Senin, 31 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 09

Meski hanya satu jam, mendengar Slon mengamuk di luar sana, malam terasa sangat panjang. Sesekali aku menahan nafas, terutama saat Slon berada di dekat stupa, monster itu seperti menciumi sekitar stupa, mencari sesuatu. Kemudian meraung, marah memukuli lantai candi.
Seli pias, berusaha tidak berseru. Aku menggenggam jemarinya, meyakinkan dia bahwa semua akan baik-baik saja. Sekali kami ketahuan berada di dalam stupa, kami tidak kuat bertarung melawan mereka.
Ali nyengir, dia justeru hendak tidur. 
Entah hati dan kepala si Biang Kerok ini terbuat dari apa, Ali selalu rileks. Bagaimana mungkin dia mengantuk saat Slon berada beberapa meter di luar stupa. 
“Ngglanggeran sudah bilang. Tempat ini aman, Seli. Mereka pasti telah memasang penangkal atau sesuatu di dalam stupa ini agar kita tidak ketahuan. Apa yang harus kamu cemaskan? Ini seperti menonton film dan kita sudah tahu ending-nya. Slon tidak bisa menemukan kita.” Ali menggeliat, meluruskan kaki.
Setidaknya ada empat kali Slon berada di dekat stupa, dia seperti mencari sesuatu. Mungkin benda yang dulu dicuri Si Tanpa Mahkota.
Tombak perak besarnya terdengar mengiris lantai candi, stupa kami. Suaranya nyaring membuat kuping sakit. Tangan besarnya mengetuk-ngetuk stupa. Tapi hanya itu, sejenak, Slon kembali berlarian ke gunung-gunung salju. Melepas pukulan berdentum berkali-kali.
Satu jam sepertinya lama sekali.
Lantas semua mendadak lengang.
Aku menghembuskan nafas.
Matahari telah terbit. Lihatlah, cahayanya melewati lubang-lubang kecil stupa, tiba di lantai candi, satu siluet menerpa wajah kami.
Seli ikut menghembuskan nafas.
Slon telah menghilang.
“Hoaaeemm!” Ali menguap lebar, bangun. Si Biang Kerok itu ternyata sungguhan tertidur.
“Perutku lapar. Apakah ruangan stupa ini ada makanannya?” Ali memeriksa sekitar. Berdiri.
Aku hampir menimpuk Ali dengan batu kerikil. Dia jelas mengambil jatah makananku dan Seli saat di atas pesawat sebelumnya, dan tetap merasa lapar? 
“Petualangan begini selalu membuat selera makanku membaik, Ra. Semoga makanan mereka bukan bubur putih lengket Klan Bintang itu.” Ali mengangkat bahu, terus memeriksa.
Aku ikut berdiri, disusul Seli. Ruangan itu kosong, tidak ada apapun.
Kami mungkin sebaiknya keluar dari ruangan stupa. 
Splash!
Ngglanggeran (atau boleh jadi Ngglanggeram, kami tidak tahu bedanya), muncul lebih dulu di dalam stupa.
“Selamat pagi, Raib, Seli, Ali.” Pemuda itu tersenyum ramah.
Aku dan Seli menatapnya jerih. Tak terbayangkan jika beberapa detik lalu, dia adalah Slon. Monster ganas berbadan manusia berkepala gajah.
“Pagi.” Ali yang menjawab salam. Santai.
“Aku mendengar kamu bertanya apakah ada makanan di sini, Ali?” Pemuda itu menatap Ali, “Tentu saja ada. Mari, kita akan membuat sarapan untuk kalian.”
Pemuda itu mengangkat tangannya.
Splash.
Kami berempat menghilang, splash! Muncul di luar stupa. 
Wajah kami ditimpa cahaya pagi. Sunrise yang menawan. Tapi bukan itu pemandangan spektakulernya, melainkan pemuda yang satu lagi, sedang berada di atas danau, terbang mengambang di sana. Dia mengangkat tangannya, keluar cahaya putih dari sana, dan satu-persatu, dia mulai menyulam ruangan. Pepohonan roboh kembali tegak. Dedaunan kembali menghijau. Bunga kembali bermekaran. Puing-puing bebatuan terbang berkumpul, mulai membentuk stupa, tangga, bangunan candi. Juga dasar danau, seperti melukis, lubang-lubang besar disaput kuas bebatuan koral yang baru. Terumbu karang, ikan-ikan kembali berenang. Utuh seperti sedia kala kami melihatnya.
“Hei, Ngglanggeram! Anak-anak ini lapar.” Pemuda yang berada di dekat kami berseru kepada kembarannya di atas danau—itu berarti dia adalah Ngglanggeran.
“Baik! Tunggu sebentar. Aku hampir selesai.” Ngglanggeram menjawab dari kejauhan. Tangannya terus bergerak menyulam permukaan ruangan, memperbaiki kerusakan amuk Slon tadi malam. Gunung-gunung kembali berbaris, salju seperti ditumpahkan ke atasnya. Terakhir, dia meletakkan awan putih di langit-langit ruangan, tak ketinggalan pelangi. Simetris empat sisi.
