Rabu, 18 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 27 : Sepertiga atau Semua
-------------------------------------------
“PRANG!!”
Guci berusia ratusan tahun---salah satu ornamen sederhana, tapi superantik dan mahal---di ruangan rapat lantai satu Bank Semesta menghantam dinding. Hancur berbeling-beling.
Ruangan besar hening sejenak setelah suara bising yang mengejutkan.
“Kami mau uangnya kembali!” Salah seorang nasabah yang baru saja melempar guci berharga itu---ditilik dari wajah dan bentuk badannya dia pastilah pernah mengikuti dinas kemiliteran---menatapku galak.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Ya, kami mau uangnya kembali.” Nasabah lain berseru menimpali.
“Benar.” Teriakan nasabah lain ikut terdengar, mengangguk-angguk dengan tampang masam.
“Kami juga ingin bertemu dengan Om Liem, sejak tadi malam kami ingin mendengar penjelasan langsung darinya, bukan staf ahli, orang kedua, wakil, atau apalah kalian menyebutnya.” Salah satu nasabah di barisan belakang berseru pelan.
“Iya, kami ingin bertemu Om Liem. Dia harus mengembalikan seluruh uang kami.”
Aku mengembuskan napas jengkel, menggeleng. 
Urusan ini sama saja, di pinggiran pasar induk yang becek dan bau, maupun di ruangan dengan lantai keramik mahal dan bergorden beludru. Baik para pedagang buah dan sayur yang meributkan kembalian, maupun nasabah kelas kakap dengan tabungan miliaran, semua orang bertingkah sama, melupakan kesabaran jika urusannya tentang uang.
“Baik!” aku berseru tegas, berjalan cepat menuju sudut ruangan, kasar menyambar guci antik lain. “Nah, kaulemparkan juga yang ini! Lemparkan semaumu!”
Aku membentak, melotot.
Nasabah setengah baya, berbadan kekar itu terdiam, bingung menatapku.
“PRANG!!” Aku yang lebih dulu melemparkan dua guci mahal itu menghantam dinding cermin dekat proyektor. Suara potongan guci yang hancur beserta serpihan cermin berderai menimpa lantai.
Gumaman puluhan nasabah besar Bank Semesta segera bungkam, mereka sempurna menatap ke arahku.
“Kalian lemparkan semua guci di ruangan ini, kalian rusak semuanya, bahkan gedung besar ini kalian hancurkan, percuma, itu tidak akan mengembalikan uang kalian!” aku berseru, balas menatap wajah-wajah tidak sabaran.
“Sekali Bank Semesta ditutup pemerintah, tidak ada sepeser pun uang nasabah di atas dua miliar akan selamat. Percuma kalian teriak, marah, demo membakar ban di depan Istana, sia-sia, maka berhentilah bertingkah kekanak-kanakan, mari kita bicara baik-baik.”
Ruangan besar kembali senyap.
Aku menahan napas. 
Pertemuan ini sebenarnya berjalan sesuai dugaanku. Persis aku masuk ruangan, mereka sudah berteriak marah, dan lebih marah lagi saat aku mulai bicara tentang kemungkinan Bank Semesta ditutup. Lima menit berlalu, hanya soal waktu salah satu nasabah akan berusaha meninju wajahku, pertemuan menjadi gaduh. Jadi, aku harus bergerak cepat.
Adegan melempar guci tadi sepertinya kurang lugas dan meyakinkan, maka aku mencabut revolver di pinggang. Beberapa nasabah berseru tertahan melihat senjata itu teracung, dua-tiga malah refleks melangkah mundur. Aku tidak peduli, melangkah maju, menyerahkan pistol itu ke tangan nasabah setengah baya berbadan kekar yang berdiri paling dekat.
“Nah, kau tembak saja kepalaku, uangmu tetap tidak akan kembali!” Aku berkata datar dan tajam, memasangkan gagang pistol ke dalam tangannya.
“Ayo, tembak saja!” aku menyuruh, mengarahkan tangan yang memegang pistol ke kepalaku, moncong S&W itu persis di dahiku sekarang.
