Selasa, 30 Januari 2018

Apakah Bapak Wafat?

Apa Bapak Wafat ilustrasi RE Hartanto Kompas
Apa Bapak Wafat? ilustrasi RE Hartanto/Kompas
Pagi itu, pagi biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya. Di rumah kami, inilah pagi ke sekian ratus terakhir, di mana aku dan kakak perempuanku menyambung hidup dalam kesederhanaan bersama Bapak kami. Pensiunan pegawai negeri yang sudah melewati 70 tahun usianya dan dalam kondisi kesehatan yang sangat tidak baik.

Bapak adalah seorang tradisionalis sejati, pengikut ajaran Taman Siswa yang belajar langsung dari Ki Hajar Dewantara. Secara politis, ia mengikuti orientasi ayahnya yang nasionalis tulen ala Tan Malaka, teman seperjuangan sang kakek walau berasal dari komunitas yang berbeda. Jadi dapat dibayangkan, bagaimana sepanjang hidup Bapak bangun jam empat sebelum Subuh, bebenah rumah—terutama kamar mandi plesteran yang selalu rapi dan bersih—tiba di kantor, instansi negara, pukul tujuh, kembali pukul 5 sore, berkebun, mengawasi anak belajar hingga sembilan petang, membereskan rumah pukul 10 malam, mendengarkan wayang di radio dua band pukul 11 dan tertidur antara pukul satu dini hari.

Tidak merokok, tidak ngopi, juga tak suka kongkow dengan tetangga, makan pepaya dua kali sehari untuk tidak memperparah ambeiennya yang sudah seperempat abad: Bapak bisa dibilang sangat konservatif, kolot boleh anak muda bilang begitu. Tapi penyakit berat, karena usia tentu saja, lebih utama lagi karena—kata orangtua—kepaten obong, setelah istrinya meninggal tujuh tahun lalu, tentu saja membutuhkan perawatan agak lebih. Kami berdua, kakak beradik, mengambil pilihan untuk menjalankan tugas itu. Lebih dari kewajiban kakak sebagai istri dari seorang pegawai negeri juga, dengan satu anak. Atau aku, karyawan perusahaan media yang sangat dituntut kinerja dan loyalitasnya.

Kami habiskan hampir semua waktu di luar kewajiban sosial-formal yang ada untuk Bapak. Bapak tentu tahu. Walau sudah tiga tahun lebih ia yang hanya bisa berbaring memilih memejamkan mata sepanjang hari. Seolah dengan begitu ia lebih bisa “melihat”, antara dunia nyata yang masih dihidupinya atau dunia baqa yang seakan menghidupinya. Kami sangat paham. Tak menuntut lebih dari itu. Sudah hampir sepuluh windu ia hidup, sebagian besar untuk anak dan keluarga, tentu tidak berarti apa-apa pengabdian yang kami berdua berikan. Tanpa harus cemburu dengan lima saudara kami yang lain, sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing di kota berbeda.

Apa yang kami bingung harus bersikap bagaimana, adalah hal kecil terjadi sore kemarin. Bapak membuka matanya, menatap kakakku dengan seksama. Tentu tanpa bicara, seperti sudah ia lakukan sekitar 5,5 tahun terakhir. Aku datang dan kulihat matanya pun beralih padaku. Entah apa arti pandangan itu. Hingga jam 11 malamnya, saat ia dahulu biasa mulai mendengarkan wayang kulit, ia minta dibangunkan, hanya untuk mandi di kamar mandi. Kami bukan hanya bingung dengan permintaan itu, tapi juga malu karena ketekunan kami belum ada apa-apanya dibanding cara Bapak dahulu merawat kamar mandi.

“Kamar mandi masih kotor, Pak,” kakak coba menutupi rasa malunya. Bapak berkeras. Ia malah seperti coba bangkit dengan mengangkat kepalanya. Sejak momen itu, Bapak banyak meminta atau melakukan sesuatu yang tidak “biasa”, bahkan luar biasa. Esok paginya, ketika aku terbangun karena azan Subuh, kulihat Bapak sudah duduk di pinggir tempat tidur. Bahkan ia minta sarapan bersama di meja makan.

