Jumat, 06 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 13 : Tema Klub Petarung
----------------------------------------
Aku berdiri dengan kaki goyah. Belum sempat memasang kuda-kuda, Rudi sudah meninju perutku. Aku melenguh tertahan, kembali terbanting duduk. 
“Kau pikir kau siapa berani-beraninya melawan, hah? Jagoan?” Rudi membentakku.
Belum puas dia, badanku yang bertumpukan lutut ditarik lagi. Setengah berdiri, tinju Rudi kembali menghantam perutku. Kali ini aku terkapar di lantai.
Hujan semakin menggila di luar.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Julia berteriak-teriak menyuruh berhenti. Om Liem juga berseru, memohon. Opa menelan ludah. Enam polisi lain justru menyemangati Rudi, mengepalkan tinju. “Habisi dia, Bos”, “Hajar terus, Bos.” Seperti sedang menonton gulat di layar kaca.
Tetapi dua tinju terakhir Rudi tipu-tipu. Itu tidak sungguhan. Kami adalah petarung sejati, mudah saja berpura-pura. Beda halnya dengan petarung bohong-bohongan di layar kaca, mereka pasti kesulitan disuruh berkelahi benaran. Untuk lebih meyakinkan lagi, Rudi menyambar kursi rotan yang terpelanting, lantas dengan wajah merah, berseru kalap, menghantamkannya ke punggungku. Kursi rotan patah dua.
Julia menjerit, menutup mata. Om Liem kehabisan kata. Opa tertunduk.
Salah satu polisi sebaliknya, berseru antusias. “Dahsyat, Bos.”
Petir menyambar di luar. Lengang sejenak sebelum gemeretuk guntur panjang. Rudi merapikan rambut, melemparkan sisa kursi rotan, menatap tubuhku yang tergeletak di lantai, lantas berteriak pada dua anak buahnya. “Buat dia siuman kembali, bersihkan darah di hidungnya. X2 tidak pantas melihat sasaran kita seperti ini. Buat dia lebih rapi.”
Tawa senang penonton dilipat, dua polisi bergegas mendekat, meletakkan senjata, membalik badanku yang terkulai, mengambil kunci, membuka borgol tanganku. Inilah permainan yang Rudi maksudkan. Kursi rotan tadi jelas tidak sempurna menghantam punggungku, ujungnya yang lebih dulu mengenai lantai. Itu trik biasa di dunia gulat layar kaca. Seolah-olah kena telak, tapi tidak. Seolah-olah kursinya penyok, nyatanya tipu. Lantas pegulatnya akan pura-pura terkapar.
Aku jelas tidak pingsan.
Aku bergerak cepat setelah borgolku lepas, tanganku meraih senjata di lantai, hanya dalam hitungan sepersekian detik, memukulkannya ke dagu salah satu polisi yang jongkok hendak membersihkan darah di wajahku. Polisi itu terkapar sungguhan, satu giginya lepas, temannya yang terkesiap tidak sempat bereaksi, aku lebih dulu meraih kerah bajunya, menariknya mundur, lantas mengacungkan senjata persis ke kepalanya.
“Jatuhkan senjata kalian! Jatuhkan!” aku berseru serak. “Atau aku pecahkan kepala teman kalian ini.”
Empat polisi lain mematung. Gerakan tangan mereka yang siap menembakku tertahan. Menoleh pada Rudi, meminta pendapat komandan. 
“Aku tidak main-main, Bedebah! Aku serius!” Aku berseru galak, tanganku menarik kerah seragam polisi yang kusandera kencang-kencang. Dia tercekik, tersengal satu-dua. 
Rudi (seolah) menghela napas tegang, berhitung dengan situasi, lantas melambaikan tangan kepada empat anak buahnya. “Jatuhkan senjata kalian.”
Mereka menurut, perlahan meletakkan senjata di lantai.
“Kau, kemari! Ya, kau!” Aku meneriaki salah satu polisi yang berdiri hati-hati, menatap penuh perhitungan. “Lepaskan borgol mereka!” Aku menunjuk Opa, Om Liem, dan Julia.
“Alangkah bebalnya kau.” Aku melotot marah, senjataku teracung ke depan, menarik pelatuk.
Tiga tembakan menghantam dada polisi yang kusuruh. Dia memakai rompi anti peluru, tembakanku tidak akan melukainya, tapi dengan jarak hanya tiga meter, tubuhnya tidak ayal terpental ke dinding, langsung pingsan.
“Lepaskan borgol mereka, atau kali ini aku akan menembak kepala kalian yang tidak terlindung kevlar.” Aku menatap tiga polisi yang tersisa dengan tatapan dingin.
Salah satu dari mereka menelan ludah sejenak, lantas buru-buru mengeluarkan kunci borgol, mendekati Opa, Om Liem, dan terakhir Julia.
“Nah, sekarang pakaikan borgol itu ke kalian sendiri!” Aku menyuruh.
“Bukan di dua tangan, bodoh!” Aku membentak. “Kaupasangkan kaki dengan tangan.”
Polisi itu bingung, meski akhirnya menurut.
Dua menit berlalu, tiga polisi yang tersisa terborgol sempurna dengan posisi aneh, duduk menjeplak, kaki kanan menyatu dengan tangan kiri, atau sebaliknya. Aku mendorong polisi yang kusandera, memukulkan popor senjata ke kepalanya---ini balasan karena dia menyodokkan senjata ke lambungku. Polisi itu tersungkur.
Petir menyambar untuk kesekian kali. Guntur menggelegar.
“Kau ikut kami! Berjalan di depan.” Aku menodongkan senjata pada Rudi.
“Segera!” Aku meneriakinya.
Rudi patah-patah dengan kedua tangan terangkat melangkah menuju pintu. Opa dibantu Julia bergegas mengikutiku. Om Liem yang masih tidak mengerti apa yang terjadi ikut melangkah.
Di bawah tembakan jutaan bulir air hujan, rombongan kami menuju dermaga belakang, di sana tertambat satu speedboat. Aku menyuruh yang lain segera naik, Opa menghidupkan mesin speedboat.
“Terima kasih, Sobat.” Aku menolah pada Rudi, melemparkan senjata ke permukaan waduk.
“Kau berutang besar padaku, Thom.” Rudi mengusap wajahnya. Hujan deras membungkus kami.
“Aku akan membayarnya lunas dua hari lagi, lengkap dengan seluruh bunganya. Kau pegang janjiku, janji seorang petarung.” Aku menyeka ujung bibir yang terasa asin. Air hujan membuat sisa darah di hidung mengalir.
“Kau akan kabur ke mana sekarang?” 
“Astaga, Sobat? Aku pasti tidak akan memberitahumu.” Aku tertawa. “Kau jelas berada di pihak lawan.”
Rudi mengangguk, menyengir.
Dan sebelum cengirannya hilang, tanganku sudah bergerak cepat, telak meninju dagunya. Tubuh besar Rudi seketika tersungkur di lantai dermaga. Mulutnya berdarah. KO.
“Kau butuh alasan bukan? Nah, bilang pada X2, kau sudah berusaha menangkapku, mengejar habis-habisan, tapi sasaran yang kau kejar memang licik, berbahaya, dan mematikan. Dia sekarang pasti paham kalimat yang dia karang sendiri itu saat menemukanmu semaput di dermaga. Sama pahamnya saat menemukan tiga polisi terkapar di kamar, tiga lainnya diborgol seperti posisi pertunjukan sirkus.” Aku sudah loncat ke atas speedboat. Mengambil alih kemudi dari Opa, lantas menekan pedal gas dalam-dalam. Speedboat melesat membelah waduk yang dibungkus hujan deras. 
Kilat menyambar membuat akar serabut di langit. Guntur menggelegar.
***
“Dia siapa?” Om Liem bertanya. Badannya sekarang terbungkus pakaian dan handuk kering, meski masih menggigil kedinginan. 
“Jangan banyak tanya dulu. Habiskan cokelat panasmu.” Aku mendengus. 
Om Liem menghela napas, mengangguk.
“Julia, perkenalkan, saya Julia, Om.” Julia memperlakukan Om Liem lebih baik, menjulurkan tangan.
“Kau apanya dia?” Om Liem bertanya.
“Teman, Om. Aku wartawan yang pernah mewawancari Thomas.”
“Kau jangan sampai suka padanya.” Opa menimbrung percakapan, tertawa kecil, mengesai rambut berubannya yang setengah basah.
Wajah Julia bertanya, kenapa.
“Karena sekali kau membuat kesalahan besar padanya, sepanjang hidup nasibmu sama seperti omnya. Tidak pernah dipanggil nama langsung lagi. Benci sekali dia.” 
Aku melotot, menyuruh ketiga orang itu bergegas, ini bukan saat yang tepat mengobrol ringan.