Tidak lama menunggu, Ngglanggeram melakukan teleportasi, muncul di dekat kami. Dia datang membawa seekor ikan besar.
Ikan? Kami makan ikan mentah? Tidak ada alat masak di dekat kami.
Ngglanggeran menunjuk saudara kembarnya yang datang, “Menu sarapan kita sudah ditentukan. Ikan. Jangan cemas, semaju apapun teknologi Klan Aldebaran, Ngglanggeram tidak akan pernah mau memakan masakan buatan mesin. Dia mungkin satu-satunya yang tersisa dari bangsa kami yang pandai memasak secara manual. Maka jika kalian lapar, bicaralah dengannya. Kamu akan membuat masakan ikan apa pagi ini?”
“Ikan bakar bumbu rica-rica.” Ngglanggeram menjawab lugas.
“Kamu tahu cara memasak ikan bakar bumbu rica-rica?” Seli menyelidik, bertanya ragu-ragu. 
Ngglanggeram tertawa riang, “Aku yang mengajari penduduk Bumi memasak, Seli. Mereka dulu hanya memakan hewan mentah, ikan, hasil berburu. Aku datang mengajarinya membakar, menggoreng, mengolahnya. Tentu saja aku bisa.”
Kami duduk di lantai candi. Ngglanggeram mulai memasak.
Lima menit, aroma lezat dari ikan bakar tercium pekat. Asapnya mengepul. Dengan teknik dunia paralel, memasak jadi sangat hebat. Ngglanggeram cukup melambaikan tangan, api muncul di bebatuan candi. Tangannya terangkat, segala bahan masakan melesat terbang mendekat. Termasuk daun kemangi yang segar, dipetik dari jarak jauh. Ikan besar itu bahkan mengambang sendiri di atas bara api. Kaar, koki hebat di Klan Bintang sekaligus pemilik restoran ternama Lezazel, yang juga masak dengan teknik Klan Matahari, mungkin akan menangis terisak jika melihat langsung betapa hebatnya Ngglanggeram menyiapkan sarapan kami.
Kami bertiga juga terdiam mematung saat mulai mengunyah makanan.
Seli mengusap ujung matanya yang berkaca-kaca.
“Ini enak sekali.” Seli berbisik, terharu. 
Aku mengangguk. Enak…. Susah dijelaskan dengan kata-kata. Aku tidak tahu jika masakan bisa selezat ini. Lidah kami seperti mengalami wahana fantasi panca indera.
Ali yang biasanya rajin mengomentari makanan, juga tidak banyak cakap, dia makan dengan lahap, seolah takut sekali kehabisan.
“Omong-omong, bagaimana situasi Klan Bumi di atas sana?” Ngglanggeran bertanya, memilih topik percakapan pertama kami.
Aku menjelaskan singkat situasi di atas sana—sambil mengunyah makanan.
“Bukan main. Tujuh milyar penduduk. Itu lebih banyak disbanding penduduk Klan Aldebaran. Sudah lama sekali kami meninggalkan permukaan Bumi. Bagaimana dengan Klan Matahari dan Klan Bulan?”
Seli menjelaskan tentang Klan Matahari. Kota Ilios, ibukota dengan bangunan-bangunan kotak. Aku menambahkan tentang Klan Bulan, Kota Tishri, ibukota dengan bangunan tiang-tiang tinggi dan rumah berbentuk bola persis di ujungnya.
“Juga masih ada Klan Bintang.” Seli bicara lagi setelah aku selesai.
“Klan Bintang? Tidak ada dunia paralel dengan nama itu.” Ngglanggeram menggeleng, tidak mengerti.
“Ada.” Seli ikut menggeleng, jelas-jelas kami pernah kesana.
“Maksud mereka, memang tidak ada Klan Bintang, Seli.” Ali menjelaskan, “Sama seperti tidak ada dunia paralel dengan nama Klan Planet, atau Klan Satelit. Klan Bintang memang bukan klan utuh tersendiri. Itu sebenarnya Klan Bumi, kota-kotanya berada di perut Bumi, penduduknya datang dari Klan Bulan dan Klan Matahari.”
Seli mengangguk. 
“Hei, apa kamu bilang, Ali? Ini menarik. Mereka sudah bisa membuat peradaban di perut bumi? Itu berarti banyak sekali yang telah mereka kembangkan selama ini. Tidak percuma ekspedisi besar Aldebaran empat puluh ribu tahun lalu.” Ngglanggeram terlihat senang.
“Atau mungkin beberapa rombongan kita memang pindah ke perut bumi sejak dua ribu tahun lalu, menghindari Slon.” Saudara kembarnya, Ngglanggeran menyahut.
“Boleh jadi. Mereka yang memberitahu penduduk asli bagaimana mengukir bebatuan keras, membuat matahari buatan, sungai, dan sebagainya.”
Kami terus bercakap-cakap hingga sarapan kami tandas.
Matahari mulai tergelincir dari titik tertingginya. 
“Bukan main. Kita sarapan tak terasa sekaligus makan siang terlewati.” Ngglangeran bergurau, menatap langit-langit ruangan.
Saudara kembarnya tertawa.
Jika menatap si kembar ini secara langsung, mengobrol, tidak terbayangkan jika mereka adalah Slon. Monster berkepala gajah. Mereka bersahabat sekali. Memiliki selera humor yang tinggi. Seperti Ily yang dulu kami kenal, tapi dalam versi yang lebih tua, periang, dan lebih tampan. 
“Bagaimana caranya kami keluar dari ruangan ini?” Aku bertanya.
Itu pertanyaan yang kutahan sejak tadi. Setelah ikan bakar rica-tica tandas, aku ingat kembali betapa mendesaknya pertanyaan itu.
“Aku minta maaf, Raib. Kalian tidak bisa keluar.” Ngglanggeran menjawab pelan—dia menatapku sedih.
Aduh. Seli mengaduh tertahan di sebelahku.
“Kami harus pulang! Bu Ati menunggu kami di atas sana.”
“Siapa Bu Ati?”
“Guru Sejarah. Kami sedang karya wisata.”
“Apa itu karya wisata?”
Ngglanggeran berusaha memahami kalimat Seli, sejenak, tetap menggeleng, “Aku sungguh minta maaf, Seli. Ruangan ini telah dikunci sedemikian rupa. Kapsul perak kalian—harus kupuji itu bagus sekali, tidak bisa menembus gel transparan di atas sana, menuju mulut lorong. Tingginya tiga puluh kilometer. Kami mendesain pertahanan ruangan ini sedemikian rupa agar Slon tidak bisa lolos membahayakan dunia luar.”
Seli terlihat panik. Wajah Ali juga terlihat serius. Prospek kami akan terkurung selamanya di ruangan ini membuatnya sedikit serius.
“Bagaimana dengan Buku Kehidupan-mu, Ra!” Ali mengingatkanku. 
Itu benar. Aku reflek mengangguk. Semangatku seketika pulih. Kami punya solusi terbaik.
Meraih ransel sekolahku. Aku selalu membawa buku itu kemana-pun pergi. Buku itu adalah pembuka portal yang diberikan oleh Miss Selena. Sepanjang kami pernah berada di sebuah titik, maka kami bisa menuju kesana secara digital. Buku Kehidupan akan membukakan portal menuju ke sana.
Aku menggenggam Buku Kehidupan. Buku itu bersinar. 
“Halo Puteri Raib!” Buku Kehidupan bicara kepadaku, lewat suara yang merambat di tangan. 
“Apakah kamu bisa membuka portal ke Klan Bumi?” Aku bertanya lebih dulu—sebelum Buku Kehidupan seperti biasa bertanya kemana aku hendak pergi.
Lengang sejenak. 
Buku Kehidupan mendesing. Kencang. Kemudian terhenti.
“Aku minta maaf, Puteri Raib. Teknologi ruangan ini tidak bisa kutembus. Ada enskripsi tingkat tinggi yang tidak bisa kupahami. Berasal dari tempat jauh.”
Aku mematung. Astaga? Tadi aku yakin sekali kami bisa pulang dengan Buku Kehidupan.
“Ada apa, Ra?” Seli bertanya cemas—melihat wajahku.
Aku menggeleng. Buku Kehidupan tidak bisa membuka portal kemanapun.
Seli mengaduh lagi, wajahnya pias.
“Hei, bukan main.” Ngglanggeran menunjuk buku yang kupegang, “Penduduk klan kalian ternyata sudah bisa membuat pembuka portal.”
Aku menoleh ke arah si kembar.
“Apa namanya tadi? Buku Kehidupan. Itu nama yang keren. Boleh aku pegang?”
Aku menyerahkan buku itu.
“Ini pembuka portal yang baik.” Ngglanggeran memeriksa buku, “Pembuatnya cukup jenius. Dan multi guna, benda ini selain portal, sepertinya juga bisa sekaligus mencatat perjalanan kalian di dalamnya. Sayangnya, ini tidak cukup canggih, Raib. Tidak ada yang bisa membuka portal dari ruangan ini, kami telah mengunci portal apapun.”
Aku mengangguk pelan. Menerima kembali Buku Kehidupan dengan lesu. Padahal Av bilang, buku ini pusaka Klan Bulan. Ternyata tetap tidak bisa membantu kami.
Bagaimana ini? Kami tidak bisa pulang. Aku menghembuskan nafas panjang.
Mata Seli mulai berkaca-kaca—dan kali ini bukan karena masakan lezat si kembar.

0 komentar:

Posting Komentar