Minggu, 01 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 7 : Tempat Teraman Bersembunyi
----------------------------------------------------
“DO you speak english or french?” Aku berdiri, mendekati pramugari yang berjaga di kabin eksekutif, dia sedang bersiap menutup pintu masuk dekat kokpit.
“Both.” Gadis berambut pirang itu tersenyum menawan, gerakan tangannya terhenti.
Aku mengangguk, jika begitu aku akan menggunakan bahasa Prancis.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kami harus turun,” aku berkata dengan intonasi sesopan mungkin. “Saya dokter profesional yang bertugas menemani tuan ini berobat ke Frankfurt. Sayangnya, menurut penilaianku beberapa menit lalu, beliau tidak cukup sehat untuk berangkat, daripada kalian terpaksa mendarat darurat, saya memilih menunda enam atau dua belas jam penerbangan berikutnya.”
Gadis itu berpikir sejenak, senyumnya masih mengembang. 
“Kau pastilah amat menyukai kota Merseilles?” Aku balas tersenyum, mengalihkan perhatiannya. Setidaknya biar dia tidak sempat mengingat bagaimana prosedur baku jika ada kejadian seperti ini.
“Eh, bagaimana kau tahu?” Gadis itu tertarik.
“Bros yang kaukenakan. Kalau tidak salah, itu siluet timbul kastil yang indah. Menghadap langsung ke Laut Mediterania, bukan? Kau pastilah pernah bermimpi suatu saat menghabiskan bulan madu, atau sekadar berwisata bersama seseorang yang spesial di sana.”
Gadis itu tertawa renyah, malu-malu mengangguk.
“Tetapi kenapa kau hanya memasang bros seindah ini di ujung kerah? Sedikit tersembunyi?” 
“Eh, sebenarnya kami dilarang mengenakan aksesori di luar seragam resmi. Itu pelanggaran.” Dia malu-malu mengaku.
Aku mengangguk, memasang wajah bersimpati, bagaimana mungkin hanya sekadar bros tidak boleh---sambil bergumam dalam hati, tipikal pemberontak peraturan, urusan ini lebih mudah lagi. “Bagaimana mungkin bros seindah ini sebuah pelanggaran?”
Gadis itu memasang wajah setuju.
Aku tersenyum. “Maaf, apakah kami bisa turun?” 
“Oh iya. Silakan, aku pikir sepertinya tidak masalah kalian turun.” Gadis itu memberikan jalan.
Aku mengangguk untuk kedua kalianya. “Terima kasih banyak.”
Om Liem patah-patah dengan tongkat melangkah melewati bingkai pintu pesawat.
“Maaf, saya lupa satu lagi.” Dua langkah dari pintu pesawat, aku dengan perhitungan waktu yang terencana kembali menoleh.
“Eh?” Gadis itu menatapku, gerakan tangannya terhenti.
“Kau bisa menolongku sekali lagi?”
“Iya?”
“Istri Tuan ini amat pemarah dan selalu curiga,” aku berbisik, pura-pura merendahkan suara, menunjuk dengan ujung siku Om Liem yang terus berjalan di lorong garbarata. “Kalau saja istrinya tahu kami tertunda enam jam, apalagi dua belas jam, orang tua malang itu habis diomeli. Astaga, kau tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya marah.” Aku meniru ekspresi galak seorang wanita tua. “Jadi, demi istrinya yang pemarah itu, tolong catat di manifes penerbangan kalau kami tetap berangkat.” 
Gadis di hadapanku tertawa.
“Kau bisa melakukannya?”
Dia mengangguk.
Aku ikut mengangguk takzim. Melambaikan tangan.
Pintu pesawat ditutup dari dalam. Beberapa petugas ground handling sibuk membantu persiapan take off, aku menjawab pendek saat salah satu dari mereka bertanya kenapa kami tiba-tiba turun. “Double seat, sialan, sistem buruk kalian membuat kami malu.” 
Petugas itu bingung, sedikit gugup memeriksa daftar penumpang di tangannya.