Kami tidak pernah berani berpikir tentang “keajaiban”, ketika matahari mulai tinggi Bapak berjalan keluar rumah menikmati kehangatannya. Kakakku masak, aku bolos kerja untuk mendampingi “keluarbiasaan” Bapak hari ini. Sampai tengah hari, kehidupan seolah kembali “normal” seperti dulu. Bapak baca koran sambil minum teh hangat pada jam delapan pagi, tradisinya setelah pensiun. Sampai siang ia sibuk dengan dokumen, arsip hingga kepustakaan yang selama ini ia kelola dengan rapi. Makan siang diisi obrolan ringan yang —jarang sekali—sesekali ditingkahi candaan dan tawa.

Tidak berani kami menggambarkan situasi menjelang sore, ketika Bapak mulai masuk kebun, menyapu, membersihkan sampah dedaunan dan merawat pepohonan seperti merawat keluarganya sendiri. Bahkan kami harus melongo melihat Bapak membawa dua ember air untuk menyirami tanaman di kebun itu. Kakak cuma berdiri terpaku, seperti lupa atau tidak tahu harus mengucap istighfar atau hamdalah, sebagaimana refleks ia katakan dalam menghadapi sesuatu.

Aku sendiri hampir tidak tahan untuk bertanya, “apa yang terjadi pada Bapakku?”. Ingin rasanya langsung bertanya pada yang bersangkutan. Tapi ketika aku tidak tahan menyampaikan langsung pertanyaan itu, telepon selularku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Aku ingin tidak peduli, tapi karena selintas terbaca pesan singkat itu berasal dari adik bungsu, anak yang merasa paling mencintai dan dicintai Bapaknya, aku terpaksa membuka pesan itu.

“Ya Allah …. Ya Allah…” begitu awal pesan itu, “Innalillahi wainna ilaihi roji’un …. (emotikon tanda orang bersedih sangat). Kenapa bukan Mas dan Mbak yang kasih tahu pertama, malah tetangga. Bagaimana sih? Ya Allah…Bapak…Bapak…”

Aku terhenyak. Belum mengerti apa maksud dari SMS adikku itu. Namun setelah itu berduyun pesan singkat datang, dari semua saudara, kerabat, hingga kenalan dekat. Begitupun yang diterima oleh kakakku. Telepon yang menyatakan belasungkawa begitu luar biasa, mungkin bukan karena banyaknya, tapi lebih karena kekagetan kami berdua: “Bapak sudah meninggal??” Bagaimana orang-orang itu semua tahu, dari mana info itu semua, sedangkan Bapak sendiri ….

Belum selesai pikiran kami menyelesaikan kalimatnya, tubuh keropos tua itu lewat di depan kami, dengan dua ember air di kanan kirinya. Kedua matanya memandang kami, seakan tersenyum dan menegur, “Ayo hidup jangan kebanyakan bengong…kerja!”. Tapi kami benar-benar bengong. Semua peralatan tubuh tidak mampu kerja.

Namun akhirnya kami bergerak. Meminta Bapak istirahat, dengan alasan antara lain hari telah mendekati maghrib. Bapak tentu bersedia, duduk di kursi rotan yang setengah tidur, meminum air putih segar dan menghela nafas panjang. Pisang tanduk rebus hangat di sisinya, tidak ia sentuh. Matanya terpejam. Kami memandangnya tajam. Sedang apakah ia? Benarkah ia masih hidup, atau mungkin ia sudah…jadi mayit seperti banyak SMS dan telepon yang masuk?

“Bapak…” kakak saya coba menegur. Bapak diam. Kami berpandangan. “Ini banyak SMS dan telepon yang…” Belum habis kata-kata kakak, Bapak membuka sedikit matanya, seperti menegur, “Aku tahu…” Tapi…tapi…mengapa… “Aku tahu…” sekali lagi Bapak menegur dengan pandangnya.

Kami tetap tak bisa menjawab. Kenapa…atau…apakah benar Bapak sebenarnya…

Kedua mata tua itu menutup perlahan seperti menyatakan, “Benar…” Lalu…kenapa…kenapa… “Kenapa Bapak tidak buktikan bahwa itu tidak benar?! Bapak sehat, sehat sekali!” aku tidak tahan untuk bicara, bahkan agak keras.

Kali ini bibirnya yang bicara. Ia senyum kecil. Satu peristiwa langka dalam hidup kami. Tapi bermakna banyak, tentu saja, apalagi di saat ini. Senyum itu seperti mengatakan, “Bapak memilih yang benar.”

Kami tidak tahu harus berbuat apa, bahkan berkata apa. Bapak tetap diam terbujur di kursi rotan itu. Posisi setengah rebah yang semeleh. Mata terkatup rapat tanpa ketegangan, bibir berjungkit sedikit mencipta senyum yang langka. Kami tak sempat lagi hendak berbuat. Ketukan pintu, tetangga, teman dan kerabat terdekat hingga saudara-saudara akhirnya membanjir datang. Menciptakan dengung, orkestra tangisan, hingga jeritan.

