Kamis, 27 Juli 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 05

Lima menit terus menanjak di dalam lorong berbentuk pipa besar itu, kapsul perak yang kami naiki akhirnya keluar dari air. 
Splash.
Muncul di permukaan. Di sebuah ruangan berbentuk kubus dengan sisi dua ratus meter. Ada beberapa stupa besar di sana. Tersusun simetris empat sisi. Ruangan itu tidak gelap, ada sistem pencahayaan yang sama seperti di ruangan Klan Bintang, seolah ada matahari di atas sana, yang beranjak turun di dinding sisi timur, sebentar lagi sunset.
Aku mendongak menatap matahari itu. Awan putih mengambang di sana—pemandangan yang sangat mengherankan jika aku belum pernah mengunjungi dunia paralel. Ruangan ini seperti permukaan bumi, hanya dinding-dinding tinggi yang membuatnya berbeda.
“Ini ruangan apa, Ali?” Seli bertanya, dia ikut memperhatikan sekitar.
Kapsul perak kami naik perlahan ke langit-langit ruangan, masih dengan mode menghilang. Ali tidak mau mengambil resiko menampakkan ILY. Di empat dinding ruangan terlihat air terjun besar, menghujam ke dasar, kemudian membentuk sungai yang berkumpul, menuju lubang lorong, tempat kami keluar tadi.
“Ini sepertinya ruangan pemeriksaan, atau pos terdepan sebelum masuk ke ruangan candi di depan sana, Seli.” Ali ikut memperhatikan. 
“Apakah ada orang di ruangan ini?” Seli berbisik pelan.
“Sepertinya tidak ada. Sensor ILY tidak menunjukkan aktivitas mahkluk hidup apapun.” Ali menunjuk ke layar besar. 
Meskipun demikian kami tetap harus waspada. Kami kenyang dengan pengalaman petualangan di dunia paralel, sebuah ruangan akan lebih berbahaya justeru ketika nampak lengang, tidak ada isinya. Kami tidak tahu apa yang telah menunggu di balik stupa misalnya.
“Kita kemana sekarang, Ali?”
“Dinding sisi utara, Sel. Ada lorong berikutnya di sana, menuju ruangan candi.” Ali menggerakkan lagi tuas kemudi ILY, kapsul perak bergerak perlahan melintas di sela stupa-stupa besar.
Kapsul perak tiba di dinding utara.
“Patung monster itu lagi, Ra.” Seli menahan nafas.
Aku mengangguk, aku juga telah melihatnya. Di dinding itu ada gerbang berikutnya, lebih tinggi dibanding di dasar lautan sebelumnya, terbuat dari batu pualam, dan lebih megah, ditimpa cahaya matahari. Dan ada dua patung besar monster berbadan manusia serta berkepala gajah di sana. Karena cahaya lebih terang, aku bisa memperhatikan lebih detail patungnya, wajah “gajah” itu terlihat buas. Matanya tajam, kupingnya mengembang, belalainya melambai ke belakang, sementara tangannya mengacungkan tongkat perak ke arah kami. Seperti tidak mengijinkan siapapun melintasi lorong. 
ILY terus melintasi gerbang, dua patung monster tidak akan menghentikan Ali. Kami bersiap masuk ke dalam lorong gelap berikutnya.
Seli menghembuskan nafas. Dia lega, setidaknya kami tidak diserang sesuatu di ruangan tadi. Hanya deg-deg-an menatap patung monster saja. 
“Berpegangan, Ra, Seli. Kecepatan penuh.” Ali menarik tuas kemudi, dan sebelum kami betulan berpegangan, ILY melesat cepat memasuki lorong besar. Kali ini meluncur dengan kemiringan tajam ke bawah, seperti terjun bebas. Menuju kedalaman lima puluh kilometer.
Tiga puluh detik lengang.
“Sepertinya ruangan kosong tadi dekat sekali dengan permukaan bumi.” Seli memperhatikan dinding lorong yang berpendar-pendar ditimpa cahaya dari ILY. Kami terus meluncur turun.
Ali mengangguk, “Iya. Pembuat lorong-lorong ini menggunakan trik fisika sederhana, pintu utama lorong sengaja di buat di dasar laut, lorong naik ke atas hingga ke ketinggian permukaan laut, tiba di pos terdepan ruangan tadi, kemudian lorong menuju lagi ke bawah. Agar air laut tidak masuk ke dalam ruangan candi di depan sana. Mungkin kita tadi berada di perut salah-satu gunung atau bukit dekat candi tempat karya wisata.”
“Tapi bagaimana orang-orang tidak tahu jika ada ruangan itu, Ali, jika ruangan tadi dekat dengan permukaan bumi? Boleh jadi tanpa sengaja orang akan menemukannya, kan?”
“Banyak caranya agar orang tidak tahu, Sel. Mulai dari cara paling kuno hingga teknologi canggih. Cerita mistis misalnya, itu cara kuno. Ada kisah tentang Ratu penguasa lautan, itu cukup untuk membuat nelayan tidak mendekati lokasi tertentu, atau jadi penjelasan simpel jika ada kejadian tidak masuk akal. Ada kisah menyeramkan lainnya tentang gunung, petani tidak berani mengolah lahan tertentu. Tapi di atas segalanya, teknologi adalah cara terbaik, jelas sekali ruangan ini memiliki penangkal. Tidak ada teknologi pemetaan geologi milik Klan Bumi yang bisa mendeteksinya.”
Aku menatap punggung kursi Ali. Si Biang Kerok ini selalu punya penjelasan. Entah apakah dia mengarang-ngarangnya hingga masuk akal, atau memang itu penjelasan terbaiknya.
ILY terus meluncur cepat ke bawah.
“Kita hampir sampai. Bersiap-siap.”
Aku dan Seli memperbaiki posisi duduk. 
Lima belas detik lagi menatap layar besar ILY, dinding gelap lorong berakhir. Digantikan pemandangan yang spektakuler.
Kapsul perak kami persis keluar dari atap sebuah ruangan besar berbentuk kubus dengan sisi tak kurang dari tiga puluh kilo meter. Separuh dasar ruangan itu adalah danau. Dengan tepi-tepi hutan lebat berbentuk gunung-gunung berselimutkan salju di sisinya. Simetris empat sisi. Kami tiba persis saat matahari bersiap tenggelam di dinding sebelah timur. Sunset. Langit terlihat jingga. Awan putih yang laksana kapas juga terlihat memerah. 
Aku menahan nafas. Lihatlah, di bawah sana, di tengah danau, candi besar itu menyambut anggun. Seperti bunga teratai elok di tengah danau berair sejernih kristal. Ada empat jalan penghubung di atas permukaan danau yang sepertinya terbuat dari kayu menuju candi itu dari sisi hutan. Pepohonan di hutan sedang berbunga warna-warni, terlihat menawan. 
ILY terus turun ke dasar ruangan, semakin dekat dengan candi. 
“Ini indah sekali.” Seli berkata pelan.
Aku mengangguk. Dari jarak seratus meter, dasar danau terlihat. Koral, terumbu karang. Ikan-ikan berenang. Itu bukan danau biasa. Stupa-stupa candi memantulkan cahaya lembut matahari senja. Matahari siap terbenam di balik pegunungan bersalju. Aku belum pernah melihat sunset seindah ini di dunia paralel. 
“Ini lebih keren dibanding Pulau Pesisir Timur Klan Bintang.” Ali bergumam. Dia beranjak melepas sabuk pengaman, berdiri di dekat jendela transparan kapsul.
Aku dan Seli tertawa kecil, setuju. Juga melepas sabuk pengaman, ikut berdiri di sebelah Ali. Sejenak kami mengabaikan apa tujuan kami ke ruangan ini—mencari sesuatu yang terdeteksi oleh sensor Ali. Kami menikmati sunset.
Seli menghembuskan nafas saat matahari akhirnya benar-benar menghilang di dinding timur, di balik pegunungan salju, menyisakan siluet cahaya tipis. 
“Aku akan memeriksa sensor ILY—“
Belum habis kalimat Ali, persis saat gelap membungkus ruangan, sesuatu menghantam kapsul perak. 
Itu pukulan yang kencang sekali. Tiba-tiba. 
BUUMM!!
Kapsul perak yang kami tumpangi telah terpelanting jauh ke atas hutan lebat.
Seli menjerit kaget, dia terbanting ke layar ILY. Ali rebah jimpah menimpa lemari kapsul.
Aku berseru kencang, segera membuat tameng transparan berbentuk bola, mengelilingi kapsul. 
ILY menghantam pepohonan, satu, dua, tiga, tak terhitung berapa kali. Seperti membuat garis di hutan, pohon patah, tumbang, memanjang hingga seratus meter, hingga akhirnya ILY terhenti.
“Kalian tidak apa-apa?” Aku bertanya. Berusaha berdiri.
Wajah Seli pucat pasi. Dia juga berusaha berdiri. Kakinya gemetar.
Ali bersungut-sungut, keluar dari lemari. Badannya terbanting ke sana, melesak masuk. Tapi kami baik-baik saja. Teknik tameng transparan yang menyelimuti seluruh kapsul perak sepersekian detik sebelum kami mendarat di hutan lebat efektif mengurangi dampak benturan.
“Itu apa tadi?” Seli tersengal.
Sebagai jawabannya. Terdengar raungan kencang dari arah Candi. Seperti suara gajah, tapi lebih keras dan nyaring. Mengerikan mendengar suara itu.
“I-tu ap-pa?” Seli mendecit.
“Semua siaga! Posisi bertarung!” Aku berseru tegas. Tidak ada waktu lagi.
“Terbangkan ILY, Ali!”
Ali segera loncat, susah payah duduk di kursinya. Menekan beberapa tombol sekaligus.
ILY segera naik ke atas. Tidak penting lagi mode menghilang atau pengintaian, sesuatu yang menyerang kami jelas bisa mengetahui posisi ILY meski mode itu aktif. Ali menyalakan lampu, menyorot ke depan, ke arah Candi, sumber suara.
Di atas permukaan danau, aku melihatnya pertama kali. Mahkluk itu berlarian buas, seperti bisa berjalan di atas air, tingginya dua puluh meter, badannya seperti manusia, tapi kepalanya, gajah. Itu persis seperti patung yang kami lihat sebelumnya, tapi yang satu ini hidup. Monster itu membawa tongkat perak panjang. Teracung ke depan. 
BUMMM!!
“Awas Ali!” Aku berseru.
Tongkat perak itu mengirimkan pukulan jarak jauh. Berdentum. 
Ali gesit membanting tuas kemudi, ILY melenting menghindar. Berhasil. Pukulan itu menghancurkan hutan seluas satu lapangan bola. Pukulan itulah yang tadi mengenai kapsul.
“Terbang tinggi Ali!” Aku punya ide. 
Ali mengangguk, menarik tuas kemudi kencang-kencang. ILY melesat terbang, mencoba kabur.
Monster itu lebih dulu loncat tinggi, seperti bisa terbang dengan mudah. Tangkas dan cepat, tiba-tiba dia sudah mengambang di depan kami. Dari jarak sedekat itu, aku bisa melihat matanya yang merah, telinganya yang lebar, belalainya yang mendengus, dan tangan kirinya yang buas menghantam kapsul. Meninju kapsul ke bawah.
“Awass, Ali!” Seli menjerit.
Ali berusaha melakukan manuver menghindar. Terlambat.
Aku menggigit bibir, segera membuat tameng transparan. ILY terbanting lagi ke dasar hutan. Kali ini tidak separah sebelumnya. Tameng transparanku cukup kokoh menahan hantaman tinju. ILY seperti bola basket yang dibanting pemain setinggi dua meter, membal, memantul ke belakang.
Monster itu meraung marah. Dia sepertinya tidak suka melihat tameng transparanku. Segera berlarian mengejar.
Dan sebelum kami pulih dari serangan tadi, atau menyusun rencana menghadapinya, monster itu sudah tinggal seratus meter, berlarian mendekat menyibak pepohonan. 
“Apa yang harus kita lakukan?” Seli bertanya. 
Sebagai jawaban, terdengar raungan panjang dari candi. 
Astaga? Monster ini ternyata tidak hanya satu. Ada dua.
Dari candi, berlarian monster berikutnya. Dengan tinggi, ukuran, dan senjata sama persis. Seolah satu monster tidak cukup untuk menghabisi kami.


0 komentar:

Posting Komentar