***
Sebelum meninggalkan bandara, aku membeli belasan lembar penerbangan ke luar negeri sepanjang siang nanti, sengaja kudaftarkan atas nama Om Liem. Jika ada polisi yang memeriksa seluruh maskapai, mereka setidaknya akan menemukan sembilan kemungkinan tujuan kami. 
Pukul setengah empat pagi, setelah merobek seluruh tiket, melemparkannya ke dalam tong sampah, aku menyuruh Om Liem kembali naik ke atas ambulans. Tidak, kabur ke luar negeri bukan pilihan terbaik. Lagi pula aku harus berada di Jakarta untuk menyelesaikan masalah ini, aku harus menemui banyak orang.
Mobil ambulans melesat meninggalkan bandara, dengan kecepatan tinggi. 
Aku tahu tempat terbaik menyembunyikan Om Liem.
***
Jalan tol keluar kota lengang. Ambulans yang kukemudikan melesat dengan kecepatan 140 km/jam.
“Jika ini tidak penting, hanya salah satu lelucon kau, besok lusa aku akan membalasnya, Thom.” Maggie, stafku yang paling gesit, paling supel, dan paling setia melapor sudah siap di kantor. Mungkin ini rekor paling pagi dia masuk kantor. Kalian pernah masuk kantor pukul setengah lima pagi?
“Kau segera telepon enam-tujuh wartawan surat kabar, majalah, televisi, berita online, yang sering memintaku menjadi narasumber, kolega pers kita.” Aku mengabaikan keluhan Maggie, mulai mendikte apa yang harus segera dia lakukan, “Kau sertakan juga tiga-empat pengamat ekonomi, kawan dekat, yang sering sependapat dengan kita. Minta mereka berkumpul di salah satu restoran hotel dekat kantor, bilang, kita punya rilis paling rahasia, paling gres tentang kasus Bank Semesta.”
“Jangan tanya detail siapa saja yang harus diundang, Maggie. Ayolah, kau tahu persis harus mengundang siapa. Aku membutuhkan kaki tangan untuk membentuk opini di media massa---meskipun mereka sama sekali tidak merasa telah digunakan.” 
Terdengar suara coretan pulpen di seberang sana.
“Aku tadi sudah menelepon Ram, salah satu stafnya akan mengantarkan setumpuk laporan paling baru tentang Bank Semesta. Kaupastikan menyimpan dokumen itu. Aku akan mampir ke kantor. Aku juga butuh working paper audit Bank Semesta, harus sudah ada di mejaku sebelum pukul dua belas siang.”
“Mana aku tahu caranya.” Aku sekali lagi mengabaikan keluhan Maggie. “Hubungi kantor auditor, cari partner, manajer atau auditornya, mereka pasti lembur hari Sabtu. Aku tahu itu dokumen confidential, astaga, kau ingin mengajariku soal itu? Nah, kalau tidak, pastikan seluruh working paper audit, terutama tentang debitor, rekening deposito, dan aset Bank Semesta tersedia. Kau juga kumpulkan semua berita, artikel, komentar, bahkan jika ada berita sopir taksi bergumam tentang Bank Semesta selama enam tahun terakhir, catat. Cari di internet, surat kabar, database media massa, gunakan seluruh resources yang ada, termasuk jika informasi itu harus dibeli.”
Maggie mengeluh lagi, bilang dia tidak bisa melakukannya sendirian dan secepat itu.
“Kau bisa, Maggie. Inilah poin terpentingnya, kau tidak boleh bilang siapa pun. Kau paham?”
“Nah, sekali urusan ini beres, aku berjanji akan memberikan kau dua lembar tiket berlibur. Terserah kau mau ke mana dan mengajak siapa.”
Aku memutus pembicaraan, mengabaikan seruan riang Maggie, kembali konsentrasi pada kemudi.
Semburat merah muncul di balik gunung. Pemandangan indah dari balik jendela ambulans yang melesat cepat, tapi aku tidak memperhatikan. Kami sudah puluhan kilometer meninggalkan kota Jakarta. 
“Orang tua ini benar-benar keliru selama ini.”
Aku menoleh. Om Liem sedang menatapku datar. Aku pikir dia tertidur, hanya desis pendingin dan suaraku menelepon banyak orang sejak kami meninggalkan bandara tadi yang terdengar di kabin depan ambulans.