Aku yang masih bingung, membuka kembali selular yang memberi tanda pesan masuk. Kulihat pesan itu tiba pukul 06.17 PM. Kalau orang-orang ini berdatangan selama seperempat jam terakhir, berarti Bapak tersenyum terakhir sekitar pukul enam petang. Lalu SMS adik bungsu, yang pertama kali masuk menangisi kepergian Bapaknya, kuperiksa seksama, pukul 06.25 PM. Eh?!! Pukul berapa sekarang sebenarnya? Kutengok penunjuk waktu di selular itu, menunjuk angka digital: 05.50 PM. Yang benar saja? Yang benar saja?!!

Tapi…angka digital itu…ternyata tidak bergerak. Jam itu mati, sudah mati di angka yang ditunjukannya. Bapak…

Cerpen Radhar Panca Dahana (Kompas, 21 Januari 2018)
Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa Kemdikbud dan terakhir dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Cerpennya Sepi pun Menari di Tepi Hari menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2014.

RE Hartanto lahir di Bandung tahun 1973. Lulus Jurusan Seni Murni FSRD Institut Teknologi Bandung tahun 1998. Hartanto membuka akun Klinik Rupa dr Rudolfo di Instagram, didedikasikan bagi mereka yang ingin berlatih menggambar dengan langgam realisme secara gratis.

Kamis, 25 Januari 2018

Di Hadapan Maut

Di hadapan maut
Engkau begitu gugup dan takut
Sebab jalan tak kau temui tikung
Tak ada kelok untuk menolak
Tak ada gorong untuk mengumpat

Di hadapan maut
Engkau begitu sesak dan terbata
Lenyaplah kata, lenyaplah suara
Ke hadapannya kembali bermuara

Di hadapan maut
Engkau begitu kecul
Khatam segala doa
Khatam segala janji
Tak ada tawar menawar untuk kembali

Aceh 2017
Sajak Hamdani Chamsyah (Serambi Indonesia. Minggu/21/01/2018)
Hamdani Chamsyah, lahir di Drien Jalo, 20 Juli 1990. Merupakan mahasiswa PBSID STKIP BBG
Berasal dari Aceh Barat Daya. Pegiat Teater Bi Get.




Rabu, 24 Januari 2018

Ingatan


Sudah kami kubur
Kedatanganmu dalam ingatan
Nisan-nisan terancap di kepala dan kenangan
Kau tiba mengajarkan kami lebih dekat pada Tuhan

Oh laut yang menjelma naga hitam
Menerkam kampung-kampung malang
Menelan tubuh-tubuh yang masih tersisa kantuk semalam
Meluluh lantakkan segala yang ada
Meratakan hampir tak tersisa

Sudah kami kubur yang singgah sebentar dalam ingatan

Melaboh digulung gelombang, di terpa air garam
Banda Aceh bermandi air hitam
Calang tenggelam, Kajhu karam
Sudah kami pahat di kepala menjadi nisan

Oh laut yang tiba-tiba garang
Menjelma penjemput ajal
Engkau dikirim Tuhan untuk kami yang jalang
Teguran agar kami tahu jalan pulang.

Lambateng, Desember 2017

Sajak Hamdani Chamsyah (Serambi Indonesia. Minggu/21/01/2018)
Hamdani Chamsyah, lahir di Drien Jalo, 20 Juli 1990. Merupakan mahasiswa PBSID STKIP BBG
Berasal dari Aceh Barat Daya. Pegiat Teater Bi Get.
lukisan tsunami
Sajak Ingatan/Ilustrasi Pinterest

Selasa, 23 Januari 2018

Cut Yanti

Cut Yanti (35), asal Lamno-Aceh, dihukum mati karena terbukti terlibat sebagai otak pelaku penembakan terhadap suaminya sendiri di Pahang-Malaysia.

***
Tentu saja berita ini cepat menyebar, menjalar seperti api disiram pertalite ditengah tumpukan daun kering kerontang di musim kemarau. Aku, Cut Yanti, kontan menjadi topik pembicaraan dan pemberitaan yang ramai di surat kabar, televise maupun di media sosial. Mereka semua menghukum dan menghakimiku tanpa tahu latar belakang masalahku.

