Kamis, 27 Juli 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 16 : Pengkhianatan Bag. Satu

Pesawat jet yang dikemudikan Edwin mendarat mulus di bandara ibukota.
“Terima kasih telah menemaniku dua hari terakhir, Edwin.” Aku menepuk bahunya.
“Tidak masalah, Capt.” Edwin mengangguk.
Sedan hitam milikku sudah terparkir rapi di hanggar pesawat jet pribadi. Pelayan Keluarga Tong sudah menyiapkannya. Aku mengemudikan mobil itu menuju kantor Parwez, pukul empat sore, jalanan padat, jutaan komuter ibukota mulai pulang. 
Tere Liye : Pulang

Aku tiba di kantor Parwez pukul lima sore. Melangkah melintasi lobi gedung, menuju lift khusus yang langsung ke lantai Parwez. Petugas security gedung mengenaliku, juga beberapa tukang pukul. Basyir sepertinya telah menyuruh beberapa tukang pukul ikut menjaga gedung. Mereka membaur dengan sekitar agar tidak terlalu mencolok, duduk di sofa, membaca koran, pura-pura bermain gadget, sambil mengawasi orang-orang.
“Selamat sore, Si Babi Hutan.” Salah-satu Letnan menyapaku di pintu lift, mengangguk. Dia tidak ubahnya seperti seorang eksekutif muda dengan pakaian rapinya.
Aku balas mengangguk, melangkah masuk ke dalam lift, “Basyir kemana, Joni?”
“Basyir pergi ke pelabuhan empat jam lalu.”
“Pelabuhan?”
“Ada laporan yang sama di sana. Aktivitas mencurigakan dari orang-orang tertentu.” Nama Letnan itu adalah Joni, salah-satu tukang pukul terbaik Keluarga Tong. Berpendidikan, dia juga disekolahkan Tauke hingga sarjana. Dia sering menerima tugas dariku, dia lebih dekat kepadaku dibanding Basyir.
“Apa yang kalian temukan di sini, Joni?” Lift bergerak naik.
“Sejauh ini belum ada, Si Babi Hutan. Orang-orang itu hanya pekerja kantoran biasa, aku telah menginterogasi beberapa di antaranya. Mereka disuruh pihak lain, mereka juga tidak mengerti, hanya menerima bayaran untuk datang ke kantor-kantor di gedung kita secara acak, random. Kejadiannya tidak hanya di sini, atau pelabuhan, tapi juga di belasan titik properti lainnya. Polanya sama, mereka membanjiri semua tempat milik kita.”
“Pengalih perhatian.” Aku bergumam.
“Iya, menurutku juga begitu, Si Babi Hutan.” Joni mengangguk, “Basyir sudah mengirim tukang pukul ke setiap tempat yang melaporkan ada tamu-tamu mencurigakan, memeriksanya satu-persatu. Kita mengerahkan semua anggota keluarga sepanjang hari.”
Aku bergumam, ini serius. Siapapun dibalik situasi ini, mereka sedang menyiapkan rencana, menyebar begitu banyak kemungkinan serangan, membuat konsentrasi terpecah. 
Lift tiba di lantai Parwez. Pintu lift terbuka.
Parwez sedang duduk gugup di belakang meja kerjanya. Wajahnya sedikit pucat, pakaiannya berantakan. Aku tahu, dia sepanjang hari tidak bisa bekerja dengan baik.
“Bujang, akhirnya kau tiba.” Parwez menghembuskan nafas lega, wajahnya sedikit cerah.
“Kau baik-baik saja?” Aku bertanya.
Parwez menggeleng, mengusap dahi, “Aku sudah ke kamar mandi belasan kali, Bujang….. Aku bukan seperti kau atau Basyir, ini membuatku cemas. Aku membatalkan semua meeting hari ini.” 
Aku tersenyum simpul, menepuk bahu Parwez, “Kau berada di gedung dengan sistem keamanan terbaik, Parwez. Sekali kau menekan tombol darurat, lantai ini bahkan tidak bisa ditembus dengan tank atau pesawat tempur, kecuali mereka tahu celahnya. Kau akan aman.”