“Dua puluh tahun aku berpikir kau membenciku karena kejadian itu, Tommi. Ternyata aku keliru.” Om Liem menghela napas perlahan, antara terdengar dan tidak.
“Kau sesungguhnya membenci diri sendiri, bukan?”
Om Liem menatapku lamat-lamat.
“Itu benar sekali. Lihatlah kejadian sejak pukul dua dini hari tadi. Kau adalah pemikir sekaligus eksekutor yang hebat, Tommi. Pintar, berani, dan pandai memengaruhi orang. Tidak pernah terbayangkan akan jadi apa grup bisnis keluarga kita jika kau yang menjalankannya. Grup ini akan menjadi raksasa mengerikan di tangan seseorang seperti kau. Karena itulah kau membenci diri sendiri.” 
Om Liem menatap semburat merah yang semakin terang.
“Dua puluh tahun kau pergi dari rumah, berusaha menjauhi kami, tidak ingin terlibat, tapi nyatanya kau belajar di sekolah bisnis terbaik, belajar langsung dari muasal kemunafikan. Kau membenci trik, rekayasa, tipu-tipu tingkat tinggi pemilik konglomerasi, eksekutif puncak perusahaan, nyatanya kau mempelajari itu semua, bahkan menjadi penasihat terbaik mereka. Kau berusaha menjadi anak muda yang idealis, dibasuh suci dengan kematian papa dan mamamu, nyatanya kau justru terlahirkan menjadi seorang yang licin bagai belut, penari hebat dalam pertunjukan rekayasa keuangan modern. Orang tua ini keliru, Tommi, kau tidak pernah membenciku, kau selama ini sebenarnya membenci diri sendiri, berusaha mati-matian menjaga jarak, mengendalikan diri agar tidak menjadi sepertiku. Bukankah begitu, Nak?” Mata Om Liem menerawang jauh.
Aku tidak menjawab, melambaikan tangan. “Sudah ceramahnya?”
Om Liem kembali menoleh padaku.
“Kalau sudah, kau seharusnya sekarang tidur, beristirahat.”
Om Liem menggeleng. “Orang tua ini tidak mengantuk, Tommi.”
“Kalau begitu lebih baik tutup mulut, diam. Aku sedang mengemudi.”
Om Liem tertawa pelan. “Kau mirip sekali dengan papamu, Tommi. Selalu terus terang dan jujur meski itu kasar dan menyakitkan. Baiklah, bangunkan aku jika sudah dekat di rumah peristirahatan opamu.”
Aku tidak mengangguk, kembali menatap jalan tol yang lengang. Hanya segelintir orang yang tahu tujuan kami, itu tentu termasuk Om Liem---meski aku tidak memberitahukannya sejak tadi.
*
**
***
Episode 8 : Rumah Peristirahatan
-----------------------------------------
BENDUNGAN Tiga Ngarai atau Three Gorges Dam yang membendung aliran Sungai Yangtze, Cina, luasnya lebih dari 1.000 kilometer persegi. Itu berarti jika lebarnya 10 kilometer, panjangnya 100 kilometer, bayangkan besarnya. Dibangun sejak tahun 1994, bendungan ini membuat 1,3 juta penduduk tergusur. Terlepas dari dana pembangunan yang ratusan triliun rupiah, proyek ini juga harus dibayar dengan ribuan desa, ratusan kota, besar-kecil, kuburan leluhur, lahan pertanian, situs arkeologi, hutan, binatang, semuanya terendam oleh proyek bendungan paling besar dan paling ambisius seluruh dunia. Itu semua untuk 20.000 MW listrik, jutaan hektar irigasi persawahan, kontrol atas banjir tahunan di Sungai Yangtze, serta simbol pembangunan ekonomi dan peradaban besar negara Cina.