Wajah-wajah tidak sabaran itu dengan cepat berubah menjadi pias. Nasabah ibu-ibu menutupi wajahnya dengan tas bermerek atau kedua belah telapak tangan, jerih. Satu-dua malah berteriak panik, berseru “jangan” atau “hentikan”.
“Tembak saja!” Aku justru membentak.
Setengah menit senyap.
Dia menggeleng, mengembuskan napas.
Tangannya yang memegang pistol terkulai.
Tatapan galak itu telah luntur. Delapan menit sejak pertemuan dimulai, aku akhirnya menguasai situasi. Ini rekor terlamaku mengendalikan sebuah pertemuan.
“Kami hanya ingin uang itu kembali, Pak Thom.” Nasabah setengah baya berbadan tegap itu berkata pelan. “Saya lama sekali mengumpulkannya, itu uang pensiun saya setelah berpuluh tahun menjadi tentara. Uang sekolah anak-anak yang masih remaja, biaya makan kami, biaya berobat. Pak Thom pastilah tahu, bahkan untuk pensiunan tentara, meski jenderal sekalipun, uang pensiun dari pemerintah tidak memadai.”
Nasabah lain mengangguk---meski tidak bergumam ribut lagi.
“Baik, kalau demikian, kita bisa bicara baik-baik sekarang.” 
Aku memasang kembali revolver ke pinggang, menatap wajah-wajah di sekitarku dengan tatapan pura-pura bersimpati---peduli setan dengan rasa simpatiku, di ruangan ini, banyak sekali nasabah yang tidak masuk akal bisa memiliki deposito puluhan miliar. 
“Nah, seperti yang telah kusampaikan dalam kalimat pembuka pertemuan kita tadi, aku adalah konsultan keuangan profesional. Aku ditunjuk mewakili Om Liem untuk melakukan negosiasi dengan otoritas yang memutuskan apakah Bank Semesta ditutup atau tidak sebelum pukul 08.00 besok pagi Senin.” Aku memasang wajah tegak, menatap seluruh peserta pertemuan.
“Kabar buruknya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, menurut perhitungan serta penilaian profesionalku, Bank Semesta bahkan seharusnya ditutup enam tahun lalu. Titik. Kabar baiknya, urusan ini sudah telanjur rumit dan memiliki implikasi luas, tidak pernah lagi sesederhana enam tahun silam. Lagi pula, sebagai orang yang dibayar pihak bank, aku jelas orang pertama yang menentang penutupan Bank Semesta. Aku akan melakukan apa saja untuk mencegah Bank Semesta pailit.
“Kenapa kita bertemu di sini? Dalam situasi tidak jelas, panik, serta marah? Karena aku butuh bantuan kalian. Apa yang aku butuhkan? Sederhana saja. Kalian jawab pertanyaan ini, dalam situasi darurat, dengan kemungkinan seratus persen uang kalian hilang, apakah kalian akan memilih kehilangan seluruh uang itu atau bersedia mengorbankan sepertiga darinya sebagai biaya penyelamatan?”
Aku diam sejenak, membiarkan puluhan nasabah kelas kakap mencerna kalimatku.
“Kalian kehilangan semua atau sepertiga, pilih yang mana?” Aku mengulang pertanyaan itu setelah mereka saling menoleh, bergumam pelan, mulai mengerti situasinya.
“Tetapi buat apa uang yang sepertiga itu, Pak Thom?”
Aku tertawa prihatin. “Untuk menyumpal semua pihak, apalagi?”
Mereka terdiam.
“Jika itu terjadi, jika Bank Semesta akhirnya diselamatkan komite stabilitas keuangan nasional, itu jelas akan menjadi skandal perbankan terbesar di negeri ini. Semua pihak, terutama media massa, LSM, lembaga, individu yang masih memiliki integritas akan menuntut dilakukan penyelidikan, diusut tuntas. Nah, sebelum itu terjadi, kita harus menyumpal sebanyak mungkin pihak terkait. Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega, bahkan bila perlu pengurus organisasi olahraga, apa pun itu, semakin banyak yang menerima kucuran uang haram itu, maka jangankan melakukan penyidikan secara sistematis dan besar-besaran, menggerakkan satu pion petugas penyidik saja mereka tidak kuasa. Seluruh penjara di negeri ini penuh jika komisi pemberantasan korupsi berani mengutak-atik kasus penyelamatan Bank Semesta.
“Aku butuh banyak uang untuk melakukannya, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu. Nah, kalian bersedia menyerahkan sepertiga deposito atau tabungan, atau sebaliknya, kalian bersedia kehilangan semuanya. Putuskan segera, sebelum pemerintah mengetuk palu. Sekali Bank Semesta ditutup, tidak ada lagi rekayasa yang bisa aku lakukan. Kalian punya waktu setengah jam untuk berdiskusi, aku harus segera pergi, waktuku sempit. Selamat pagi.” Aku balik kanan, meninggalkan keributan yang segera meruap di ruangan.
“Ram, kau pimpin mereka berdiskusi,” aku menepuk bahu Ram, “kabarkan segera padaku apa pun keputusan mereka.”
Ram mengangguk, bergegas menyejajari langkah kakiku keluar ruangan rapat. Suara bising peserta pertemuan segera memenuhi langit-langit. Satu-dua berseru soal semua ini tidak masuk akal, menyesal telah menabung di Bank Semesta. Satu-dua menangis, mungkin sedih membayangkan uangnya hilang. Tetapi lebih banyak yang mengangguk menyetujui kalimatku, mulai berkumpul dan membahas solusi yang kutawarkan, solusi paling masuk akal bagi mereka.
Aku sudah tidak mendengarkan, sudah pukul sembilan. Dua jam lagi jadwal pertemuanku dengan menteri, aku harus singgah sebentar ke kantor mengambil salinan dokumen Bank Semesta dari Maggie.
Saat itulah, saat aku melintasi pintu, berjalan cepat menuju lobi luas gedung, seseorang telah menungguku. Rambutnya menguban, tubuhnya gempal pendek, wajah khas seperti Opa. 
Dia tersenyum hangat. “Tommi, apa kabar?”
Aku mendongak, menelan ludah. Hanya sedikit orang yang tahu nama panggilan masa kecilku, Tommi, apalagi sejak rumah dibakar puluhan tahun lalu. Nama kecil itu hanya diketahui Opa, Om Liem, dan Tante. Siapa orang tua ini?
**
***
****
Episode 28 : Musuh Ada di Mana-Mana
-------------------------------------------------
“TIDAK terbayangkan, Nak. Sungguh tidak pernah berani kubayangkan, bahkan dalam mimpi paling liar orang tua ini sekalipun, kalau kau ternyata selamat dari kejadian puluhan tahun silam. Kupikir hanya Liem, istrinya, dan Opa yang selamat. Ternyata kau juga selamat.” Orang tua dengan tongkat di tangan itu merentangkan tangannya, dan tanpa bisa kucegah, sudah memelukku takzim.
Aku masih menelan ludah. Berdiri menerima pelukan, mengingat-ingat wajahnya.
Dia melepaskan pelukan, menatapku datar, tersenyum. “Kau dulu masih kecil sekali, Tommi. Setinggi ini. Berpakaian seperti pelayan, berlari-lari kecil membawa nampan berisi gelas air minum dan makanan saat pesta keluarga diadakan. Apa kata Edward, papamu? Tentu saja dia mau bekerja keras, Shinpei, dia digaji mahal sekali. Aku lantas bertanya, mahal? Papamu menjawab, sebuah sepeda baru, Shinpei. Seperti baru terjadi kemarin sore pesta meriah itu, beberapa bulan sebelum rumah dan gudang kalian dibakar massa mengamuk.”
Aku akhirnya ingat sudah. 
Bukan karena orang yang sedang memegang bahuku itu menyebut namanya sendiri, tapi karena aku juga sempurna kembali mengingat masa lalu itu. Tuan Shinpei, orang ini adalah rekanan Papa dan Om Liem zaman berdagang tepung terigu dulu. Salah satu pengusaha besar yang kudengar tahun-tahun terakhir memiliki bisnis properti hingga negeri tetangga. 
“Lihatlah, anak kecil berpakaian pelayan itu sekarang sudah berubah menjadi harimau gagah. Astaga, Nak, aku melihat sendiri bagaimana tadi kau mengendalikan puluhan nasabah kakap yang marah. Itu amazing, mengagumkan, Tommi. Ke mana saja kau selama ini? Aku tidak pernah mendengar kau dalam rapat perusahaan milik Om Liem dan Opa. Kau sekolah di business school ternama? Dikirim Liem belajar magang di perusahaan raksasa Amerika? Disiapkan sebagai penerus bisnis keluarga? Atau jangan-jangan kau diam-diam sedang membangun imperium bisnis sendiri? Dengan kemampuanmu tadi, itu mengerikan, Nak, tidak akan ada satu pesaing pun yang berani melawanmu.”
Aku untuk pertama kalinya membalas kalimat Tuan Shinpei dengan tersenyum terkendali, menggeleng. “Aku hanya membuka kantor konsultan keuangan skala kecil, Tuan Shinpei.”
Dia menggeleng. “Jangan panggil aku Tuan Shinpei, Tommi. Kau panggil saja Om Shinpei. Keluarga kalian sudah seperti keluargaku sendiri.” Tuan Shinpei diam sejenak, mengangguk-angguk. “Oh iya, apa kau bilang tadi? Konsultan keuangan? Aku baru ingat, aku pernah melihat wajahmu sekali dua di majalah atau review ekonomi Hongkong terkemuka. Tetapi aku tidak menduga kau adalah Thomas yang itu. Aku baru tahu beberapa menit lalu, menatap wajahmu mengingatkanku pada Edward. Orang tua ini tinggal di Hongkong, Tommi, tidak tahu banyak urusan bisnis di Jakarta. Bahkan sebenarnya aku baru tiba tadi malam. Perjalanan mendadak yang cukup melelahkan untuk orang setuaku.”
Aku mengangguk sopan, melirik pergelangan tangan. Lima menit aku tertahan di lobi gedung Bank Semesta. Kalau saja orang tua ini bukan Tuan Shinpei, aku sudah izin pamit segera, pertemuan superpenting menungguku pukul sebelas. Tapi mengingat dia adalah teman dekat Papa dan Om Liem, aku memutuskan basa-basi sebentar.
“Perjalanan mendadak? Keperluan bisnis?” aku bertanya, mencomot sembarang pertanyaan.
Tuan Shinpei mengangkat bahu. “Iya, perjalanan bisnis mendadak, Tommi. Tidak kebetulan aku datang kemari. Ke gedung megah bank yang nyaris kolaps milik Liem. Aku terdaftar dalam nasabah besar Bank Semesta. Tadi malam aku dihubungi untuk segera berkumpul.”
Alis mataku sedikit terangkat.
“Tentu saja namaku tidak ada dalam daftar yang kau pegang. Tetapi setidaknya ada lima nama nasabah lain yang mewakili depositoku secara tidak langsung.” Tuan Shinpei menjelaskan tanpa diminta. “Urusan ini rumit sekali, bukan. Semua uang nasabah terancam hangus tanpa sisa. Aku sebenarnya pernah dihubungi Liem enam bulan lalu. Dia bahkan pernah datang ke Hongkong tiga bulan lalu, mendiskusikan jalan keluar Bank Semesta. Sayangnya bisnis properti milikku juga sedang bermasalah. Aku tidak bisa membantu banyak. Ini situasi rumit kedua yang harus dihadapi Liem setelah cerita lama tentang arisan berantai itu, bukan?”
Lobi luas tempatku berdiri berhadapan-hadapan dengan Tuan Shinpei dan dua ajudannya meski lengang dari lalu lalang orang tetap berisik. Suara perdebatan di ruangan rapat terdengar hingga lobi.
Aku mengangguk, teringat percakapan dengan Om Liem sebelum melarikan diri dengan kamuflase ambulans dua malam lalu. Aku pernah bertanya apakah Om Liem telah meminta bantuan kolega bisnisnya, siapa saja, termasuk dari Tuan Shinpei. Tetapi aku baru tahu pagi ini kalau Tuan Shinpei juga memiliki dana di Bank Semesta.
“Kau sepertinya punya rencana hebat, Tommi?”
“Rencana hebat?” 
“Iya, apalagi, rencana hebat menyelamatkan Bank Semesta?” Tuan Shinpei bertanya, menyelidik dengan mata berkerut.
Aku menggeleng perlahan. “Tidak ada rencana hebat. Hanya rencana nekat.”
Tuan Shinpei terkekeh prihatin. “Jangan terlalu merendah, Tommi. Kau pastilah yang terbaik dari ribuan konsultan keuangan yang ada, bukan. Wajah kau ada di halaman depan majalah Hongkong, itu pasti jaminan. Dan lebih dari itu, kau pasti akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan bisnis keluarga, bukan? Bahkan termasuk mati sekalipun. Mereka punya lawan tangguh sekarang.”
Aku terdiam, menelan ludah, sedetik, aku seperti merasa ada yang ganjil dengan percakapan ini.
“Ini kabar baik. Tentu saja kabar baik.” Tuan Shinpei mengangguk-angguk, tidak terlalu memperhatikan ekspresi wajahku. “Jadi aku tidak usah mencemaskan banyak hal lagi, bukan? Kehilangan sepertiga jelas lebih baik dibanding semuanya. Itu rumus baku bagi pebisnis ulung. Mengorbankan sebagian, demi keuntungan lebih besar. Mundur dua langkah, untuk maju bahkan lari ribuan langkah. Kau pasti lebih dari paham tentang itu. Nah, bisa kauceritakan apa yang sedang kaurencanakan, Tommi?”
Aku menggeleng sopan.
“Tentu saja kau tidak boleh bercerita.” Tuan Shinpei tertawa kecil. “Atau kau bisa memberitahuku, Liem sekarang berada di mana? Sejak tadi malam aku berusaha mencari tahu, tentu juga puluhan nasabah lainnya ingin tahu.”
“Om Liem di tempat yang aman.” 
“Tempat yang aman?”
Aku lagi-lagi menggeleng sopan, tapi tegas. Lobi luas gedung Bank Semesta masih lengang dari lalu lalang orang. Suara berisik di ruangan rapat mulai terdengar pelan, Ram sepertinya melakukan apa saja untuk mengendalikan diskusi.
Sejenak aku saling beradu tatapan dengan Tuan Shinpei.
“Baiklah, Tommi. Orang tua ini sepertinya terlalu cemas, terlalu ingin tahu. Kau sepertinya sedang terburu-buru. Waktu yang tersisa sempit sekali, bukan? Kau boleh meninggalkanku sekarang.” Tuan Shinpei menepuk-nepuk bahuku. “Aku akan bergabung ke ruangan rapat bersama nasabah lain. Setidaknya aku tidak perlu mencemaskan nasib Bank Semesta sekarang, termasuk nasib uangku, nasibnya sudah ada di tangan orang yang tepat. Aku hanya perlu mencemaskan hal lain.”
“Mencemaskan hal lain?” aku bertanya.
Tuan Shinpei menyeka pelipis, menatapku sambil tersenyum. “Apalagi selain mencemaskanmu, Tommi. Apa pun yang sedang kaulakukan, itu pasti berbahaya. Hati-hatilah, Nak. Apa kata pepatah bijak orang tua dulu, musuh ada di mana-mana, maka berhati-hatilah sebelum kau bisa memegang kerah lehernya. Senang bertemu kau lagi, Tommi.”
Tuan Shinpei sudah melangkah menuju ruangan rapat sebelum aku basa-basi menjawab kalimatnya. Dua ajudannya ikut bergerak. Suara tongkat mengetuk lantai keramik terdengar berirama.
Aku menelan ludah. Rombongan Tuan Shinpei sudah menghilang di balik pintu ruangan rapat.
Aku melirik pergelangan tangan, mengumpat dalam hati. Waktuku terbuang hampir setengah jam. Aku harus segera menuju kantor, mengambil salinan dokumen dari Maggie. Jadwal audiensiku dengan menteri satu setengah jam lagi. Aku berlari-lari kecil melintasi lobi luas gedung Bank Semesta.

0 komentar:

Posting Komentar