak ada yang pernah memeriksa latar belakang anggota Brigade Tong, hanya Basyir yang tahu.
“Siapkan senjata, Joni!” Aku berseru parau, “Apapun yang ada di ruangan ini.”
Waktu kami tidak banyak. Sekali alarm itu berbunyi, Basyir akan tahu dari penyeranta yang dia bawa, tanda darurat telah diaktifkan, seluruh Letnan harus kembali ke markas. Dia tidak akan menunggu seluruh tukang pukul terlanjur memenuhi markas, dia akan segera menginstruksikan Brigade Tong mulai menyerang bangunan utama.
Aku mengusap wajah, memaki dalam hati, bagaimana mungkin aku abai sekali melihatnya.
***

*bersambung