Mungkin Mak sudah mendengar, bahwa aku, anakmu yang bernama Cut yanti, musti menghadapi kenyataan sebagai seorang tahanan yang harus menghadapi hukuman mati di negeri orang. Benar, katamu Mak, “Hidup adalah tulisan tanpa penghapus.”

Inilah goresan hidupku Mak. Tapi aku tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah untukku. Sebab semuanya bermula karena cinta kepada suamiku. Suami yang engkau pilihkan untukku. Aku tahu saat ini Mak tak mampu lagi menyembunyikan kesedihan Mak yang semakin menyusutkan buah dada Mak, tempat aku dulu menyusui. Dan kerut-merut diwajah Mak semakin memetakan penderitaan akibat perbuatan durjana dari putrimu ini. Ampuni aku Mak, karena semua ini bermula dari cinta, dari niat mempertahankan rumah tangga yang telah kau restui 20 tahu yang lalu. Semenjak ayah diseret keluar rumah dan diberondong peluru didepan matamu, kau selalu khawatir akan keselamatanku, putrimu satu-satunya. Karena itu Mak sibuk mencari jodoh yang terbaik untukku, agar ada yang menemani dan melindungiku karena usia Mak semakin tua, bahkan wajah Mak lebih tua dari pada di Katepe, sinar mata Mak semakin hampa, Makpun mulai sakit-sakitan dipicu sesak dibatin Mak. Maka di usia 15 tahun aku sudah duduk di pelaminan.
Perempuan di pinggir pantai
Cerpen Cut Yanti/Ilustrasi pinterest

Tak tegalah aku menolak pilihanmu Mak, dan membiarkan Mak seumur hidup menyimpan takut dan dendam. Tak perlu Mak katakana, karena dengan diamnya Mak sejak ayah ditembak, aku tahu hari-hari Mak diisi dengan munajat panjang. Memohon kebahagiaan putrimu dan mengutuki si keparat yang telah menembak ayah.

Pilihan Mak untuk putrimu ini tidaklah salah. Bang Wan adalah laki-laki yang baik, pintar mengaji dan rajin jadi imam di meunasah. Tapi kami terpaksa harus lari ke hutan. Karena ada desas-desus bang Wan masuk dalam jaringan teroris. Nanggroe kita tidak aman Mak, sedikit kabar burung bisa menghilangkan nyawa. Maka maafkan aku Mak, yang tak mencium tanganmu dan bersimpuh di kakimu saat aku pergi malam itu. Bang Wan tidak melarangku untuk meminta izinmu, tapi aku yang tak mau karena ku tahu kau takkan mengizinkanku. Aku hanya meninggalkan selembar surat permohonan maafku padamu. Aku tahu darah yang mengalir di tubuhku adalah darahmu juga, maafkan aku saat itu Mak…aku berniat akan kembali, dan menjilat luka di hatimu.

Demi cintaku pada suami, akau tinggal di hutan Mak. Rumahku di atas gunung, aku tidur berselimut langit. Di langit itu ada satu bintang yang bersinar cerah, bintang kejora namanya. Maka ingat saat bocah bila Mak Tanya cita-citaku, aku selalu bilang ingin menjadi bintang. Sampai sekarangpun aku masih ingin menjadi bintang. Bintang yang bersinar dalam kegelapan, walau sinarnya semaki lama semaki redup, karena langit di Naggroe kita selalu di gayuti awan. Awan yang menggumpal dari butiran air mata anak-anak tanah endatu.

Tapi tak lama kami tinggal di hutan Mak, karena teman-teman Bang Wan telah mempersiapkan sebauh pelarian ke negeri seberang, Malaysia. Negeri yang warganya dulu menuntut ilmu di negeri kita. Sekarang kita sudah sangat ketinggalan dari mereka. Ironis, seironis jodoh pilihanmu. Bukankah Mak menjodohkanku dengan orang sekampung agar aku tak pergi jauh. Tapi sekarang aku harus meninggalkan Mak dan pergijauh mengikutii suami ke negeri orang.

