Selasa, 01 Agustus 2017

Tere Liye : Si Kembar -- spin off Serial BINTANG

Episode 11

Hari demi hari terus berlalu.
Dua bulan berlalu.
Pagi hari ke-61. Atau jam ke 122. Itu setara lima hari lima malam waktu Klan Bumi. Cahaya matahari menyentuh pucuk-pucuk stupa, lembut menyapa kami yang baru bangun.
Ali bilang dia ingin sarapan cake. 
“Ide bagus, Ali!” Maka Ngglanggeram menggelar demonstrasi memasak cake di pelataran candi. Tepung, gula, entah dari mana Ngglanggeram membuatnya. Semua bahan diaduk tanpa wadah di depan kami, berpilin, bercampur satu sama lain, seperti melihat tarian, adonan itu akhirnya mengembang, jadi. Ngglanggeram menjentikkan tangannya, oven transparan terbentuk di depan kami, dia memasukkan adonan, menepuk pelan, panas dengan suhu sangat akurat, durasi yang persisi, memanggang cake tersebut.
Aku menelan ludah. Lezat sekali aroma cake ini.
Terakhir, Ngglanggeram meletakkan buah strawberry yang ranum dan menggoda. Lima menit, kami sudah asik menghabiskan potongan cake.
“Apakah memang tidak ada lagi jalan keluar dari ruangan ini, Ngglanggeran?” Aku bertanya pelan, setelah kue-ku habis. 
“Kamu sudah bertanya itu lebih dari seratus kali, Raib.” Ngglanggeran tertawa. Itu betul, aku hampir setiap hari bertanya, dan si kembar selalu sabar menjawabnya. Tidak pernah bosan.
Tapi berbeda dengan sebelumnya, kali ini saudara kembarnya, Ngglanggeram terdiam sebentar. Dia meletakkan piring, menatapku.
“Sebenarnya masih ada satu cara.”
Kalimat itu membuat Seli reflek melepaskan kue-nya. Juga Ali.
“Tapi itu mustahil.”
“Sebutkan, Ngglanggeran. Apa itu?” Seli mendesak.
“Itu mustahil, Seli.”
“SEBUTKAN!” Seli berseru serius. 
“Slon. Dia bisa membawa kalian keluar dari ruangan ini.”
Slon? Monster gajah itu. Bagaimana cara Slon melakukannya? Bukankah dia yang dikurung di dalam ruangan ini, bagaimana dia yang malah akan membawa kami keluar? 
“Slon bisa melakukannya. Tapi tidak dalam wujud gajahnya.” Ngglanggeran menambahkan, “Jika wujud Slon bisa dikendalikan, dia punya kekuatan terbang menembus gel transparan.”
Tapi monster gajah itu buas sekali. Bagaimana meminta tolong padanya?
Ngglanggeran menggeleng, bisa memahami eskpresi wajah kami, “Jika wujud Slon terkendali, dia tidak buas. Dia bisa diajak bicara baik-baik. Dia normal sekali.”
“Tapi bagaimana membuat Slon terkendali?” Seli bertanya, tidak putus harapan kali ini.
“Slon harus memakai benda yang dicuri dua ribu tahun lalu. Itulah kenapa aku bilang mustahil. Benda itu sudah dibawa pergi dari ruangan ini. Entah ada di mana.” 
“Sebenarnya, benda apakah itu, Ngglanggeram?” Giliranku yang bertanya.
Si kembar terdiam, saling tatap. Mereka menggeleng. Mereka tidak pernah mau membicarakan hal tersebut dua bulan terakhir. Ekspresi wajah mereka terlihat berubah setiap kali kami menyinggung tentang benda itu.
“Hei, waktu sarapan kita sudah habis. Ada yang ingin ikut denganku berkeliling Bor-O-Bdur?” Ngglanggeran berdiri, sambal mengganti topik percakapan.
Aku dan Seli menggeleng. Kami bosan berkeliling—sekaligus kecewa dengan kesimpulan percakapan.
“Ali? Kamu mau ikut?”
Ali yang biasanya reflek mengangguk, kali ini juga menggeleng.
“Baik. Jika kami belum kembali, pastikan kalian masuk ke stupa sebelum matahari tenggelam. Aku dan Ngglanggeram hendak memperbaiki dinding sisi utara, Slon tadi malam meruntuhkan kawasan itu. Kuat sekali tenaganya. Semakin lama semakin tidak terkendali.”
Si Kembar sudah melesat meninggalkan kami.
Sepeninggal si kembar, ILY berdesing di sebelah, mendarat di sebelah kami duduk.
“Bagaimana sarapannya, Raib, Seli, Ali?”
Aku mengangguk, enak seperti biasa.
“Jika saja aku bisa makan, itu sepertinya terasa lezat sekali. Tapi aku hanya kapsul perak sekarang.” ILY bergurau.
Aku mengangguk. Menatap hamparan danau.
Seperti hari-hari kemarin, kami akan menghabiskan sisa hari di sini. Tanpa kemajuan. Tanpa tahu cara pulang. Dan mendengarkan ILY bicara sendiri.
“Ra, aku sepertinya tahu bagaimana agar kita keluar dari ruangan ini.” Ali berkata pelan, memecah lengang.
Eh? Aku menoleh.
“Tapi ini rumit sekali.”
“Rumit apanya?” Seli menyergah, maksud Seli, tidak ada yang rumit sepanjang kami bisa keluar.
Ali diam sebentar sebelum melanjutkan bicara, “Kalian harus tahu, kita bukanlah yang paling menyedihkan di dalam ruangan ini. Secara selintas, orang-orang mungkin akan lebih bersimpati kepada kita. Pembaca kisah kita, juga lebih menyukai kita. Tapi sebenarnya, Si Kembar-lah yang paling pantas mendapatkan simpati.”
Aku menatap Ali. Tidak mengerti arah pembicaraan.
“Aku tahu sekali situasi saat berubah wujud menjadi monster.” Ali terdiam lagi, dia menatap ke depan, “Beruang raksasa yang pemarah. Saat tubuhku berubah, aku lupa segalanya. Aku akan menyerang siapapun yang bergerak di sekitarku. Itu termasuk jika kalian yang bergerak, aku bisa menyakiti kalian kapan pun. Bayangkan dampaknya jika aku tidak sengaja melakukannya, dan baru tahu saat aku siuman, ketika berubah wujud lagi.”
Pelataran candi lengang. Apa maksud Ali?
“Itulah yang dirasakan Si Kembar. Menyaksikan puluhan anggota rombongannya tewas, menyaksikan Slon menghancurkan kota-kota, desa-desa. Itu sangat menyakitkan, karena mereka tidak tahu apa yang terjadi saat berubah jadi Slon. Mereka kehilangan teman-teman, membunuh rombongan mereka sendiri…. Hingga mereka memutuskan mengurung diri di ruangan ini, menyalahkan diri tanpa ujung. Aku tahu perasaan itu.”
Aku menatap Ali lamat-lamat. Lantas di mana rumitnya?
“Karena Nggalenggeran tadi bicara tentang wujud Slon yang terkendali. Dia bilang itu satu-satunya cara menembus gel transparan.” Ali berkata pelan, balas menatapku.
Iya, tapi apa hubungannya dengan Ali?
“Kalian sungguh-sungguh ingin pulang, bukan?”
Seli mengangguk. Dia ingin sekali pulang.
“Benda yang mengendalikan Slon adalah sarung tangan ini.” Ali mengangkat tangannya, di sana memang tidak terlihat apapun, tapi ada sarung tangan terpasang, “Dua sarung tangan yang kukenakan. Satu milik Ngglanggeran, satu lagi milik Ngglanggeram. Tebakanku tidak akan meleset, inilah benda yang dulu dicuri oleh Si Tanpa Mahkota. Tapi dia tidak bisa menggunakannya, benda ini hanya bisa dipakai oleh manusia yang bisa berubah wujud. Aku bisa memakainya. Ngglanggeran bisa, Ngglanggeram juga bisa. Si Tanpa Mahkota tidak bisa, dia lantas meninggalkannya begitu saja di Kota Zaramaraz ribuan tahun lalu.”
“Apa maksudmu, Ali?” Aku bertanya cemas—aku sepertinya bisa menangkap maksud Ali.
“Jika kalian ingin pulang, aku akan menyerahkan sarung tangan ini kepada Si Kembar. Ini memang milik mereka. Saat mereka berubah wujud menjadi Slon, dengan sarung tangan ini, perubahan mereka akan terkendali. Itulah maksud Ngglanggeram tadi. Slon bisa membawa terbang kapsul perak ILY ke lorong di atas sana. Tapi aku tidak akan bisa ikut pulang ke kota kita.”
Astaga?
“Aku sudah tahu takdir hidupku, Ra. Aku sudah tahu siapa leluhurku. Mereka dari Klan Aldebaran. Dan aku bukan keturunan biasa, aku memiliki kode genetik paling langka, paling rumit di Klan itu. Bisa berubah jadi monster. Cepat atau lambat, aku akan seperti Si Kembar. Semakin lama, kekuatan berubahku semakin kuat, dan semakin tidak terkendali. Mereka berubah dipicu oleh siklus malam hari, aku berubah dipicu oleh rasa marah. Hanya soal waktu, aku akan menjadi monster mengerikan seperti mereka. Itu bisa membahayakan siapapun jika aku tinggal di atas sana, aku bisa menghancurkan satu kota sendirian…. Aku… akan… tinggal di ruangan ini! Kalian bisa pulang.”
“ALI!” Seli reflek menggeleng kencang. Keberatan.
“Tidak ada yang tinggal di sini, Ali.” Aku juga ikut menggeleng, “Kita pergi bersama-sama, kita juga pulang bersama-sama. Tidak ada yang memisahkan.”
Ali tersenyum, menatapku dan Seli bergantian.
“Aku tidak bisa pulang, Raib, Seli. Tanyakan ke ILY, dia bisa menganalisis situasi dengan rasional, itu kelebihannya. Bagaimana menurutmu ILY?”
Kapsul perak yang mendesing di sebelah kami terdiam.
“Bagaimana menurutmu, ILY?” Ali bertanya sekali lagi.
Aku dan Seli ikut menatap ILY.
“Aku minta maaf, Raib, Seli. Tapi Ali benar. Jika sarung tangan itu memang milik Slon. Maka Ali tidak bisa pulang tanpa sarung tangan. Dia harus tinggal di ruangan ini. Terlalu berbahaya membiarkan Ali pulang tanpa pengendali perubahannya. Av, Miss Selena, juga akan memutuskan hal yang sama.”
Seli menggeleng kencang-kencang. 
Aku terdiam. Astaga. Kenapa urusan ini jadi rumit sekali? Aku menatap wajah Ali yang justeru tersenyum.
Lihatlah, Si Biang Kerok itu, yang rambutnya berantakan, jarang mandi, yang selalu mengajakku bertengkar di sekolahan, yang selalu menggampangkan masalah, balas menatap kami dengan tatapan yang tulus sekali, “Tidak apa, Ra. Yang penting kamu dan Seli bisa pulang.”
“Tidak boleh, Ali! Kamu tidak bisa tinggal di ruangan ini selamanya!” Aku berseru.
Ali menatapku, “Titip salam untuk orang tuaku. Aku selalu mencintai mereka.”


0 komentar:

Posting Komentar