Kamis, 19 Oktober 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 29 : Pilihan Rasional Atas Dua Kemungkinan Buruk
--------------------------------------------------------------------------
TAKSI yang kutumpangi dari dermaga yacht masih setia menunggu.
“Kita ngebut lagi, Pak?” pengemudinya bertanya, menyeringai.
Belum hilang anggukanku, belum genap menyebut tujuan berikutnya, mobil sudah melesat meninggalkan pelataran parkir gedung Bank Semesta.
Hari Minggu, jalanan protokol lengang.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Telepon genggamku berbunyi saat aku merebahkan punggung, berusaha rileks sejenak. Nama Erik terpampang di layar telepon genggam. Aku menggerutu, sejak tadi aku menunggu nomor kontak yang akan dikirimkan Erik.
Aku mengangkat telepon, setengah berseru. “Kau butuh berapa lama lagi untuk mengirimkan business card putra mahkota, Erik?”
“Sabar, Thomas.” Erik berkata santai.
“Astaga, waktuku terbatas.” Aku mulai jengkel.
“Aku harus melewati beberapa prosedur sebelum memberikan nomor kontaknya, Thom. Kau tahu, ini tidak seperti memberikan nomor telepon artis idola atau pengarang kesayangan, atau nomor telepon terapis langgananmu. Lagi pula, kabar buruknya, dia tidak otomatis mengangkat setiap telepon yang masuk. Nomormu tidak dikenali, mau kau telepon belasan kali, jangan harap dia angkat, dilirik pun tidak.” Erik menjawab dengan logika.
Aku terdiam sejenak. Benar juga.
“Nah, kabar baiknya, aku baru saja menelepon dia lima menit lalu, bilang ada teman klub petarung yang ingin menghubungi, membicarakan sesuatu yang amat penting. Dia bersedia kauhubungi, tapi tidak lewat telepon, Kawan, riskan sekali melakukan pembicaraan sensitif lewat telepon. Dia menyediakan waktu untuk pertemuan langsung. Kabar baik, bukan?” Erik tertawa.
Aku mengepalkan tinju, senang mendengarnya. 
“Ini jelas lebih baik, Erik. Terima kasih banyak. Kau memang teman yang baik.”
“Berterima kasih saja tidak cukup, Thom, kau harus mencium kakiku.” Erik masih tertawa. “Meminta jadwal pertemuan dengan putra mahkota tidak pernah mudah. Aku harus meyakinkannya berkali-kali kalau kau akan membicarakan sesuatu yang penting sekali.”
“Di mana pertemuannya?” Aku mengabaikan kalimat Erik dan tawanya, bergegas memastikan.
“Nanti sore pukul empat di Denpasar. Dia dan petinggi partai politiknya sedang di sana, urusan partai, membuka munas, musda, atau apalah.”
Aku mengembuskan napas. “Tidak bisakah dia ke Jakarta, Erik. Jadwalku ketat sekali sebelum besok pagi kantor buka.”
Erik tertawa menyebalkan. “Kau gila, Thom. Kau pikir dia klien, teman kantor, atau siapalah yang bisa kau suruh-suruh selama ini. Esok lusa boleh jadi kau melihatnya di televisi sedang pidato kenegaraan, dan kita tidak bisa lagi memanggil namanya langsung tanpa sebutan Bapak.”
Aku menelan ludah. “Aku hanya bergurau, Erik. Kau tidak pernah mengerti sarkasme, entah itu di rapat-rapat atau bahkan dalam percakapan telepon sekalipun. Aku bisa ke Denpasar nanti sore pukul empat, itu hanya perjalanan dua jam. Terima kasih sudah membantuku.”
“Simpan saja terima kasihmu sekarang, Thom. Aku akan menagihnya di waktu yang tepat, permintaan yang tepat, dan harga yang mahal.” Erik menyengir.
“Aku akan membayarnya. Pegang janjiku.”
“Great. Adios, Kawan.”
“Sebentar, Erik,“ aku mencegah Erik menutup telepon, teringat sesuatu, “tadi kau bilang tidak mudah bertemu dengannya, lantas bagaimana kau hanya butuh waktu lima menit untuk meyakinkan dia?” 
“Itu gampang, Thom. Aku tiru mentah-mentah trik kau selama ini. Kubilang, orang ini, yang meminta jadwal bertemu, hendak menyumbang sepuluh miliar untuk dana partai. Brilian, bukan? Dia bahkan lupa untuk bertanya siapa namamu. Nah, selamat berlibur, jangan lupa bawa sunblock atau papan selancarmu. Selamat bertemu dengannya, Thom. Ingat, kau harus sopan. Dia amat sensitif. Maklumlah, anak muda yang tiba-tiba kejatuhan bulan, kekuasaan besar di tangan, banyak sekali penjilat di sekitarnya. Salah-salah kata, mood-nya bisa rusak, dan kau kehilangan kesempatan. Kalau dia siapalah, paling juga sedang keringatan mengepit map lamaran kerja, atau gugup mengerjakan lembar ujian psikotes.” Erik tertawa, menutup telepon.