Di Malaysia Bang Wan bekerja sebagai montir di bengkel temannya. Aku membantu Bang Wan mencari rezeki sebagai tukang cuci piring di restoran tak jauh dari bengkel Bang Wan. Tak jarang kami harus bersembunyi dari kejaran tentara Malaysia karena kami tak punya passport dan visa legal. Semua aku jalanin dengan tabah Mak, karena kau telah mengajarkanku untuk bekerja keras.. sampai akhirnya Tsunami melanda Nanggroe kita. Dan berkah dari Tsunami itu adalah perdamaia. Maka aku dan Bang Wan bisa kembali ke kampong halaman dengan jalur laut. Jalur untuk tenaga kerja yang tidak mempunyai passport dan vis. Kampong kita sudah rata dengan tanah, tapi Alhamdulillah aku bisa menemukanmu di rumah Wak Cut Dollah. Itu adalah pertemuan kita yang terakhir Mak, karena kau bersikeras tak mau ikut denganku dan Bang Wan ke Malaysia. “Mak ingin mati di kampong halaman sendiri dan dimakamkan di samping kuburan ayah.” Itu alasanmu. Sedangkan Bang Wan sudah mempersiapkan berkas-berkas yang legal unutk keberangkatan kami kembali ke Malaysia. Aku kembali harus memilih antara Mak dan suamikku, tapi kali ini kau izinkan aku mendampingi Bang Wan, “tempat seorang istri adalah di samping suaminya” itu pesanmu.

Berkat restumu Mak, semakin hari usaha Bang Wan di Malaysia semakin maju. Dari bekerja sebagai montir di bengkel orang, kini Bang Wan bisa punya bengkel sendiri. Bukan hanya satu tapi sudah tiga. Saat jaya itulah prahara itu dimulai. Benar kata orang, “kesetiaan seorang istri diuji saat suami berada dibawah dan kesetiaan suami diuji saat suami berada di atas.” Harta menjadi prahara di rumah tangga kami. Bang Wan mulai menuntut dan mulai menuding karena aku tak bisa memberikan seorang anak. “mau diwariskan kepada siapa harta kita, kalau kita tak mempunyai keturunan.” Pernyataan itu selalu  diulangnya saat marah. Bang Wan mulai sering pergi berhari-hari tanpa kabar. Sampai suatu hari dia mengaku bahwa dia mencintai perempuan lain. Shakeenah namanya. Seorang janda cantik beranak tiga. Berasal dari kota Langsa. Dia minta izin dariku untuk poligami. Tentu saja aku menolak Mak, aku marah dan kecewa. Sudah sedemikian banyak pengorbananku untuk mendampinginya. Disaat susah aku selalu ada untuknya, bahkan rela meninggalkan Mak dan kampong halamanku. Di saat senang Bang Wan ingin membaginya dengan orang lain, dengan dalih perempuan itu adalah janda dari sahabatnya yang meninggal di tabrak tronton. Bang Wan sayang kepada ketiga anak yatim itu dan ingin membantunya karena menolong anak yatim dan janda adalah ibadah. Sampah! Itu semua dalah alasan dari nafsu liarnya. Aku tidak terima Mak… Aku tidak terima!

Tapi Bang wan tidak mau dibantah, dia mengancam akan menceraikan aku kalau tidak patuh pada suami. Hatiku mendidih tapi tak berdaya, kalau diceraikan aku merasa terhina dan malu. Bagaimana aku bisa menatap matamu saat aku pulang ke kampung halaman dalam keadaan ditalak. Dipoligami aku juga tak rela, membayangkan harus membagi suami di ranjang perempuan lain membuat hatiku murka. Karena itulah setan membisikkan pikiran gila ke benakku. Pikiran untuk membunuh suamiku dengan tangan orang lain. Dan ide itu aku wujudkan, dengan uang yang aku punya, tak susah di zaman ini untuk mencari orang untuk melakukan yang aku mau. Tetapi ternyata aku salah memilih orang, dalam waktu 1x24 jam saja dia sudah tertangkap. Dan mulailah penembak itu bernyanyi menyebut-nyebut namaku.  Maka di sinilah aku saat ini Mak. Mendekam di sel sunyi samba menungu waktu kematianku tiba. Aku tahu Mak, sekarang kau merutukku karena telah membayar orang untuk membunuh suamiku sendiri. Akupun tak kurang merutuk diriku sendiri mengapa begitu cepat terperdaya oleh ide busuk yang melintas di benakku. Seandainya saat itu aku bisa lebih sabar menghadapi cobaan ini. Mungkin sejarah hidupku akan lebih indah. Aku akan mati dan dikenang sebagai seorang istri yang rela dipoligami demi mencapai surge. Bukan seperti saat ini, dihukum mati karena otak penembakan suami sendiri.

