Minggu, 29 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 40 : Air di Dalam Mulut
----------------------------------------
GERIMIS terus membungkus waduk. Aroma masakan Tante Liem di dapur tercium hingga kamar. Selalu begitu, setiap kali tahu aku datang ke rumah peristirahatan, Tante Liem memaksakan diri ikut datang, selalu memasakkan makanan yang enak-enak, selalu ingin menebus masa-masa hilang itu. Aku tidak keberatan, sepanjang Om Liem tidak ada. Sore ini, aku mengabaikan betapa lezatnya aroma masakan Tante Liem. Otakku sempurna tertuju pada cerita Opa, tidak sabaran menunggu kalimat berikutnya, seperti pencinta cerbung sedang menunggu episode baru besok pagi.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Kau tahu, Tommy,” Opa melanjutkan cerita setelah menghela napas panjang menatap kaca jendela berembun, “bagi pengikut animisme---iya, tentu saja Mata Picak adalah salah satu pengikut animisme, penyembah kekuatan alam, dia bahkan pengikut nomor wahid---pertanda alam besar selalu menjadi kesempatan hebat. Hutan gelap, kuburan meranggas, gua-gua berkelelawar, kelenteng rapuh, itu tidak apa-apanya dibanding banjir besar Sungai Kuning. Ribuan ternak hilang, puluhan ribu sawah terendam, rumah-rumah terseret bah, dan ratusan orang hanyut, tewas. Itu tragedi besar. Dan itulah kesempatan besar bagi Mata Picak melakukan pemujaan, memberikan sesembahan. Maka saat orang sedang susah oleh perang saudara, ditambah-tambah banjir, dia justru memutuskan menggelar pengorbanan. Mata Picak membutuhkan empat orang usia anak-anak untuk dilempar ke air bah Sungai Kuning.
“Rusuhlah perkampungan. Pagi-pagi sekali enam centeng, murid Mata Picak mendatangi rumah-rumah penduduk, mencari anak-anak dan remaja yang sesuai. Mereka menari-nari sepanjang jalan, tidak peduli hujan. Mereka berteriak-teriak, memukul-mukul badan dengan benda pisau, menunjukkan kalau mereka kebal, tertawa-tawa. Dan berjalan paling depan, dengan tubuh kurus tinggi bagai jerengkong, terus menggeram membaca mantra, mata putihnya berputar-putar, adalah Mata Picak. Matanya jelalatan mencari korban. Penduduk rebah jimpah, mereka masuk rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sayangnya itu percuma, Mata Picak justru ingin berkunjung.”
“Itu tidak cocok, terlalu lemah. Tidak cocok.” Mata Picak menggeleng-geleng. Dia dan centengnya sedang berada di rumah besar, dengan beberapa keluarga tinggal bersama. Ada enam-tujuh anak kecil di sana, beserta orang dewasa yang sekarang meringkuk ketakutan.
“Ini juga tidak cocok, terlalu gendut.” Mata Picak mendengus marah, kecewa.
“Yang berdiri di belakang, tarik dia ke depan. Aku ingin melihatnya dengan lebih jelas.”
Dua centeng menarik anak yang dimaksud, menendang orangtuanya yang hendak melindungi. Anak kecil itu hendak berontak, tetapi rasa takut telanjur menyergap. Dia gemetar saat dibanting duduk di depan Mata Picak.
“Dongakkan kepala!” Mata Picak berseru lantang.
Bocah itu tetap tertunduk, menangis ketakutan, tenaganya hilang oleh rasa takut---juga belasan penghuni rumah yang berkumpul, satu-dua mati-matian menggigit bibir karena ngeri.
“Mendongak kataku,” Mata Picak menggeram. 
Kepala bocah itu bergerak mendongak tanpa disentuh siapa pun.
“Haa… menarik sekali. Ini baru pilihan yang tepat.” Mata Picak awas memeriksa si bocah. Mata putihnya berputar-putar mengerikan.
“Jangan, Tuan. Jangan ambil anak saya.” Demi mendengar seruan Mata Picak, Ibu si bocah sudah loncat, bersimpuh satu meter dari kaki Mata Picak. “Ampuni keluarga kami.” Dia sungguh amat gentar dengan Mata Picak dan centengnya, siapalah yang berani melawan, tapi kekuatan kasih sayang seorang Ibu memberikannya sedikit keberanian.
“Haa… ini benar-benar pilihan yang tepat. Bawa dia.” Mata Picak tidak peduli.
“Jangan, Tuan. Kasihanilah kami.” Ibu itu beringsut, panik dan takut menjadi satu.
“Baa!” Mata Picak tiba-tiba menoleh ke arah Ibu itu---persis seperti kalian sedang bermain cilukba. “Kau pikir tangismu membuatku kasihan, orang bisu?”
Centeng Mata Picak terkekeh melihat apa yang terjadi. Tangis Ibu itu tersumpal. Dia telah bisu seketika.
“Asyik, bukan? Asyik sekali jadi bisu, bukan?” Mata Picak tertawa. “Ayo menangis lagi kalau bisa.”
Centeng Mata Picak semakin tergelak, satu-dua memukul-mukul badan sendiri.
“Bawa yang satu ini!” Mata Picak memberi perintah.
“Jangan, Tuan. Jangan. Kasihanilah kami. Dia anak satu-satunya.” Kali ini Ayah si bocah yang lompat hendak memeluk kaki Mata Picak. 
“Anak tunggal? Oh, itu lebih bagus lagi.” Mata Picak tertawa.
“Aku mohon, Tuan.” Ayah si bocah menangis, sejak tadi rasa takutnya sudah di ubun-ubun, satu-satunya yang ada di kepalanya adalah memohon. “Apa saja, Tuan. Tuan boleh bisukan istriku, Tuan boleh butakan aku, tidak mengapa. Tapi jangan ambil anak kami. Kasihanilah kami, Tuan.”
“Dia menangis. Oh, lucu sekali melihat pria dewasa menangis. Lihat, lihat, dia menyeka hidungnya yang beringus. Lucu sekali ini.” Mata Picak terpingkal, tawa merendahkan. Enam centengnya lagi-lagi ikut tertawa. Meski hujan terus turun, udara dingin mengungkung perkampungan, ruangan itu terasa sesak melihat begitu berkuasanya Mata Picak. Tidak ada yang bisa melawannya. Tidak ada.
Ayah si bocah, di tengah putus asanya, di tengah ujung akal sehatnya, berderap berlarian masuk kamar, meraih tombak berburu babi miliknya. 
“Mati lah kau orang jahat. Mati lah kau.” Dia berusaha menombak Mata Picak.
“Cilukba!” Mata Picak terkekeh, bukannya menghindar, kepalanya malah melongok ke arah Ayah si bocah, seperti anak kecil yang sedang menemukan temannya dalam permainan petak umpat.
Tombak itu jatuh berkelontang. Ayah si bocah roboh tanpa disentuh. Badannya kejang-kejang. Dan seolah sedang beranjangsana ke taman bunga, melihat warna-warni kembang dihinggap kumbang, Mata Picak melambaikan tangannya tidak peduli. Dia sudah santai melangkah menuju pintu keluar. Enam centengnya mengikuti, sambil menggendong anak yang akan dikorbankan, menyisakan tangisan pilu, takut, dan marah. Semua bercampur jadi satu dalam keluarga besar itu.
***
Kamarku lengang, Opa diam sejenak, mengusap kepala berubannya.
“Semua cerita itu seperti tidak masuk akal, bukan? Seperti legenda tua hantu Cina saja.” Opa menelan ludah, menatapku.
Aku mengangguk, ikut meneguk ludah.
“Tetapi di dunia ini, bahkan ada yang lebih tidak masuk akal dari cerita itu, Tommy.” Opa menatapku dengan tatapan bijak dan penuh kasih sayang. “Lebih jahat, lebih zalim, dan betapa tidak beruntungnya, karena tidak seorang pun berani melawannya. Di dunia ini banyak orang melupakan sifat baik di hatinya. Kau, misalnya, papa dan mamamu mati terbakar bersama rumah dan harta benda milik kita. Anak-anak itu, mereka dilemparkan ke dalam Sungai Kuning yang justru sedang mengamuk. Airnya menjilat-jilat bibir sungai, bergemuruh mengerikan.”
“Di belahan bumi lain, ribuan orang ditembaki saat mencoba melawan, dibariskan, dibantai. Di negara lain, ribuan tentara membunuh warga sipil musuhnya. Di kota lain, seseorang tega menukar vaksin obat untuk wabah penyakit, agar dia lebih kaya sejengkal. Itu bahkan membunuh puluhan ribu orang secara serentak yang seharusnya sembuh. Juga orang yang tega membangun gedung seadanya, mengambil biaya yang bukan haknya, gedung itu roboh, ratusan mati dalam satu detik. Semua itu membuat ilmu hitam, dukun teluh seperti Mata Picak, seperti tidak ada apa-apanya. Dan yang membuat sesak, seolah tidak ada yang bisa melawannya, tidak ada yang berani mencegah.” 
Aku mengangguk, menunduk---Opa suka sekali menyebut-nyebut Papa dan Mama dalam cerita seperti ini. Aku tahu, Opa sedang mengajariku untuk mengenang kejadian itu dengan baik, tapi rasa-rasanya aku selalu sedih mengingatnya.
“Nah, kenapa cerita ini horor sekali bagi orang tua ini, Tommy?” Opa tersenyum, memegang lenganku, kembali ke ceritanya.
“Kau tahu? Kenapa?”
Aku menggeleng.
“Karena akulah salah satu dari empat korban yang disiapkan Mata Picak.”
“Tidak mungkin!” aku berseru.
“Mungkin saja.” Opa tertawa kecil.
“Opa bergurau!”
“Aku jelas sedang serius sekali, Tommy.”
“Bagaimana? Bagaimana?”
“Bagaimana aku selamat?” Opa meneruskan pertanyaanku. “Itu adalah salah satu keajaiban dalam hidupku, Tommy. Nah, biar aku lanjutkan ceritanya agar kau tahu.”
Kali ini dadaku hendak meletus oleh antusiasme. Belum pernah aku setertarik ini mendengar cerita-cerita lama Opa. Aroma lezat masakan Tante Liem seperti luruh ke lantai, terabaikan. Opa salah satu dari anak itu, bagaimana mungkin?
“Nah, setelah empat korban terpilih, Mata Picak menyuruh centengnya memasukkan kami ke dalam empat guci tembikar berukuran besar. Usiaku saat itu sepantaranmu, anak-anak remaja. Tidak terbayangkan badanku disirami air kembang yang baunya busuk, dimasukkan paksa ke dalam guci, lantas guci ditutup, disegel dengan mantra. Orangtuaku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang bisa melawan? Setidaknya mereka tidak dibuat bisu, buta, atau dibunuh oleh Mata Picak. 
“Tapi ada rahasia kecil yang tidak diketahui banyak orang. Saat tahu Mata Picak dan centengnya sedang berkeliling kampung mencari korban, beberapa saat sebelum mereka tiba di rumah, ibuku menyeretku ke dapur. Dia menyuruhku menyimpan air di dalam mulut. Aku ingat sekali wajah Ibu saat itu, ‘Jangan banyak tanya, Nak. Kau ingat pesan Ibu, jangan ditelan, jangan dikeluarkan. Apa pun yang terjadi, biarkan air itu ada di dalam mulutmu. Paham?’ Ibu mencengkeram bahuku. Aku mengangguk, gemetaran oleh rasa takut. Aku belum mengerti kenapa Ibu menyuruhku menyimpan air dalam rongga mulut, sementara Mata Picak bisa saja membunuh orang tanpa menyentuhnya.
“Mata Picak tiba di rumah kami. Dia menyelidiki wajahku, mengerikan sekali menatap cekung tanpa bola mata di wajahnya dengan jarak sedekat itu, belum lagi mata putihnya terus memeriksa, ludahnya terpercik saat bicara, busuk sekali. Aku hampir saja menelan air yang tersimpan di mulutku. Tapi aku meneguhkan diri, mencengkeram lutut, mengingat pesan Ibu. Dua menit memeriksa, Mata Picak memilihku. Orangtuaku hanya bisa tersungkur tanpa bisa protes, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Salah satu centeng menggendongku kasar, membawa pergi.
“Kami berempat dimandikan air kembang. Mata Picak membaca mantra. Murid-muridnya berjingkrak senang. Aku hampir mengeluarkan air di mulutku saat dipaksa masuk ke dalam guci, kepalaku ditekan kasar. Mereka menutup guci dengan anyaman rotan. Mata Picak menyegelnya dengan mantra. Tiga anak lain langsung tertidur setelah mantra dibacakan. Dan ternyata itulah gunanya pesan Ibu. Konsentrasiku mati-matian menjaga air di dalam mulut agar tidak tertelan atau keluar, membuatku tidak bisa dimantra. Aku tetap terjaga.
“Ritual sesembahan Sungai Kuning itu dilakukan malam hari, saat purnama berada di titik paling tinggi. Murid-murid Mata Picak terus saja sibuk dengan teriakan, tarian, dan semua prosesi. Hujan deras membungkus perkampungan, banjir semakin menggila, Sungai Kuning meluap-luap. Suaranya terdengar hingga perkampungan. Aku bisa mendengarnya dari dalam guci. Ketika Mata Picak melolong panjang, muridnya berbaris membawa empat guci itu ke bibir sungai, dan dengan satu teriakan perintah dari Mata Picak, empat guci dilemparkan, berdebum langsung ke dalam air deras. Air sungai meledak empat kali menyambut guci-guci yang dilemparkan.”
Opa tersenyum melihat wajah terperangahku.
“Tentu saja aku selamat, Tommy. Aku selamat…. Aku tidak pernah berada di dalam guci itu saat dilemparkan. Aku sudah melarikan diri saat Mata Picak dan murid-muridnya sedang ekstase membaca mantra. Mereka dibutakan oleh kesaktian, merasa tidak akan ada lagi yang bisa melawannya. Mereka meninggalkan empat guci tanpa penjagaan. Aku dengan mudah keluar dari guci, memasukkan batu ke dalam guci agar beratnya tetap sama, lantas berlarian pulang mencari Ibu, menangis, mengeluarkan air dari mulutku di telapak tangan Ibu. Ibu balas memelukku erat-erat. 
“Aku berhasil kabur, sesembahan Mata Picak telah gagal. Hanya ada tiga anak yang dikorbankan. Dan seperti kebanyakan ritual animisme, gagalnya sesembahan bisa berakibat fatal, apalagi itu sesembahan puncak. Sejak malam itu, kesaktian Mata Picak luntur bagai kain berwarna berubah menjadi pias. Seminggu kemudian, saat seseorang ternyata berhasil melemparkan batu ke halaman rumahnya penuh kebencian, batu itu tidak berbalik arah seperti biasanya. Hanya soal waktu seluruh penduduk kampung berani melawan. Perang saudara terus terjadi bertahun-tahun kemudian hingga aku tumbuh dewasa. Juga banjir besar dari Sungai Kuning. Tetapi cerita Mata Picak dan murid-muridnya sudah lama tutup buku setahun setelah kejadian itu. Mereka dilemparkan ke dalam Sungai Kuning dengan kaki dan tangan terikat. Itu memang tidak pernah setimpal dengan kejahatannya. Tetapi mau dikata apa, hukuman maksimal di muka bumi ini hanyalah kematian.”
Opa bersedekap, tersenyum simpul mengakhiri seluruh cerita.
Aku akhirnya menghela napas yang sejak tadi tanpa sadar tertahan. 
“Bagaimana? Seram, bukan?” Opa bertanya.
Aku mengangguk.
“Nah, mari kita lupakan cerita ini dengan masakan lezat tantemu. Ayo, Tommy.”
***
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong di belakang pesawat.
“Bagaimana lututmu, sakit?” Aku menyikut Rudi.
“Kau gila, Thomas, kau seharusnya bilang sejak awal kita harus loncat dari pesawat!” Rudi tertatih, berlarian meninggalkan mobil pengait bagasi.
Aku ikut tertawa, terus berlari menuju jalan raya, menyetop taksi yang melintas. Tentu saja kami harus loncat dari pesawat. Itu satu-satunya cara kabur dari pasukan yang bersiap menembak mati di tempat.
Panjang landasan pacu bandara internasional setidaknya 2.400 meter, kurang dari itu, maka tidak akan cukup bagi pesawat berbadan besar untuk mendarat atau lepas landas. Bangunan bandara lazimnya selalu berada di tengah landasan pacu sepanjang dua kilometer lebih itu. Jika sebuah pesawat akan mendarat, pesawat itu akan menyentuh runaway di posisi paling ujung, terus berusaha mengerem, memperlambat laju, sebelum tiba di ujung landasan satunya. Kemudian pesawat itu berputar arah, kembali ke bangunan bandara, parkir menurunkan penumpang.
Berapa jarak ujung terjauh landasan pacu bandara dari bangunan terminal? Hampir satu kilometer. Kalian tidak akan bisa melihat detail pesawat di ujung sana dengan jarak sejauh itu. Begitu pula pasukan khusus yang sedang geram, siaga total menunggu di bangunan terminal. Bagaimana aku bisa kabur dari mereka? Sama seperti strategi Opa, keluar dari guci besar pada saat yang tepat. 
Lima menit kami bersitegang di kabin pilot sebelum pesawat mendarat. Rudi mengeluarkan tanda pengenalnya, menunjukkan pistolnya, membual tentang situasi darurat. Rudi menjelaskan ada satu gerombolan teroris yang mengaku pasukan khusus menunggu kami, dan bersiap membunuh tahanan penting, saksi pembunuhan---itu aku. Pilot ragu-ragu, mengonfirmasi ke menara pengawas. Tentu saja itu benar, ada pasukan khusus yang sedang mengambil alih bandara, hendak menangkap penjahat yang ada di pesawat. Rudi membentak, bilang mereka yang berada di daratlah yang sebenarnya penjahat. Pilot ragu-ragu, tetapi karena mereka mengenali Rudi pernah mengawal memindahkan tahanan transfer di penerbangan sebelumnya, pilot tidak punya pilihan, memutuskan membantu salah satu pihak. 
Persis di ujung landasan, pesawat bergerak amat lambat, pilot sengaja bergerak lebih pelan dan lebih menepi di runaway. Roda pesawat hampir menyentuh lapangan rumput. Pramugari cekatan membuka pintu samping. Lima belas detik, urusan selesai. Kalian pernah loncat dari bus yang masih bergerak tidak sabaran menurunkan penumpang? Atau kereta api? Nah, loncat dari pesawat yang bergerak tidak ada bedanya, hanya lebih tinggi, itu saja. Aku dan Rudi adalah anggota klub petarung, cukup terlatih untuk urusan loncat dari ketinggian dua meter. Kami langsung berguling di rumput. Pramugari segera menutup pintu. Pilot terus melajukan pesawat menuju terminal. Enam pasukan khusus itu persis seperti centeng Mata Picak, tidak pernah menyadari kalau pesawat berjalan terlalu lambat saat memutar di ujung landasan, dan perintah komandannya untuk menahan pesawat lepas landas selama penyergapan, justru membuat banyak pesawat parkir di sisi runaway, menghalangi pemandangan, melindungi aksi kami dari kejauhan, tidak terlihat.
Komandan pasukan khusus itu hanya menemukan kursi kosong.
Setelah bergulingan menghantam rumput di luar runaway, aku dan Rudi berlari dengan kaki masih terasa sakit, pincang, mengambil mobil pengait bagasi yang terparkir tanpa petugas, menabrakkannya ke pagar bandara, lantas menyelinap keluar dari pagar kawat yang bengkok. 
Persis saat komandan pasukan itu memukul kursi kosong dengan teriakan marah---seperti Mata Picak yang berteriak marah melihat sesembahannya gagal, aku dan Rudi sudah loncat ke dalam taksi, melesat menuju tempat pertemuanku dengan putra mahkota, menemui seseorang yang menjadi kunci paling penting penyelamatan Bank Semesta. Satu telepon darinya, bisa mengubah seluruh keputusan rapat komite nanti malam. Dalam urusan ini, dia dan partai politiknya bahkan lebih sakti dibanding Mata Picak beserta centeng-centengnya.

0 komentar:

Posting Komentar