Senin, 31 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 10

Sisa hari kami habiskan dengan termangu menatap danau di depan kami. Seindah apapun ruangan ini, tanpa jalan pulang, semuanya terasa hambar. Ini sudah hari ketiga kami berada di Bor-O-Budr. Tepatnya tiga hari, dua malam. Itu setara lima jam waktu Klan Bumi. Di luar sana sudah petang, saatnya rombongan kembali ke hotel. Apakah Bu Ati sudah cemas mencari kami? Bagaimana jika kami benar-benar tidak bisa pulang, terkunci selama-lamanya bersama si kembar. Mereka sudah dua ribu tahun tinggal di ruangan ini.
“Aku tidak mau tinggal di ruangan ini selama-lamanya.” Seli menunduk.
“Tidak ada yang mau, Seli. Kita akan pulang. Ayolah, kita akan menemukan caranya.” Ali menyemangati. 
Seli diam. 
“Mungkin masih ada cara keluar dari ruangan ini. Aku akan memikirkannya.” Ali berusaha menghibur.
Matahari semakin turun di dinding barat. 
Splash. Ngglanggeran muncul di dekat kami.
“Kalian harus segera bersembunyi.”
Aku mengangguk, aku tahu peraturan itu. Bangkit berdiri. Disusul oleh Ali dan Seli.
Ngglanggeran membawa kami ke dalam stupa. Sekali lagi bilang tentang larangan jangan berisik, jangan menyalakan sesuatu, jangan coba-coba keluar dari stupa, kemudian dia melakukan teleportasi keluar.
Persis matahari tenggelam di dinding barat, meski kami tidak melihatnya langsung, tubuh Ngglanggeran dan Ngglanggeram mulai berubah menjadi monster gajah. Raungan kencang terdengar, monster itu mulai memukuli dasar danau.
Aku menahan nafas. Lantai candi bergetar kencang. Cipratan air terhempas ke segala arah, sebagian merembes masuk ke dalam stupa.
Seli tidak terlihat takut seperti malam sebelumnya. Bukan karena gajah itu terlihat lebih lucu sekarang, melainkan di kepala Seli, rasa cemas tidak bisa pulang jauh lebih besar dibandingkan ketakutan kepada Slon. Sementara Ali, Si Biang Kerok itu mulai tidur. Meluruskan kaki, bersidekap, memejamkan mata. Aku menatap wajah Ali lamat-lamat. Aku ingin sekali seperti Ali, yang selalu tenang dan rileks dalam setiap masalah. Entah itu kelebihan atau kelemahan aku tidak tahu. Ali yang meski kusam, rambut berantakan, tapi— 
Ali mendadak membuka matanya, menoleh.
“Kamu memperhatikanku, Ra?” Bertanya.
Wajahku langsung memerah. Aku buru-buru menggeleng.
Ali nyengir, “Akui sajalah, kamu memperhatianku sejak tadi, kan?”
Aduh, aku hendak menjelaskan, enak saja, itu tidak seperti yang dibayangkan. Aku tidak memperhatikan Si Biang Kerok ini, eh, baiklah, aku memang memperhatikannya, tapi itu bukan apa-apa, eh, hanya memperhatikan. Wajahku semakin merah padam.
Ali melambaikan tangan, dia memejamkan mata lagi, melanjutkan tidur.
Aku menghembuskan nafas pelan. Dasar menyebalkan.
Beruntung Seli tidak menggodaku. Seli tetap diam.

***
Seperti hari sebelumnya, Ngglanggeran muncul di dalam stupa persis saat matahari terbit. Tersenyum ramah dan hangat. Sama sekali tidak ada sisa-sisa monster buas itu. Dia menawarkan sarapan. Ali mengangguk, bilang bagus sekali, dia sudah lapar berat.
Bagaimana mungkin si Biang Kerok ini sudah lapar? Baru juga satu jam lalu kami menghabiskan ikan bakar rica-rica besar? 
“Siklus waktu yang lebih cepat di ruangan ini juga berpengaruh pada bioritme kita, Ra. Jadwal makan tubuh kita menyesuaikan diri. Memangnya kalian tidak lapar?”
Aku dan Seli menggeleng pelan. 
Pagi itu, Ngglanggeram memasak sop ikan. Dia memunculkan dengan mudah belanga besar, juga mangkok-mangkok keramik indah, dia membuatnya dari tanah saat itu juga di depan kami, seperti sihir melihatnya.
“Teknik manipulasi ruang dan waktu memungkinkan kita membuat apapun dari benda sekitar, Ra.” Ngglanggeran menjelaskan, “Itu bukan sihir. Itu adalah teknologi. Hanya karena kita tidak bisa memahami logikanya, bukan berarti itu tidak masuk akal.”
Tetap saja aku susah membayangkannya.
“Di Klan kami mereka juga memiliki teknologi ini. Tapi lebih primitif” Ali ikut bicara.
“Hei? Sungguh?” Ngglanggeran tertarik.
“Iya, kami menyebutnya printer 3D. Masukkan rancangan mangkok di komputer, misalnya, lantas tekan enter, printer 3D akan mencetaknya sama persis seperti rancangan itu dari material yang ada. Bukan hanya mangkok, mereka juga sudah bisa mencetak benda-benda rumit lainnya secara langsung dari file digital.”
“Hei, itu menarik.” Ngglanggeran mengangguk, “Kalian ternyata cukup maju dua ribu tahun terakhir. Tidak percuma kami mengajarkan banyak hal ke penduduk asli dulu.”
Aku bisa memahami logika printer 3D, tapi bagaimana Ngglanggeram bisa ‘mencetak’ mangkok dari tanah hanya dengan melambaikan tangan. Itu tetap mustahil?
“Itulah kenapa dia bilang, hanya karena kita tidak bisa memahami logikanya, bukan berarti itu tidak masuk akal, Ra. Bagi si kembar, tubuh mereka, alam sekitar, adalah komputer sekaligus printernya. Mereka melihat ruang dan waktu seperti kode biner, sistem digital. Jika kita tahu logikanya, itu bukan sihir.” Ali berbisik menjelaskan, “Atau sama seperti jaman dulu, saat orang-orang melihat nyala api pertama kali, mereka bahkan menganggapnya itu pekerjaan dewa-dewa. Api bahkan disembah segala. Padahal saat dia tahu itu hanya ilmu fisika sederhana, api jelas bukan pekerjaan sihir atau keajaiban.”
Aku menggeleng, itu berbeda. Semua orang juga tahu menyalakan api bukan sihir.
Aroma lezat sop ikan menguar. Menghentikan percakapan.
Perutku mendadak terasa lapar. Juga Seli. Kami tidak menolak saat Ngglanggeram menumpahkan sop ikan memenuhi mangkok besar. Sejenak, kami bisa melupakan kesedihan tidak bisa pulang.
“Ini enak sekali.” Seli berkata semangat. Wajahnya cerah.
Aku mengangguk. Setuju. Lebih enak dibanding ikan bakar rica-rica kemarin.
Ali tertawa, “Bukankah kalian bilang tadi tidak lapar, heh?”
Aku dan Seli menyeringai, mengabaikan Ali.
Tapi kesenangan sarapan itu hanya bertahan sebentar. Saat kami selesai menghabiskan mangkok sup, kami teringat lagi jika kami masih terkurung di ruangan, lima puluh kilometer di perut Bumi. Dinding-dinding raksasa mengungkung kami. 
Seli menghabiskan sisa hari dengan duduk bermuram durja menatap permukaan danau.
Aku menemaninya, lebih banyak berdiam diri.
Ali, dibantu oleh Ngglanggeran dan Ngglanggeram membawa kapsul perak ILY ke dekat stupa. Kapsul itu masih utuh, tidak ada kerusakan berarti, material Klan Bintang yang digunakan Ali membuatnya bertahan dari pukulan Slon dua malam sebelumnya.
Ali mengaktifkan ILY kembali—termasuk mode suaranya.
“Aku tidak mengenali ruangan ini, Ali…. Ini bukan Klan Bintang….” 
ILY mendesing, terbang rendah di dekat kami, memeriksa sekitar.
“Kita terkurung di ruangan Klan Aldebaran.”
“Aldebaran? Apa itu…. Apakah ini lokasi yang kita tuju beberapa jam lalu? Aduh, aku sudah melarang kamu masuk ke lorong itu, Ali. Kenapa kamu nekad? Seharusnya aku memberitahu Av atau Miss Selena.”
“Mereka juga tidak akan bisa membantu, ILY. Kita terkurung di teknologi Klan yang jauh lebih maju.”
“Jika demikian, masalah ini pelik sekali... Ali, semoga ini menjadi pelajaran berharga buatmu. Lihat akibatnya, kita terdampar di sini. Kalian sudah semakin besar, kalian harus menunjukkan sikap orang dewasa yang bertanggung-jawab dan penuh perhitungan. Bukan remaja atau kanak-kanak—” 
Tidak terima diceramahi, Ali mematikan kembali mode suara ILY, bersungut-sungut, “Dasar cerewet!”
ILY mendesing, terlihat marah, tapi tidak bisa bicara lagi.
Aku dan Seli memperhatikan pertengkaran mereka.
Menjelang matahari terbit, kali ini tanpa perlu disuruh Ngglanggeran, aku sudah menarik tangan Seli, agar bersiap masuk ke dalam stupa. Seli mengangguk pelan, beranjak berdiri.