Dalam skala yang lebih kecil, seperdua belas dari Bendungan Tiga Ngarai, adalah Waduk Jatiluhur (secara harfiah waduk berarti kolam). Luas “kolam” ini hanya kurang-lebih 83 kilometer persegi. Dibangun sejak tahun 1957, waduk ini adalah yang terbesar di Indonesia. Berapa jumlah penduduk yang harus digusur selama proses pembangunanya? Bayangkanlah sendiri, mengingat lokasi waduk ini termasuk salah satu lahan subur, area pertanian, dengan penduduk yang padat, itu setara dengan menggusur penduduk seluruh kota Palangkaraya, atau Ambon, atau Palu.
Aku tidak peduli soal penggusuran---toh, penguasa saat itu mungkin sambil mengupil menandatangani surat perintah penggusuran. Yang aku peduli, kalian pernah datang ke Waduk Jatiluhur? Rekayasa tangan manusia membuat lembah itu berubah banyak, dan kabar baiknya, dengan hamparan air luas, Waduk Jatiluhur terlihat indah bukan kepalang. 
Mobil ambulans yang kukemudikan memasuki jalan lengang menuju rumah peristirahatan Opa ketika semburat merah matahari memenuhi ufuk timur, kabut masih mengambang di perbukitan, dan permukaan waduk terlihat begitu mengilat memesona. Aktivitas di bungalo, hotel, bar, restoran, perkemahan, water park, dan lapangan tenis mulai menyeruak. Nelayan keramba, petani, pekerja, anak-anak sekolah, dan penduduk setempat juga mulai terlihat sibuk. 
Mobilku terus melaju ke salah satu tepi waduk.
Lima belas tahun lalu, Opa memutuskan membeli tanah seluas dua puluh hektar di sudut paling eksotis waduk, lantas membangun rumah kecil yang nyaman dan menyenangkan. Seperti kastil negeri-negeri Eropa yang bukan saja memiliki halaman rumput luas terpangkas rapi, tapi juga halaman belakang berupa danau yang luas. Seperti ranch peternakan, seperti kebun anggur. Waktu aku masih belasan tahun, aku sering datang ke sini, berkemah, memancing, berburu, mengebut dengan speedboat, atau sekadar bengong duduk di beranda dermaga, menatap senja bersama Opa yang pat-pet-pot memainkan alat musik. Lantas Opa akan mulai bercerita, yang ceritanya itu-itu saja, seperti kaset rusak.
Aku pelan menjawil lengan Om Liem, membangunkan. Ambulans yang kukemudikan persis memasuki gerbang halaman. Lengang, hanya beberapa tukang kebun, yang merupakan penduduk sekitar waduk, terlihat sibuk menyalakan mesin penyiram otomatis, belasan jumlah slangnya, muncrat tinggi-tinggi, membuat halaman seperti dipenuhi hujan lokal.
“Kita sudah sampai?” Om Liem membuka mata.
Aku tidak menjawab, memarkirkan ambulans di halaman belakang yang menghadap waduk. Sepagi ini, Opa pasti sedang duduk menghabiskan secangkir teh hijau sambil berkutat dengan not-not balok.
***
“Kau tidak sarapan sebentar, Tommi?” Opa menatapku arif, tersenyum.
“Ada banyak yang harus kubereskan.” Aku hanya mengantar Om Liem memasuki halaman belakang, langsung bersiap balik kanan. “Mobilku yang lama masih ada?”
“Tentu saja masih.” Opa tertawa. “Tidak ada yang jail belajar mengemudi dengan mobil itu, lantas tidak sengaja justru menenggelamkannya ke waduk.”
Aku ikut tertawa. Opa suka sekali mengenang kejadian lama.
“Opa taruh di garasi, tanyakan pada bujang kuncinya. Ayolah, kita minum teh sebentar, mobilmu itu setidaknya perlu dipanaskan.”
Aku menggeleng, mengangkat pergelangan tangan. “Waktuku tinggal 49 jam 45 menit hingga bank dan kantor-kantor buka pukul 8 hari Senin lusa, Opa. Aku harus bergegas kembali ke Jakarta. Titip dia, sudah terlalu banyak kekacauan yang dia buat, pastikan dia tidak menambahkannya lagi satu.”
Opa tertawa lagi. “Baiklah, Tommi. Terlepas dari aku belum tahu apa yang telah terjadi, aku sebenarnya senang sekali melihat kalian berdua beriringan memasuki halaman rumah beberapa menit lalu, terlihat kompak. Kalian bahkan sudah lama tidak bertemu. Hati-hati, Nak, jangan lupa makan.”
Aku mengangguk, balik kanan menuju garasi mobil yang terpisah dari bangunan induk. Saatnya berganti kendaraan yang lebih memadai, aku butuh mobil tercepat untuk kembali ke Jakarta. 
Opa adalah kolektor mobil yang baik---meski tampilannya bersahaja. Koleksinya tidak banyak, tapi berkelas. Opa paling suka mobil Eropa. Salah satu koleksinya adalah seri merek mobil yang memenangkan Grand Prix Monaco untuk pertama kali. Salah satu bujang mengantarkan kunci. Aku melepas cover mobilku, bersiul. Ini mobil seri kesekian dari merek yang sama. Opa mengoleksinya karena legenda hidup formula satu juga punya. Mobil ini kesayangan Opa. Saking sayangnya, dia jadikan mobil ini sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17 lima belas tahun silam---perayaan yang justru tidak kuhadiri, ada ujian sekolah. 
Setengah menit, mobil bertenaga itu sudah melesat meninggalkan garasi, melintasi halaman belakang. Opa melambaikan tangan. Aku hanya mengangguk, menyeringai menatap kasihan Om Liem. Satu jam ke depan, selama menemani Opa sarapan, pastilah Om Liem terpaksa mendengar Opa bercerita sambil manggut-manggut sopan.
***
“Kau tahu, Tommi, usia Opa baru lima belas saat datang dari pesisir Cina, menumpang perahu penuh tambalan, berlayar seadanya, bersama puluhan perantau yang mencari dunia baru, mencari kehidupan terjanjikan. Kami nyaris tenggelam di perairan Malaka jika tidak ditolong kapal nelayan, hingga akhirnya berhasil merapat di negeri yang sedang mengalami perang revolusi. Di radio-radio terdengar ceramah bersemangat pemuda bernama Soekarno. Dentuman granat dan suara tembakan memenuhi langit-langit kota. Opa bagai lepas dari mulut macan, masuk perangkap buaya. 
“Tetapi Opa benar, Tommi, ini tanah yang dijanjikan. Lima belas tahun berlalu, umur Opa tiga puluh saat menikah dengan Oma. Malam pengantin kami dihiasi dengan pidato tentang dekrit presiden. Saat itu Opa baru menjejak kehidupan yang baik. Setelah bertahun-tahun menjadi pedagang keliling, buruh seadanya, pembantu juragan besar, Opa akhirnya punya toko tepung terigu kecil di pojokan jalan. Tidak ramai, cukup untuk menghidupi dua anakku. Papamu Edward dan pamanmu Om Liem.”
Ini dua paragraf standar pembuka cerita Opa. Aku yang masih berusia belasan tahun bergegas memasang wajah tertarik---karena setiap selesai cerita, kalau Opa merasa kita telah menjadi pendengar yang baik, dia biasanya memberikan hadiah.
Mobil yang kukemudikan sudah melesat melewati jalanan yang semakin ramai. 
Opa bukan pebisnis yang baik. Dia (mengakunya) adalah pemusik yang baik. 
Suatu ketika Opa pernah tertawa lebar bilang kepadaku, yang masih bocah enam tahun. “Kau lihat, aku baru menyentuh klarinet ini dua minggu, tapi sudah menguasai sepuluh lagu. Indah sekali, bukan? Tidak kalah merdu dibandingkan Opera Peking. Andaikata Opa punya uang membeli alat musik semasa muda, dan tidak harus bekerja keras, boleh jadi Opa menjadi pemusik Cina terbesar abad ini.” Opa menepuk dadanya, menunjuk poster opera-opera Cina yang terpajang di ruang tamu kami. Bagiku suara klarinet Opa berisik, tidak ada indah-indahnya, apalagi dia suka membangunkanku pagi-pagi dengan meniup klarinet kencang-kencang di telinga. 
Adalah Papa Edward dan Om Liem pebisnis yang baik. Mereka memiliki garis tangan yang hebat. Umur mereka baru dua puluh tahun saat mengambil alih toko tepung terigu dari Opa. Saat itu, Papa Edward dan Om Liem dengan yakinnya bilang ke Opa, “Kalau hanya menjual bungkusan sekilo-dua kilo tepung terigu, sampai negeri ini mendaratkan pesawat ke bulan, toko ini hanya begini-begini saja. Kami sudah belajar banyak. Sudah tahu banyak. Biarkan kami mengembangkannya.” 
Opa menatap mereka berdua lamat-lamat, lantas mengangguk. Maka sejak hari itu Papa dan Om Liem penuh semangat mulai memutuskan berkongsi dengan tengkulak, petugas, dan penguasa. Mereka membeli dan menjual tepung terigu setahun dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Maju pesatlah toko di pojok jalanan itu. 
Penduduk kota mulai membicarakan nasib baik Papa Edward dan Om Liem. Dalam pesta-pesta keluarga, meja-meja makan dipenuhi tawa sanjung dan kesenangan. “Astaga, bagaimana mungkin kalian tidak akan sukses?” Tuan Shinpei, pedagang besar dari Jakarta, importir tepung terigu, rekanan Papa dan Om Liem tertawa lebar. “Pagi-pagi tadi kau menandatangani kontrak penjualan denganku. Bilang pagi itu juga akan berangkat ke Singapura mengurus pengapalan. Malam ini, kita sudah bertemu lagi, makan-makan besar? Bagaimana mungkin kau begitu cepat bolak-balik mengurus banyak hal?” 
Meja makan dipenuhi tawa.
“Ini anakku, Shinpei.” Papa Edward mengenalkanku dengan bangga.
Aku yang sedang membawa nampan berisi cangkir mendekat. 
“Astaga? Sekecil ini sudah pandai sekali bekerja?” Tuan Shinpei menepuk jidat, tertawa. 
“Kalau kau tahu berapa gaji yang dimintanya dengan menjadi pelayan semalam, kau akan mengerti kenapa dia sangat pandai bekerja.” Papa Edward ikut tertawa. 
“Memangnya apa?” 
“Sepeda. Dia minta sepeda.” 
Pedagang dari Jakarta itu terbahak, mengacak rambutku. 
“Sayang, kau lupa mengancingkan pakaianmu.” Mama yang duduk di sebelah Papa berbisik, lembut memperbaiki seragam pelayanku. Aku patah-patah menuangkan teko, bersungut-sungut melihat Papa yang masih tertawa.
Lantas apa yang dilakukan Opa kalau semua urusan bisnis dipegang Papa dan Om Liem? Opa berusaha memenuhi takdir bakat besarnya: berlatih musik. 
Pertama-tama adalah piano. Tiga bulan berlalu, “Ini bukan alat musik yang cocok untukku.” Dia menyuruh pelayan membawa piano itu ke atas truk, dijual.
Gitar. Baru satu minggu, “Ini terlalu rumit.” Dia menjual gitar itu ke pemulung, yang bersorak riang karena membelinya dengan harga murah sekali. 
Biola. “Meski aku terlihat eksotis dengan alat musik ini, tetapi belajar memainkan benda ini tidak esksotis.” Dia becermin dengan biola di bahu, menyengir, kepala semibotak Opa terlihat lucu. 
Juga harpa, seruling, drum, dan alat-alat musik lainnya. Sampai pemilik toko alat musik di kota kami menggeleng, tidak ada lagi alat musik yang belum pernah dicoba Opa.
“Kau jangan mengejekku, Tommi. Suatu saat aku pasti menemukan alat musik yang tepat, Tommi. Ketika bakat musikku bersinar terang bahkan sebelum aku mulai memainkannya.”
Yang bersinar terang itu bisnis Papa Edward dan Om Liem. Setahun terakhir, Om Liem bahkan memulai sesuatu yang baru. Aku menguping saat Papa dan Om Liem bertengkar. 
“Kita belum siap, Liem. Orang-orang sekitar juga belum siap. Caramu mengumpulkan modal ini terlalu berisiko.” Suara Papa terdengar kencang.
“Justru itu poinnya. Ketika orang-orang lain sibuk memikirkan bisa atau tidak, terbiasa atau tidak, kita sudah berlari kencang. Aku tidak akan menghabiskan hidup hanya berdagang tepung terigu. Kita tidak akan jadi pengusaha besar disegani banyak orang dengan berjualan terigu.” Om Liem balas berseru.
Malam itu rapat keluarga. Opa, Mama, dan Tante Liem ikut bicara. 
Opa yang sejak tadi mendengarkan, meletakkan klarinet, akhirnya berkata, “Cukup, Liem. Dewa bumi memberikan rezeki berkelimpahan untuk keluarga kita. Saat terkatung-katung di kapal bocor empat puluh tahun silam, aku tidak pernah membayangkan akan memiliki keluarga sebaik ini.”
Mama dan Tante Liem juga sependapat. “Opa benar. Kita tidak perlu memaksakan diri.” 
Empat lawan satu, keputusan diambil. 
Om Liem tetap memulai cara baru, meski empat suara jelas-jelas menentangnya.
Aku tidak tahu benar apa nama cara baru itu. Koperasi bukan, bank bukan, simpan-pinjam jauh, utang-piutang apalagi. Tapi soal ide bisnis canggih, Om Liem nomor satu. Tahun 80-an, saat bank masih hitungan jari, saat akses modal terbatas, Om memasang papan besar bertuliskan: “Arisan Berantai Liem-Edward” di depan gerbang rumah kami. 
“Penjelasannya mudah saja.” Begitu Om Liem setiap kali memulai pertemuan di ruang tamu. Hari itu, hari pertama, hanya tiga kolega bisnisnya yang datang, bersedia mendengarkan gagasannya. “Kami butuh modal untuk menggelindingkan bisnis yang lebih besar. Kami akan memulai berdagang gandum, jagung, obat-obatan, semen, lempeng logam, keramik, sabun, semua kebutuhan. Orde Lama sudah mati, Orde Baru tumbuh megah. Negeri ini sedang berlari. Pemerintah punya uang banyak dari minyak, dan mereka butuh barang-barang, apa saja untuk menghabiskan uang banyak itu. Kami akan membeli kapal-kapal, membangun relasi dengan penguasa, petugas, militer yang lebih tinggi, juga mengajak berkongsi dengan kalian. Kami butuh uang. Kalian berikan 100 perak hari ini, setahun kemudian akan kami gandakan jadi 150. Kami juga akan membayar bunga uang arisan dari kalian setiap bulan. 
“Bukan hanya itu. Setiap kali kalian berhasil mengajak orang lain bergabung, kalian akan mendapatkan bonus tambahan. Semakin banyak rantai yang terlibat dalam arisan ini, semakin besar bonus kalian.” Maka, dengan iming-iming uang tumbuh itu, ditambah bonus mengajak orang lain, hari berikutnya, belasan orang datang mendengarkan Om Liem. 
Sebulan kemudian, bahkan banyak yang tidak aku kenali lagi. Ruang tamu keluarga kami kehabisan kursi. Dan setahun berlalu, sudah hampir empat ratus anggota arisan itu. Membawa uang mulai dari receh saja sampai menyerahkan seluruh tabungan mereka. Mulai dari masyarakat biasa, tetangga kiri-kanan, hingga pejabat dan pengusaha dari luar kota. 
Cara baru Om Liem berhasil, dan bisnis perdagangan keluarga melesat cepat. Papa Edward dan Opa bahkan lupa pernah menentangnya. Dua gudang baru dibeli di dekat pelabuhan. Tiga kapal besar melego jangkar setiap minggu. Truk besar pun hilir-mudik. Perhitungan Om Liem tepat, bisnis kami tumbuh, ada banyak orang kaya baru di negeri ini yang hendak membangun rumah-rumah besar, memenuhi rumah-rumah mereka, belanja apa saja. 
Waktu itu umurku enam tahun. Opa masih asyik belajar meniup klarinet di beranda rumah. Papa Edward dan Om Liem sibuk dengan bisnisnya. Mama dan Tante Liem sibuk mengurus keluarga. Konspirasi besar, tamak, dan bengis itu datang menghancurkan keluarga kami.
*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar