Jumat, 27 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 38 : Penyergapan Bandara
------------------------------------------
“MAJU! Cepat! Cepat!.” Komandan pasukan khusus anti teroris itu berseru galak.
Empat, lima, tidak sesedikit itu, ada belasan anak buahnya berderap melintasi lobi kedatangan Bandara Denpasar. Mereka berpakaian tempur lengkap, rompi antipeluru, helm tertutup, dan senjata otomatis di tangan. Tatapan mata mereka tajam. Gerakan mereka sigap dan tangkas, membuat penumpang buru-buru loncat menyingkir.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“What’s going on, Mom?” Salah satu bocah bule bertanya sambil menggenggam tangan ibunya, menatap gentar rombongan yang baru datang. 
Bisik-bisik cemas mengambang cepat di langit-langit ruangan.
“Step aside, kid! Step aside!” Lebih dulu jawaban itu yang keluar dari sang komandan, membentak, menyuruh menyingkir kerumunan turis yang belum sadar benar apa yang sedang terjadi.
“Mom?” Bocah bule itu berseru ketakutan, mencengkeram lengan ibunya.
“Please take your child out, Madam. Now!” Tatapan galak, intonasi suara lebih pelan, tapi terdengar jelas tidak bisa ditawar.
“Ada apa? Ada yang bisa kami bantu?” Tergopoh-gopoh dua petugas keamanan bandara mendekat---setelah lebih banyak bingung melihat keributan.
“Situasi daurat. Bandara kami ambil alih selama setengah jam.”
“Situasi darurat?” Petugas keamanan bandara meneguk ludah.
“Kalian akan membantu jika tidak banyak bertanya, duduk rapi menonton. Paham?” Suara komandan terdengar amat mengendalikan, mengatasi teriakan-teriakan ketakutan penumpang di ruangan besar yang satu-dua berbisik jangan-jangan ada ancaman bom.
“Eh?” Dua petugas keamanan saling lirik, berhitung dengan situasi.
“Alfa dua, tango sembilan, pimpin yang lain kosongkan seluruh lobi kedatangan! SEGERA! Saya ingin semua lokasi steril dalam waktu lima menit.” Komandan pasukan menoleh ke belakang. “Astaga, mengapa kalian tetap berdiri di sini, hah? Bengong? Segera menyingkir dari sini!” teriaknya membentak petugas keamanan bandara.
Anggota pasukan khusus menjalankan perintah sang komandan. Cepat sekali mereka mengambil alih situasi, membuat wajah terperangah petugas keamanan bandara seperti ekspresi pramuka siaga---hanya bisa menonton tanpa bicara apa pun. Lima menit yang taktis, lobi kedatangan sudah bersih dari ratusan penumpang dan penjemput. Semua pintu dijaga pasukan bersenjata. Mereka mencegah siapa pun yang mendekat. 
Lengang. Hanya suara desis pendingin udara terdengar.
“Berapa menit lagi pesawat itu akan mendarat?” Komandan melirik pergelangan tangan.
“Lima menit, Komandan!” salah satu anak buah menjawab.
“Semua runaway bersih?”
“Positif, Komandan. Izin mendarat prioritas sudah diberikan menara pengawas. Tidak ada pesawat yang boleh take off atau mendarat setengah jam ke depan selain pesawat target.” 
“Koridor depan? Situasi?” Komandan menoleh ke arah lain.
“Terkendali, Komandan!” anak buah yang lain menjawab kencang.
“Pintu-pintu keluar?”
“Aman, Komandan. Bahkan pintu toilet sudah disegel, tidak ada seekor tokek pun yang bisa kabur melintasinya tanpa diketahui.”
Komandan pasukan melotot. Tapi dalam situasi seperti ini, tidak ada yang berniat menertawakan jawaban selugas (sepolos) itu. Wajah-wajah tegang, jari telunjuk bersiap di pelatuk, kapan saja jika perlu peluru dimuntahkan.
“Baik. Enam orang ikuti aku. Kita akan menjemput langsung tersangka turun dari pesawatnya. Tidak ada kesempatan baginya untuk lolos. Yang lain tetap di posisinya. Berhati-hati, bersiap, informasi dari Jakarta mereka amat licin, berbahaya, bersenjata, dan tidak sungkan membunuh. Kita mendapatkan izin bunuh di tempat jika melawan. Mengerti?”
“Mengerti, Komandan.”
“Maju! Cepat! Cepat!” Komandan sudah balik kanan, berlari kecil menuju pintu kedatangan. 
Separuh anggota pasukan khusus itu melesat menyusul. Gigi mereka bergemeletukan. Langkah sepatu menginjak lantai ruangan terdengar bergema. Atmosfer tempur membuat ruangan dingin terasa pengap. Ini situasi awas. Sudah lama sekali mereka tidak beraksi seserius ini sejak bom Bali terakhir. Padahal baru setengah jam lalu kawat perintah itu datang dari markas besar, perintah menangkap salah satu buruan penting yang melarikan diri ke Denpasar. Tangkap, hidup atau mati.
***
“Apa yang sedang kaukerjakan, Tommy?”
“Membaca.”
“Membaca? Membaca apa?”
“Buku cerita,” aku menjawab pendek, tanpa mengangkat wajah dari halaman buku.
Opa tertawa pelan, beranjak duduk di pinggir ranjang, di sebelahku. Gerimis membungkus waduk, terlihat dari jendela yang berembun. Udara terasa sejuk, menyenangkan. Ini jadwal kunjunganku yang kesekian ke rumah peristirahatan Opa. Seharusnya aku belajar mengemudi boat, sesuai janji Opa, tapi karena hujan turun, sengotot apa pun aku memaksa, Opa tetap membatalkan jadwal---apalagi Tante Liem juga ikut berkunjung. Dia tadi yang paling kencang berteriak melarangku. Kalau sudah menyangkut urusanku, Tante selalu saja paling pencemas. 
“Kau berbeda dengan Papa atau Om Liem waktu remaja seumuranmu, Tommy.” Opa menyengir.
“Berbeda?” Aku menoleh, sedikit mengangkat kepala.
“Iya. Mereka berdua tidak pernah suka membaca buku, apalagi buku cerita.” Opa manggut-manggut. “Seusiamu, mereka berdua lebih suka berjualan di pasar. Menghabiskan waktu luang dengan membawa apa saja yang bisa dijual.”
Aku ber-oh pelan, tidak berkomentar.
“Itu buku tentang apa?” Opa memecah suara gerimis setelah lengang sejenak.
“Tentang teluh jahat, Opa.”
“Teluh?” Dahi Opa terlipat sedikit.
“Iya. Ada janda yang suka membunuh siapa saja yang dibencinya dengan teluh.” Aku mengangkat buku, menunjukkan gambar depannya.
Opa mengangguk-angguk. “Ceritanya seram?”
Aku tertawa. “Tentu saja, Opa.”
Usiaku waktu itu baru genap enam belas. Aku sebenarnya tidak suka dengan buku ini, kucomot sajas dari rak perpustakaan sekolah, kumasukkan ke dalam ransel, sebagai bahan bacaan selama liburan kalau aku lagi bosan. Apalagi selama ini aku selalu senang menghabiskan waktu di rumah peristirahatan Opa. Aku tidak pernah merasa perlu menyentuh buku-buku itu, kecuali sore ini. Sepertinya tidak ada ide yang lebih baik menghabiskan waktu menunggu hujan reda selain membaca buku horor. 
“Seberapa seram?” Opa bertanya lagi.
“Seram sekali, Opa. Seperti sungguhan.” Aku tertawa lagi.
“Ah, tapi tidak akan ada lebih seram dibandingkan pengalamanku sewaktu muda.” Opa melambaikan tangan, memasang wajah santai, menoleh menatap waduk dari jendela kusam.
Aku balas menatap Opa, melupakan sejenak buku di tanganku.
“Sayangnya kau tidak akan berani mendengarnya, Tommy.” Opa terkekeh, melirikku. “Bisa-bisa kau meminta tidur di kamarku malam ini.”
Enak saja. Aku menatap Opa kesal. Kalau Opa sengaja memancingku agar penasaran dengan ceritanya, dia berhasil. Tetapi kalau dia bilang aku akan setakut itu mendengar cerita Opa, dia tidak berhasil, aku bukan anak kecil yang gampang ditakut-takuti.
“Kau mau mendengarnya?” Opa menggoda.
“Puh, paling juga hanya cerita itu-itu saja. Lebih seru bukuku.” Aku pura-pura tidak tertarik, kembali menatap halaman buku di tangan---sudah kebiasaan Opa menipuku dengan prolog cerita berbeda, padahal isinya sama saja seperti kaset rusak yang diputar berkali-kali, tentang masa mudanya, naik perahu nelayan bocor, pergi meninggalkan Cina daratan, terdampar di tanah Jawa, dan seterusnya, dan seterusnya.
Opa menyengir, menggeleng takzim. “Ini tidak sama, Tommy. Ssst, aku bahkan belum pernah menceritakannya kepada siapa pun, termasuk pada Papa dan Om Liem. Nah, kau mau mendengarnya atau tidak, Tommy, hitung-hitung sebagai pengganti jadwal belajar boat yang batal.”
Aku sudah melempar buku di tanganku. Tentu saja aku mau. Di usiaku yang masih remaja, segala cerita masa muda Opa terdengar sungguhan dan hebat---meski entahlah, dia mengarang atau betulan.
***
“Semua siaga di posisi!” Komandan pasukan berteriak, mengangkat tangannya.
“Siap, Komandan!”
Steady!
Pesawat yang mereka tunggu beberapa detik lalu sudah mendarat halus di runaway. Soft landing. Enam anggota pasukan khusus itu tidak memedulikan suara mesin, baling-baling pesawat yang memekakkan telinga. Mata mereka melotot tajam ke depan, tegang memperhatikan target mereka.
Pesawat itu mulai melaju lambat di runaway sepanjang 2.500 meter. Pilotnya mengerem sesuai prosedur, lantas berputar anggun di ujung lintasan, seribu meter di kejauhan sana, lebih pelan dari biasanya, terlihat agak samar dari posisi pasukan khusus, di antara mobil-mobil pengait pembawa bagasi, kemudian pesawat berbalik arah menuju bangunan bandara, siap parkir di tempat yang disiapkan---bedanya, kali ini bukan petugas ground handling yang memberikan aba-aba dengan bendera, melainkan salah satu pasukan bersenjata.
Pesawat semakin dekat, terlihat semakin besar dan gagah. Dengus napas enam anggota pasukan khusus semakin kencang. Mereka sejak tadi bersiap dengan situasi apa pun, termasuk baku tembak di pelataran parkir bandara. Roda pesawat mendecit pelan, beberapa detik di bawah suara mesin dan baling-baling yang masih memekakkan telinga. Pesawat berhenti sempurna di tempat. Salah satu petugas bergegas mendorong tangga ke badan pesawat. Pintu pesawat terdengar mulai dibuka dari dalam. 
Persis posisi tangga menempel ke badan pesawat, komandan pasukan dengan pistol teracung, gesit naik, melangkahi sekaligus dua-dua anak tangga, disusul dua anggota pasukan khusus dengan senjata otomatis. Tensi situasi meningkat dengan tajam.
Tidak boleh gagal. Komandan pasukan khusus mendesis. Dia ingat sekali, setengah jam lalu X2 meneleponnya langsung dari markas besar Jakarta, kali ini, siapa pun yang mengacaukan penyergapan, membuat target buruan kembali lolos, maka terima saja akibatnya. Itu perintah sekaligus ancaman.
Tidak boleh gagal, dia sendiri yang akan meringkus target. Komandan pasukan khusus anti teroris menarik napas dalam-dalam untuk terakhir kalinya, bersiap.
Pintu pesawat terbuka perlahan-lahan. 
Dua pramugari langsung terlihat, beberapa penumpang berdiri dengan tas, bersiap turun.
“Semua kembali duduk! Tidak boleh ada yang turun. Pesawat kami ambil alih. Semua harap kembali duduk!” Teriakan kencang itu membuat terhenti semua gerakan di dalam pesawat.
Detik-detik penangkapan telah tiba.

0 komentar:

Posting Komentar