Namun sekarang, peristiwa pahit ini harus ketelan Mak, bukan karena takdir Allah semata. Namun, risiko yang dari awal harus kuterima. Kalau surat ini sampai ketangan Mak, tolong sampaikan permintaan maafku pada keluarga Bang Wan. Aku memang pantas disalahkan meskipun dulu kau pernah berkata “tidak ada yang mesti disalahkan, semua itu yang di ataslah yang mengatur.” Berulang kali kalimat itu Mak ucapkan dulu. Ya, dulu saat binar di mata Emak masih teduh. Dan aku selalu mengangguk isyarat setuju. Maka Mak, kumohon jangan menetes air mata untu putrimu ini, berdoalah untuk ketenangan arwahku, meski Mak menahan perih.

Banda Aceh, 29 November 2017
Cerpen Yanti Shakeenah (Serambi Indonesia. Minggu/21/01/2018)

Yanti Shakeenah, guru di SMA Negeri 1 Lubok Ingin Jaya.
Pecinta dan penikmat sastra.

Selasa, 16 Januari 2018

Kita

Kita pernah melewati masa suram
Saat hidup sama sekali tak mengenal siang dan malam
Kita sibuk dengan uang dan lika-liku kehidupan
Tentang cinta dan rindu yang penuh dilema

Kita adalah manusia abadi

Seakan hidup ini tak akan mati

Kita serakah dan angkuh

Sedikit kurang mengeluh
Kita tak mengenal kata syukur
Hingga kita lupa masih ada yang tak terukur

Saat menjalani hidup

Kita berpacu pada angan
Sehingga semuanya hanya tampak bayangan
Kita sebenarnya lupa 
Kalau kita adalah cahaya yang semakin meredup
Kemudian menghilang

Punge jurong, 30 oktober 2017

Sajak Habil Razalli (Serambi Indonesia, Minggu/14/01/2017)
Habil Razali, Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Syiah Kuala.
Lahir dan besar di Keumala, Pidie, Aceh.
lukisan kota
Add caption



Jumat, 12 Januari 2018

Biarkan Aku Menulis Puisi

Kupikir kau telah berteman dengan petir
Sekalipun angin Desember berbisik manja
Memekarkan bunga di hatimu
Hingga hujan tak peduli lagi padamu

Kita berjalan di lorong basah menapaki senja yang muram 
sambil menggenggam kenangan yang basah
kau berceloteh tentang pedasnya gigil angin pagi
yang aromanya terbawa ke selatan
menuju titik pemberhentian

setelah subuh menepi pagi
kau masih menyeka bulir kenangan
(hitam putih) adalah selera para penyintas.

Sayangnya, kita belum selesai mengintari taman
Atau trotoar yang penuh penjaja kata
Sebab kau masih menagih puisi yang belum selesai kutuliskan

Matang Glumpang Dua, 2017

Sajak Halim Mubary (Serambi Indonesia, Minggu 7 Januari 2018)
Halim Mubary, lahir di Meureudu, 1969. Dosen IAI Al-Azizyah Samalanga.
Sekarang menetap di Bireun

Lukisan kota senja
Biarkan Aku Menulis Puisi/Ilustrasi Pinterest


Kamis, 11 Januari 2018

Amsal Sajak

Meski laut tak lagi berpantai 
Yang tersesat gerimis malam
Doa yang kau teteskan dalam rumput telah menjadi musafir

Rumput berbisik berbisik pada ilalan
Bercerita tentang lelaki yang angkuh pada malam

Di tepi lembah yang gersang 
Sayup ia bertafakur 
Menggenapkan rindunya pada lembab hujan
Hingga tasbihnya bersuara lantang

Seseru itukah seruan yang kau dengar?
Ia menaruh harapan pada ombak
Meski hatinya bergejolak menggigil mencari lautan sebab ia tahu;
Ada yang menuntunnya menuju hakiki

Bireun, 2017

Sajak Halim Mubary (Serambi Indonesia, Minggu 7 Januari 2018)
Halim Mubary, lahir di Meureudu, 1969. Dosen IAI Al-Azizyah Samalanga.
Sekarang menetap di Bireun
Pemandangan Pantai di malam hari
Amsal Sajak/Ilustrasi Pinterest

Rabu, 10 Januari 2018

Pohon Pohon di Halaman Rumah Misyik

Semua penerbangan dari Madinah, Jeddah dan Riyadh ke Banda Aceh sudah penuh. Masa liburan seperti sekarang ini kedua jalur penerbangan ini memang padat dengan para peziarah. Warga Aceh yang melakukan umrah, juga warga Saudi yang berziarah ke Serambi Mekkah. Pocut Ana mendapatkan visa tinggal selama 3 bulan Universitas Madinah untuk menyelesaikan penulisan buku tentang waqaf diaspora saudagar Aceh ban sigom donya di Madinah dan kaitannya dengan waqaf Aceh yang terkenal di Mekkah. Baru satu bulan berjalan ketika tiba-tiba dating berita banjir bandang melanda Blang Resort di Lembah Selawah. Ia memutuskan untuk segera kembali ke Tanah Air, bukan semata karena ia punya saham di resort itu tetapi karena banjir itu petanda ada yang salah di sana sehingga menyebabkan jatuh korban luka beberapa warga. Bahkan sebelum berita itu sampai, ia sudah merasa begitu ingin pulang kampong. Pada suatu malam setelah Isya di Masjid Nabawi tiba-tiba ia begitu rindu pada almarhum Misyik-neneknya, pada  udara pegunungan yang berkabut dan bau tanah basah sesudah hujan senja hari. Pada rumah dan halaman yang penuh pohon aneka rupa di gampong Misyik. Pocut kecil dahulu selalu menghabiskan liburan ke rumah Misyiknya dari pihak Ayah. Pocut menyimpan kenangan liburan di sana seperti harta karun yang berharga. Ia mengingat semua pohon di halaman rumah Misyik, sawah, hutan sala (pinus), punggung bukit lalu gunung yang kadang Nampak bergradasi hijau ke biru.
lukisan pemandagan
Pohon Pohon di Halaman Rumah Misyik/Ilustrasi Pinterest

Rumah Misyik terdiri dari dua bagian. Ada rumoh ateuh yang merupakan rumah panggung dari kayu dan rumoh miyup berdinding separuh bata dan selebihnya papan. Rumoh minyup di bangun putra-putrinya ketika Misyik mulai kesulitan naik turun tangga. Di sanalah anak-cucunya sering berkumpul saat liburan sekolah dan hari-hari raya. Pocut Ana ingat betul di halaman depan rumah ada pohon jeruk manis kecil (citrus x sinensis) yang jarang berbuah, tidak manis sehingga lalu di tebang. Ada pohon mangga (mangifera indica) yang tak banyak buahnya tetapi tidak ditebang karena dahannya dipakai untuk mengikat ayunan. Ada banyak pohon jambu klutuk (psidium guajava) yang daging buahnya bewarna putih lalu menjadi merah jambu dengan biji putih kekuningan ketika masak. Ada juga tiga pohon belimbing manis (averrhoa carambola) yang buahnya begitu melimpah di puncak musim sehingga kadang separuh halaman penuh dengan buah yang gugur dan tak bisa lagi disapu sehingga harus ditarik dengan cangkul. Ada juga manggis (mangosteen) yang manis dan berkhasiat.

Di halaman belakang ada beberapa pohon durian (durio zibethinus) yang selalu dinanti penuh harap jatuhnya. Pocut Ana dan para sepupunya sering main keong atau golek-golek membaca buku dan mendengar Misyik bercerita Abunawas sambil menanti durian runtuh. Ada juga tiga pohon rambutan (nephelium lappaceum) yang begitu banyak buahnya sehingga tiap panen selalu dibagikan ke seluruh tetangga. Ada banyak pohon kelapa (cocos nucifera) yang sepanjang tahun bisa dinikmati buahnya muda atau tua. Misyik paling cekatan membelah kelapa dengan sundak atau parang, juga mengolah kelapa menjadi minyak dan pliek u. ada juga pohon cengkeh (syzygium aromaticum), jambu bol merah dan putih (syzygium malaccense). Pohon bumbu seperti temurui (murraya koenigii), belimbing wuluh (overrhoa bilimbi) dan berbagai pohon lainnya. 

Pocut Ana memutuskan segera pulang karena ia sangat prihatin. Sudah lama sekali sejak banjir bandang terjadi di daerah itu. Dahulu memang sistem pengelola sampah dan sanitasi gampong begitu buruk sehingga ketika curah hujan tinggi, gampong pegunungan itupun banjir karena air tersumbat sampah di saluran. Teungku Man yang ketika itu menjadi ketua pemuda mengajaknya dan Husna yang ketika itu baru lulusdari Fakultas Pertanian Unsyiah untuk membuat program pembersihan gampong dan mengontrol perambahan hutan di kawasan hutan rakyat. Bukan perkara mudah. Tanpa inisiatif dari pemuda gampong dan dukungan warga merantau seperti Pocut yang penulis atau Husna dan jaringan kampus, program itu takkan berhasil. Ada orang kuat yang menghambat niat baik mereka. Akhirnya program itu berjalan. Lalu seiring berlalu dengan banjir yang tak dating lagi dan hutan-hutan mulai pulih. Tumbuh pula industri pariwisata yang berkembang dengan pesat. 