Adalah lima belas menit speedboat yang kukemudikan menerobos waduk di tengah hujan deras. Tidak sulit, aku sudah belajar mengemudi speedboat sejak umur enam belas. Melewati keramba ikan penduduk, perahu nelayan yang hujan-hujanan, aku akhirnya merapat di dermaga salah satu resor---itu sebenarnya resor milik Opa. Pegawainya tanpa banyak bertanya apa yang telah terjadi bergegas menyiapkan handuk kering, pakaian ganti, minuman panas.
Pukul dua siang, hujan deras masih membungkus waduk. Entah apa yang terjadi di rumah peristirahatan Opa, boleh jadi X2 dan pasukannya yang siap menjemput kami sedang marah-marah besar. Rencana konferensi pers menghadirkan buronan besar gagal total. Aku tidak peduli, aku sedang gemas menunggu Opa dan Om Liem memulihkan diri, waktuku terbatas, tinggal 42 jam sebelum pukul 08.00 hari Senin.
“Kita harus segera bergerak!” aku berseru tidak sabaran.
“Bukankah kau tadi menyuruhku menghabiskan gelas cokelat ini, Tommi?” Om Liem bertanya.
“Dibungkus saja kalau kau mau,” aku menjawab ketus. “Kita tidak bisa lama-lama, lima belas menit lagi seluruh jalanan keluar dari Waduk Jatiluhur akan diblokade polisi. Mereka akan memeriksa setiap mobil. Mereka sedang marah. Mereka akan melakukan apa pun untuk menangkap kita.”
Julia mengangguk, memanggil petugas resor, meminta disiapkan mobil.
Aku bertepuk tangan. “Bergegas, Opa!”
Opa menghela napas panjang, “Orang tua ini mungkin lebih baik tinggal di sini, Tommi.”
Aku menggeleng. “Tidak. Opa harus ikut ke mana pun aku pergi. Mereka tidak peduli lagi siapa yang terlibat, siapa yang tidak terlibat. Jangan-jangan mereka sekarang sedang mencari pasal yang bisa menuntut sepuluh tahun pembantu rumah Opa, membantu menyembunyikan buronan misalnya.”
Petugas resor kembali dengan kunci mobil.
Aku beranjak keluar, diikuti Julia yang membantu Opa berjalan, dan Om Liem, yang astaga, menuruti perintahku, menerima gelas plastik cokelat hangat dari petugas hotel.
“Ini mobilnya?” Langkah cepatku terhenti persis di lobi depan resor.
Petugas resor takut-takut mengangguk.
“Hanya ini yang tersedia, Pak. Mobil lain sedang menjemput tamu di Jakarta dan Bandung.”
“Bagaimana mungkin kami kabur dengan mobil ini?” Aku menepuk dahi, setengah tidak percaya.
“Tidak ada mobil lain, Pak. Kecuali Bapak mau menunggu setengah jam lagi.”
Ini sungguh paradoks, lelucon atau entah apalah menyebutnya. Sepanjang pagi aku mengebut memakai mobil balap, sekarang ternyata aku harus berhenti di pit stop resor, berganti dengan mobil box laundry milik hotel. Lengkap dengan tulisan besar di dinding luarnya, “SuperClean. Membersihkan apa saja!” 
Aku mendengus kesal, menyuruh petugas hotel minggir dari depanku.
***
****
Episode 14 : Mobil Laundry
----------------------------------
MONEY laundering, pencucian uang, tidak ada bedanya dengan pencucian baju atau celana. Persis seperti bisnis laundry pakaian yang mobilnya sedang kami naiki.
Seharfiah itu saja definisinya. 
Dalam dunia keuangan modern, tidak semua pencipta sistem dan pembuat kebijakan adalah penjahat, beberapa dari mereka bahkan memiliki konsen yang luar biasa atas haram dan halalnya selembar uang---terlepas dari fakta boleh jadi yang bersangkutan seorang ateis. Dalam definisi mereka, uang yang baik adalah uang yang didapatkan dari proses transaksi keuangan lazim, layak, masuk akal, dan disepakati banyak komunitas sebagai transaksi bersih. Uang yang kotor sebaliknya adalah uang yang diperoleh dari transaksi keuangan tidak lazim, tidak layak, dan disepakati banyak komunitas sebagai transaksi kotor. 
