Rabu, 11 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 19 : Rendezvous Pertama
-----------------------------------------
“SIAPA kau sebenarnya, Thomas?”
“Aku... aku konsultan keuangan profesional.”
“Jawaban yang keliru lagi, Thomas.” 
Alat setrum itu kembali menghujam perutku. Aku menggelinjang, tubuhku gemetar menahan sakit. 
“Ayolah, Thomas. Kenapa kau tidak membuat percakapan kita jadi lebih mudah?” Orang yang duduk di hadapanku itu menatap dingin, intonasinya datar terkendali. 
Sementara di luar, rombongan mobil polisi berjalan tersendat, keluar pintu tol bandara jalanan macet---sirene galak mereka tidak membantu banyak.
Aku menggerung, kepalaku tertunduk, napas menderu. 
“Siapa kau sebenarnya, Thomas?” Dia bertanya lagi.
“Aku, aku konsultan profesional.”
“Jawaban yang keliru, Thomas.”
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Untuk ketiga kalinya alat setrum itu menusuk perutku tanpa bisa kucegah---bagaimana aku bisa melawan, dua tanganku terborgol di belakang punggung. Percikan nyala apinya seperti petir kecil yang menyambar tubuh. Rahangku mengeras, gigiku bergemeletuk menahan rasa sakit. Aku bertahan mati-matian tidak berteriak. Satu karena teriakan hanya akan mengundang rasa jumawa dan kesenangan pada mereka; dua, sia-sia juga berteriak di tengah suara sirene yang memekakkan telinga. Kalaupun ada yang mendengar di luar sana, siapa pula yang akan peduli.
“Jangan main-main padaku, Thomas. Siapa kau sebenarnya?”
Aku mendongak, menggigit bibir, masih dengan sisa sakit sengatan barusan, menggeleng pelan. “Aku konsultan keuangan profesional.”
Tangan orang itu kembali hendak menghujamkan alat setrumnya.
Mataku terpejam.
“Cukup, Wusdi. Kau akan membuatnya terkapar pingsan dan kita kehilangan kesempatan untuk segera mengetahui posisi Liem.” Rekan di sebelahnya menahan. “Lagi pula, sepertinya dia berkata jujur.”
Aku antara mendengar dan tidak kalimat itu, masih menggerung menahan rasa sakit. Tetapi aku belum pingsan, aku masih lebih dari sadar untuk paham situasinya. 
“Percuma.” Aku berkata pelan, dengan suara bergetar.
Dua orang yang duduk di pojok mobil taktis polisi menatapku.
“Percuma kalian memainkan peran polisi baik, polisi buruk, good cop, bad cop.” Aku gemetar, berusaha menegakkan badan dan kepala, berbicara dengan posisi lebih baik. “Percuma…. Jawabanku tetap sama, aku konsultan, konsultan keuangan. Tidak lebih, tidak kurang, aku bekerja profesional.”
Aku berusaha mengendalikan napas, berusaha bicara lebih lancar, balas menatap mereka di tengah remang. “Om Liem, Om Liem membayarku mahal sekali untuk pekerjaan ini beberapa hari lalu. Menyelamatkan Bank Semesta dan grup bisnisnya.” 
“Di bayar mahal? Apa maksudmu?” Salah satu dari mereka bertanya.
“Dia, dia berjanji akan memberikan sepuluh persen dari jumlah yang bisa kuselamatkan. Tidak hanya dari Bank Semesta dan grup bisnis lokal, tapi juga dari aset Om Liem di luar negeri.” Aku tertawa kecil, diam sejenak. “Meski hanya sepuluh persen, nilainya triliunan, lebih besar dari yang kalian bayangkan, harga yang mahal sekali. Sebanding dengan risikonya.”
Dua orang itu saling toleh.
“Kalian tidak tahu itu, bukan?” Aku kembali tertawa kecil. “Taipan tua itu jauh lebih pintar dibanding siapa pun. Ambil semua kekayaannya, dia masih tetap lebih kaya dibanding yang hilang. Dia menyimpan banyak aset di luar negeri, dan itu di luar daftar pendek yang kalian miliki. Daftar aset yang belum tentu juga puluhan tahun berhasil kalian kuasai.”
“Apa maksudmu?” Rekannya yang tidak memegang alat setrum agak maju ke depan.
Aku menggeram, berusaha mengendalikan diri, untuk pertama kalinya aku melihat wajah petinggi jaksa ini dari jarak dekat setelah puluhan tahun. Seringai liciknya terlihat jelas.
“Apa maksudku? Aku seorang profesional sejati. Sama dengan kalian. Berapa tahun kalian mengejar Om Liem? Berusaha mengambil alih kekayaannya? Kalian pikir akan berhasil mengambil semuanya setelah Bank Semesta ditutup, asetnya dijual murah?” Aku menggeleng, tersenyum sinis.
“Bebaskan aku, maka aku akan memihak siapa saja yang memberikan bayaran paling tinggi. Om Liem percaya padaku, dia tidak akan curiga sedikit pun jika aku mengkhianatinya.”
“Kau hanya membual.” Orang yang menilik wajahku menyeringai.
“Terserah. Tapi aku punya daftar paling lengkap seluruh aset Om Liem di luar negeri. Daftar yang tidak pernah kalian ketahui, meski mengerahkan polisi atau petugas kejaksaan terbaik sekalipun.”
Mobil taktis polisi lengang sejenak, hanya menyisakan suara sirene yang memekakkan telinga.
Dua orang di hadapanku menimbang sesuatu.
“Aku punya daftarnya. Aku tidak membual.” Aku memecah senyap.
Mereka berdua saling toleh lagi.
“Bebaskan aku, maka aku bisa menjadi orang paling berguna buat kalian.”
“Lantas apa untungnya buatmu?” Orang yang memegang setrum menyelidik.
“Kalian bisa memberikan dua puluh persen dari aset Om Liem yang kudapatkan. Aku akan bekerja dan setia pada orang yang membayarku lebih mahal.”
Salah satu dari mereka terkekeh. “Kau naif, Thomas. Buat apa kami memberikanmu dua puluh persen jika kami bisa mendapatkannya gratis.”
Aku menggeleng, berkata dengan suara bergetar. “Tidak, urusan ini tidak sesederhana seperti kalian mengambil akte tanah, surat-menyurat pabrik, gedung dari seseorang, lantas membiarkan mereka terbakar bersama semua bukti-bukti. Aset Om Liem sekarang terdaftar lintas negara, kalian butuh seseorang yang tahu persis caranya.”
Tawa itu tersumpal, menatapku tajam, menyelidik.
Aku pura-pura tidak peduli dengan tatapannya, menganggap kalimatku tadi kosong, bukan menyindir masa lalu. “Percayalah. Aset luar negeri Om Liem itu nyata. Jika kita bisa sepakat, aku bisa memberikan daftarnya pada kalian saat ini juga.”
“Mana daftarnya?” Orang yang memegang setrum mengangkat alatnya.
Aku menggeleng. “Kita harus bersepakat lebih dulu.”
“Aku bisa memaksa kau memberikannya.” Percik nyala api hanya lima senti dari wajahku.
“Tidak. Aku tidak akan memberitahu sebelum kalian berjanji. Silakan. Percuma saja kalian siksa aku sampai pingsan atau mati sekalipun. Daftar aset itu akan hilang bersama dengan hilangnya informasi di mana Om Liem saat ini.”
“Omong kosong. Kau akan memberitahu kami.” Tangan orang itu bergerak. Kilat kecil bergemeletuk dari alat di tangannya. 
Aku menatapnya, bersiap menerima setrum berikutnya.
“Cukup, Wusdi. Dia benar. Kita tidak sedang berhadapan dengan penjahat kacangan yang bisa kautakuti dengan cara interogasi kuno.” Rekannya menahan tangan itu.
Rekannya bergumam keberatan, tapi tidak protes.
“Baik. Kami berikan dua puluh persen dari nilai aset luar negeri yang bisa kaudapatkan ditambah bonus kebebasan segera.” Orang itu ramah memegang lenganku. “Nah, di mana daftar aset dan Liem saat ini, Thomas?”
“Bebaskan aku dulu.”
Orang itu terdiam sejenak, mengangguk.
“Baik, lepaskan borgolnya.” Dia meneriaki salah satu polisi.
Salah satu petugas meletakkan senjata, meraih kunci borgol, membebaskan tanganku.
Aku menarik napas panjang. Tiga petugas lain masih mengarahkan senjata mereka ke tubuhku. Secepat apa pun aku bereaksi, tidak akan bisa mengalahkan kecepatan peluru. Aku hanya bisa mengurut pergelangan tangan yang sakit, kembali menghela napas.
“Nah, mana daftar asetnya, Thomas? Dan di mana Om Liem sekarang berada?”
Aku menggeleng. “Soal Om Liem, lebih baik dia sementara dibiarkan bebas. Jika kalian menahannya sekarang, kalian tidak akan leluasa mengambil seluruh aset miliknya. Ada banyak petugas lain yang ikut tertarik, belum lagi puluhan wartawan yang ingin tahu. Terlalu banyak yang curiga. Dia bisa ditangkap kapan saja setelah urusan selesai, mudah saja melakukannya.”
Aku diam sebentar, menatap wajah dua orang di hadapanku.
“Soal daftar aset, ada di telepon genggamku. Salah satu anak buah kalian mengambil telepon itu tadi.”
Orang di hadapanku segera menoleh ke arah empat polisi dengan moncong senapan terarah padaku. Sebelum diperintah, salah satu dari polisi merogoh saku, memberikan telepon genggam itu. 
Aku menyeringai, urusan ini benar-benar berubah kapiran sejak setengah jam lalu, aku ibarat bidak catur yang dikepung benteng dan kuda lawan, tidak ada tempat berkelit selain mengorbankan menteri, senjata terakhir, aku mengembuskan napas, membuka file spreadsheet yang dikirimkan Maggie.
Dua orang di hadapanku menunggu tidak sabaran, segera merampas telepon genggam itu persis setelah file itu terbula, membacanya cepat.
“Isi file ini sungguhan?” Mata mereka berdua membesar.
Aku mengangguk---bahkan daftar awalnya saja pasti membuat siapa pun terbelalak.
“Kau memang bisa menjadi orang paling berguna buat kami.” Salah satu dari mereka terkekeh, senang dengan daftar di tangannya.
Aku tidak berkomentar, menyeka keringat di pelipis.
“Borgol dia kembali.” Dia menyuruh salah satu petugas.
Aku terlonjak. Apa maksudnya?
“Bawa dia segara ke penjara.” Orang itu berkata tegas.
“Hei, hei.” Aku berusaha melawan, tapi gerakan dua polisi lebih cepat, tanganku segera ditelikung ke belakang, borgol terpasang.
“Kau sudah berjanji akan membebaskanku!” aku berseru.
“Anggap saja aku suka melanggar janji, Thomas. Selalu menyenangkan melakukannya.” Dia tertawa lagi. “Nah, terima kasih untuk dua hal. Pertama untuk saran kau soal Liem. Kau memang konsultan yang hebat, aku setuju, mungkin lebih baik membiarkan Liem berkeliaran di luar sana sementara waktu. Setelah semua urusan kami selesai, siapa pun bisa dengan mudah menangkap orang tua bangkrut. Kedua, untuk daftar aset ini, Thomas. Kau baik sekali dengan kami.”
“Kau harus membebaskanku!” aku berteriak marah. “Kau membutuhkanku!”
“Buat apa lagi? Tidak ada lagi yang bisa kautawarkan.” 
“Kalian, kalian membutuhkan orang yang bisa mengurus aset itu di luar negeri. Kalian, kalian memerlukan dokumen-dokumen aset itu, surat-menyurat. Aku tahu tempatnya!” aku berseru panik, menyebutkan apa saja yang terpikirkan.
“Kami bisa mencari orang lain, Thomas. Yang tidak selihai kau dalam urusan kabur atau menipu. Soal dokumen, itu bisa kami cari di setiap jengkal rumah, kantor, properti milik Liem. Mudah saja.”
“Tidak,” aku bergegas menggeleng, “dokumen-dokumen itu tidak ada di mana-mana, dokumen itu disembunyikan di tempat yang tidak pernah kalian pikirkan.”
“Oh ya? Dan kau tahu tempatnya?” Tertawa, dia menoleh pada rekannya. “Sudah pukul sebelas malam, Wusdi, aku ada urusan lain. Kau mau ikut?”
Rekannya mengangguk, melemparkan alat setrum ke salah satu polisi. “Kalian kawal dia sampai dijebloskan dalam sel. Setrum saja sampai pingsan kalau dia terus berusaha kabur.”
Mereka berdua bangkit, memukul dinding mobil, memberi kode ke sopir agar menepi.
Aku menggerung, berteriak, “Kalian membutuhkanku!”
Mobil taktis berhenti, pintu belakang terpentang lebar-lebar. Dua orang itu melangkah turun.
“Aku tahu tempatnya! Aku tahu di mana dokumen-dokumen itu.”
Mereka tidak mendengarkan, hanya santai melambaikan tangan.
“Dokumen-dokumen itu ada di kapal!”
Pintu belakang mobil taktis sudah berdebam ditutup kembali. Gelap. 
Bintang tiga polisi dan jaksa senior itu sudah berpindah ke mobil lain, melesat pergi.
Aku tertunduk dalam-dalam. 
Urusan ini kacau-balau sudah. Mereka mengambil daftar aset itu. Opa pingsan, entah apa kabarnya sekarang, dan jadwal pertemuan jam sebelas malam dengan nasabah besar Bank Semesta gagal total. Dan di atas segalanya, lihatlah, tanganku terborgol, terenyak duduk tanpa daya di dalam mobil yang melaju kencang menuju sel tahanan polisi. 
Aku sungguh butuh skenario ajaib untuk memulihkan semua situasi.
**
***
****
Episode 20 : Terali Besi Penjara
--------------------------------------
MINGGU, pukul dua dini hari. Waktuku tinggal 30 jam lagi sebelum pukul 08.00 hari Senin besok, ketika hari pertama Bank Semesta buka di tengah berbagai kemungkinan yang terjadi: bank itu ditutup, rush besar-besaran terjadi, antrean panjang di setiap cabang, nasabah yang panik, dan boleh jadi ditambah dengan kepanikan nasabah bank lain. Atau kemungkinan kedua, bank itu diselamatkan, pemerintah memberikan dana talangan, memberikan jaminan bahwa seluruh uang nasabah aman.
Borgolku dilepas. Salah satu polisi bersenjata mendorongku dengan telapak sepatunya, membuatku hampir terjerembap ke dalam sel. Mereka menyeringai puas melihatku, tertawa pelan. Sipir mengunci pintu sel. Lima belas detik, balik kanan bersama rombongan itu, meninggalkanku sendirian yang masih kebas dengan banyak hal.
Aku bergumam kosong, mengusap rambut yang berantakan, menatap sekitar ruangan. Sel penjara ini tidak dingin dan lembap seharfiah dalam cerita-cerita atau film. Lampu terang tergantung di langit-langit sel berukuran dua kali tiga. Udara terasa pengap, gerah. Aku sudah melepas jas, menggulung kemeja sembarangan, melempar sepatu. Satu jam lalu mobil taktis merapat ke salah satu markas polisi. Mereka menyuruhku turun, lantas mendorongku kasar memasuki gerbang tahanan. Sipir bertanya, petugas bersenjata menyuruhnya jangan banyak tanya, siapkan sel yang kosong. Sipir mengangguk, bergegas melihat daftar selnya yang kosong, mengambil kunci, lantas memimpin rombongan melewati lorong. Sudah lewat tengah malam, penghuni sel lain kebanyakan sudah tidur. Lengang, hanya menyisakan derap sepatu yang memantul di lorong penjara.
Aku menghela napas untuk kesekian kali.
Kabar baiknya, tidak banyak nyamuk di penjara ini. Mereka juga punya toilet di dalam sel, bersih, tidak bau. Tempat tidur hotel prodeo ini lumayan, jangan bandingkan dengan kasur busa king size hotel sungguhan, tapi tetap lebih baik dibanding kamar ranjang berasramaku dulu yang dua tingkat, selalu kriut-kriut batang besinya jika penghuni atasnya gelisah dan mengigau.
Aku menghela napas lagi. 
Entahlah apa yang dilakukan Kadek tiga jam lalu saat tiba di dermaga, dan aku tidak ada di sana, juga tidak ada dokter dengan suntikan insulin. Dia seharusnya bisa bertindak cepat dan tenang, ada banyak cara menyelamatkan Opa. Entahlah pula apa yang terjadi di pertemuan nasabah besar Bank Semesta pukul sebelas tadi, seharusnya Ram bisa mengatasinya setelah aku tidak kunjung datang. Maggie, aku mengusap wajah lagi, semoga dia tidak menghubungi telepon genggam itu empat jam terakhir, celaka benar urusan kalau dua bedebah yang menyita telepon genggamku menyadari Maggie menyimpan banyak data tersisa. Dan Julia, apakah dia berhasil meminta jadwal audiensi dengan menteri, aku sungguh melibatkan banyak orang dalam pelarian ini.
Aku mengembuskan napas kencang. Cukup. Cukup sudah mengenang banyak hal. Memikirkan banyak kemungkinan. Percuma, jangankan mengurus bidak yang paling penting, satu bidak menteri yang ini saja tidak bisa. Andaikata Julia berhasil, aku tetap tidak bisa bernegosiasi dengan ketua komite stabilitas sistem keuangan, jeruji sel sialan ini tidak bisa kuremukkan dengan mudah. 
Aku berdiri, menyeka telapak tangan dengan ujung kemeja, menyisir rambut dengan jemari, melemaskan seluruh tubuh. Tidak akan ada yang bisa menolongku. Saatnya membuat keajaiban sendiri untuk lolos dari penjara sialan ini. Dua jam berlalu, pasukan yang menangkapku pasti sudah pergi jauh, mereka tidak akan ikut berjaga di gedung penjara. Dua bedebah itu boleh jadi sudah tidur lelap di ranjang empuk masing-masing, dengan mimpi indah tentang menguasai aset Om Liem. 
Urusanku hanya dengan petugas penjara yang berjaga malam ini.
“Hei!” Aku memukul-mukul jeruji besi.
“Hei!” Aku pukul lebih kencang lagi, membuat dentingannya terdengar hingga meja sipir di depan sana.
Satu-dua tetangga selku yang terganggu mengomel, balas berteriak, menyuruh diam.
“HEI!” Aku tidak peduli.
Suara derap sepatu terdengar, dua petugas jaga melangkah cepat menuju selku.
Aku menelan ludah, bersiap. Mereka tinggal lima langkah.
“Apa yang kauinginkan.” Salah satu dari sipir menyergah galak, ujung pentungannya mengarah padaku.
“Aku ingin keluar dari sel ini,” aku menjawab santai.
Dua sipir itu melangkah lebih dekat, mata mereka melotot mengancam.
“Aku akan membayarnya mahal sekali, Bos.” Aku balas menatap, menyeringai
Dua sipir itu saling toleh, gerakan mereka yang hendak memukul jeruji sel tertahan. Salah satu dari mereka bahkan memasukkan pentungan ke pinggang.
“Kami tidak bisa disuap.” Intonasi kalimatnya justru sebaliknya.
“Oh ya? Bagaimana kalau dua? Cukup?” Aku tidak peduli, tersenyum.
“Dua puluh?” Rekannya menggeleng, tertawa sinis. “Bahkan dua ratus tetap tidak.”
Aku balas tertawa. “Dua M, Bos. Kau terlalu menganggapku rendah. Jangan bandingkan aku dengan pegawai pajak yang kalian tahan dan cukup ratusan juta saja untuk membiarkan dia pergi pelesir, atau orang-orang tua pesakitan yang post power syndrom setelah tidak berkuasa lagi, dikejar-kejar penyidik komisi pemberantasan korupsi, hanya puluhan juta sudah kalian biarkan berobat ke manalah. Dua M, Bos. Tertarik?”
Inilah yang akan kulakukan. Ajaib? Tentu saja. Hanya di tempat-tempat ajaiblah hal ini bisa terjadi.
Sepuluh menit negosiasi.
“Ini tidak mudah.” Komandan jaga ikut bernegosiasi di pos jaga. Aku sudah “digelandang” ke sana, biar lebih nyaman bicara---mereka bahkan menawarkan minuman hangat.
“Mudah saja, Bos,” aku berkomentar santai, bersandar nyaman di sofa, “namaku bahkan tidak ada dalam daftar kalian, bukan? Hanya tahanan yang dititipkan mendadak. Kalian bisa mengarang, aku kabur, lihai sekali memukuli petugas. Bos besar kalian paling juga hanya marah, dan kalian paling hanya dipindahtugaskan menjadi juru masak, tidak akan dipecat, apalagi dipenjara. Tapi demi dua M, itu risiko yang berharga, bukan?”
Mereka berlima berbisik-bisik.
“Bagaimana kau akan membayarnya?” Komandan menyelidik.
“Baik. Ada yang punya telepon genggam? Aku transfer satu M sekarang, sisanya aku transfer setelah aku berada di luar gedung penjara kalian. Setuju?” Aku bersedekap.
Lima menit, dengan telepon genggam pinjaman dari komandan sipir, aku menelepon call center 24 jam, melakukan transfer ke rekening milik komandan.
“Selesai. Nah, kalau kau tidak percaya, kau telepon istrimu sekarang, suruh dia pergi ke ATM. Da boleh jadi pingsan melihat saldo rekening yang ada di layar ATM.”
Dasar bodoh, mereka sungguhan melakukan saranku. Aku terpaksa menunggu setengah jam, sementara istrinya, yang pastilah masih memakai daster, mata belekan, terbirit-birit menghidupkan motor yang masih kredit belum lunas, pergi ke ATM terdekat.
Komandan jaga menelan ludah, mendengar laporan istrinya di seberang sana, mematikan telepon genggam, mengangguk padaku.“Bagaimana dengan sisanya?”
“Tentu saja, satu M lagi aku transfer setelah aku bebas, Bos.”
Mereka berbisik-bisik, melirik licik.
“Tidak. Kalian tidak boleh bermain-main denganku.” Aku menatap mereka tajam.“Jika aku tidak menelepon lagi petugas bank lima belas menit ke depan, dana yang barusan kutransfer akan batal dengan sendirinya, itu transfer bersyarat, kembali ke rekening semula tanpa otorisasi lanjutan. Sekarang terserah kalian saja, hilang semuanya, atau kutambahkan satu M lagi setelah aku di luar gedung.”
Komandan sipir diam sejenak, berbisik-bisik.
Aku menunggu, menyeringai.
Komandan sipir mengangguk.
Bukan main, aku sudah setengah bebas, aku tersenyum tipis, berdiri.
“Boleh kuminta telepon genggamm, Bos?” Aku menunjuk, sebelum beranjak keluar.
Komandan menatapku, hendak menggeleng.
“Ayolah, untuk orang yang sudah mengantongi satu M, kau bisa membeli ratusan telepon genggam seperti ini, bukan?” Aku tertawa. Sebenarnya aku butuh telepon untuk segera menghubungi Kadek, Maggie,dan yang lain.
Komandan mengangguk. “Antar dia hingga keluar gedung, pastikan dia mentransfer sisanya.”
“Terima kasih, Bos. Kapan-kapan aku akan berkunjung lagi, menyapa.”
Dua sipir mengantarku hingga halaman gedung penjara, salah satu dari mereka bahkan berbaik hati memberikan motornya setelah aku memberikannya jam tangan milikku. “Kaujual, kau bisa membeli dua puluh motor baru.” Dia mengangguk senang. Aku kembali menelepon call center 24 jam. Memberikan perintah pada petugas bank, transaksi beres. Aku memasukkan telepon ke dalam saku, menaiki motor, mengangguk pada dua sipir yang mengantar untuk terakhir kalinya, lantas melesat meninggalkan bangunan penjara.
Hanya itu. Itulah keajaibannya.
Motor yang kukemudikan membelah jalanan lengang, secepat mungkin meninggalkan markas polisi. Dasar bodoh, jika kalian pemilik rekening eksklusif di bank besar, kalian selalu punya cara untuk membatalkan transaksi. Ini lelucon yang baik. Apakah aku orang yang suka mengkhianati janji? Seumur hidupku tidak pernah. Aku adalah petarung, janji seorang petarung. Tetapi kali ini, akan aku batalkan sebagian besar transfer tadi, hanya menyisakan dua R saja, 2 RIBU perak. 
Petinggi kejaksaan tadi benar, ternyata menyenangkan melakukannya.

0 komentar:

Posting Komentar