*** 
Dan waktu melesat dengan cepat.
Siang, malam, siang, malam….
Tidak terasa kami sudah sebulan di ruangan itu.
Pagi hari selalu lebih mudah, karena Ngglanggeram akan memasakkan makanan lezat, termasuk jika kami request sesuatu, dia dengan senang hati akan memasaknya. Setelah sarapan, siang mulai terasa berat. Aku dan Seli tidak punya kegiatan selain melihat-lihat seluruh ruangan. Awalnya masih menyenangkan saat Ngglanggeran mengajak kami terbang berkeliling. Lama-lama jadi membosankan. Aku dan Seli lebih sering duduk di pelataran Candi, sesekali ditemani ILY, yang terbang mengambang di sebelah, ikut mengobrol. Ali mengembalikan mode suaranya. Kapsul perak itu memang cerewet, tapi aku dan Seli membiarkannya bicara sendiri. 
Ali lebih sering bersama Ngglanggeran dan Ngglanggeram, membahas tentang teknologi, menunjukkan proyektor transparan miliknya, bertanya banyak hal. Mungkin bagi Ali, ini seperti karya wisata, dan dia menemukan tour guide yang tahu banyak hal. Seru ditanya-tanya. 
Ngglanggeran dan Ngglanggeram juga menawarkan mengajari kami melakukan teknik dunia paralel. Aku sudah berhasil melakukan teleportasi benda lain tanpa menyentuhnya, meski radiusnya baru satu meter, kalah kuat dibanding milik si Kembar. Seli juga bisa melakukan teknik kinetik kepada air. Dia seperti ‘pengendali air’, membuat permukaan danau bergerak, menari, melakukan gerakan sesuai perintahnya. Ngglanggeran tertawa senang melihatnya. 
Sore hari jadwal kami masuk ke dalam stupa. ILY juga dimasukkan ke stupa lainnya. Jika dibiarkan di lantai candi, Slon akan menendang ILY sesuka dia. Membuatnya tersangkut di pegunungan salju, atau melesak dalam di hutan lebat.
Aku sendiri yang melakukan teleportasi membawa Seli dan Ali ke dalam stupa. Si kembar tidak perlu lagi mengingatkan, kami tahu peraturannya. 
Malam hari selalu menjadi bagian paling berat. Karena semakin lama kami berada di ruangan ini, semakin menipis kans kami untuk pulang. Ali buntu, dia tidak menemukan jalan keluar. Si Kembar selalu menggeleng, bilang mereka dan atau Slon juga tidak bisa keluar selama dua ribu tahun terakhir, apalagi kami.
Ruangan stupa lengang.
Seli menandai dinding stupa dengan guratan kerikil. Menghitung hari. 
Hari ke-31. Seli menghembuskan nafas perlahan. Itu berarti sudah 62 jam kami berada di sini. Lebih dari cukup untuk membuat Bu Ati panik. Mungkin Bu Ati di atas sana sudah melapor ke petugas Candi atau malah polisi, menelepon orang tua kami. Menghilangnya kami dari rombongan karya wisata bukan hal sepele. Ini sudah lebih dari 2x24 jam.
“Mama dan Papa akan cemas sekali.” Seli berkata pelan, menatap dinding stupa, kami sedang menunggu di dalam stupa, mengobrol pelan, di luar sana Slon sedang bermain air danau—alias berdentum melubangi danau semau mereka.
“Syukurlah, orang tua-ku tidak akan peduli.” Ali menyahut, meluruskan kaki, “Mereka paling juga menganggapku sedang kabur ke rumah Paman atau saudara yang lain. Sudah biasa.” 
Sebagai keluarga super kaya-raya, orang tua Tuan Muda Ali memang super sibuk dengan bisnis raksasa mereka. Bisa dipahami.
Aku menghela nafas pelan, aku memikirkan Mama dan Papa di rumah. Entah apa yang dilakukan Mama sekarang? Jangan-jangan Mama sudah panik menelepon Tante-ku yang bekerja di televisi, memintanya membuat pengumuman di media. Pihak sekolah juga akan panik, karya wisata itu berubah jadi bencana. Jika Miss Selena sedang berada di Klan Bumi, dia mungkin bisa membantu meredakan kecemasan. Tapi aku tidak tahu Miss Selena sedang di mana. Entah apa pula komentar Av? Juga Faar, Hana? Dua minggu lagi, mereka merencanakan pertemuan di Kota Zaramaraz membahas tentang koalisi tiga Klan menghadapi lolosnya Si Tanpa Mahkota. Jika kabar menghilangnya kami sampai di sana, acara itu boleh jadi batal, digantikan mengirim tim SAR, mencari kami.
Malam itu berlalu seperti malam-malam sebelumnya.
Terasa panjang tak berkesudahan. 
Aku memejamkan mata. Beranjak tidur di tengah suara gemuruh gunung salju berguguran. Slon sedang memukuli salju-salju.
Kami persis seperti tahanan seumur hidup—tanpa prospek kapan bisa bebas.

0 komentar:

Posting Komentar