“Tapi Tauke bilang soal pengkhianat, Bujang. Mereka bisa siapa saja, bukan? Termasuk mungkin sekretarisku, stafku, orang-orang yang ada di lantai ini? Bagaimana jika mereka tiba-tiba membawa senapan, alih-alih membawa berkas yang harus kutanda-tangani, mereka menembakku yang sedang memeriksa laporan keuangan?”
“Kau benar soal pengkhianat, bisa siapa saja. Itu juga mungkin termasuk aku, Parwez.” Aku mencoba bergurau, yang justeru membuat Parwez pias kembali, “Rileks, Parwez, kalau aku pengkhianatnya, kau tidak akan hidup enam detik setelah kita bertemu tadi. Lagipula, setiap tiga bulan aku meminta Joni memeriksa seluruh profil orang-orang di lantaimu, mulai dari sekretaris hingga office boy, bersih, tidak ada yang mencurigakan. Kau mungkin tidak tahu, aku menjaga gedung ini lebih dari yang kau bayangkan. Ini pusat seluruh bisnis legal milik Keluara Tong, jauh lebih penting dibanding properti lain.”
Parwez mengangguk pelan, menghela nafas, “Terima kasih, Bujang.”
Telepon genggamku berbunyi, itu telepon dari Basyir.
“Kau ada di mana sekarang, Basyir?” Aku langsung bertanya saat tersambung.
“Masih di pelabuhan. Menyisir setiap jengkal pelabuhan. Kau ada di mana Bujang? Kau sudah mendarat?”
“Kantor Parwez. Aku baru tiba beberapa menit lalu. Bagaimana pelabuhan?”
“Ini rumit, Bujang. Mereka membuat fokus kita terpecah, aku hampir mengirim semua tukang pukul—“
“Markas besar jangan ditinggalkan, Basyir.” Aku memotong. Dalam situasi rentan seperti ini, tanpa tahu kemana sasaran penyerangan akan terjadi, markas besar prioritas. Kami pernah mengalami kejadian yang sama di kota provinsi dulu.
“Tentu tidak, Bujang. Aku bilang hampir. Pasukan terbaik ada di markas besar, Brigade Tong, dengan Letnan kepala, mereka melindungi Tauke penuh. Tidak akan ada yang bisa melewati mereka, bahkan jika Keluarga Lin datang membawa seluruh anggotanya dari Makau. Mereka akan menemukan lawan tangguh. Tapi aku tidak bisa mengabaikan laporan-laporan di banyak tempat, aku harus memeriksanya satu-persatu.”
Aku mengangguk, menyetujui langkah Basyir. Meninggalkan Brigade Tong di markas besar adalah pilihan yang tepat. Situasi kami masih gelap, ada banyak kemungkinan, kami tidak tahu persis dimana serangan itu akan dilancarkan. 
“Tauke Besar meminta kau pulang, Bujang.” Basyir memberitahu, “Orang tua itu ingin kau berada di sana malam ini.”
“Aku memang segera kembali ke rumah setelah dari kantor Parwez. Kau hati-hati, Basyir.”
“Siap, aku akan segera menyusul pulang setelah urusan di pelabuhan selesai, Tauke Muda.” Basyir sengaja menggodaku.
Aku sudah mematikan telepon—semakin dilarang, Basyir akan semakin menjadi.
Tiga puluh menit kemudian, aku masih memastikan beberapa hal di kantor Parwez, meminta Joni memberikan hasil interogasi, membaca profil orang-orang yang mencurigkan. Buntu. Mereka hanya orang-orang biasa, mereka bahkan tidak kenal siapa yang menyuruh. Siapapun yang berencana menyerang, terlihat sangat rapi dan berpengalaman. Ini bukan Keluarga Lin, mereka tidak akan sempat menyiapkan skenario secepat ini.
Pukul enam, saatnya aku kembali ke rumah, atau Tauke akan mengamuk jika aku lagi-lagi menundanya, “Kau ingin kembali ke apartemenmu? Atau kau mau ikut denganku ke markas, Parwez. Di sana akan lebih aman.”
Parwez mengangguk, dia meraih jas hitamnya.
Kami turun dengan lift khusus, langsung menuju parkiran.
“Pakai mobilku saja, Bujang.” Parwez menuju parkiran mobilnya. 
Aku mengangguk, mobilku ada di lobby gedung, hendak meminta kunci dari Parwez—biar aku yang mengemudi.
