Selasa, 24 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 35 : Bidak Keempat, Ikan Besar
-------------------------------------------------
“Halo, Mag.” Aku tersenyum, kepalaku melongok ke jok belakang, menyerahkan sekotak tisu---kuambil sembarang dari dashboard mobil yang dikemudikan Rudi dengan cepat. “Tampaknya situasimu buruk sekali, Mag. Sembap, menangis, kotor, rambut berantakan, baju kusut. Kau persis seperti gadis ditinggal tanpa kejelasan bertahun-tahun, atau setidaknya, dalam level paling rendah, seperti pembaca cerbung yang berlama-lama tidak jelas menunggu lanjutan cerita.”
“Jangan ganggu dia dulu, Thom.” Julia mendorong kepalaku, menyuruh kembali ke posisi di jok depan sambil mencemooh kotak tisu. Julia mengambil tisu basah---yang jelas lebih baik---dari tasnya.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Maggie tidak berkomentar, menerima tisu dari Julia, bilang terima kasih pelan, lantas menyeka wajahnya yang cemong karena tersungkur di lift yang hingar-bingar oleh pertarungan dan tembakan senjata lima belas menit lalu. Sementara Rudi di sebelahku seperti besok matahari terbit dari barat, terus memacu kecepatan mobil, meninggalkan gedung perkantoran.
“Tetapi terlepas dari situasinya, harus kuakui kau tetap stafku yang paling cantik, Mag.” Aku masih berusaha memastikan Maggie baik-baik saja---dengan caraku sendiri. 
“Astaga, Thomas, tidak bisakah kau berhenti mengganggunya.” Julia melotot, menepuk-nepuk ujung kemeja putih Maggie, membersihkan debu.
Aku menyeringai, menatap Julia yang siap mendorong badanku kembali.
“Sana!” Julia mengacungkan telunjuknya.
Aku mengangkat bahu, tetap melihat Maggie yang sekarang mengelap tangannya yang luka.
“Hanya lecet, bukan? Kalau sampai membekas, kau tidak bisa lagi memakai baju lengan pendek, Mag. Bekas lukanya akan terlihat mengerikan.”
Julia hampir memukulku dengan kotak tisu, tetapi Maggie lebih dulu berkomentar. “Aku baik-baik saja, Thom.”
“Kau tidak sedang berbohong, bukan? Tidak sekadar menyenangkan atasan?”
“Aku baik-baik saja, Thom. Sungguh. Aku tadi menangis karena kaget dan takut. Kau tidak pernah menulis deskripsi pekerjaan seperti ini saat merekrutku dulu, aku pasti segera minta kenaikan gaji, Thom. Dan soal staf paling cantik, omong kosong, karena seluruh stafmu memang laki-laki.” Kalimat Maggie terdengar sengau, sisa kaget dan gentarnya. Dia memperbaiki rambutnya yang berantakan, memasang ikat rambut dari Julia.
Nah, aku akhirnya tertawa lebar. Itu baru Maggie yang kukenal. Kalau dia sudah menyebut-nyebut pekerjaan, gaji, dan sebagainya berarti dia memang baik-baik saja.
“Tadi…. suara tembakan tiba-tiba membuatku takut sekali.” Maggie menghela napas, suaranya sedikit tercekat. “Di dalam lift yang sempit dan bergetar, kaca berhamburan, percikan nyala api dari lampu yang pecah, delapan orang berkelahi. Semua kacau-balau. Tidak ada yang mendengarkan teriakanku.”
Aku menelan ludah. Gerakan tangan Julia terhenti.
“Saat tiarap, aku sempat berpikir semua akan berakhir di lift, ada peluru yang mengenaiku, darah mengalir, mati…. Kakiku bahkan masih gemetar sekarang.” Maggie menyeka wajahnya sekali lagi dengan tisu basah. “Aku takut sekali….”
Kabin mobil lengang sejenak. Maggie hendak menangis lagi.
“Kau salah satu wanita tangguh yang pernah kukenal, Mag.” Julia membesarkan hati. “Tidak semua orang bisa bertahan dalam lift dengan kejadian seperti itu, bahkan aku tidak yakin bisa pergi dari sana tanpa ditandu, pingsan.”
“Terima kasih.” Maggie sejenak menatap Julia, tersenyum lebih baik.
Julia balas tersenyum, mengangguk. 
Aku menyengir. “Kalian sekarang terlihat akrab sekali. Kau seperti lupa saja, dua jam lalu Maggie masih memanggil kau Nenek Lampir, Julia.”
Julia kali ini sungguhan melemparku dengan kotak tisu.
***
Lima belas menit lalu, Rudi memimpin rombongan keluar dari lobi kantor. Dia berlari menuju parkiran, mengambil mobilnya. Aku dan Julia memapah Maggie naik ke atas mobil. Dalam situasi seperti ini, aku tidak sempat menyusun rencana cadangan, Rudi yang segera menekan pedal gas bertanya: ke mana, aku menjawab sekenanya, pelabuhan yacht. Itu satu-satunya tempat aman. Setidaknya hingga semua urusan selesai, Maggie bisa bersembunyi di sana bersama Opa dan Om Liem dari kejaran petinggi kepolisian itu.
“Depan belok kiri atau kanan, Thom?” Rudi menyikutku.
Aku kembali memasang posisi duduk, meletakkan kotak tisu di dashboard. Mobil yang dikemudikan Rudi memasuki gerbang pelabuhan. Hanya butuh lima belas menit, aku pikir, Rudi menyetir sebaik dia menghajar anggota klub dalam sebuah pertarungan---terlepas dari mobil yang dia bawa.
Hari Minggu, hampir pukul dua belas siang, dermaga terlihat ramai. 
Beberapa kapal pesiar melepas sauh, satu-dua dipenuhi pencinta memancing, satu-dua oleh sosialita kelas atas yang bosan menghadiri pesta, atau kongsi bisnis penuh kelicikan, beberapa lainnya tidak jelas benar siapa saja penumpangnya. Di dermaga ini tidak ada yang peduli aktivitas orang lain, lebih tidak peduli dibanding kompleks mahal yang kenal tetangga sebelah pun tidak. Itu menguntungkan, tidak ada yang memperhatikan mobil yang merapat di dekat Pasifik.
“Tidak usah dibantu, Julia. Aku bisa sendiri,” Maggie menolak halus.
“Kau yakin?” Suara Julia terdengar rasa-rasanya seperti menganggap Maggie saudara kembarnya saja sejak kejadian di lift. Aku tertawa tipis, melangkah menuju tangga kapal---Julia mengacungkan tinjunya padaku.
Maggie tersenyum meyakinkan, mengangguk. Dia lebih dari sehat untuk naik kapal tanpa dibantu.
“Pak Thom? Cepat sekali kembali? Ada apa?” Kadek langsung menyambut saat kepalaku melongok pintu kabin belakang.
“Ada peserta baru yang ikut mendaftar,” aku menjawab santai.
“Eh, peserta baru?” Kadek menatap bingung, dia masih memakai celemek masak. Bisa dimaklumi, sebentar lagi jadwal makan siang, aroma masakan tercium lezat dari dapur kapal pesiar.
Opa dan Om Liem menyusul di belakang Kadek, membuat kabin belakang sedikit ramai.
“Kenalkan, itu Maggie, salah satu stafku di kantor. Yang satunya....”
“Aku tahu dia,” Opa terkekeh pelan, memotong. “Sejak kemarin sore diborgol bersama-sama di rumah peristirahatanku, kau sepertinya tidak terpisahkan lagi dari Tommi, Nona.” 
Julia mengangguk sopan. “Selamat siang, Opa.”