Aku mendengus pelan, lelucon yang buruk. 
Mobil taksi terus membelah jalanan lengang.
Telepon genggamku berbunyi lagi saat aku baru saja rileks meluruskan kaki.
“Kau di mana, Thomas?” Suara Julia, sedikit terdengar panik.
“Aku di taksi, menuju kantor, hendak mengambil berkas. Lantas baru ke tempatmu. Ada apa?”
“Tidak ada waktu lagi, Thomas. Kau harus segera ke sini. Jadwal pertemuan kita dimajukan satu jam. Ajudan menteri baru memberitahuku beberapa detik lalu.”
“Kau yakin?” Aku melirik jam di dashboard taksi, itu berarti tiga puluh menit lagi
“Bergegas, Thomas!” Julia menjawab jengkel. “Atau hanya aku yang akan menemuinya, melakukan wawancara basa-basi sesuai skedul.”
“Tetapi berkas itu penting, Julia. Itu akan membuat perbedaan.”
“Peduli amat dengan berkas itu. Kau suruh siapa saja mengantarnya. Aku tidak bisa menelepon kau lama-lama. Lobi gedung ini semakin ramai, sepertinya semua wartawan berebut ingin tahu apa yang sedang terjadi. Ada staf khusus Istana yang datang. Mobilnya baru merapat. Dia sepertinya juga akan bertemu menteri. Teman wartawan lain sudah berlari-lari mengerubungi. Aku juga harus mendengar apa yang dia katakan.”
Percakapan telepon diputus. 
Baiklah, kepalaku melongok ke depan, menyebut tujuan baru pada sopir taksi.
“Lebih ngebut, Pak?” pengemudi bertanya polos.
“Terserah kau saja,” aku menjawab pendek.
“Siap, Pak.” 
Taksi dengan cepat meliuk, menyalip dua mobil sekaligus.
Aku menekan nomor telepon genggam Maggie, aku harus meminta Maggie mengantarkan dokumen itu. Tanpa salinan dokumen yang disiapkan Maggie, aku tidak bisa membujuk Ibu Menteri. Kalian tidak akan pernah bisa membujuk wanita berhati baja itu, aku mengenalnya bahkan sejak kuliah. Satu-satunya cara meruntuhkan sebuah keteguhan sikap atas kejujuran dan integritas hidup hanyalah dengan mengurung dia dengan dua pilihan. Hanya dua pilihan, tidak lebih, tidak kurang. Dua pilihan yang sama-sama sulit. Maka ketika skenario itu terjadi, konteksnya menjadi berubah: pilihan paling rasional atas dua kemungkinan terburuk. 
Salinan dokumen yang dipegang Maggie adalah kuncinya.
*
**
***
Episode 30 : Bidak Ketiga
--------------------------------
LOBI gedung ramai oleh “lalat” pencari berita. Tetapi tentu saja mereka tidak peduli ketika taksi yang kutumpangi merapat. Mereka menunggu pejabat penting. Aku menyeringai, melintasi lobi tanpa gangguan. Seandainya mereka tahu akulah yang sedang berusaha mati-matian menskenariokan banyak hal terkait Bank Semesta, memegang kunci informasi penting, mungkin mereka akan saling sikut, saling dorong mengepungku. Apa kata Opa dulu, di dunia ini, urusan penting dan tidak penting hanya terlihat dari kulit luarnya saja. Orang terkadang lupa, orang-orang di sekitarnya yang selama ini terlihat biasa saja dan sederhana, justru adalah bagian terpenting dalam hidupnya.
Lupakan kebijaksanaan Opa, aku harus bergegas menemui Julia. Sejak tadi dia menunggu.
Dari gumaman kuli tinta, menuju lift, aku tahu isu tentang rapat komite stabilitas sistem keuangan hanya menunggu waktu digelar. Staf Istana sudah hadir. Petinggi bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan dalam perjalanan pulang dari luar kota---setelah mengisi jadwal kuliah umum. Beberapa petinggi bank besar milik negara, pejabat tinggi, dan anggota komite juga telah dihubungi.
Aku menekan tombol lift. Pintu lift membuka. Aku melangkah masuk, sendirian, menatap wajah di dinding. Aku menyisir rambut dengan jemari, merapikan jas yang kukenakan, menepuk debu di celana gelap, dan mengangguk. Semua sudah oke. 
Lift mendesing naik, lima belas detik lengang. Kontras dengan di luar tadi.
“Akhirnya kau tiba tepat waktu, Thom.” 
“Eh?” Aku menelan ludah.
Wajah dan suara Julia sudah menungguku persis ketika pintu lift terbuka, lantai ruangan menteri. Julia berseru dengan wajah cemas. Dia sepertinya sejak tadi berdiri di lorong lift.
“Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Thom.” Julia tidak memberikanku kesempatan bernapas, bergegas melangkah menuju meja resepsionis yang dijaga beberapa petugas keamanan---yang sejauh ini berhasil menghalau siapa saja yang hendak masuk ruangan menteri.
“Sebentar, Julia. Kita tidak bisa menemui beliau sekarang. Aku harus menunggu Maggie. Ada dokumen penting.” Aku mengingatkan, masih berdiri di lorong.
“Tidak akan sempat, Thom. Ajudan menteri sudah mengingatkan dua kali. Jika kita tidak segera masuk ruangan, jadwal kita dibatalkan.”
“Dua menit, Julia! Ayolah, kita tunggu dua menit.”
“Thomas, kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit.” Wajah Julia terlihat menyebalkan. Dia sudah berdiri di depan meja resepsionis, ujung lorong, berseru, ditonton petugas keamanan. “Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review kami untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini. Aku masuk duluan kalau kau tidak mau.”
Aku menggeleng. Percuma aku masuk dalam sebuah “pertempuran” tanpa amunisi.
Kabar baiknya, sebelum Julia berseru jengkel, masuk sendirian ke dalam ruangan, atau melemparku dengan tasnya, suara denting pelan berbunyi. Pintu lift di belakangku terbuka.
Maggie dengan napas tersengal datang membawa dokumen.
“Aku tidak terlambat, bukan?” Maggie bertanya cemas.
Demi melihat wajah bergegas Maggie, aku sungguh tertawa lega. “Kau tidak pernah terlambat, Mag. Kau sudah seperti superhero yang menyelamatkan dunia, selalu datang tepat waktu.”
Maggie mengembuskan napas. “Syukurlah. Ini dokumennya, Thom. Semua ada di sana.”
Aku memeriksa sebentar, mengangguk.
“Eh, kau bersama Nenek Lampir itu?” Maggie berbisik, menunjuk.
Aku mendongak, menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjuk Maggie.
Aku seketika tertawa, menatap Julia yang masih berdiri menunggu di depan meja resepsionis. Maggie pastilah masih sebal karena kemarin Julia merangsek ruanganku, tidak bisa dia cegah. 
“Astaga, bahkan wajahnya sekarang tetap sama seperti dia menerobos kantor kemarin. Judes, tidak berperasaan, tidak sabaran. Benar-benar Nenek Lampir.” Maggie bergumam.
“Dia wartawan, Mag, begitulah kelakuannya.” Aku tersenyum pada Maggie. “Nah, terima kasih untuk dokumen ini. Kau bisa segera kembali ke kantor. Aku memerlukan beberapa bantuan lainnya. Aku harus ke Denpasar nanti sore. Ada pertemuan penting pukul empat. Kau bisa bantu menyiapkan perjalanan, juga menghubungi beberapa orang lagi dan beberapa informasi penting.”
“Baik, baik.” Maggie mengusap wajahnya, memasang wajah pura-pura kecewa besar. “Nasib sekali menjadi stafmu, Thom. Bertahun-tahun hanya disuruh mengurus tiket pesawat, kurir dokumen, mengumpulkan informasi, dan remeh-temeh lainnya. Sementara Nenek Lampir tidak jelas yang baru kaukenal kemarin itu kauajak bertemu dengan menteri.”
Maggie menekan tombol lift.
Aku tertawa lagi. “Kau lupa kalimatku barusan Mag. Kau adalah superhero. Julia hanya Nenek Lampir.”
Pintu lift terbuka.
“Ya, ya, superhero remeh-temeh. Bye, Thom. Salam buat Nenek Lampir itu. Semoga dia tidak naksir kau. Kalau kejadian, aku bisa menjadi pesuruh rendahannya kelak.” Maggie sudah masuk ke dalam lift.
Aku mengabaikan gurauan Maggie, melangkah menuju meja resepsionis.
Petugas memberikan kami kartu pengenal. Untuk ketiga kalinya dia mengingatkan jadwal kami yang hanya tiga puluh menit. Aku mengangguk, mengenakan kartu pengenal, itu lebih dari cukup.
“Stafmu itu tadi bilang apa?” Julia bertanya saat kami melangkah menuju pintu ruangan menteri, sambil merapikan pakaiannya.
“Dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku sengaja menjawab lurus.
“Apa?” Dahi Julia terlipat.
“Iya, dia bilang kau Nenek Lampir.” Aku melambaikan tangan.
“Dasar sialan!” Julia bahkan terhenti sejenak.
“Beliau sudah datang lima belas menit lalu, Julia. Kita tidak punya waktu bahkan untuk satu menit membahas tentang Nenek Lampir. Kau tidak tahu apa yang telah dilakukan pemimpin redaksi review untuk mendapatkan jadwal audiensi sepenting ini, bukan?” Aku terus melangkah
Wajah Julia terlihat merah padam, berbisik ketus. “Kau memang lelaki pembalas, Thomas. Dan stafmu tadi juga mewarisi sikap buruk itu.”
Aku hanya menyengir, mendorong pintu. Inilah pertemuan penting kedua setelah kemarin sore aku sengaja satu pesawat dengan gubernur bank sentral dan ketua lembaga penjamin simpanan. Bidak kedua dalam permainan penting ini.

0 komentar:

Posting Komentar