Joni lebih cepat, dia mengambil kunci dari tangan Parwez, “Tunggu di sini, biar aku yang menyalakan dan membawa mobilnya, Si Babi Hutan.”
Parwez menatap heran, “Apa yang dia lakukan?”
“Prosedur resmi kondisi darurat.” Aku menjawab sambil menepuk bahu Parwez, “Joni adalah Letnan terbaik di Keluarga Tong. Dia mengambil resiko, jika ada bom yang dipasang di mobil, meledak saat mobilnya dinyalakan, maka Joni akan menjadi martir, meledak duluan bersama mobil itu, sementara kau tetap aman berdiri di sini.”
Parwez menelan ludah, “Ini serius sekali, Bujang.”
“Hei, kita tidak tahu, boleh jadi mereka memasang bom di mobilmu, bukan? Atau kau mau menyalakannya?”
Parwez menggeleng kaku.
Setengah menit, Joni merapatkan mobil sedan hitam di depan pintu lift, tanpa kurang satu apapun. Tentu tidak ada bom di mobil Parwez, lantai parkiran aman, tidak ada yang bisa masuk sembarangan. Juga mobil yang kukendari dari bandara, tidak sembarang orang bisa menyentuhnya, diawasi penuh oleh tukang pukul atau pelayan. Aku mengambil alih kemudi.
Parwez adalah generasi terakhir yang bergabung dengan Keluarga Tong, dia tidak pernah mengalami langsung penyerangan. Parwez tidak bersentuhan dengan tukang pukul, situasi menegangkan ini baru baginya. Sejak diambil Tauke dari panti asuhan, Parwez langsung dikirim sekolah ke Singapura. Aku lebih baik mengajaknya pulang ke rumah malam ini, dia akan merasa lebih nyaman, berada dekat Tauke Besar, di sana juga ada Brigade Tong, pasukan khusus yang dibentuk oleh Basyir sepulang dari timur tengah. Brigade itu dibuat atas persetujuan Tauke, Basyir menyeleksi sendiri anggotanya, melatihnya menjadi mesin mematikan bagi musuh-musuh Keluarga Tong lima tahun terakhir. Joni ikut bersamaku naik mobil, dia pengawal tetap Parwez sementara waktu, penjagaan di kantor berlantai tiga puluh itu diberikan ke Letnan lain.
Jalanan padat, mobil yang kukemudikan tersendat. Parwez lebih banyak diam, menghela nafas, mengusap wajah berkali-kali, dia tetap tegang. Joni di sebelahku juga diam menatap ke depan, terus fokus. Gerimis mulai turun, membuat jalanan semakin macet.
Mobil yang kukemudikan melewati kantor pusat bank milik Keluarga Tong, berdiri tegak, menjulang tinggi. Bank ini sejak berdiri telah menjadi alat pencuci uang terbesar yang pernah ada di Asia. Triliunan uang masuk dari dunia hitam, kemudian disalurkan menjadi kredit bisnis legal. Belasan tahun beroperasi semua berjalan lancar, kami menyumpal pengawas dan pejabat pemerintahan. Bankir kami melakukan rekayasa transaksi keuangan tingkat tinggi untuk menyamarkan uang-uang itu. 
Tidak hanya bank milik Keluarga Tong yang melakukan praktek tersebut, hampir sebagian besar perbankan raksasa dunia terlibat dengan shadow economy, sudah menjadi rahasia umum, tahu sama tahu, itu bisnis yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bank membutuhkan uangnya, mereka membutuhkan tempat menyimpannya. Mulai dari uang penyelundupan barang, illegal logging, insider trading, perjudian dan tindak kriminal lainnya. Mulai dari preman kelas bawah, hitungan jutaan, mafia, triad, yakuza hitungan milyaran, hingga keluarga-keluarga penguasa shadow economy hitungan triliunan.
Pencucian uang adalah bisnis besar. Aku sempat bicara dengan Parwez beberapa bulan lalu, membahas kemungkinan menggunakan electronic money sebagai sarana pencucian uang yang lebih maju—termasuk penggunaan cryptocurrencies. Itu akan menjadi masa depan, jauh lebih mudah dilakukan, dan lebih sulit dideteksi regulator. Menggunakan uang yang beredar di dunia maya, sebagai alat pembayaran transaksi online, sebagai alat akumulasi kekayaan, itu cara jenius untuk mencuci uang, karena tidak perlu identitas, tidak bisa di-tracking. Electronic money juga bisa menggandakan uang lebih cepat dibanding uang di dunia nyata yang harus terlihat fisiknya.
Mobil terus merambat maju, melewati komplek hotel sekaligus apartemen kelas atas dan pusat perbelanjaan terkemuka ibukota. Hampir satu blok kawasan elit itu adalah properti Keluarga Tong. Bangunannya gemerlap oleh cahaya lampu, disiram oleh gerimis, berpendar-pendar, seperti lampu petromaks di tengah ladang padi, yang mengundang ribuan laron. Komplek hiburan ini dikunjungi jutaan orang setiap tahun—tanpa tahu-menahu siapa pemilik aslinya, komplek ini menjadi salah-satu cash cow penting bagi Keluarga Tong. 
Mobil juga melewati kantor-kantor lain milik Keluarga Tong, dealer, show room, jaringan fast food, butik, dan sebagainya, lengan gurita bisnis Tauke Besar telah menyentuh setiap lapisan kehidupan. Aku menghela nafas, Salonga benar, dua puluh tahun terakhir, kesuksesan Tauke telah mengundang kebencian dari banyak pihak. Lihatlah, dimana-mana Tauke menancapkan kekuasannya, menyingkirkan siapapun yang merintangi, banyak keluarga yang terpaksa pergi dari ibukota, dan tidak terbilang yang dihapus dari konstelasi dunia hitam. Saat Tauke jatuh sakit, saat dia tidak sekuat dulu, hanya soal waktu mereka menunjukkan rasa tidak suka itu. Boleh jadi mereka menggabungkan kekuatan terakhir, berusaha menyerang malam ini. Aku menatap wiper mobil yang bergerak menyingkirkan tetes air hujan di kaca depan, Guru Bushi juga benar, sejak muda Tauke Besar penuh ambisi, dia terobsesi mengalahkan bayang-bayang Ayahnya, hingga lupa, dia telah lari jauh sekali, dia lebih besar dibanding siapapun. 
Kopong telah meninggal lima tahun lalu, meninggal dengan tenang setelah jatuh sakit tiga hari. Markas besar berkabung selama tujuh hari, Basyir menggantikannya setelah melewati ritual Amok. Mansur menyusul enam bulan berikutnya, juga meninggal dengan tenang, saat sedang bekerja di ruangannya hingga larut malam. Pelayan menemukannya sedang tidur di sofa pagi-pagi, enggan membangunkan, dan masih melihat Mansur tidur pukul sebelas siang, kemudian panik berusaha menggerakkan badannya yang telah dingin. Setelah kematian Mansur, hampir semua anggota keluarga yang dulu dibawa dari kota provinsi telah berganti. Tauke Besar tinggal sendirian dari generasi lama Keluarga Tong, dan dia tetap berlari kencang lima tahun ini, tidak berhenti walau sejenak.
Setelah menghabiskan satu jam di jalanan macet, mobil yang kukemudikan akhirnya tiba di depan gerbang baja markas besar. Gerbang itu membuka otomatis, mengenali penumpang mobil. Hujan deras, aku melintasi parkiran luas, tiba di lobi yang kering, memarkirkan mobil di sana. 
Beberapa anggota Brigade Tong yang berjaga di halaman mengangguk ke arahku. Aku membalasnya selintas, segera melangkah masuk ke dalam bangunan utama, Parwez dan Joni berjalan di belakangku. Petir dan geledek bersahutan di langit gelap.
Bangunan utama nampak lengang—sebenarnya seluruh markas nyaris kosong, hanya menyisakan lima puluh anggota Brigade Tong. Letnan dan ratusan tukang pukul lain sedang disebar oleh Basyir, memeriksa ancaman serangan. Beberapa pelayan masih terlihat bekerja, tapi mereka hanya membereskan sisa-sisa pekerjaan. Sudah pukul delapan, waktunya mereka beristirahat.
Aku menaiki anak tangga, menuju kamar Tauke Besar. Mendorong pintu jati berukiran.
“Hallo, Bujang.” Tauke menyapaku, dia sedang duduk bersandar di ranjang, membaca sesuatu.
“Selamat malam, Tauke.” Aku balas menyapa, tersenyum. Tauke terlihat sehat, piring makan malam yang ada di atas meja sebelah ranjang habis. Tirai jendela kamar dibiarkan terbuka, sesekali terlihat gurat petir di kejauhan.
“Kapan kau tiba dari Hong Kong?” Tauke bertanya, meletakkan buku.
Kapan aku tiba?
Saat itulah. Aku berdiri mematung.
Tiba-tiba kesadaran itu datang di kepalaku. 
Aku keliru sekali. Benar-benar telah keliru. Ini bukan ancaman serangan dari Keluarga Lin, balas dendam. Ini juga bukan datang dari keluarga yang membenci kesuksesan Tauke, dan disingkirkan. Ini adalah skenario lihai. Ini adalah pengkhianatan. Cara lama yang akan terus abadi di dunia hitam.
“Tekan tombol daruratnya, Joni!” Aku berseru.
Joni menoleh, tidak mengerti.
“Aktifkan pertahanan bangunan utama! SEKARANG!” Aku membentaknya. 
Joni kali ini tidak banyak bertanya, dia lari ke dinding dekat ranjang, menekan tombol di sana. Persis saat tombol itu ditekan, suara alarm bahaya terdengar melengking, belasan pintu baja menutup, melapisi pintu-pintu, membentuk benteng pertahanan.
“Ada apa, Bujang? Kenapa kau menyuruh Joni menekan tombol?” Tauke Besar menatapku tidak mengerti.
Nafasku menderu, aku mengusap wajah. Bagaimana mungkin aku lalai melihat semua ini. Bukankah Kopong dulu pernah memberitahuku tentang pekhianatan. Bagaimana aku tidak melihatnya? Dekat sekali. Parwez di sebelahku sudah pucat pasi, situasi di sekitar kami berubah menjadi sangat menegangkan. Suara alarm itu terdengar di seluruh markas besar. Puluhan pelayan langsung berlarian saat mendengarnya, menuju tempat berlindung, mereka sudah berlatih prosedur darurat seperti ini. Apa yang harus dilakukan oleh mereka, apa yang harus diamankan lebih dulu.
“Ada apa, Bujang?” Tauke mendesak.
“Apakah Tauke menyuruhku segera pulang malam ini?” Aku balas bertanya, mendesak. 
Tauke menggeleng,”Aku justeru baru tahu kau tiba dari Hong Kong, Bujang.”
Aku meremas jemari, “Basyir! Adalah Basyir pengkhianatnya.”
Hanya Basyir dan Parwez yang tahu aku telah pulang. Dan sore tadi, saat meneleponku, dia bilang Tauke telah menungguku di rumah. Itu dusta. Itu bagian skenario lihainya, dia sengaja membuatku, Parwez dan Tauke ada di rumah malam ini, berkumpul menjadi satu. Kami adalah pucuk pimpinan Keluarga Tong, sasaran empuk di markas, ketika ratusan tukang pukul lain jsuteru disuruh pergi ke banyak tempat. 
Serangan itu tidak akan dilakukan oleh pihak luar. Serangan itu akan dilakukan dari dalam. Brigade Tong, merekalah yang akan menyerang, hanya menunggu waktu saat kami bertiga berkumpul, kemudian menunggu perintah final Basyir. Brigade Tong jelas sekali adalah kaki-tangan Basyir, dialah yang merekrut, melatih pasukan khusus itu sejak Basyir menggantikan Kopong. Tidak ada yang pernah memeriksa latar belakang anggota Brigade Tong, hanya Basyir yang tahu.
“Siapkan senjata, Joni!” Aku berseru parau, “Apapun yang ada di ruangan ini.”
Waktu kami tidak banyak. Sekali alarm itu berbunyi, Basyir akan tahu dari penyeranta yang dia bawa, tanda darurat telah diaktifkan, seluruh Letnan harus kembali ke markas. Dia tidak akan menunggu seluruh tukang pukul terlanjur memenuhi markas, dia akan segera menginstruksikan Brigade Tong mulai menyerang bangunan utama.
Aku mengusap wajah, memaki dalam hati, bagaimana mungkin aku abai sekali melihatnya.
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar