Sabtu, 29 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 07

Pertarungan dimulai.
Tersisa jarak lima puluh meter dari kami, Seli melepas dua petir biru. Itu petir yang besar. Susul-menyusul. 
Dua monster itu lincah menghindar, petir itu menghantam udara kosong, meletup. Jangankan kena, memperlambat gerakan pun tidak.
Aku mengatupkan rahang, sepuluh meter, menunggu hingga dekat, giliranku melepas pukulan berdentum. 
Monster gajah itu kali ini tidak menghindar, salah-satunya mengarahkan tombak ke depan, balas mengirim pukulan berdentum. Dua pukulan serupa bertemu. Suara pekak membuat sakit telinga. Butiran salju menyelimuti sekitar candi. Tubuhku terpelanting lima meter. Monster itu bergeming, selangkah pun tidak berpengaruh, tetap bergerak maju. 
Giliran Ali menyambutnya, dia loncat, mengirim tinju ke depan. Meski tubuhnya bukan lagi ‘beruang pemarah’, pukulan Ali sama kuatnya.
Pukulan berdentum dibalas pukulan berdentum. Tinju dibalas tinju. Jual beli. Monster yang lainnya loncat, tangan kosongnya menyambut tinju Ali.
BUUM!!
Ali terbanting ke belakang sama sepertiku.
Dua monster itu beringas mengejar Ali. 
Splash! Tubuhku yang masih mengambang di udara menghilang, untuk kemudian splash! Teknik teleportasi. Muncul di depan dua monster itu, memotong gerakan mereka. Tanganku teracung ke depan. Bukan pukulan berdentum, aku mengirim teknik energi dingin ke arah mereka.
SROOM!
Dua larik cahaya keluar dari tanganku, telak mengenai dada dua gajah itu, suhu di sekitar kami langsung jatuh minus 100 derajat. Gerakan dua monster itu terhenti. Tubuh mereka membeku. Diselimuti es tebal, merayap cepat ke arah kaki, tangan, wajah. Sepertinya akan berhasil.
Monster itu meraung. Tombak perak mereka terlihat membara, panas. Sekejap, seluruh es itu luruh ke bebatuan candi. Tombak itu sekarang terangkat ke arahku, menyemburkan api—bukan pukulan berdentum.
Astaga! Aku belum pernah melihat teknik itu. Aku tidak tahu jika tombak itu bisa mengeluarkan api. 
Splash! Tubuhku menghilang, sambil meraih tangan Seli yang mematung kaget menyaksikan api menyambar, splash! Aku dan Seli muncul di atas stupa besar, Ali juga loncat ke sana, menjauh.
Bola api menghanguskan apapun radius dua puluh meter. 
“Ini tidak akan mudah.” Ali menggeram.
Aku mengangguk, dua monster ini tangguh.
“Apa yang akan kita lakukan, Ra?”
“Gunakan latihan kita.” Aku menjawab tegas.
Sepulang dari Klan Bintang, menyaksikan betapa kompaknya Pasukan Bayangan dan Pasukan Matahari bahu-membahu bertempur, aku, Seli dan Ali ikut melatih gerakan itu. Kami bisa saling mengisi gerakan, bekerjasama memaksimalkan teknik setiap klan. Jika ada yang menyerang, ada yang bersiap membuat pertahanan, dan sebaliknya.
Kami bertiga segera memasang kuda-kuda.
Waktu kami tidak banyak, dua monster itu sudah loncat ke atas stupa. Langsung mengirim pukulan berdentum dengan tombak perak.
Aku sudah siap, membuat tameng transparan yang kokoh. Tameng itu berhasil menahannya. Saat monster itu masih mengambang, membutuhkan sepersekian detik mengirim serangan berikutnya, atau memperbaiki posisi, aku berseru, “SELI!” 
Seli mengangguk, dia keluar dari tameng, mengirim petir biru. Tidak sempat menghindar, telak mengenai dua monster itu. Menahan gerakan mereka.
“ALI!!” Aku menoleh ke kanan.
Ali tangkas loncat ke atas, tinjunya bergerak cepat. Tinju Ali silih berganti mengenai wajah gajah-gajah itu. Dua monster itu terbanting ke bawah sebelum menyadari apa yang mengenai mereka.
“Semua maju!” Aku berseru lagi.
Kami bertiga lompat turun dari stupa. 
Kerjasama tim kami berhasil, meskipun serangan Seli dan Ali sepertinya tidak terlalu berarti bagi dua monster gajah itu, tapi dengan saling mengisi, kami bisa mengendalikan pertarungan. Timing penting sekali dalam pertempuran jarak dekat.
Dua monster itu berusaha bangkit.
“SELI! Teknik kinetik.” Aku berseru lagi. Kami tidak akan memberikan ruang bagi mereka.
Seli mengangkat tangannya, berteriak. Puing-puing stupa ikut terangkat ke udara. Sebelum dua monster itu betulan berdiri, puing-puing bebatuan itu seperti peluru menembaki mereka.
Dua gajah itu meraung marah.
“ALI!” 
Ali melesat ke depan, kembali mengirim tinju.
Terlambat, salah-satu dari gajah itu masih sempat mengacungkan tombak perak, siap mengirim pukulan berdentum ke arah Ali.
Aku tidak akan membiarkan itu. Melesat ke depan, membuat tameng transparan.
BUM!! Pukulan itu mengenai tamengku. Aku terbanting dua langkah, tapi tamengku utuh, tidak meletus.
“SELI!!”
Seli tahu apa yang harus dia lakukan, dia maju lagi, mengirim petir biru. Giliran dua monster itu terbanting ke belakang.
Inilah latihan kami. Saling mengisi. Saling melindungi. Bergerak cepat, satu sama lain, seperti menari tandem tiga orang.
Setengah jam berlalu. 
Arena pertempuran kami hampir memporak-porandakan separuh ruangan itu. Danau yang berlubang, hutan-hutan yang hangus, candi yang runtuh separuhnya. Sejauh ini kami berhasil menahan serangan dua monster gajah itu. 
Tetapi masalah terbesarnya, stamina kami mulai habis. Hingga kapan kami bisa menahannya?
Tubuhku basah kuyup oleh keringat. Seli tersengal, dia mulai lelah.
Dan kami tidak menggunakan seragam hitam-hitam desain Ilo. Kami memakai jaket merah marun seragam sekolah. Tanpa seragam Ilo dengan teknologi tinggi itu, setiap kali kami terbanting atau terkena pukulan, tubuh kami terasa sakit, nyeri bahkan bengkak. Tidak ada yang melindungi.
Setengah jam lagi berlalu cepat. 
“Sisi kanan, Ali! Pertahanannya terbuka.” Aku berseru.
Ali melesat ke sana, mengirim tinju, mengenai dada salah-satu monster. Cukup untuk menahan laju serangan. 
“SELI!!”
Seli lompat, giliran dia mengirim petir. Salah-satu monster lainnya juga tertahan. Tapi hanya dua detik, mereka merangsek maju lagi.
“Mundur!”
Aku segera membuat tameng transparan. Seli dan Ali berkumpul di belakangku.
BUUM!! Dua bola api mengenai tamengku. Hawa panas tetap terasa menyengat kulit meski tamengku berhasil menahannya.
Ali di belakang ikut membuat tameng transparan. Membantu pertahanan.
“Terima kasih, Ali.”
Si Jenius itu mengangguk, tersengal. Keringat mengalir di pelipisnya
Kami sudah bertahan habis-habisan satu jam terakhir. Jika diawal pertarungan kami yang lebih menguasai ritme, semakin lama dua monster itu yang unggul jauh. Mereka masih terlihat segar bugar. Gerakan mereka tetap tangkas dan buas. Sejauh ini pukulan kami hanya bisa menahan mereka, tidak bisa melukai apalagi menghabisi. Tubuh monster gajah ini kuat sekali.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?” Seli berbisik, nafasnya satu-dua. 
“Bertarung sampai titik penghabisan.” Aku menjawab tegas.
Ali, yang fisiknya lebih kuat dibanding kami juga terlihat tertatih, tadi salah-satu tombak perak menghantam pahanya, membuat paha kanannya bengkak.
“Kamu tidak apa-apa, Ali?” Aku bertanya.
Ali mengangguk, dia baik-baik saja.
“Apakah dua monster ini punya kelemahan, Ra?” 
Aku tidak tahu. Semua teknik yang kami keluarkan sia-sia.
Ali yang biasanya jenius, kali ini juga mentok. Dia tidak punya ide bagaimana mengalahkan dua gajah ini.
Dan kami tidak punya banyak waktu untuk ‘mengobrol’ membahasnya. Lihatlah, dua monster itu sudah merangsek untuk kesekian kalinya, kembali menyerang. Seperti tidak pernah kehabisan nafas.
“SELI!!” Aku berseru. 
Seli mengirim petir, berusaha menahan dari jauh. Petir itu sudah tidak seterang sebelumnya, mudah saja dihindari. 
Dua tombak perang teracung. Aku bergegas membuat tameng transparan. 
Keliru. Itu bukan pukulan berdentum. Salah-satu gajah itu mengiris tamengku dengan ujung tombaknya. Meletus. Yang lain bersiap mengirim bola api besar. Kami dalam masalah besar tanpa tameng.
Splash! Di detik terakhir, aku segera memutuskan meraih tangan Seli dan Ali, tubuh kami menghilang, splash! Muncul di atas stupa terbesar candi, satu-satunya bangunan candi yang masih utuh, seratus meter dari dua gajah itu. Bola api membakar tinggi di sana.
Tersengal. 
“Kita tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.” 
“Bagaimana jika kita kembali masuk ke ILY, Ra?” Seli memberi usul, “Terbang setinggi mungkin.”
Ali menggeleng, “Kita tidak bisa terbang tinggi, Seli. Ada lapisan tak terlihat di atas sana. ILY bisa melewatinya turun, tapi tidak bisa melewatinya ke atas.”
Dua gajah itu meraung marah saat tahu bola apinya membakar udara kosong. Menoleh cepat ke segala penjuru mencari kami. Persis melihat posisi kami di atas stupa, mereka berlarian menyerang lagi. 
Kali ini kami benar-benar terdesak. 
Aku berusaha berpikir cepat. Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana meloloskan diri dari dua gajah ini. Kami butuh keajaiban. Nasib petualangan kami bisa berakhir di ruangan ini tanpa keajaiban. 
Dua monster itu tinggal lima puluh meter.
“Ra—“ Seli berkata pelan.
Aku menoleh. Apa?
Seli menunjuk dinding timur.
Ada siluet cahaya di sana.
Itu apa?
“Apakah itu sunrise.”
“Tidak mungkin, kita baru satu jam di ruangan ini, bagaimana mungkin sudah matahari terbit.” 
Tapi itu memang cahaya matahari terbit.
“Ruangan ini sepertinya memiliki siklus siang dan malam lebih cepat. Setiap satu jam berganti siang dan malam. Seperti ruangan di Klan Bintang yang cukup satu jam saja siklus musim sepanjang tahunnya.” Ali berkata pelan.
Entahlah, apakah fakta baru itu membantu kami atau tidak. Dua monster itu tinggal dua puluh meter, kali ini tidak ada ampun mereka melepas pukulan berdentum paling kuat yang mereka miliki.
Aku berusaha membuat tameng transparan dengan sisa-sisa tenaga. Juga Ali dan Seli, mengirim serangan balasan. Kami tahu itu sia-sia, tapi setidaknya kami telah berusaha.
BUUM!! Tamengku robek, pukulan Ali dan Seli juga sia-sia.
Tubuh kami bertiga terbanting jatuh dari stupa. Menggelinding. Aku mengaduh, kaki Ali kembali mengenai wajahku.
Seli pingsan lebih dulu, badannya menghantam bebatuan candi, bongkahan stupa juga menimpa badannya. Ali berusaha merangkak berdiri di antara kepulan debu, tapi terjatuh lagi, paha kanannya semakin bengkak. Aku hanya bisa beranjak duduk.
Dua monster itu tidak memberikan belas kasihan, kembali mengirim pukulan mematikan. Dengan jarak sedekat itu, tidak ada waktu menghindarinya.
Aku mendongak, menatap dinding timur. Matahari akhirnya terbit. Cahayanya telah tiba di pelataran candi, membasuh lembut stupa besar. Menyiram wajahku—dan dua monster itu.
Ini mungkin akhir kisah kami. 
BUUMM!!
Aku memejamkan mata.
Tapi hei, tidak terjadi apa-apa.
Aku membuka mata. 
Bukan kami, justeru dua monster itu seperti habis terkena pukulan keras. Tubuh mereka terbanting ke lantai candi. Kemudian menghilang
Mataku silau, berusaha menerka apa yang terjadi? Kemana monster itu pergi?
Sebagai gantinya, dua orang lain berlarian mendekati kami. 
Bukan monster gajah itu. Melainkan manusia biasa. 
“Kalian tidak apa-apa?”
Salah-satu dari mereka bertanya.
Aku mengerjapkan mata. 
“Bantu yang tertimpa batu, Ngglanggeran! Aku akan membantu yang laki-laki.” Temannya melesat cepat mendekati Seli dan Ali.
Siapa mereka? Dari Klan mana? Ngglanggeran? Itu nama salah-satu dari mereka?
Di setengah kesadaranku, yang bisa kupastikan, dua orang ini terlihat serupa. Usia mereka sekitar dua puluh lima tahun menurut ukuran Klan Bumi. Pemuda. Mengenakan pakaian berwarna abu-abu, terlihat gagah. Rambut mereka terpotong rapi dengan model yang tak pernah kulihat di dunia paralel. Tangan mereka menggenggam tongkat perak kecil. Bentuk hidung, mata, mulut, garis wajah mereka berdua mirip sekali.
Apakah mereka kembar? 
Aku sudah terkulai kehabisan tenaga,
“Yang satunya menyusul pingsan, Ngglanggeram!”

0 komentar:

Posting Komentar