Selasa, 31 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 42 : Mesin ATM Partai
--------------------------------------
SESEORANG itu tersenyum lebar. “Kau Thomas?”
Aku mengangguk, ragu-ragu menerima juluran tangannya. Aku tidak mengenalinya. Dia mengenakan jas lembayung yang baik, sepatu mengilat, wajah bersih, dan postur yang baik.
“Oke, Erik, aku sudah bertemu dengan Thomas. Iya, kau betul, di depan pintu ruangan auditorium.” Orang itu sambil berjabat tangan ramah, masih memegang telepon genggam, terlihat sedikit repot. “Tenang saja, akan aku atur pertemuannya. Nanti kita kontak-kontaklah lagi. Oh iya, terima kasih banyak untuk garansi bank tender proyek terakhir, mereka tidak banyak tanya lagi dengan jaminan dari bank tempatmu bekerja. Nanti aku transfer segera persenannya. Apa? Oh, itu mudah, tenang saja, semua beres. Oke? Oke, Bos, selamat ber-squash lagi. Sore.”
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kau datang sendirian?” Dia mengangkat kepalanya lebih baik, memasukkan telepon genggam. 
Aku menunjuk Rudi di sebelah. Rudi demi sopan santun menjulurkan tangan, berkenalan.
“Cocok sekali kau memakainya?” Orang itu tertawa pelan, basa-basi.
“Cocok?” Rudi melipat dahi.
“Jas yang kaukenakan.” Orang itu tertawa lagi. “Kau sudah mirip dengan petinggi partai lainnya.”
Rudi tidak berkomentar, hanya mengangguk.
“Kita bicara di ruangan, boleh? Di sini berisik sekali.”
“Aku harus bertemu dengan....”
“Tentu saja aku tahu kau hendak bertemu dengan siapa, Thomas. Erik sudah memberitahuku.” Orang itu memotong, dengan gaya bicara bersahabat, seperti sudah kenal lama, atau sebaliknya, gaya bicara penuh jebakan, seperti ada banyak kepentingan dalam setiap intonasi kalimat. “Tetapi sekarang dia sedang ada di kursi deretan depan, tidak bisa meninggalkan pidato penting.”
Aku menelan ludah, hendak menggeleng. Jauh-jauh aku datang ke Denpasar, lari dari kejaran pasukan khusus, aku tidak mau bertemu dengan ajudan, staf, atau apalah dari putra mahkota, siapa pun orang di depanku.
“Sebenarnya ini pengeculian khusus, Thomas. Kau terlambat dua jam dari jadwal. Kalau saja Erik tidak membantu banyak proyek-proyek terakhir kami, aku tidak punya waktu menemuimu. Tenang saja, kalau memang apa yang hendak kausampaikan memang berharga, kau akan menemuinya, aku bisa mengaturnya. Kita bicara ringan dulu di ruangan lain, tempat yang lebih rileks. Ngopi-ngopi. Oke?”
Aku mengeluh dalam hati. Orang di depanku ini, siapa pun dia, sepenting apa pun posisinya di partai, berkata benar. Aku tidak bisa mendikte pertemuan, aku terlambat, jadi harus mengikuti prosedur mereka. Baik, aku mengangguk setelah berpikir beberapa detik. Orang itu tersenyum, menunjuk lorong di hotel, balas mengangguk, melangkah santai, memimpin di depan.
Kami tiba di ruangan 4x6 meter, persis di belakang ruangan auditorium. Hingar-bingar konvensi langsung padam saat pintu ditutup. Sistem kedap suara ruangan ini berjalan baik. Dua sofa mewah melintang di tengah, beberapa meja kerja dengan layar komputer terbaik, lemari es, mini bar, dan pendingin udara yang disetel maksimal, dingin. Ruangan itu kosong, hanya kami bertiga---sepertinya semua anggota partai, staf, dan panitia sedang berada di ruangan auditorium, mendengarkan pidato pembukaan konvensi.
“Percaya atau tidak, ini ruang tunggu ketua partai kami beberapa menit lalu sebelum pidato sekaligus membuka konvensi.” Orang itu tertawa. “Kau duduk di sana, Thomas. Silakan merasakan bekas duduknya. Hangat? Siapa tahu bisa ketularan menjadi orang penting.”
Aku tidak mengerti selera humor orang di depanku---selera humor orang-orang politik, tapi demi sopan santun aku ikut tertawa. Rudi tidak, dia duduk tanpa banyak ekspresi, menatap sekitar.
“Omong omong, kau tidak tertarik menjadi anggota partai kami, Thomas?” Dia duduk di sofa satunya. “Kami membutuhkan banyak sekali orang-orang potensial.”
Aku menggeleng. “Aku sepertinya tidak berbakat.”
“Ayolah, kau tidak perlu bakat apa pun untuk menjadi politikus, Thom. Siapa pun bisa, bahkan tanpa ijazah formal, itu bisa diatur, kau hanya perlu kemauan besar, sisanya bisa dipelajari.” Dia menyilangkan kakinya. “Kau pengusaha?”
Aku menggeleng lagi. “Aku konsultan keuangan.”
“Oh iya, tadi Erik juga sudah bilang. Nah, kira-kira, apa yang bisa ditawarkan seorang konsultan keuangan ternama untuk partai kami?” Dia langsung ke topik pembicaraan.
Aku menghela napas perlahan, melirik pergelangan tangan, pukul 16.30, kurang enam belas jam lagi besok hari Senin, pukul 08.00 saat perkantoran dan bank-bank kembali dibuka. Kurang dari beberapa jam lagi saat anggota komite stabilitas sistem keuangan berkumpul, membahas nasib Bank Semesta. Aku sepertinya harus merelakan tiga puluh menit atau lebih bersama orang yang sama sekali tidak kukenal ini, membahas kemungkinan intervensi penyelamatan Bank Semesta. Ibu Menteri itu tidak akan pernah mau melanggar prinsip-prinsipnya, hanya ini satu-satunya yang tersisa.
Aku menatap wajah orang di depanku lamat-lamat.
“Ayo, Thom. Katakan saja, apa yang bisa kauberikan untuk partai kami. Nah, nanti kita lihat apa yang bisa kami berikan sebagai imbalannya.” Dia balas menatapku tersenyum. 
Baiklah. Sepertinya aku memang harus bicara dulu dengan level lebih rendah, sebelum bicara kepada pengambil keputusan. Mereka sepertinya punya prosedur, sama dengan ribuan prosedur di perusahaan atau lembaga keuangan. Maka meluncurlah negosiasi itu.
Bisa dikatakan, setiap hari aku bertemu dengan banyak orang. Rapat, presentasi, seminar, memberikan pernyataan, wawancara, apa saja. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga pertemuan di kota-kota besar dunia, membahas begitu banyak ragam topik pembicaraan. Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan karakter unik seperti orang di depanku. Bicara dengan simbol-simbol, pilihan kata, idiom-idiom yang digunakan dalam negosiasi kotor. Orang di depanku begitu santai, tertawa terkendali, sekali-dua melontar gurauan, bahkan tidak segan berbagi informasi yang dimilikinya.
“Realistis saja, Thom.” Dia mengangkat bahunya, kami masih basa-basi membicarakan hal lain. “Semua partai membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan orang. Konvensi ini misalnya? Jika ada dua ribu kader yang datang, kau hitung saja akomodasi dua malam, transportasi udara, taksi, dan biaya-biaya lain per orangnya, kalikan dua ribu. Siapa yang akan menyediakan? Partai bukan perusahaan, partai bukan mesin uang. Apakah kader-kader sukarela menyumbang tanpa berharap imbalan? Ayolah, kalau mereka memang bersedia membangun bangsa ini dengan tulus, berbagi dengan banyak orang, kau bisa melakukannya tanpa perlu repot-repot menjadi anggota partai.
“Belum lagi dana kampanye, dana operasional partai, jumlahnya ratusan miliar setiap tahun, bahkan bisa menyentuh triliun saat tahun pemilihan. Semua partai butuh uang. Siapa yang menyumbang? Anggota partai? Mereka tidak akan pernah bersedia menyumbang jika tidak mendapatkan sesuatu. Kekuasaan, misalnya. Posisi, akses, jaringan, atau perlindungan. Termasuk individu atau perusahaan yang bukan anggota, mereka yang sekadar partisan partai tetapi ikut mendukung, mereka menuntut sesuatu. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini. Bahkan di level pengurus paling rendah, kumpul-kumpul rapat sambil mengopi dan kudapan, siapa yang akan membayar uang kopi dan kue? Kau tidak perlu partai jika kau bersedia mengeluarkan uang sendiri, punya idealisme membicarakan kemajuan bangsa, dan membangun sekitar, bukan?”
Aku menghela napas samar. Rudi di sebelahku juga menghela napas. Kami anggota klub petarung. Kami tidak pernah menemukan seseorang yang begitu terus terang dengan negosiasi seperti ini. Ini seperti pertarungan terbuka, tanpa ditutup-tutupi.
“Berapa banyak yang bisa disediakan pemilik rekening Bank Semesta?” Dia akhirnya bertanya setelah beberapa kalimat basa-basi lagi, seperti sedang bertanya harga beras di Pasar Induk.
Aku menyebut angka yang dikonfirmasi Ram sebelumnya dalam rapat dengan pemilik rekening besar. “Tetapi itu tidak otomatis tersedia. Akan ada banyak mekanisme keuangan. Kita tidak bisa menarik uang sekaligus saat pengumuman penyelamatan. Tidak semua jenis rekening dijamin. Mereka tidak bisa ikut. Kita juga harus melakukan rekayasa penarikan, memecahnya menjadi bilangan kecil, melakukan....”
Dia melambaikan tangan, memotong, “Itu semua bisa diatur, bukan?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, tidak masalah. Kau tahu, Thom. Kami nih selama ini sudah terbiasa jadi makelar.” Tertawa, dia sudah asyik loncat lagi membahas hal lain. “Penetapan anggaran, alokasi anggaran, tender, siapa yang menang, semua ada mekanismenya. Sudah terbiasalah dengan proses yang kaubilang itu. Proyek A, di lokasi A, mulai dari kenapa harus ada proyek A, alokasi, siapa yang akan menggarapnya, semua ada mekanismenya. Semua tahu sama tahu. Toh, persenan itu sebagian juga akan mengalir ke partai melalui sumbangan kader, bukan? Ada banyak mesin ATM di kader-kader partai. Oh iya, kau mau jadi bupati atau gubernur, Thom?”
Aku tertawa hambar, menggeleng, sambil melirik pergelangan tangan, hampir pukul 17.00. Pembukaan konvensi nyaris usai, urusan ini semakin kapiran, bagaimana aku bisa bertemu dengan putra mahkota jika aku masih terjebak di sini. Bicara melantur ke mana-mana seperti sedang asyik nongkrong di kafe. 
“Nah, kalau kau punya uang, itu bisa diatur. Kau tinggal setor berapa miliar untuk partai, sisanya kami yang urus. Itu juga makelar, bukan? Ada mekanismenya. Ada tendernya. Jadi jangan heran, walaupun kau gagal, andaikata bertahun-tahun kemudian keluarga kau terjerat kasus hukum misalnya, partai yang pernah mendukungmu tentu tahu diri melakukan balas budi.”
Aku sekali lagi menggeleng, berkali-kali sejak tadi berusaha mengembalikan jalur pembicaraan ke soal penyelamatan Bank Semesta. 
Lima belas menit lagi berlalu sia-sia.
“Oh ya? Menarik sekali? Bagaimana melakukannya?” 
Aku menelan ludah. Menyumpahi diri sendiri, kenapa pula aku kelepasan membahas tentang cara lain yang lebih modern mengumpulkan uang partai dengan cepat. Situasi cemas, karena jarum jam terus bergerak, sementara orang di depanku tidak menunjukkan kabar apakah aku bisa bertemu dengan putra mahkota membuatku jadi terperangkap dalam topik pembicaraannya.
“Coba kaujelaskan, Thom? Ayolah, kau konsultan keuangan.” Dia tertawa.
Aku menggeleng. “Bagaimana pertemuan dengan....“
“Itu gampang diatur, Thom.”
“Mereka sudah hampir selesai.”
“Tentu saja mereka sudah hampir selesai. Rombongan harus kembali ke Jakarta malam ini juga, pesawat carteran kami menunggu di bandara. Ayolah, jelaskan padaku.”
“Aku harus bertemu dengannya, membicarakan tentang Bank Semesta.” Aku kali ini mencoba lebih tegas, mengusap dahi---berkeringat meski pendingin bekerja maksimal.
“Kau sudah membicarakan Bank Semesta padaku, Thom. Itu sudah lebih dari cukup. Bicara denganku atau dengannya sama saja. Aku mesin ATM paling hebat di partai ini. Ayolah, jelaskan tentang IPO tadi? Aku tidak secanggih kau soal keuangan, kau pasti amat menguasainya, Thom.” Dia begitu santai membujuk, seperti sedang bicara dengan teman akrab.
Aku menelan ludah, baiklah, paling hanya butuh waktu lima menit lagi.
Itu mudah. Aku mulai menjelaskan, ada banyak perusahaan milik negara, atau dikenal dengan istilah BUMN yang dikuasai seratus persen oleh pemerintah. Maka tawarkan saja beberapa BUMN yang sehat ke pasar modal, misalnya jual 30% kepemilikan kepada publik, Initial Public Offering, penawaran saham perdana. Nilainya menakjubkan, katakanlah sepuluh miliar saham dijual seharga seribu rupiah, itu totalnya sepuluh triliun. Dalam mekanisme tawar-menawar saham modern hari ini, persis hari pertama saham itu dijual, lazimnya akan segera naik 20 hingga 40%, apalagi jika sekuritas yang menjamin IPO tersebut sengaja memasang harga semurah mungkin agar laku. Seribu perak dijual pagi ini, pukul dua belas nanti siang sudah diburu oleh pemodal asing diharga 1.400. Dengan sedikit trik, penjatahan 30% saham publik tadi bisa diberikan pada individu-individu tertentu, maka sekejap jika dia menguasai 10% saja, keuntungan dari transaksi itu adalah 400 miliar. Satu kali tepuk saja.
“Astaga? Itu besar sekali, Thom? Itu bahkan cukup untuk dana kampanye pemilihan presiden sekalipun.” Orang di depanku tertarik.
Aku mengangguk. “Dan akan lebih besar lagi jika sekuritas bisa menurunkan harga perdana serendah mungkin. Semakin banyak pengamat ribut, semakin bagus posisi saham itu.”
“Tetapi bagaimana kau bisa mengalokasikan saham itu kepada individu tertentu? Bukankah ada prosedur pembagian yang adil untuk seluruh calon investor?”
Aku tertawa, menggeleng. “Seharusnya kalian yang lebih tahu. Orang-orang pemerintahan, itu perusahaan pemerintah. Jika itu perusahaan pribadi, maka terserah pemiliknya mengalokasikan.”
“Tetapi kau tetap butuh uang untuk membeli 10% saham dengan harga seribu sebelum dijual 1.400 di bursa saham, bukan?”
Aku menggeleng. “Itu bisa diatur, mekanisme pinjaman dana atau apalah. Yang bersangkutan bahkan tidak perlu sepeser pun uang, cukup namanya saja yang terpasang. Transaksi berjalan, selisih 400 perak dikali jumlah saham alokasi. Dia tinggal ditransfer. Hanya saja, semua itu teoretis, jika ada yang benar-benar mampu mengendalikan regulator pasar modal dan berniat jahat. Lazimnya regulator pasar modal selalu tegas dalam urusan ini.”
“Bukan main,” dia tertawa, semakin bersahabat, “sepertinya kami harus merekrut konsultan keuangan sepertimu dalam struktur partai, Thom. Kau pasti punya ide lebih canggih, bukan?” 
"Tidak banyak."
"Ayolah, satu ide lagi, Thom."
Aku terdiam. 
"Kalian juga bisa membuat proyek raksasa. KTP misalnya, elit politik bisa mendadak punya ide agar KTP seluruh Indonesia dibuat secara online, elektronik. Canggih. Buat anggarannya 6 trilyun, misalnya. Separuh dibagi-bagikan, separuh lagi baru untuk proyeknya. Kemas proyek KTP ini seolah hebat, tapi sebenarnya hanya untuk bagi-bagi uang partai politik."
"Astaga! Itu keren sekali, Thomas." --aku benar-benar tidak menyangka, beberapa tahun kemudian mereka mengusulkan proyek KTP, itu semua bermula dari kalimatku yang sembarang saja.
Aku menghela napas untuk kesekian kali, melirik pergelangan tangan untuk kesekian kali juga. Sudah pukul 17.30. Acara konvensi sudah benar-benar selesai.
“Baik. Terima kasih banyak atas percakapan hebat ini, Thom.” Dia berdiri.
Hei? Lantas bagaimana dengan pertemuanku?
“Kau hendak kembali ke Jakarta malam ini juga, bukan? Besok kembali bekerja dengan strategi-strategi keuangan lain, bukan?”
Hei, aku benar-benar jengkel sekarang, waktuku terbuang sia-sia melayani dia bicara.
“Nah, kau mau menumpang bersama kami, Thom?” Orang itu lebih dulu bicara lagi sebelum aku berseru marah. Kalimat yang menahan ekspresi muka dan gerakan tanganku.
“Menumpang?” aku bertanya balik.
“Iya. Ada beberapa kursi kosong di pesawat carteran. Bukan, itu bukan pesawat kenegaraan, mereka naik pesawat lain. Jika kau mau, kau bisa bergabung, Thom. Apa kubilang tadi? Soal bertemu putra mahkota itu mudah. Sepanjang kau bisa meyakinkanku, sepanjang pembicaraan tadi menjanjikan, semua bisa diurus. Kau tahu, aku memberikan apa saja untuk partai ini. Akulah mesin ATM paling sibuk. Dan dalam struktur partai modern, orang yang paling banyak menyetorkan uang, paling giat mencari uang untuk partainya, dia bahkan bisa berdiri di posisi paling tinggi, tidak peduli berapa usiamu, tidak peduli apakah kau sebelumnya dikenal atau tidak. Nah, kau mau menumpang pesawat kami? Dia pasti senang berkenalan dengan orang sepertimu.”
Aku terdiam, astaga? Menumpang pesawat mereka?
“Ayo, Thom, kita harus bergegas. Kau tidak mau ketinggalan rombongan ke bandara, bukan?” Dia tertawa, menepuk pundakku, sudah berjalan lebih dulu.
***
Itu benar-benar di luar dugaanku. Beberapa menit lalu aku masih cemas memikirkan kemungkinan bertemu dengan putra mahkota, negosiasi penyelamatan Bank Semesta, sekarang aku bahkan sekaligus memperoleh solusi kembali ke Jakarta dengan aman.
Tidak ada pembicaraan lagi di atas pesawat. Orang itu mengajakku berkeliling, berkenalan dengan banyak orang penting. Tertawa, menepuk-nepuk bahuku, menyanjungku sebagai konsultan keuangan yang baik. “Kita selama ini terlalu sibuk merekrut pengacara, bah. Sudah seharusnya kita juga merekrut profesi lain.” Salah satu dari mereka bergurau, terbahak. Aku lebih banyak diam, mengangguk sehalus mungkin. Rudi memutuskan duduk di kursinya, menolak sopan. Hanya dua menit aku bicara dengan putra mahkota. Dia lelah, hendak tidur. Orang itu sekali lagi menepuk bahuku. “Nah, Thom, silakan beristirahat juga. Kita lihat nanti apa yang bisa dilakukan.”
Pesawat mendarat di bandara yang berbeda, tanpa puluhan polisi menunggu di lobi kedatangan. Lagi pula, tidak akan ada anggota pasukan khusus yang terlalu bodoh memeriksa rombongan kami. Aku dan Rudi memutuskan menumpang taksi, menggeleng atas tawaran terakhir orang itu. Pukul 22.00, tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Semua urusan sudah tuntas. Opini tentang penyelamatan Bank Semesta sudah buncah disebut pengamat dan wartawan di berbagai media massa. Pertemuan dengan petinggi bank sentral dan lembaga penjamin simpanan sudah kulakukan. Audiensi dengan menteri sekaligus ketua komite stabilitas sistem keuangan sudah terjadi, bahkan pion terakhir, putra mahkota, sudah kuletakkan di atas papan permainan. Saat ini, di salah satu ruangan besar kementerian, seluruh anggota komite pastilah sedang panas berdiskusi mencari jawaban atas pertanyaan simpel itu: Apakah Bank Semesta akan diselamatkan?
Taksi melaju cepat menuju hotel. Au memutuskan menginap di tempat yang aman. Rudi tidak banyak bicara. Dia meluruskan kaki. Aku membuka telepon genggam, teringat Julia beberapa jam lalu mengirimkan e-mail berisi informasi tentang Bank Semesta. Mungkin bermanfaat, mungkin tidak. Layar telepon genggamku membuka file itu beberapa detik kemudian, yang membuatku tersedak seketika.
Ini gila! Ini tidak mudah dipercaya.

Senin, 30 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 41 : Konvensi Partai Pemenang
------------------------------------------------
Lembayung. Sejauh mata memandang terbentang warna lembayung. Umbul-umbul, spanduk, bendera, bahkan tiga papan reklame yang menjual pasta gigi, sampo, dan makanan ringan di perempatan jalan ditutup sementara dengan foto penguasa partai bernuansa lembayung. 
Ruang konvensi ramai oleh orang-orang dengan pakaian berwarna lembayung.
“Kita terlihat berbeda sekali di sini, Thom.” Rudi mengusap peluh di leher.
Aku tidak menjawab celetukan Rudi.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kita seperti tamu tidak diundang datang ke pesta perkawinan. Sialnya, ditambah dengan dress code yang keliru.” Rudi masih asyik memperhatikan kesibukan.
“Sebentar, aku punya ide yang lebih baik,” kali ini aku menjawab. Aku menoleh ke kiri-kanan sejak taksi memasuki lobi depan hotel arena konvensi. Kami berjalan melintasi lorong depan hotel yang disesaki peserta konvensi. Mataku mencari sesuatu.
“Nah, itu dia.” Aku melangkah cepat.
Rudi tidak bertanya banyak bergegas mengikuti.
Kami tiba di lapak yang menjual pernak-pernik partai. Aku tidak perlu memilih dua kali, mengambil ukuran yang terlihat paling pas. Rudi menyengir. Dia ragu-ragu ikut meraih salah satu jas berwarna lembayung yang tergantung rapi di hanger pajangan.
“Ayolah, aku yang traktir.” Aku tertawa melihat tampang masam Rudi yang baru mengerti ideku.
Aku melepas mantel besar, melempar topi longgar, mengenakan jas lembayung yang kupilih. Ukurannya cocok, pas di badan. Bertanya pada penjualnya, tidak menawar, kubayar dua jas langsung.
“Lihat, kau sekarang tidak ada bedanya dengan petinggi partai yang hilir- mudik.” Aku menyengir melihat Rudi yang sedikit tidak nyaman dengan kostum barunya. “Anggota dewan juga, Bos? Daerah pemilihan mana?”
Rudi kali ini ikut tertawa, melambaikan tangannya. 
Ini perubahan yang kontras. Tiga jam lalu kami masih berkelahi di dalam lift sempit, menghajar enam anggota pasukan khusus. Dua setengah jam lalu kami masih di Jakarta, kabur dari serbuan belasan polisi di bandara dengan menyamar menjadi tahanan transfer. Setengah jam lalu, bahkan kami masih nekat loncat dari pesawat yang bergerak di runaway. Lima detik terakhir, ajaib, kami sudah berubah menjadi salah satu peserta konvensi partai besar di Denpasar. Kami menepuk-nepuk jas baru dengan bau khasnya.
“Bagaimana kau tahu ada yang menjual jas mereka di sini?” Rudi bertanya.
Kami melangkah menuju ruangan besar konvensi.
“Tentu saja dijual. Ada dua ribu peserta konvensi. Orang-orang politik sedang bergaya. Kau bisa menjual apa saja kepada mereka,” aku menjawab santai. “Menurut perhitunganku, tidak jauh dari sini, bahkan ada meja atau lapak yang menjual jamu kuat, dengan sales wanita cantik.”
“Jamu kuat?”
“Ya. Apalagi? Rapat besar berlangsung tiga hari dua malam. Mereka butuh stamina, bukan? Kau pikir mereka sepertimu yang bertugas sepanjang siang, dua puluh empat jam, tapi malamnya masih kuat bertinju memukuli lawan di klub petarung. Itu doping, entah apa pun gunanya.” 
Rudi ber-oh pelan.
Aku menyengir, tidak berniat membahas lebih lanjut, mengeluarkan telepon genggam dari saku. 
Kami persis berada di depan pintu ruangan auditorium. Penjaga meja depan menanyakan ID Card saat melangkah masuk. Kami tidak punya. Aku harus menelepon Erik, makelar pertemuan ini. Sementara Rudi asyik menonton, melalui pintu besar yang terbuka lebar, petinggi partai sedang pidato berapi-api nun jauh di atas panggung sana.
Dua kali nada panggil.
“Thomas? Astaga, kau di mana sekarang?” Erik langsung berseru.
“Di Denpasar, di mana lagi?” aku balas berseru. Suara pidato yang disambut teriakan “Merdeka!” berkali-kali oleh ribuan peserta memekakkan telinga. “Aku sudah di lokasi konvensi, di sini berisik sekali, aku harus menemui siapa, Erik? Mereka meminta kartu peserta. Atau aku langsung ke podium? Bilang mencari dia?”
“Justru itu, Thomas. Astaga!” Erik di seberang sana berseru untuk kedua kalinya, suaranya terdengar sedikit jengkel, setengah putus asa. “Urusan ini kacau- balau, Thom. Kau ke mana saja, hah? Tiga jam aku berusaha meneleponmu, tidak ada nada sambung sama sekali.”
“Aku di pesawat, Erik. Telepon dimatikan. Ada apa?” aku berseru, menebak arah pembicaraan.
“Pertemuan kau dimajukan dua jam lalu, Thomas.”
“Apa kau bilang?” 
“Pertemuan kau dimajukan, Thom. Dua jam lalu. Mereka meneleponku, bilang dia sibuk. Dia hanya punya sedikit waktu di sela konvensi. Setelah pembukaan yang rasa-rasanya sedang berlangsung di sana, bukan, dia harus segera kembali ke Jakarta, jadi hanya bisa menerima audiensi sebelum itu.”
Aku mendengus mendengar kabar buruk dari Erik. “Kau tidak sedang bergurau, bukan?”
“Astaga, Thom. Aku harus menggunakan seluruh akses dan jaringanku untuk meminta waktunya. Bagaimana mungkin aku bergurau dalam situasi menyebalkan seperti ini.”
“Tapi kenapa kau tidak segera bilang kalau pertemuan itu dimajukan?” aku berseru jengkel.
“Aku sudah berusaha bilang, Thom. Tiga jam aku meneleponmu seperti orang gila. Teleponmu mati.” Erik tidak kalah kencang berteriak, jengkel. “Mereka berkali-kali, berkali-kali meneleponku sejak dua jam lalu. Bertanya apakah kau jadi bertemu atau tidak. Mereka punya jadwal lain. Ada banyak orang yang ingin bertemu dia, bukan kau saja donatur partai. Ini membuat reputasiku rusak, Thom. Mereka pikir aku main-main. Kau ke mana saja, hah? Bahkan pesan dariku tidak ada reply?”
“Aku di pesawat, Erik, bukankah sudah kubilang. Telepon harus dimatikan,” aku menjawab ketus, mengembuskan napas. Urusan ini benar-benar jadi kapiran. Siapa pula yang akan menerima telepon jika di belakang ada pasukan bersenjata mengejar. Lagi pula, dengan situasi di bandara yang rumit, mana sempat aku memeriksa telepon genggam, membaca pesan dari Erik.
“Jangan-jangan kau baru tiba di Denpasar?” Erik bertanya.
“Iya, penerbangan barusan. Baru lima menit di arena konvensi.”
“Astaga, Thomas. Kenapa kau tidak berangkat dari tadi pagi? Atau segera setelah aku mendapatkan jadwalnya? Bukankah kau sendiri yang bilang pertemuan itu superpenting? Kau gila, baru tiba di lokasi konvensi lima menit sebelum jadwal. Mereka sibuk, orang-orang politik, amat fleksibel dengan waktu. Terserah mereka membatalkan atau memajukan jadwal pertemuan. Kau seharusnya tahu itu, Thomas.” Erik sepertinya memukul sesuatu di kamar apartemennya, tidak percaya kalau aku datang begitu tergesa-gesa ke Denpasar.
Aku menyumpahi Erik dalam hati. Dengan semua rusuh, bagaimanalah aku bisa datang lebih cepat? Dia tidak mengalami sendiri diberondong belasan senapan semiotomatis dari dermaga yacht.
Pidato petinggi partai di podium semakin hebat. Dia sedang buncah membahas tentang visi kebangsaan, cita-cita partai yang segaris lurus dengan cita-cita pendiri negara. Peserta konvensi semakin sering meneriakkan kata “Merdeka!” Setiap akhir kalimat yang berpidato tampaknya. Mungkin mereka ini lebih sering berteriak “Merdeka!” dibanding pahlawan nasional yang dulu berperang langsung siang-malam melawan penjajah Belanda.
“Sekarang bagaimana?” Aku berusaha terkendali, menatap kursi paling depan. Putra mahkota pasti ada di sana, duduk bersama petinggi partai dan pejabat pemerintah berkuasa. “Aku sudah telanjur di tempat konvensi, Erik. Kau harus membujuk mereka menjadwal ulang, meminta waktu, atau bagaimanalah. Aku hanya butuh lima belas menit, apa susahnya meminta waktu lima belas menit?”
“Aku tidak tahu....“
“Kau harus membantu, Erik,” aku memotong.
“Aku sudah membantu, Thom.”
“Tidak, sepanjang pertemuan itu belum terjadi, kau sama sekali belum membantuku, Erik.” Suaraku mengancam.
Erik terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Dia tahu maksud intonasi kalimatku. “Baik, Thom. Baiklah. Kau memang bedebah. Kalau saja kau tidak memiliki data-data kasus lama milikku, sudah dari tadi aku sendiri yang justru melaporkan lokasimu sekarang kepada polisi. Berikan aku waktu lima belas menit, aku akan menghubungi mereka. Kita lihat apa yang bisa dilakukan.”
Aku menyeringai, menutup telepon. 
Sial, urusan ini kenapa jadi begini.
“Kau pernah melihat konvensi partai seperti ini?” Rudi menyikutku, mengabaikan ekspresi wajahku yang terlipat. “Bukan main, dengar, mereka sedang berikrar menjadi partai paling bersih.”
“Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya katakan tidak pada korupsi?” Yang pidato di atas podium sedang membakar massanya, bertanya lantang.
“Tidak!” Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepalkan tinju ke udara.
“Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara mau bersama-sama dengan saya, sekali lagi katakan tidak pada korupsi, menyuap, menyogok, dan perbuatan hina lainnya?”
“Tidak!” Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.
Aku mengeluarkan puh, mengabaikan hingar-bingar konvensi, termasuk mengabaikan Rudi yang geleng-geleng menatap ke dalam auditorium. Kepalaku sedang berpikir, sia-sia semua urusan jika aku gagal bertemu dengan putra mahkota. Menekan phone book, aku harus segera menelepon Kadek. Tiga jam aku tidak tahu kabar mereka, jangan-jangan sudah terjadi hal buruk seperti jadwal pertemuanku yang berantakan.
Teleponku lebih dulu bergetar sebelum aku menekan nama Kadek. Julia meneleponku.
“Kau di mana, Thomas?” Julia langsung bertanya dengan nada cemas.
Aku mengeluh dalam hati, sepertinya semua orang selalu bertanya hal itu padaku sekarang. Aku menjawab pendek, “Di Denpasar.”
“Oh, kau sudah bertemu dengannya?”
“Belum. Sedang diusahakan.”
“Aku baru saja mengirimkan e-mail penting, Thom. Kau harus membacanya.”
“Iya, akan aku lihat.” 
“Kau baik-baik saja, Thom?” Suara Julia terdengar cemas lagi.
“Aku baik-baik saja.”
“Oh, syukurlah. Suara kau barusan tidak terdengar mantap seperti biasanya, Thom.”
Bagaimana akan mantap, dengan kemungkinan pertemuan yang gagal. 
“Kau buka file yang kulampirkan dalam e-mail, Thom. Itu data penting Bank Semesta, bagian riset review mingguan kami menerima data itu dari lembaga riset dan intelijen keuangan ternama di Singapura. Menarik sekali, Thom. Kau harus baca segera.”
“Aku akan segera memeriksanya, Julia.”
“Kau baik-baik saja, Thom?”
“Aku baik-baik saja, Julia!” aku berseru kesal. “Kau sudah mirip seorang mama yang cerewet mencemaskan anak remajanya pulang kemalaman. Atau seorang gadis yang mencemaskan kekasihnya pergi ke medan perang.”
“Oh, syukurlah. Aku akan menelepon kau jika ada kemajuan baru lagi. Hati-hati, Thomas. Jaga diri baik-baik.” Julia dengan wajah memerah di seberang sana menutup telepon. 
Aku mengembuskan napas, mencari nama Kadek lagi.
“Kau pernah melihat yang beginian, Thom? Aku baru kali ini melihat langsung konvensi partai. Bukan main.” Rudi menyikutku, menunjuk ruangan auditorium dengan hidungnya. “Mereka sekarang berikrar menjadi partai yang baik.” 
“Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang santun, beretika, dan terhormat?” Yang pidato di atas podium kembali membakar massanya, bertanya lantang.
“Bisa!” Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepalkan tinju ke udara.
“Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara bisa menjadi kader partai yang membanggakan, yang tidak memfitnah, bicara sembarangan, selalu santun, beretika, dan terhormat?”
“Bisa!” Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan tinju ke udara.
Aku untuk kedua kalinya mengeluarkan suara puh, mengabaikan geleng-geleng kepala Rudi---apalagi hingar-bingar teriakan anggota konvensi di dalam auditorium. Aku sudah menekan nomor telepon satelit milik Kadek, setidaknya memastikan mereka baik-baik saja di kapal.
“Selamat sore, Tommy.” Itu suara Opa, terdengar khas, tenang dan menyenangkan.
“Sore, Opa.” Aku mengembuskan napas lega.
“Kadek sedang menyiapkan makan malam. Dia sibuk mengaduk masakan di kuali. Dia menyuruhku mengangkat telepon. Terlalu sekali pekerjamu ini, menyuruh-nyuruhku, tadi dia bahkan tega menyuruh orang tua ini mengiris bawang, cabai.” Opa terkekeh.
Aku ikut tertawa pelan. Selalu menjadi selingan efektif mendengar suara Opa, bahkan dalam situasi seperti ini.
“Semua baik-baik saja, Tommy. Kau tidak perlu cemas. Om Liem yang mengendalikan kemudi kapal. Dia masih terampil, ditemani Maggie, karyawanmu. Kami jauh dari daratan, berputar pelan di Kepulauan Seribu. Boleh jadi kami akan menuju Singapura sore ini. Tidak akan ada yang peduli dengan kapal yacht di sana, ada banyak yang lain, akhir pekan.” Opa, seperti biasa, menjawab kekhawatiranku sebelum kujawab.
Aku menutup telepon setelah beberapa kalimat basa-basi. 
Aku menghela napas, setidaknya satu kecemasanku berkurang. Aku kembali menatap ruangan konvensi. Petinggi partai itu sepertinya sudah tiba di penghujung pidatonya. Rudi masih asyik menonton.
Saat itulah, saat aku masih menunggu telepon dari Erik tentang jadwal ulang pertemuanku dengan putra mahkota, seseorang itu mendekat. Dia tersenyum lebar, menjulurkan tangan.

Minggu, 29 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 40 : Air di Dalam Mulut
----------------------------------------
GERIMIS terus membungkus waduk. Aroma masakan Tante Liem di dapur tercium hingga kamar. Selalu begitu, setiap kali tahu aku datang ke rumah peristirahatan, Tante Liem memaksakan diri ikut datang, selalu memasakkan makanan yang enak-enak, selalu ingin menebus masa-masa hilang itu. Aku tidak keberatan, sepanjang Om Liem tidak ada. Sore ini, aku mengabaikan betapa lezatnya aroma masakan Tante Liem. Otakku sempurna tertuju pada cerita Opa, tidak sabaran menunggu kalimat berikutnya, seperti pencinta cerbung sedang menunggu episode baru besok pagi.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kau tahu, Tommy,” Opa melanjutkan cerita setelah menghela napas panjang menatap kaca jendela berembun, “bagi pengikut animisme---iya, tentu saja Mata Picak adalah salah satu pengikut animisme, penyembah kekuatan alam, dia bahkan pengikut nomor wahid---pertanda alam besar selalu menjadi kesempatan hebat. Hutan gelap, kuburan meranggas, gua-gua berkelelawar, kelenteng rapuh, itu tidak apa-apanya dibanding banjir besar Sungai Kuning. Ribuan ternak hilang, puluhan ribu sawah terendam, rumah-rumah terseret bah, dan ratusan orang hanyut, tewas. Itu tragedi besar. Dan itulah kesempatan besar bagi Mata Picak melakukan pemujaan, memberikan sesembahan. Maka saat orang sedang susah oleh perang saudara, ditambah-tambah banjir, dia justru memutuskan menggelar pengorbanan. Mata Picak membutuhkan empat orang usia anak-anak untuk dilempar ke air bah Sungai Kuning.
“Rusuhlah perkampungan. Pagi-pagi sekali enam centeng, murid Mata Picak mendatangi rumah-rumah penduduk, mencari anak-anak dan remaja yang sesuai. Mereka menari-nari sepanjang jalan, tidak peduli hujan. Mereka berteriak-teriak, memukul-mukul badan dengan benda pisau, menunjukkan kalau mereka kebal, tertawa-tawa. Dan berjalan paling depan, dengan tubuh kurus tinggi bagai jerengkong, terus menggeram membaca mantra, mata putihnya berputar-putar, adalah Mata Picak. Matanya jelalatan mencari korban. Penduduk rebah jimpah, mereka masuk rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sayangnya itu percuma, Mata Picak justru ingin berkunjung.”
“Itu tidak cocok, terlalu lemah. Tidak cocok.” Mata Picak menggeleng-geleng. Dia dan centengnya sedang berada di rumah besar, dengan beberapa keluarga tinggal bersama. Ada enam-tujuh anak kecil di sana, beserta orang dewasa yang sekarang meringkuk ketakutan.
“Ini juga tidak cocok, terlalu gendut.” Mata Picak mendengus marah, kecewa.
“Yang berdiri di belakang, tarik dia ke depan. Aku ingin melihatnya dengan lebih jelas.”
Dua centeng menarik anak yang dimaksud, menendang orangtuanya yang hendak melindungi. Anak kecil itu hendak berontak, tetapi rasa takut telanjur menyergap. Dia gemetar saat dibanting duduk di depan Mata Picak.
“Dongakkan kepala!” Mata Picak berseru lantang.
Bocah itu tetap tertunduk, menangis ketakutan, tenaganya hilang oleh rasa takut---juga belasan penghuni rumah yang berkumpul, satu-dua mati-matian menggigit bibir karena ngeri.
“Mendongak kataku,” Mata Picak menggeram. 
Kepala bocah itu bergerak mendongak tanpa disentuh siapa pun.
“Haa… menarik sekali. Ini baru pilihan yang tepat.” Mata Picak awas memeriksa si bocah. Mata putihnya berputar-putar mengerikan.
“Jangan, Tuan. Jangan ambil anak saya.” Demi mendengar seruan Mata Picak, Ibu si bocah sudah loncat, bersimpuh satu meter dari kaki Mata Picak. “Ampuni keluarga kami.” Dia sungguh amat gentar dengan Mata Picak dan centengnya, siapalah yang berani melawan, tapi kekuatan kasih sayang seorang Ibu memberikannya sedikit keberanian.
“Haa… ini benar-benar pilihan yang tepat. Bawa dia.” Mata Picak tidak peduli.
“Jangan, Tuan. Kasihanilah kami.” Ibu itu beringsut, panik dan takut menjadi satu.
“Baa!” Mata Picak tiba-tiba menoleh ke arah Ibu itu---persis seperti kalian sedang bermain cilukba. “Kau pikir tangismu membuatku kasihan, orang bisu?”
Centeng Mata Picak terkekeh melihat apa yang terjadi. Tangis Ibu itu tersumpal. Dia telah bisu seketika.
“Asyik, bukan? Asyik sekali jadi bisu, bukan?” Mata Picak tertawa. “Ayo menangis lagi kalau bisa.”
Centeng Mata Picak semakin tergelak, satu-dua memukul-mukul badan sendiri.
“Bawa yang satu ini!” Mata Picak memberi perintah.
“Jangan, Tuan. Jangan. Kasihanilah kami. Dia anak satu-satunya.” Kali ini Ayah si bocah yang lompat hendak memeluk kaki Mata Picak. 
“Anak tunggal? Oh, itu lebih bagus lagi.” Mata Picak tertawa.
“Aku mohon, Tuan.” Ayah si bocah menangis, sejak tadi rasa takutnya sudah di ubun-ubun, satu-satunya yang ada di kepalanya adalah memohon. “Apa saja, Tuan. Tuan boleh bisukan istriku, Tuan boleh butakan aku, tidak mengapa. Tapi jangan ambil anak kami. Kasihanilah kami, Tuan.”
“Dia menangis. Oh, lucu sekali melihat pria dewasa menangis. Lihat, lihat, dia menyeka hidungnya yang beringus. Lucu sekali ini.” Mata Picak terpingkal, tawa merendahkan. Enam centengnya lagi-lagi ikut tertawa. Meski hujan terus turun, udara dingin mengungkung perkampungan, ruangan itu terasa sesak melihat begitu berkuasanya Mata Picak. Tidak ada yang bisa melawannya. Tidak ada.
Ayah si bocah, di tengah putus asanya, di tengah ujung akal sehatnya, berderap berlarian masuk kamar, meraih tombak berburu babi miliknya. 
“Mati lah kau orang jahat. Mati lah kau.” Dia berusaha menombak Mata Picak.
“Cilukba!” Mata Picak terkekeh, bukannya menghindar, kepalanya malah melongok ke arah Ayah si bocah, seperti anak kecil yang sedang menemukan temannya dalam permainan petak umpat.
Tombak itu jatuh berkelontang. Ayah si bocah roboh tanpa disentuh. Badannya kejang-kejang. Dan seolah sedang beranjangsana ke taman bunga, melihat warna-warni kembang dihinggap kumbang, Mata Picak melambaikan tangannya tidak peduli. Dia sudah santai melangkah menuju pintu keluar. Enam centengnya mengikuti, sambil menggendong anak yang akan dikorbankan, menyisakan tangisan pilu, takut, dan marah. Semua bercampur jadi satu dalam keluarga besar itu.
***
Kamarku lengang, Opa diam sejenak, mengusap kepala berubannya.
“Semua cerita itu seperti tidak masuk akal, bukan? Seperti legenda tua hantu Cina saja.” Opa menelan ludah, menatapku.
Aku mengangguk, ikut meneguk ludah.
“Tetapi di dunia ini, bahkan ada yang lebih tidak masuk akal dari cerita itu, Tommy.” Opa menatapku dengan tatapan bijak dan penuh kasih sayang. “Lebih jahat, lebih zalim, dan betapa tidak beruntungnya, karena tidak seorang pun berani melawannya. Di dunia ini banyak orang melupakan sifat baik di hatinya. Kau, misalnya, papa dan mamamu mati terbakar bersama rumah dan harta benda milik kita. Anak-anak itu, mereka dilemparkan ke dalam Sungai Kuning yang justru sedang mengamuk. Airnya menjilat-jilat bibir sungai, bergemuruh mengerikan.”
“Di belahan bumi lain, ribuan orang ditembaki saat mencoba melawan, dibariskan, dibantai. Di negara lain, ribuan tentara membunuh warga sipil musuhnya. Di kota lain, seseorang tega menukar vaksin obat untuk wabah penyakit, agar dia lebih kaya sejengkal. Itu bahkan membunuh puluhan ribu orang secara serentak yang seharusnya sembuh. Juga orang yang tega membangun gedung seadanya, mengambil biaya yang bukan haknya, gedung itu roboh, ratusan mati dalam satu detik. Semua itu membuat ilmu hitam, dukun teluh seperti Mata Picak, seperti tidak ada apa-apanya. Dan yang membuat sesak, seolah tidak ada yang bisa melawannya, tidak ada yang berani mencegah.” 
Aku mengangguk, menunduk---Opa suka sekali menyebut-nyebut Papa dan Mama dalam cerita seperti ini. Aku tahu, Opa sedang mengajariku untuk mengenang kejadian itu dengan baik, tapi rasa-rasanya aku selalu sedih mengingatnya.
“Nah, kenapa cerita ini horor sekali bagi orang tua ini, Tommy?” Opa tersenyum, memegang lenganku, kembali ke ceritanya.
“Kau tahu? Kenapa?”
Aku menggeleng.
“Karena akulah salah satu dari empat korban yang disiapkan Mata Picak.”
“Tidak mungkin!” aku berseru.
“Mungkin saja.” Opa tertawa kecil.
“Opa bergurau!”
“Aku jelas sedang serius sekali, Tommy.”
“Bagaimana? Bagaimana?”
“Bagaimana aku selamat?” Opa meneruskan pertanyaanku. “Itu adalah salah satu keajaiban dalam hidupku, Tommy. Nah, biar aku lanjutkan ceritanya agar kau tahu.”
Kali ini dadaku hendak meletus oleh antusiasme. Belum pernah aku setertarik ini mendengar cerita-cerita lama Opa. Aroma lezat masakan Tante Liem seperti luruh ke lantai, terabaikan. Opa salah satu dari anak itu, bagaimana mungkin?
“Nah, setelah empat korban terpilih, Mata Picak menyuruh centengnya memasukkan kami ke dalam empat guci tembikar berukuran besar. Usiaku saat itu sepantaranmu, anak-anak remaja. Tidak terbayangkan badanku disirami air kembang yang baunya busuk, dimasukkan paksa ke dalam guci, lantas guci ditutup, disegel dengan mantra. Orangtuaku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang bisa melawan? Setidaknya mereka tidak dibuat bisu, buta, atau dibunuh oleh Mata Picak. 
“Tapi ada rahasia kecil yang tidak diketahui banyak orang. Saat tahu Mata Picak dan centengnya sedang berkeliling kampung mencari korban, beberapa saat sebelum mereka tiba di rumah, ibuku menyeretku ke dapur. Dia menyuruhku menyimpan air di dalam mulut. Aku ingat sekali wajah Ibu saat itu, ‘Jangan banyak tanya, Nak. Kau ingat pesan Ibu, jangan ditelan, jangan dikeluarkan. Apa pun yang terjadi, biarkan air itu ada di dalam mulutmu. Paham?’ Ibu mencengkeram bahuku. Aku mengangguk, gemetaran oleh rasa takut. Aku belum mengerti kenapa Ibu menyuruhku menyimpan air dalam rongga mulut, sementara Mata Picak bisa saja membunuh orang tanpa menyentuhnya.
“Mata Picak tiba di rumah kami. Dia menyelidiki wajahku, mengerikan sekali menatap cekung tanpa bola mata di wajahnya dengan jarak sedekat itu, belum lagi mata putihnya terus memeriksa, ludahnya terpercik saat bicara, busuk sekali. Aku hampir saja menelan air yang tersimpan di mulutku. Tapi aku meneguhkan diri, mencengkeram lutut, mengingat pesan Ibu. Dua menit memeriksa, Mata Picak memilihku. Orangtuaku hanya bisa tersungkur tanpa bisa protes, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Salah satu centeng menggendongku kasar, membawa pergi.
“Kami berempat dimandikan air kembang. Mata Picak membaca mantra. Murid-muridnya berjingkrak senang. Aku hampir mengeluarkan air di mulutku saat dipaksa masuk ke dalam guci, kepalaku ditekan kasar. Mereka menutup guci dengan anyaman rotan. Mata Picak menyegelnya dengan mantra. Tiga anak lain langsung tertidur setelah mantra dibacakan. Dan ternyata itulah gunanya pesan Ibu. Konsentrasiku mati-matian menjaga air di dalam mulut agar tidak tertelan atau keluar, membuatku tidak bisa dimantra. Aku tetap terjaga.
“Ritual sesembahan Sungai Kuning itu dilakukan malam hari, saat purnama berada di titik paling tinggi. Murid-murid Mata Picak terus saja sibuk dengan teriakan, tarian, dan semua prosesi. Hujan deras membungkus perkampungan, banjir semakin menggila, Sungai Kuning meluap-luap. Suaranya terdengar hingga perkampungan. Aku bisa mendengarnya dari dalam guci. Ketika Mata Picak melolong panjang, muridnya berbaris membawa empat guci itu ke bibir sungai, dan dengan satu teriakan perintah dari Mata Picak, empat guci dilemparkan, berdebum langsung ke dalam air deras. Air sungai meledak empat kali menyambut guci-guci yang dilemparkan.”
Opa tersenyum melihat wajah terperangahku.
“Tentu saja aku selamat, Tommy. Aku selamat…. Aku tidak pernah berada di dalam guci itu saat dilemparkan. Aku sudah melarikan diri saat Mata Picak dan murid-muridnya sedang ekstase membaca mantra. Mereka dibutakan oleh kesaktian, merasa tidak akan ada lagi yang bisa melawannya. Mereka meninggalkan empat guci tanpa penjagaan. Aku dengan mudah keluar dari guci, memasukkan batu ke dalam guci agar beratnya tetap sama, lantas berlarian pulang mencari Ibu, menangis, mengeluarkan air dari mulutku di telapak tangan Ibu. Ibu balas memelukku erat-erat. 
“Aku berhasil kabur, sesembahan Mata Picak telah gagal. Hanya ada tiga anak yang dikorbankan. Dan seperti kebanyakan ritual animisme, gagalnya sesembahan bisa berakibat fatal, apalagi itu sesembahan puncak. Sejak malam itu, kesaktian Mata Picak luntur bagai kain berwarna berubah menjadi pias. Seminggu kemudian, saat seseorang ternyata berhasil melemparkan batu ke halaman rumahnya penuh kebencian, batu itu tidak berbalik arah seperti biasanya. Hanya soal waktu seluruh penduduk kampung berani melawan. Perang saudara terus terjadi bertahun-tahun kemudian hingga aku tumbuh dewasa. Juga banjir besar dari Sungai Kuning. Tetapi cerita Mata Picak dan murid-muridnya sudah lama tutup buku setahun setelah kejadian itu. Mereka dilemparkan ke dalam Sungai Kuning dengan kaki dan tangan terikat. Itu memang tidak pernah setimpal dengan kejahatannya. Tetapi mau dikata apa, hukuman maksimal di muka bumi ini hanyalah kematian.”
Opa bersedekap, tersenyum simpul mengakhiri seluruh cerita.
Aku akhirnya menghela napas yang sejak tadi tanpa sadar tertahan. 
“Bagaimana? Seram, bukan?” Opa bertanya.
Aku mengangguk.
“Nah, mari kita lupakan cerita ini dengan masakan lezat tantemu. Ayo, Tommy.”
***
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong di belakang pesawat.
“Bagaimana lututmu, sakit?” Aku menyikut Rudi.
“Kau gila, Thomas, kau seharusnya bilang sejak awal kita harus loncat dari pesawat!” Rudi tertatih, berlarian meninggalkan mobil pengait bagasi.
Aku ikut tertawa, terus berlari menuju jalan raya, menyetop taksi yang melintas. Tentu saja kami harus loncat dari pesawat. Itu satu-satunya cara kabur dari pasukan yang bersiap menembak mati di tempat.
Panjang landasan pacu bandara internasional setidaknya 2.400 meter, kurang dari itu, maka tidak akan cukup bagi pesawat berbadan besar untuk mendarat atau lepas landas. Bangunan bandara lazimnya selalu berada di tengah landasan pacu sepanjang dua kilometer lebih itu. Jika sebuah pesawat akan mendarat, pesawat itu akan menyentuh runaway di posisi paling ujung, terus berusaha mengerem, memperlambat laju, sebelum tiba di ujung landasan satunya. Kemudian pesawat itu berputar arah, kembali ke bangunan bandara, parkir menurunkan penumpang.
Berapa jarak ujung terjauh landasan pacu bandara dari bangunan terminal? Hampir satu kilometer. Kalian tidak akan bisa melihat detail pesawat di ujung sana dengan jarak sejauh itu. Begitu pula pasukan khusus yang sedang geram, siaga total menunggu di bangunan terminal. Bagaimana aku bisa kabur dari mereka? Sama seperti strategi Opa, keluar dari guci besar pada saat yang tepat. 
Lima menit kami bersitegang di kabin pilot sebelum pesawat mendarat. Rudi mengeluarkan tanda pengenalnya, menunjukkan pistolnya, membual tentang situasi darurat. Rudi menjelaskan ada satu gerombolan teroris yang mengaku pasukan khusus menunggu kami, dan bersiap membunuh tahanan penting, saksi pembunuhan---itu aku. Pilot ragu-ragu, mengonfirmasi ke menara pengawas. Tentu saja itu benar, ada pasukan khusus yang sedang mengambil alih bandara, hendak menangkap penjahat yang ada di pesawat. Rudi membentak, bilang mereka yang berada di daratlah yang sebenarnya penjahat. Pilot ragu-ragu, tetapi karena mereka mengenali Rudi pernah mengawal memindahkan tahanan transfer di penerbangan sebelumnya, pilot tidak punya pilihan, memutuskan membantu salah satu pihak. 
Persis di ujung landasan, pesawat bergerak amat lambat, pilot sengaja bergerak lebih pelan dan lebih menepi di runaway. Roda pesawat hampir menyentuh lapangan rumput. Pramugari cekatan membuka pintu samping. Lima belas detik, urusan selesai. Kalian pernah loncat dari bus yang masih bergerak tidak sabaran menurunkan penumpang? Atau kereta api? Nah, loncat dari pesawat yang bergerak tidak ada bedanya, hanya lebih tinggi, itu saja. Aku dan Rudi adalah anggota klub petarung, cukup terlatih untuk urusan loncat dari ketinggian dua meter. Kami langsung berguling di rumput. Pramugari segera menutup pintu. Pilot terus melajukan pesawat menuju terminal. Enam pasukan khusus itu persis seperti centeng Mata Picak, tidak pernah menyadari kalau pesawat berjalan terlalu lambat saat memutar di ujung landasan, dan perintah komandannya untuk menahan pesawat lepas landas selama penyergapan, justru membuat banyak pesawat parkir di sisi runaway, menghalangi pemandangan, melindungi aksi kami dari kejauhan, tidak terlihat.
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong.
Setelah bergulingan menghantam rumput di luar runaway, aku dan Rudi berlari dengan kaki masih terasa sakit, pincang, mengambil mobil pengait bagasi yang terparkir tanpa petugas, menabrakkannya ke pagar bandara, lantas menyelinap keluar dari pagar kawat yang bengkok. 
Persis saat komandan pasukan itu memukul kursi kosong dengan teriakan marah---seperti Mata Picak yang berteriak marah melihat sesembahannya gagal, aku dan Rudi sudah loncat ke dalam taksi, melesat menuju tempat pertemuanku dengan putra mahkota, menemui seseorang yang menjadi kunci paling penting penyelamatan Bank Semesta. Satu telepon darinya, bisa mengubah seluruh keputusan rapat komite nanti malam. Dalam urusan ini, dia dan partai politiknya bahkan lebih sakti dibanding Mata Picak beserta centeng-centengnya.

Sabtu, 28 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 39 : Sihir dan Pelarian
-------------------------------------
“DUA hari ini, kapan terakhir kali kau tidur?” Rudi menoleh.
“Lupa,” aku menjawab sambil melemaskan punggung, “kenapa?”
Rudi tertawa pelan, setengah prihatin, setengahnya lagi sungguhan tertawa. “Setidaknya tampilanmu masih lebih baik dari buronan yang pernah kutangkap, Thom. Mantel kebesaran, topi longgar dan kacamata tebal, wajah lelah…. Lima belas menit lagi kita mendarat.”
Aku mengangguk, aku justru terbangun oleh suara lembut pramugari dari speaker yang bilang pesawat bersiap mendarat, menyebutkan ritual memasang sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi, melipat tatakan meja, dan seterusnya. Penerbangan dua jam Jakarta-Denpasar. Setengah jam setelah perutku menyentuh makanan yang dihidangkan pramugari, aku punya waktu untuk tidur, bersitirahat. Rudi sudah melepas borgol di tanganku sejak kami duduk di kursi paling belakang pesawat, santai dia lemparkan borgol yang dibungkus kotak nasi ke dalam troli sampah.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Kami berada di ketinggian 30.000 kaki. Tidak ada yang bisa dilakukan petinggi kepolisian itu sekarang, tidak mungkin dia menyuruh anak buahnya mengejar hingga ke dalam pesawat. Dan tidak ada juga yang bisa kulakukan sekarang di dalam kabin pesawat, termasuk menelepon Maggie dan Julia menanyakan perkembangan situasi, atau menghubungi Kadek, menanyakan kabar terakhir Opa dan Om Liem di atas kapal. Jadi lebih baik aku tiduran, sambil memikirkan jalan keluar masalah baru yang segera akan kami hadapi. Dalam situasi seperti ini, aku lupa kapan persisnya terakhir kali makan, mandi, dan tidur.
Aku menatap sejenak gumpalan awan di luar jendela pesawat. Mengembuskan napas, baiklah, tidur sejenak membuatku jauh lebih segar. Sejak mengempaskan pantat di kursi, aku terus memikirkan solusi masalah, tidak ada pilihan, ini rencana terbaik. Aku melepas sabuk pengaman, berdiri.
“Kau mau ke mana? Ke Toilet?” Rudi mendongak.
Aku menggeleng. “Kita harus bersiap.”
Rudi melipat dahi, bersiap untuk apa? Pesawat bahkan belum mengeluarkan roda.
“Mereka pasti telah menunggu kita, Rud,” aku berkata pelan. Salah satu pramugari yang berdiri di tengah memberikan kode agar aku duduk kembali, menunjuk lampu safety belt yang menyala. “Walaupun di manifest pesawat tidak ada namaku, mereka tidak akan mengambil risiko, Rud. Aku berani bertaruh, satu pasukan khusus sudah mengamankan bandara saat ini. Mantan bosmu itu sedang mengamuk. Dia akan melakukan apa saja untuk menangkapku, juga menangkapmu, anak buahnya yang berkhianat. Kau seharusnya tahu persis cara kerja pasukan itu. Kau dulu bagian dari mereka, bukan.” 
Rudi menatapku sejenak, menyeringai. “Kau benar. Boleh jadi mereka sudah menunggu di Bandara Denpasar. Tapi bukankah itu justru menarik.”
Aku balas menatap Rudi, tidak mengerti.
“Yeah, aku sudah gatal bertinju kembali, Kawan. Nah, kau urus satu atau dua dari mereka, aku urus sisanya. Sepakat? Pembagian yang cukup adil, bukan?”
Aku tertawa kecil. “Kau gila, Rud. Ini bukan kotak lift dengan perimeter sempit dan terbatas. Kita tidak akan punya kesempatan di dalam kabin pesawat dengan ratusan penumpang. Belum lagi mereka bisa membabi buta melepas tembakan. Aku punya rencana lebih baik.”
“Maaf, Bapak-Bapak, pesawat akan segera mendarat, semua penumpang harus duduk dengan sabuk pengaman terpasang.” Pramugari dengan wajah sedikit sebal mendekat, menyela percakapan. Wajah cantiknya terlihat serius---dia jelas sudah sering latihan menghadapi penumpang yang bandel.
“Aku justru harus menemui pilot sekarang.” Aku keluar dari barisan kursi, mendekatinya.
Pramugari itu mundur satu langkah, menoleh kepada Rudi, bertanya dengan tatapan bingung dan takut. Bukankah aku tahanan yang sedang dipindahkan. Kenapa berdiri dengan tangan bebas, bukankah prosedur baku semua tahanan transfer harus diborgol.
Tensi kabin pesawat bagian belakang mulai menanjak. Beberapa penumpang menoleh. Salah satu pramugari senior yang melihat keributan kecil melangkah mendekat.
“Ada masalah apa?”
“Situasi darurat. Kami harus menemui pilot segera,” aku menjawab dengan suara pelan tapi tegas.
“Pesawat sebentar lagi mendarat, Bapak-Bapak. Itu mustahil dilakukan. Semua penumpang harus duduk dengan sabuk pengaman terpasang.” Pramugari senior itu menggeleng, berhitung dengan situasi ganjil selama lima belas tahun dia bertugas.
“Dia benar.” Rudi sudah melepas sabuk pengamannya, akhirnya ikut berdiri meski belum tahu apa yang sedang kurencanakan, menyingkapkan jaket, sengaja memperlihatkan gagang pistol di pinggang. “Ini situasi darurat. Ada kesalahan fatal. Kami harus bertemu pilot sekarang.”
Dan sebelum dua pramugari itu berkata sepatah pun keberatan, di bawah tatapan beberapa penumpang yang ingin tahu, Rudi sudah lebih dulu melangkah cepat ke depan. 
Aku bergegas menyusul langkah Rudi.
“Sebaiknya kau punya rencana yang hebat, Thom,” Rudi berbisik. “Kita jelas melanggar banyak peraturan penerbangan dengan merangsek kabin pilot saat pendaratan. Dengan begitu kau bukan lagi buronan pribadi petinggi markas besar, tapi naik pangkat jadi teroris dunia. Ada banyak penumpang bule di atas pesawat.” 
Aku tertawa pelan, mengangguk. Ini jelas rencana baik, tidak kalah hebatnya dengan rencana Rudi yang berhasil menyelundupkan aku ke atas pesawat dengan kostum tahanan transfer. Jika gagal, setidaknya, tidak ada penumpang yang akan dibahayakan dalam rencana ini.
***
Gerimis terus membungkus waduk, kaca jendela terlihat buram berembun.
“Namanya Mata Picak, usianya tidak ada yang tahu, boleh jadi baru empat puluh, tapi perawakan dan wajahnya terlihat lebih tua dari itu. Tubuhnya kurus tinggi, seolah sedikit sekali daging membalut tulang belulangnya. Jika dia hanya mengenakan pakaian tipis, terlihat menyeramkan saat berjalan di jalanan kampung, seperti ada kerangka manusia lewat. Kenapa dia dipanggil Mata Picak? Karena matanya rusak parah sebelah, bola matanya busuk, lantas terlepas, menyisakan cekung kosong, dan dia sama sekali tidak merasa perlu menutupinya dengan kain, serbet, atau apalah. Sedangkan satu mata lagi, meski bisa dipergunakan, hampir seluruhnya putih, tanpa bagian berwarna hitam. Bola mata putih yang terus begerak-gerak menyelidik ke segala arah.”
Opa menghela napas pelan, memulai cerita.
Aku menelan ludah. Cerita seperti ini selalu saja lebih seram karena imajinasi pendengarnya.
“Mata Picak awalnya sama dengan penduduk lain. Dia petani di dataran subur Cina. Hidup berkecukupan dan bertetangga baik, meski banyak anak kecil takut melihatnya, segera berlarian masuk rumah saat dia melintas. Atau orang dewasa berbisik-bisik membicarakannya, berusaha mencari tahu kapan matanya busuk sebelah. Atau bagi sekelompok yang lebih berani, mengolok-olok tertawa, berjalan di belakangnya, meniru memasang wajah dengan bola mata rusak satu. Tetapi di luar itu, Mata Picak bagian dari penduduk kampung, tidak lebih, seperti tetangga sebelah rumah.” Opa diam sejenak, mendongak menatap gerimis. 
“Hingga masa-masa sulit tiba. Situasi politik di ibukota mulai rumit, perebutan kekuasaan. Perang saudara meletus di seluruh Cina, ditambah lagi Sungai Kuning meluap. Banjir besar berhari-hari membumihanguskan puluhan ribu hektar tanaman, gagal panen di daratan Cina. Semua orang kesulitan bertahan hidup, termasuk di kampung kami. Dan sejak itulah, di tengah banyak kesulitan, hingar-bingar keributan, perang, Mata Picak mendadak berubah haluan.”
“Awalnya dia hanya mengaku dukun biasa. Kau kehilangan terompah misalnya, atau dompet tempat uang, liontin, benda berharga, maka Mata Picak komat-kamit membaca mantra. Bola matanya yang putih berputar-putar. Ludahnya muncrat. Beberapa kejap, dia berbisik memberitahu di mana barang hilang tersebut. Beres, barang ditemukan. Atau lain waktu kau datang karena sakit demam, punya penyakit menahun dan tidak sembuh-sembuh, atau kesulitan tidur, merasa gelisah, cemas atas banyak hal, Mata Picak menggeram panjang di atas tikar pandan. Tubuh tinggi kurusnya bergetar. Dia mengepalkan tangan, keringat menetes deras di antara asap dupa, sejurus kemudian Mata Picak membuka kepalan tangannya. Entah dari mana datangnya, Mata Picak menyerahkan jimat untuk dipakai. Manjur.”
“Penduduk kampung tidak pernah tahu dari mana Mata Picak memperoleh banyak pengetahuan seperti itu. Dia tidak pernah punya guru, tidak berpendidikan, dan tidak terlihat pintar membaca apalagi menulis. Yang penduduk tahu, semakin hari, ritual dukun Mata Picak semakin menakutkan. Di sudut-sudut hutan gelap dekat lubuk sungai, di kuburan tua yang bertahun-tahun tidak terawat, di kelenteng yang hampir roboh, di mana saja tempat yang justru dijauhi penduduk, Mata Picak sering kali ditemukan sedang menggelar sesaji. Malam-malam gulita, ketika penduduk kampung memilih tidur, dia sedang asyik menceracau kalimat yang tidak dipahami. Tubuh kurus tinggi itu menari, berjingkrak-jingkrak, ludah terpercik ke mana-mana, melolong bersama anjing liar, memukul-mukul badannya seperti gerakan pohon nyiur ditempa badai. Dan setiap kali dia pulang dari ritualnya, Mata Picak bertambah-tambah ilmu hitamnya.
“Jika dulu penduduk kampung merasa terbantu, sekarang situasi berubah buruk. Misalnya, ada yang benci melihat sebuah keluarga, iri dengki melihat kesuksesan orang lain, mereka datang ke Mata Picak. Dengan harga mahal, entah itu dengan bayaran setumpuk uang atau korban sesaji, Mata Picak dengan mudah memutus buhul tali keluarga, tercerai-berai, binasa. Apalagi kalau sekadar menginginkan jabatan dan kekuasaan, mudah saja baginya. Atau ada yang sakit hati, ingin membalas kebenciannya, tinggal datang ke Mata Picak. Dengan mantra yang membuat merinding seluruh tubuh, malam itu juga yang dibenci sudah terbaring kaku di atas ranjang. Membuat geger seluruh kampung. Mulailah Mata Picak dikenal sebagai dukun teluh, pembunuh dengan ilmu hitam. Semakin hari, semakin mengerikan reputasinya. Dia bisa membunuh siapa saja, pejabat, orang biasa, anak-anak, orang tua, pendatang, dengan cara tidak masuk akal sekalipun.
“Celakanya, kesenangan membunuh itu mengalahkan apa pun. Tidak lagi karena permintaan orang lain. Pernah berbulan-bulan dia menghilang, rumahnya sepi dan suram, tidak ada suara lolongan di malam hari, membuat suasana kampung terasa lebih tenteram sejenak. Tetapi saat tiba-tiba Mata Picak kembali, dengan tampilan yang lebih gelap, tubuh semakin kurus, rambut tidak terawat, mata putih yang semakin kelam, malam itu juga beruntun terjadi kematian empat penduduk tanpa sebab. Saat pagi buta, terdengar ratapan pilu yang ditinggalkan, memeluk suami, istri, atau anak yang mati mendadak, Mata Picak justru sedang tertawa gelak di rumahnya, begitu senang, begitu megah, membuat senyap puluhan meter sekitar, gentar, ngeri. Entah ke mana lagi Mata Picak menambah ilmu sesatnya. Sekarang dia bahkan tidak membutuhkan alasan untuk membunuh orang.
“Orang-orang semakin takut padanya. Jangankan mendongak melihat wajahnya, mendengar Mata Picak melintas saja semua segera menyingkir, berebut berlari masuk rumah, menutup pintudan jendela rapat-rapat. Tidak ada yang ingin bernasib sama seperti sekerumunan pemuda yang telanjur asyik duduk di atas kursi bambu panjang beberapa minggu lalu. Mereka tidak menyadari dukun teluh akan lewat. Tertawa-tawa, bergurau satu sama lain, memukul kursi. Mata Picak yang terganggu mendengar suara tawa itu, benar-benar hanya karena terganggu mendengar suara tawa, menyemburkan ludahnya yang berwarna pekat dan busuk ke tanah. Empat pemuda itu gagu dan lumpuh seketika. 
“Hanya sedikit saja penduduk kampung yang bisa berada dekat dengannya. Itu pun karena mereka menganggap Mata Picak guru. Mereka bersedia disuruh-suruh, membantu keperluan sesaji Mata Picak, ikut melaksanakan ritual, berpakaian sama kusamnya, berpenampilan sama seramnya, menjadi centeng Mata Picak, bahkan bersedia mengorbankan apa saja jika diminta. Kejam sekali sebenarnya, bahkan tidak masuk akal, karena itu bisa berarti mengorbankan anak dan istri sendiri.”
Opa diam sejenak, menghela napas. Aku menunggu tidak sabaran.
“Saat perang saudara semakin berlarut-larut, silih berganti pihak berkuasa mengirimkan pasukan untuk menguasai satu sama lain, meski penduduk berkali-kali mengadukan kegilaan Mata Picak, tidak ada penguasa pasukan yang berani menyentuh Mata Picak. Komandannya telanjur takut, prajuritnya apalagi. Pernah ada pasukan yang menyerbu rumah Mata Picak, karena tersinggung salah satu prajurit mereka diteluh, sia-sia, kesaktian Mata Picak tidak bisa dilawan dengan tombak atau pedang. Seluruh prajurit yang menyerbu rumah Mata Picak mati dengan kulit melepuh, bau sangit mengambang di jalanan kampung berjam-jam, bahkan walau sudah memakai penutup mulut, tetap tercium. Dan lebih sadis lagi balasan Mata Picak pada penduduk yang melaporkannya ke kota, mereka diteluh sekeluarga, sekujur tubuh dipenuhi bisul bernanah, meletus busuk hingga penderitanya mati.
“Bertahun-tahun penduduk terkungkung rasa takut. Serbasalah, tidak berani melawan. Mereka tidak bisa pindah dari kampung. Mata Picak mengancam akan meneluh siapa saja yang menghindarinya, coba-coba pergi dari kampung. Termasuk para pendatang yang tidak tahu-menahu, terperangkap dalam aturan main Mata Picak. Dialah penguasa mutlak di sana. Semua orang harus tunduk padanya, atau bersiap menerima kunjungan, bersiap menatap wajahnya dengan satu bola mata hilang, menyisakan cekungan dalam mengerikan. Mata Picak menjadi bayangan hitam yang menyelimuti kampung. Gelap.
“Hingga suatu hari, hujan deras turun tanpa henti, Sungai Kuning meluap, banjir besar kembali merendam dataran luas Cina. Aku ingat sekali hari itu, Tommy. Seperti aku bisa melihat hujan yang sama di luar jendela rumah ini. Menatap waduk, seperti aku bisa menatap air yang merendam seluruh kampung. Itu hari paling seram dalam hidup orang tua ini.”

Jumat, 27 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 38 : Penyergapan Bandara
------------------------------------------
“MAJU! Cepat! Cepat!.” Komandan pasukan khusus anti teroris itu berseru galak.
Empat, lima, tidak sesedikit itu, ada belasan anak buahnya berderap melintasi lobi kedatangan Bandara Denpasar. Mereka berpakaian tempur lengkap, rompi antipeluru, helm tertutup, dan senjata otomatis di tangan. Tatapan mata mereka tajam. Gerakan mereka sigap dan tangkas, membuat penumpang buru-buru loncat menyingkir.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“What’s going on, Mom?” Salah satu bocah bule bertanya sambil menggenggam tangan ibunya, menatap gentar rombongan yang baru datang. 
Bisik-bisik cemas mengambang cepat di langit-langit ruangan.
“Step aside, kid! Step aside!” Lebih dulu jawaban itu yang keluar dari sang komandan, membentak, menyuruh menyingkir kerumunan turis yang belum sadar benar apa yang sedang terjadi.
“Mom?” Bocah bule itu berseru ketakutan, mencengkeram lengan ibunya.
“Please take your child out, Madam. Now!” Tatapan galak, intonasi suara lebih pelan, tapi terdengar jelas tidak bisa ditawar.
“Ada apa? Ada yang bisa kami bantu?” Tergopoh-gopoh dua petugas keamanan bandara mendekat---setelah lebih banyak bingung melihat keributan.
“Situasi daurat. Bandara kami ambil alih selama setengah jam.”
“Situasi darurat?” Petugas keamanan bandara meneguk ludah.
“Kalian akan membantu jika tidak banyak bertanya, duduk rapi menonton. Paham?” Suara komandan terdengar amat mengendalikan, mengatasi teriakan-teriakan ketakutan penumpang di ruangan besar yang satu-dua berbisik jangan-jangan ada ancaman bom.
“Eh?” Dua petugas keamanan saling lirik, berhitung dengan situasi.
“Alfa dua, tango sembilan, pimpin yang lain kosongkan seluruh lobi kedatangan! SEGERA! Saya ingin semua lokasi steril dalam waktu lima menit.” Komandan pasukan menoleh ke belakang. “Astaga, mengapa kalian tetap berdiri di sini, hah? Bengong? Segera menyingkir dari sini!” teriaknya membentak petugas keamanan bandara.
Anggota pasukan khusus menjalankan perintah sang komandan. Cepat sekali mereka mengambil alih situasi, membuat wajah terperangah petugas keamanan bandara seperti ekspresi pramuka siaga---hanya bisa menonton tanpa bicara apa pun. Lima menit yang taktis, lobi kedatangan sudah bersih dari ratusan penumpang dan penjemput. Semua pintu dijaga pasukan bersenjata. Mereka mencegah siapa pun yang mendekat. 
Lengang. Hanya suara desis pendingin udara terdengar.
“Berapa menit lagi pesawat itu akan mendarat?” Komandan melirik pergelangan tangan.
“Lima menit, Komandan!” salah satu anak buah menjawab.
“Semua runaway bersih?”
“Positif, Komandan. Izin mendarat prioritas sudah diberikan menara pengawas. Tidak ada pesawat yang boleh take off atau mendarat setengah jam ke depan selain pesawat target.” 
“Koridor depan? Situasi?” Komandan menoleh ke arah lain.
“Terkendali, Komandan!” anak buah yang lain menjawab kencang.
“Pintu-pintu keluar?”
“Aman, Komandan. Bahkan pintu toilet sudah disegel, tidak ada seekor tokek pun yang bisa kabur melintasinya tanpa diketahui.”
Komandan pasukan melotot. Tapi dalam situasi seperti ini, tidak ada yang berniat menertawakan jawaban selugas (sepolos) itu. Wajah-wajah tegang, jari telunjuk bersiap di pelatuk, kapan saja jika perlu peluru dimuntahkan.
“Baik. Enam orang ikuti aku. Kita akan menjemput langsung tersangka turun dari pesawatnya. Tidak ada kesempatan baginya untuk lolos. Yang lain tetap di posisinya. Berhati-hati, bersiap, informasi dari Jakarta mereka amat licin, berbahaya, bersenjata, dan tidak sungkan membunuh. Kita mendapatkan izin bunuh di tempat jika melawan. Mengerti?”
“Mengerti, Komandan.”
“Maju! Cepat! Cepat!” Komandan sudah balik kanan, berlari kecil menuju pintu kedatangan. 
Separuh anggota pasukan khusus itu melesat menyusul. Gigi mereka bergemeletukan. Langkah sepatu menginjak lantai ruangan terdengar bergema. Atmosfer tempur membuat ruangan dingin terasa pengap. Ini situasi awas. Sudah lama sekali mereka tidak beraksi seserius ini sejak bom Bali terakhir. Padahal baru setengah jam lalu kawat perintah itu datang dari markas besar, perintah menangkap salah satu buruan penting yang melarikan diri ke Denpasar. Tangkap, hidup atau mati.
***
“Apa yang sedang kaukerjakan, Tommy?”
“Membaca.”
“Membaca? Membaca apa?”
“Buku cerita,” aku menjawab pendek, tanpa mengangkat wajah dari halaman buku.
Opa tertawa pelan, beranjak duduk di pinggir ranjang, di sebelahku. Gerimis membungkus waduk, terlihat dari jendela yang berembun. Udara terasa sejuk, menyenangkan. Ini jadwal kunjunganku yang kesekian ke rumah peristirahatan Opa. Seharusnya aku belajar mengemudi boat, sesuai janji Opa, tapi karena hujan turun, sengotot apa pun aku memaksa, Opa tetap membatalkan jadwal---apalagi Tante Liem juga ikut berkunjung. Dia tadi yang paling kencang berteriak melarangku. Kalau sudah menyangkut urusanku, Tante selalu saja paling pencemas. 
“Kau berbeda dengan Papa atau Om Liem waktu remaja seumuranmu, Tommy.” Opa menyengir.
“Berbeda?” Aku menoleh, sedikit mengangkat kepala.
“Iya. Mereka berdua tidak pernah suka membaca buku, apalagi buku cerita.” Opa manggut-manggut. “Seusiamu, mereka berdua lebih suka berjualan di pasar. Menghabiskan waktu luang dengan membawa apa saja yang bisa dijual.”
Aku ber-oh pelan, tidak berkomentar.
“Itu buku tentang apa?” Opa memecah suara gerimis setelah lengang sejenak.
“Tentang teluh jahat, Opa.”
“Teluh?” Dahi Opa terlipat sedikit.
“Iya. Ada janda yang suka membunuh siapa saja yang dibencinya dengan teluh.” Aku mengangkat buku, menunjukkan gambar depannya.
Opa mengangguk-angguk. “Ceritanya seram?”
Aku tertawa. “Tentu saja, Opa.”
Usiaku waktu itu baru genap enam belas. Aku sebenarnya tidak suka dengan buku ini, kucomot sajas dari rak perpustakaan sekolah, kumasukkan ke dalam ransel, sebagai bahan bacaan selama liburan kalau aku lagi bosan. Apalagi selama ini aku selalu senang menghabiskan waktu di rumah peristirahatan Opa. Aku tidak pernah merasa perlu menyentuh buku-buku itu, kecuali sore ini. Sepertinya tidak ada ide yang lebih baik menghabiskan waktu menunggu hujan reda selain membaca buku horor. 
“Seberapa seram?” Opa bertanya lagi.
“Seram sekali, Opa. Seperti sungguhan.” Aku tertawa lagi.
“Ah, tapi tidak akan ada lebih seram dibandingkan pengalamanku sewaktu muda.” Opa melambaikan tangan, memasang wajah santai, menoleh menatap waduk dari jendela kusam.
Aku balas menatap Opa, melupakan sejenak buku di tanganku.
“Sayangnya kau tidak akan berani mendengarnya, Tommy.” Opa terkekeh, melirikku. “Bisa-bisa kau meminta tidur di kamarku malam ini.”
Enak saja. Aku menatap Opa kesal. Kalau Opa sengaja memancingku agar penasaran dengan ceritanya, dia berhasil. Tetapi kalau dia bilang aku akan setakut itu mendengar cerita Opa, dia tidak berhasil, aku bukan anak kecil yang gampang ditakut-takuti.
“Kau mau mendengarnya?” Opa menggoda.
“Puh, paling juga hanya cerita itu-itu saja. Lebih seru bukuku.” Aku pura-pura tidak tertarik, kembali menatap halaman buku di tangan---sudah kebiasaan Opa menipuku dengan prolog cerita berbeda, padahal isinya sama saja seperti kaset rusak yang diputar berkali-kali, tentang masa mudanya, naik perahu nelayan bocor, pergi meninggalkan Cina daratan, terdampar di tanah Jawa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Opa menyengir, menggeleng takzim. “Ini tidak sama, Tommy. Ssst, aku bahkan belum pernah menceritakannya kepada siapa pun, termasuk pada Papa dan Om Liem. Nah, kau mau mendengarnya atau tidak, Tommy, hitung-hitung sebagai pengganti jadwal belajar boat yang batal.”
Aku sudah melempar buku di tanganku. Tentu saja aku mau. Di usiaku yang masih remaja, segala cerita masa muda Opa terdengar sungguhan dan hebat---meski entahlah, dia mengarang atau betulan.
***
“Semua siaga di posisi!” Komandan pasukan berteriak, mengangkat tangannya.
“Siap, Komandan!”
Steady!
Pesawat yang mereka tunggu beberapa detik lalu sudah mendarat halus di runaway. Soft landing. Enam anggota pasukan khusus itu tidak memedulikan suara mesin, baling-baling pesawat yang memekakkan telinga. Mata mereka melotot tajam ke depan, tegang memperhatikan target mereka.
Pesawat itu mulai melaju lambat di runaway sepanjang 2.500 meter. Pilotnya mengerem sesuai prosedur, lantas berputar anggun di ujung lintasan, seribu meter di kejauhan sana, lebih pelan dari biasanya, terlihat agak samar dari posisi pasukan khusus, di antara mobil-mobil pengait pembawa bagasi, kemudian pesawat berbalik arah menuju bangunan bandara, siap parkir di tempat yang disiapkan---bedanya, kali ini bukan petugas ground handling yang memberikan aba-aba dengan bendera, melainkan salah satu pasukan bersenjata.
Pesawat semakin dekat, terlihat semakin besar dan gagah. Dengus napas enam anggota pasukan khusus semakin kencang. Mereka sejak tadi bersiap dengan situasi apa pun, termasuk baku tembak di pelataran parkir bandara. Roda pesawat mendecit pelan, beberapa detik di bawah suara mesin dan baling-baling yang masih memekakkan telinga. Pesawat berhenti sempurna di tempat. Salah satu petugas bergegas mendorong tangga ke badan pesawat. Pintu pesawat terdengar mulai dibuka dari dalam. 
Persis posisi tangga menempel ke badan pesawat, komandan pasukan dengan pistol teracung, gesit naik, melangkahi sekaligus dua-dua anak tangga, disusul dua anggota pasukan khusus dengan senjata otomatis. Tensi situasi meningkat dengan tajam.
Tidak boleh gagal. Komandan pasukan khusus mendesis. Dia ingat sekali, setengah jam lalu X2 meneleponnya langsung dari markas besar Jakarta, kali ini, siapa pun yang mengacaukan penyergapan, membuat target buruan kembali lolos, maka terima saja akibatnya. Itu perintah sekaligus ancaman.
Tidak boleh gagal, dia sendiri yang akan meringkus target. Komandan pasukan khusus anti teroris menarik napas dalam-dalam untuk terakhir kalinya, bersiap.
Pintu pesawat terbuka perlahan-lahan. 
Dua pramugari langsung terlihat, beberapa penumpang berdiri dengan tas, bersiap turun.
“Semua kembali duduk! Tidak boleh ada yang turun. Pesawat kami ambil alih. Semua harap kembali duduk!” Teriakan kencang itu membuat terhenti semua gerakan di dalam pesawat.
Detik-detik penangkapan telah tiba.

Kamis, 26 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 37 : Kamuflase Tahanan
----------------------------------------
“KAU sudah gila, Rudi?” Aku berbisik dengan suara setengah tiang, menatapnya tidak percaya.
Rudi menyeringai. “Tenang saja, Thom. Ini hanya strategi biasa seorang petinju. Pura-pura memberikan bagian tubuhnya yang paling lemah untuk dipukul, agar lawannya justru tidak memukulnya.”
“Kita tidak sedang bertinju, Rudi, tidak ada wasit yang adil dalam pertarungan ini. Bukankah kau sendiri yang bilang di lift, mereka tidak segan membunuh.” Aku berusaha menurunkan intonasi sebal serendah mungkin. Bagaimana aku tidak sebal? Dalam situasi seperti ini, Rudi justru sengaja memarkir mobil patrolinya persis di kerumunan polisi dan beberapa mobil lain.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kau tunggu di sini, Thom. Lima menit aku pasti kembali.” Rudi tidak mendengarkan protesku, tertawa. “Dan kau jangan terlalu menarik perhatian dari luar, meski tidak akan ada yang memeriksa sesama mobil patroli, tingkah berlebihan dapat membuat mereka tertarik mengintip ke dalam.” Rudi membuka pintu, santai melangkah turun.
Aku mengumpat, bergegas menurunkan posisi duduk, berusaha tidak terlalu terlihat.
Rudi sudah asyik menyapa teman-temannya. Satu-dua anggota yang mengenalinya, boleh jadi bekas anak buah, memberi salut dengan anggukan. Rudi membalas dengan anggukan pelan, bilang entahlah satu-dua kalimat, lantas melangkah cepat menuju lobi keberangkatan, kedua tangan di saku jaket.
Aku menghela napas, melirik jam di dashboard mobil. Aku tidak suka situasi seperti ini, ketika tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu, menunggu, dan menunggu. Sejak kejadian menyakitkan masa lalu itu, aku selalu mengambil keputusan, tindakan, aksi, intervensi apa pun namanya untuk menentukan takdirku sendiri. Tidak ada rumus, biarkan mengalir apa adanya, apalagi tergantung pada takdir orang lain, menyerahkan nasib pada orang lain. 
Tiga menit berlalu. Rudi belum kembali.
Aku menyeka keringat di pelipis, menatap lobi keberangkatan dari balik jendela gelap. Beberapa mobil polisi lain tiba, merapat cepat, dua-tiga polisi berlompatan. Panggilan darurat ke seluruh unit petugas itu sepertinya efektif, semua petugas menjawab. Lobi keberangkatan semakin ramai. Aku mengeluh, jika situasinya sudah seperti ini, bagaimana Rudi akan meloloskanku dari mereka?
Dia tidak akan berpikir memberikan seragam pilot padaku, bukan? Lantas menyuruh belasan pramugari mengawal? Itu hanya ada dalam cerita film lawas. Waktu kami hanya sepuluh menit, tidak mudah menyiapkan rencana serumit itu. Rudi bukan pesulap. Ke mana dia akan mencari seragam pilot? Tukang jahit maskapai? Apalagi belasan pramugari, satu pun tidak mudah disuruh menjadi pagar ayu.
Atau Rudi menyuruhku memakai seragam polisi, berpura-pura. Aku menggeleng, itu juga bukan pilihan yang baik. Aku harus menaiki pesawat, tidak akan ada polisi yang terlalu bodoh melihatku dengan seragam duduk rapi di pesawat menuju Bali. Itu amat mencolok perhatian. Dia akan tertarik menyapa, memeriksa. Bahkan kalian tidak pernah melihat polisi berseragam lengkap di atas pesawat, bukan?
Aku mulai tegang, mengepalkan tangan, sudah enam menit berlalu. Ke mana saja Rudi pergi? Pertemuan ini harus terjadi, hanya itu satu-satunya cara memastikan rapat komite nanti malam berjalan sesuai yang kuinginkan. Bagaimana kalau Rudi justru sedang merencanakan sesuatu? Menyerahkanku pada atasannya? Dia jelas-jelas sudah mengetahui lokasi Opa, Om Liem, dan yang lain? Menukar nasib buruknya dengan tangkapan besar, boleh jadi memperoleh kenaikan pangkat. Aku segera mengutuk pikiran jahat itu terlintas di kepalaku. Tidak. Rudi lebih memilih berkelahi hingga mati melawan puluhan polisi di bandara daripada melakukan itu.
Aku mendesah gemas, atau jangan-jangan Rudi menyuruhku masuk ke dalam koper bagasi? Pura-pura mengantar pizza ke pesawat, delivery services? Aku menyeka lagi pelipis, dalam situasi menunggu, tegang, jangankan untuk orang-orang yang malas berpikir, untuk orang sepertiku, tetap saja terpikirkan alternatif kocak dan tidak masuk akal. Aku melirik dahsboard mobil, hampir berseru tertahan, sialan, habis sudah waktuku. Sepuluh menit berlalu sia-sia, pintu boarding pasti telah ditutup. 
Aku kesal, hendak memukul dashboard kencang. Seharusnya aku tidak memercayakan takdir perjalanaku ke Bali pada Rudi. Dia memang teman yang baik, bisa dipercaya, tapi mengurus hal ini, tidak ada yang bisa kaupercayai selain diri sendiri. Seharusnya aku tidak…. Urung, gerakan tanganku tertahan, Rudi, entah kapan datangnya, sudah membuka pintu mobil.
“Kau terlihat tegang sekali, Thomas?” Rudi tertawa santai, menjengkelkan.
Astaga, bagaimana mungkin aku tidak tegang? 
“Pakai ini, Thomas.” Rudi melemparkan sesuatu.
Ini apa? Aku menatap rendah mantel panjang dengan tutup kepala yang mendarat di pangkuanku. Aku disuruh menyamar? Menjadi siapa pula dengan mantel besar, kumuh? Penyihir? Gelandangan?
“Pakai saja, Thomas. Tutupi seluruh seragam pizza-mu dengan mantel itu. Juga tutupi mukamu dengan kacamata hitam besar ini.” Rudi menyengir, melemparkan lagi barang kedua.
Aku menggeleng perlahan, ini sepertinya bukan pilihan yang baik. Menyamar dengan seragam pilot jauh lebih masuk akal---setidaknya lebih keren.
“Dengarkan aku, Thomas.” Kepala Rudi menyeruak ke dalam mobil, menatapku tajam.
“Waktu kita terbatas, akan kujelaskan dengan cepat. Kau pastilah jago urusan statistik, bukan? Tentu saja kau ahlinya berhitung dan angka-angka. Nah, setiap hari, setidaknya ada seribu tindakan kriminal di seluruh negeri. Mulai dari mencuri, pemukulan, perampokan, perkosaaan, dan belasan jenis kejahatan jalanan lainnya. Atas kejadian itu, maka setiap hari, setidaknya ada ratusan penjahat yang ditangkap. Sebagian besar ditangkap dekat dari kejadian perkara. Sebagian lainnya di luar kota, di luar pulau, atau di luar negeri sana, telanjur kabur. Nah, kau mau tahu ada berapa penjahat yang setiap hari harus dibawa pulang dari kota lain? Pulau lain? Ada berapa penjahat yang terpaksa berlalu-lalang menumpang angkutan umum saat dipindahkan?”
Aku menelan ludah, menebak arah penjelasan Rudi.
“Banyak! Kalian, para penumpang sipil, tidak pernah memperhatikan. Bisa saja saat kalian terbang, tertawa-tawa di kabin depan bersama teman, pelesir beserta keluarga, ternyata persis di bagian paling belakang pesawat ada pelaku kejahatan pembunuhan, residivis pemerkosa, atau perampok besar sedang dipindahkan dari satu kota ke kota lain. Tidak tahu, bukan? Karena kami selalu memindahkan penjahat tanpa menarik perhatian siapa pun. Tidak ubahnya seperti penumpang kebanyakan. Kalian tidak akan pernah melihat borgol, pentungan, pistol. Bagaimana akan lihat? Penumpang sipil jelas akan menolak naik pesawat jika tahu ada seorang paedofilia atau pembunuh kelas berat menumpang bersama mereka. Paham? Segera pakai mantel kumuh dan kacamata itu, Thomas, dan ini juga.” 
Rudi melemparkan borgol.
Aku terdiam sejenak, mengangguk, paham situasinya.
“Lihat, ini surat pemindahan kau ke Bali sebagai kriminal besar.” Rudi tertawa, menunjukkan map plastik yang dia bawa bersama mantel. “Perampok, menghabisi seluruh anggota keluarga saat beraksi. Diancam dengan hukuman seumur hidup.”
Aku tidak mendengarkan Rudi yang membaca deskripsi seram di surat pemindahan. Aku sedang beringsut memakai mantel, mengenakan penutup kepala, memasang cepat borgol, lantas menghela napas, selesai.
***
Rudi menarikku kasar keluar dari mobil patroli. Di tengah kekacauan, dua-tiga polisi yang persis berdiri tidak jauh dari kami tertarik, mendekat, bertanya. Rudi menjawab singkat, biasalah, pemindahan kargo. Polisi itu mengangguk. Satu-dua menatap iri, dia bosan bertahun-tahun menjadi polisi lalu lintas.
Rudi menggiringku persis menuju lobi keberangkatan, lebih banyak lagi polisi di sana, ibarat dua ekor kancil hendak menyeberangi sungai, kami persis menuju belasan buaya yang berjemur.
“Terus melangkah seperti seorang pesakitan, Thomas.” Rudi berbisik.
Aku mengumpat dalam hati, memangnya gayaku belum meyakinkan. Terus tertatih, menunduk dalam agar tidak bisa dilihat wajah.
Tiga polisi dengan senjata lengkap menahan kami, hendak memeriksa.
“Penumpang khusus.” Rudi menyerahkan surat dalam amplop plastik.
Salah-satu dari polisi itu menerimanya, membaca sekilas.
“Buka kacamata dan mantelnya.” Dia menyuruh dua temannya.
Aku menghela napas tegang.
“Kau tidak akan melakukannya.” Rudi bergegas berseru galak, tangannya menyuruh menyingkir. “Itu jelas melanggar seluruh prosedur transfer terdakwa.”
“Buka kacamata dan mantelnya!” Polisi bersenjata itu tetap memaksa.
“Astaga!” Rudi membentak dengan suara terkendali, berusaha tidak menarik perhatian, “ada ratusan orang sipil di sekitar kita saat ini. Kau tidak ingin mereka melihat wajah biru dia, lebam habis dipukuli, hah? Kau tidak ingin membuat penduduk sipil tahu apa yang terjadi dengan penumpang khusus ini. Satu-dua dari mereka sempat mengambil foto, merekam video, menaruhnya di internet, aku akan pastikan, bukan hanya karierku yang tamat, tapi seluruh kesatuan kalian.”
Polisi bersenjata itu menelan ludah, terdiam sejenak. Sedikit jerih menatap wajah galak Rudi. Berpikir, jangan-jangan pangkat orang di depannya lebih tinggi daripada seorang petugas escort kriminal.
Aku menahan napas, terus menunduk, membiarkan wajahku tidak terlihat jelas.
“Kami mencari orang, Pak.” Polisi itu akhirnya berkata lebih lunak.
“Aku tidak ada urusan dengan orang yang kalian cari.” Rudi masih terlihat marah.
“Kami harus memastikan siapa pun yang melintas.”
“Kau bisa lihat fotonya di surat transfer. Apa susahnya?” Rudi memotong.
Polisi itu menoleh, menatap dua rekannya. 
Dua rekannya mengangkat bahu, tidak mau berdebat lebih panjang. Polisi itu mengalah, sekali lagi melihat surat pemindahan, melihat foto, mengangguk.
“Silakan lewat, Pak. Maaf telah mengganggu.”
“Terima kasih,” Rudi menjawab pendek, tidak peduli. Dia persis seperti orang marah sungguhan yang mencari tempat pelampiasan, mendorong pinggangku dengan sikutnya, kasar. “Jalan, Bedebah! Terlalu banyak waktu kita terbuang sia-sia.” 
Aku mengaduh kesakitan.
***
“Setiap kali ada penjahat yang dipindahkan, ada bagian khusus di keamanan bandara yang akan menyiapkan surat-menyurat, urusan administrasi, termasuk berkoordinasi dengan maskapai.” Rudi memberikan penjelasan tambahan, lepas dari kerumunan polisi. Kami berjalan cepat menuju ruang boarding.
“Tentu saja ini dokumen milik penjahat lain, Thomas. Aku tidak punya waktu menyiapkan khusus buatmu. Termasuk menyiapkan mantel dan kacamata hitam besar kamuflase.” Rudi tertawa, seperti tahu apa yang hendak kutanyakan, menjawab sebelum aku bertanya. Dia buru-buru memasang wajah galak lagi ketika kami melintasi polisi-polisi lain---yang tidak memeriksa.
“Aku bergegas menuju ruangan itu saat meninggalkanmu tadi. Berdoalah, semoga tidak ada polisi lain yang ke sana sekarang. Atau mereka akan menemukan petugas escort serta penjahat sungguhannya pingsan tumpang tindih di toilet.” Rudi menjawab ringan.
Melewati penjaga pemeriksaan barang bawaan kabin, kami tiba di pintu ruang boarding.
“Tetapi kita sudah terlambat, Rudi.” Aku mengembuskan napas, entahlah, lima menit terakhir, apakah aku terpesona dengan jalan keluar yang dipilih Rudi, apakah aku respek dengannya, karena ternyata jelas aku bisa memercayakan nasibku pada Rudi, atau apakah aku sedang jengkel dengan betapa naifnya Rudi. Lihat, sehebat apa pun strategi dia, ruang tunggu sudah kosong, final call pesawat menuju Bali sudah sejak tadi. Semua rencana bergayanya sia-sia jika aku ditinggal pesawat.
Rudi tertawa, melambaikan tangan. “Tenang, Thomas. Kau lupa, kau penumpang spesialnya. Pesawat itu tidak akan bergerak satu senti pun sebelum kau naik. Ikuti aku, Kawan. Mari kita menuju Bali.”
Itulah yang terjadi tiga menit berikutnya. 
Rudi bicara dengan petugas ground handling, menunjukku. Mereka mengangguk, sudah terbiasa dengan perjalanan istimewa seperti ini. Kami menuruni tangga, ke landasan. Rudi benar, pesawat itu masih gagah di posisinya, pintu belakangnya terbuka dengan sebuah anak tangga terpasang. Seperti menunggu seseorang. Rudi memperlihatkan surat pemindahan kepada dua petugas dan dua pramugari yang juga ikut briefing. Mereka mengangguk, mempersilakan kami naik.
Kursi paling belakang selalu dikosongkan dalam situasi seperti ini. Bahkan dalam kasus amat mendesak, penumpang sipil bisa dibatalkan. Rudi menyuruhku duduk dekat jendela. “Bukan karena ada pemandangannya, itu prosedur, Kawan.” Rudi berbisik, mengedipkan mata.
Aku tidak berkomentar, duduk rapi.
Pintu pesawat ditutup. Pramugari kembali di posisinya masing-masing, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pilot menyerukan persiapan take off. Badan pesawat akhirnya beringsut menuju landasan pacu. Tidak ada satu pun penumpang yang punya ide, keterlambatan sepuluh menit terakhir karena petugas sedang menaikkan penjahat ke atas pesawat. Tidak ada, bahkan saat mereka bolak-balik ke toilet, melintasi barisan kursiku, mereka tidak akan terpikirkan, ada seorang penjahat sedang dikawal, duduk di sana.
Atau boleh jadi, mulai sekarang, saat kalian naik pesawat, kalian akan bertanya-tanya, melirik-lirik, jangan-jangan, di sana, di kursi paling belakang, sedang duduk seorang kriminal. Dan itu jelas bukan aku, pesawat yang kutumpangi sudah melesat cepat membelah awan, menuju pemberhentian berikutnya.