Ada banyak sekali aktivitas ekonomi yang masuk dalam daftar transkasi kotor. Mulai dari yang terlihat (dalam film-film), seperti bisnis mafia, triad, geng, pengedar obat-obatan terlarang, perjudian ilegal, penyelundupan, pencurian, pembajakan, perdagangan ilegal, hingga yang tidak kasatmata, seperti uang suap, uang korupsi, dan uang tips yang haram.
Para pembuat sistem dan kebijakan keuangan modern telah membuat regulasi yang jelas, uang haram tidak boleh mengotori uang halal. Bukan semata-mata karena mereka patuh terhadap logika kitab suci, atau taat terhadap sepuluh perintah Tuhan, tetapi lebih karena campur aduk uang haram dan halal jelas merusak keseimbangan. Masuknya uang haram dalam perekonomian yang sah membuat regulator kesulitan memprediksi uang beredar, kesulitan membaca layar penunjuk ekonomi negara.
Karena itulah seluruh negara memiliki Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Amerika, misalnya, setiap transaksi di atas 10.000 dolar yang melibatkan perbankan dan institusi keuangan apa pun harus melaporkan muasal uang yang terlibat. Mereka juga meneguhkan prinsip know your customer, KYC. Kalian menabung ke bank di atas 10.000 dolar, maka ada kolom dalam slip setoran yang harus diisi, dari mana uang yang ditabungkan berasal---juga di Indonesia, dengan batasan 100 juta ke atas. 
Lantas apakah urusannya selesai? Tidak. Upaya pencucian uang terus saja terjadi. Ditutup satu pintu, mereka mencari cara lainnya. Pencucian uang sudah berubah menjadi bisnis tersendiri. Ada banyak institusi keuangan yang menciptakan berbagai produk keuangan pintar, bahkan ada beberapa negara yang sengaja tutup mata dengan sumber uang kalian. Cayman Islands misalnya. 
Sesuai undang-undang federal, Amerika mewajibkan setiap warga negaranya yang hendak ke luar negeri dan membawa uang tunai di atas 10.000 melapor pada otoritas bandara. Maka organisasi mafia mengakali peraturan ini dengan menggaji ratusan orang sebagai “turis bayaran” yang pergi berlibur ke Cayman Islands. Mereka menanggung tiket, akomodasi, lantas memberikan segepok uang 9.999 untuk dibawa pergi. Lolos dari loket imigrasi, tiba di Cayman, uang-uang itu melenggang masuk ke perbankan sana. Dari perbankan Cayman, maka dengan mudah uang itu bergabung dengan siklus uang halal seluruh dunia. Ini cara paling manual. Dan jelas cara ini menciptakan lapangan pekerjaan aneh. Siapa yang tidak mau bekerja sebagai “turis bayaran”? Berkali-kali, berkali-kali, berlibur sambil bekerja---organisasi mafia malah akan lebih menyukai jika kalian pergi bersama pasangan berwisata ke Cayman. 
Trik ini memang lambat, tapi jauh lebih aman dibandingkan dengan menumpuk jutaan dolar di bagasi jet pribadi, kemudian dibawa langsung. Ada banyak otoritas yang memperhatikan traffic udara, mereka bisa dengan mudah mencegat jet pribadi dengan sepasang F-16 misalnya, menyuruh mendarat bahkan sebelum meninggalkan wilayah udara Amerika.
Kenapa tidak memilih menabung di bank lokal dengan nominal dibawah 10.000 berkali-kali? Bukankah tidak wajib melapor? Sialnya hampir di semua negara yang meratifikasi Undang-Undang Anti Pencucian Uang pasti punya lembaga khusus untuk menganalisis jutaan transaksi perbankan. Transaksi berulang-ulang, meski kecil, memancing alert dari software tercanggih anti money laundering yang mereka miliki. Jauh lebih aman memindahkan uang secara fisik, bukan melewati perbankan. Kecuali jika kalian memiliki jaringan tinggi di perbankan (atau malah memiliki bank itu sendiri) yang bisa membuat kamuflase atas setiap transaksi keuangan jauh lebih mudah.
“Ada banyak. Tentu saja banyak. Tetapi aku tidak ingat detail satu per satu.” Om Liem menghela napas, setelah diam sejenak. Dia menatap lamat-lamat Julia yang sejak tadi terus bertanya. “Kami tidak bisa menolak uang-uang haram itu masuk ke dalam Bank Semesta.”
“Bukankah pengendali utama Bank Semesta ada di tangan Om Liem?” Julia sudah bertanya lagi.
“Tentu saja di tanganku. Tetapi bagi kami, bankir, sepanjang uang itu masuk ke kami, jumlahnya juga banyak, urusan lain bisa dilupakan. Menerima uang mereka, entah itu dalam deposito, layanan private banking, pembelian sekuritas, dan sebagainya, itu juga memberikan garansi keamanan bisnis bagi Bank Semesta, termasuk juga perlindungan pada grup bisnis.” Om Liem menatap keluar, hujan membungkus jalan tol.
Lima belas menit sejak meninggalkan Waduk Jatiluhur. Opa sejak tadi memilih tidur-tiduran, dia duduk di depan, di sebelahku yang memegang kemudi, sementara Julia dan Om Liem duduk sembarang di belakang, di antara tumpukan pakaian kotor. Aku mengebut di jalanan tol, di tengah hujan deras. Sekali-dua berpapasan dengan mobil polisi yang melesat cepat.
“Garansi keamanan bisnis? Bisa lebih detail, Om?” 
Om Liem mengusap rambutnya yang masih basah, mengangguk. “Uang kotor dari pembalakan hutan misalnya. Kau tidak bisa membayangkan, ke mana saja triliunan uang dari penebangan hutan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, bahkan Papua dicuci bersih dalam sistem keuangan kita. Jumlahnya tidak terbayangkan, karena bahkan uang suapnya untuk perwira tinggi polisi, pejabat setempat, orang-orang berkuasa saja bisa puluhan miliar. Kami setidaknya memiliki belasan rekening milik mereka. Lumrah saja, itu barter, mereka melindungi Bank Semesta dan grup bisnis kami dalam setiap kasus. Kami melindungi kerahasiaan data dan transaksi keuangan mereka dari intipan banyak orang.”
“Itu di luar money laundering yang tidak kasatmata. Kau tahu, dari seribu triliun anggaran negara, menurut ekonom senior, hampir dua puluh persen dikorup dan disalahgunakan. Siapa yang menampung uang itu? Perbankan nasional! Uang suap, sogok, pelicin, bahkan uang pajak yang tidak masuk ke dalam kas negara, puluhan triliun nilainya. Ke mana uang itu berlabuh? Perbankan nasional! Kebanyakan orang hanya melihat money laundering dari kegiatan mafia, kejahatan bersenjata. Padahal di luar itu banyak sekali kasusnya. Kami membuka rekening untuk petugas korup, pejabat negara jahat, membuat rekening giro perusahaan fiktif, semua yang mungkin dilakukan. Aku tidak tahu detailnya, kepala cabang dan pemimpin Bank Semesta yang lebih tahu.” Om Liem menghela napas lagi, diam sejenak, membuat bagian belakang mobil box laundry hotel senyap.
“Ini lucu sekali, bukan?” Om Liem tertawa suram.
“Lucu?” Alis Julia terangkat.
“Lucu, bukan? Konvensi perbankan internasional selalu mengingatkan tentang know your customer, bankir di sini jelas-jelas amat know customer mereka. Tahu persis uang-uang itu dari mana berasal.”
“Astaga, tidak bisakah kau berhenti mewawancarai dia? Ini bukan kesempatan eksklusif interviu dengan buronan kelas kakap. Ada urusan lain yang perlu dicemaskan. Kita masih lari dari polisi, kapan saja mereka bisa muncul.” Aku menoleh, memotong sebelum Julia kembali bertanya.
Julia mengangkat bahu. “Aku tidak sedang mewawancarai Om Liem, Thom. Kami sedang mengobrol santai di antara tumpukan seprai, gantungan baju, piyama, jas, dan hei, siapa pula yang mau mencuci boneka panda sebesar ini.” Julia menyeringai kecil menunjuk pojok mobil.
“Bicara santai apanya? Kalian jelas bisa mencari topik lain untuk bicara santai.” Aku bergumam, menekan klakson, menyalip dua truk kontainer.
“Topik apalagi, Thom? Ini sudah topik yang pas, membicarakan money laundering di dalam mobil box laundry.” Julia tertawa.
Aku mendengus, tidak berselera memperpanjang percakapan. Melirik pergelangan tangan, hampir pukul tiga sore, waktuku banyak terbuang sia-sia. Kami harus segera menuju tempat persembunyian baru yang aman. Mobil box laundry melesat cepat memasuki tol dalam kota.

0 komentar:

Posting Komentar