“Bukankah dia polisi?” Om Liem ragu-ragu menatap Rudi yang terakhir kali masuk.
“Iya, dia memang polisi.”
“Astaga?” Kadek seperti bersiap lari mengambil Kalashnikova di dapur.
“Dia di pihak kita sekarang. Setidaknya hingga detik ini.” Aku melambaikan tangan.
Kadek masih ragu-ragu.
“Kalian seperti habis berkelahi?” Opa menyelidik.
Aku tertawa pelan, tidak menjawab. Lima menit yang terlalu lama, aku harus bergegas.
“Aku harus segera pergi, Opa.” Aku mengangguk kepada Opa, lantas menoleh, memegang bahu Kadek. “Maggie akan tinggal di sini hingga semua jelas. Dia peserta baru yang harus kaujaga. Julia....”
“Aku tidak akan tinggal di sini, Thom.” Julia memotong kalimatku. “Aku tidak perlu bersembunyi. Dalam situasi seperti ini, tidak akan ada yang terlalu bodoh menangkap wartawan, lagi pula aku tidak tersangkut apa pun sebelumnya. Aku harus kembali ke kantor, ada laporan penting yang harus kuketik. Kau masih butuh amunisi tambahan untuk pembenaran penyelamatan Bank Semesta, bukan?”
“Terima kasih, Julia. Aku akan menghubungimu jika ada sesuatu.”
Julia mengangguk.
“Kau hendak pergi lagi, Tommi? Tidak bisakah kau makan siang bersama sebentar? Kadek sedang memasak bebek panggang lezat.” Opa menyela, selalu suka dengan acara makan bersama.
Aku menggeleng, melirik pergelangan tangan. “Aku harus mengejar jadwal penerbangan, Opa. Ada ikan besar yang harus kutangkap.”
“Ikan besar?” Opa diam sejenak, tersenyum. “Baiklah, kalau begitu kau harus hati-hati, Tommi. Jika ikan itu terlalu besar untuk ditangkap, jangan sampai joran kailmu telanjur patah, apalagi sampai kau terseret jatuh ke dalam air.”
“Aku tidak akan menangkapnya dengan kail, Opa. Aku akan menombaknya dengan bergaya, dia tidak akan lolos.” Aku balas menatap tatapan Opa yang penuh makna.
Om Liem yang mengerti maksud percakapan kami menghela napas perlahan. Dia bijak, memutuskan tidak ikut berkomentar, khawatir aku akan menyuruhnya tutup mulut.
“Aku akan menjaga Maggie, percayakan saja, Pak Thom.” Kadek berjanji.
Aku menepuk lengannya. “Kau selalu bisa kuandalkan, Kadek.”
Saat pergi, aku menoleh pada Rudi. “Kau bisa mengantarku ke bandara, sekarang?”
Rudi tertawa. “Kenapa tidak. Itu mungkin lebih seru dibanding mengatur perempatan lalu lintas.”
Aku dan Rudi melangkah menuju dermaga.
“Sebentar, Thom.” Suara pelan Maggie menahan langkahku.
“Ada apa?”
Maggie menarik kertas terlipat dari saku celananya.
“Tiket kau ke Denpasar. Kau harus membawanya.”
Aku tersenyum lebar, menatap Maggie penuh penghargaan. “Terima kasih, Mag. Kau tahu, tanpa bantuanmu, aku tidak akan bisa melakukan apa pun dengan baik.”
Aku loncat dua-tiga menuruni anak tangga kapal.
Rudi sudah menghidupkan mobilnya.
“Aku harus di bandara setengah jam lagi.” Aku mengempaskan punggung di jok mobil.
“Itu mudah, Kawan.” Rudi menyeringai. “Kau seperti pelupa saja, mobil yang kukemudikan ini adalah mobil patroli polisi. Nah, mari kita tekan tombol sirenenya.”

0 komentar:

Posting Komentar