Keprihatinan dan kerinduan yang membuat Pocut memutuskan untuk segera pulang. Pihak Universitas Madinah yang menjadi tuan rumah program memakluminya. Lagi pula Ia memang mendapat multiple entry visa dan bisa kembali lagi melanjutkan pekerjaannya menulis nanti.

Pocut Ana memilih terbang melalui jalur yang tidak terlalu dipadati peziarah. Syukurnya penerbangan Air Aceh dengan rute Madinah-langkawi-Sabang masih memiliki kursi kosong walaupun harganya sudah melangit. Di sabang Ia akan bertemu Laskat Muhammad. Pemuda itu menawarkan diri bahkan setengah memaksa untuk mejemput dan mengantarkannya ke Seulawah. Sayangnya jalur udara Sabang menuju Banda Aceh sudah penuh sehingga mereka harus naik ferry cepat.

Bandara sabang yang kecil tidak seperti Bandara SIM yang megah di Banda Aceh tetapi terasa jauh lebih mewah dan bersuasana internasional. Orang-orang dari berbagau bangsa hilir mudik. Kedai-kedai kopi dan mie di bandara dipenuhi wajah-wajah Arab, Cina, Eropa, Hindia. Petugas imigrasi yang mengenalnya menyapa dengan nama kecilnya. “Selamat datang Nena.” Ujar petugas itu dengan ramah. Begitu keluar dari kawasan kedatangan dari jauh sudah terlihat wajah tampan Laskar.Nena! teriaknya penuh rindu. Nena adalah panggilan sayang Laskar untuk Pocut Ana yang kemudian juga menjadi nama kecilnya sebagai penulis. Pemuda 25 tahun berperawakan tinggi dengan rambut ikal itu menyalaminya lalu memeluk erat-erat dengan mata berbinar. Namun Nena membaca sekilas sirat kecemasan di dalamnya.

Dari bandara mereka menuju pelabuhan ferry dengan taksi. Setelah bertahun-tahun berpisah jarak, Laskar mulai dekat lagi dengannya sejak Ia mulai tertarik mempelajari tentang kondisi lingkungan di Aceh. Ketika mereka menghabiskan waktu bersama, Nena menceritkan kenangannya dengan pohon-pohon di halaman rumah Misyiknya dan juga harapan-harapannya kedepan. Ia begitu bahagia mendapati pemuda itu sama bersemangatnya. Dua tahun yang lalu Laskar akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sabang. Sejak kecil Laskar sudah berkeliling dunia mengikuti orang tuanyayang berpindah-pindah sebelum akhirnya Ia memutuskan untuk kembali ke Aceh dan membangun perusahaan yang memproduksi game advokasi lingkungan dengan tema pertualangan bawah laut.

Untuk menghindari kepadatan di pelabuhan ferry Ulee Lheu mereka memutuskan naik ferry dari Sabang ke Pulau Breuh lalu naik kereta cepat menyusuri jalur lintas Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Bunta kecil, menyebrang ke Puekan Bada dan turun di stadium terakhir Lambaro tanpa melalui pusat kota. Dari sana melanjutkan dengan kereta api biasa ke Seulawah. Perjalan Madinah-Sabang sudah termasuk transit makan waktu sekitar 8 jam. Memang tidak selama perjalanan Banda Aceh-Harissburg di Negara bagian Pennyslvania Amerika tempat Laskar dan orang tuannya pernah lama tinggal. Tetapi Nena terasa begitu lelah. Kereta mulai sepi ketika memasuki stasiun Samahani. Laskar menyinggung tentang mulai dibukanya kembali kawasan hutan raya yang lama dikonservasi masyarakat. Penyebabnya tak lain karena bertambahnya kebutuhan lahan untuk mengakomodasi industry pariwisata yang berkembang pesat. Selama ini memang hutan itu bertahan dengan consensus masyarakat dan belum dilengkapi dengan perangkat hukum yang kuat. Yang mempersulit keadaan juga adanya oknum aparat yang ikut mengembangkan usaha di seputaran kawasan pelatihan mereka di sisi lainnya gunung Seulawah. Laskar menceritakan bahwa pergantian pimpinan dalam asosiasi petani, perusahaan wisata dan perangkat desa juga membawa dinamika baru yang cenderung mengabaikan komitment pada pelestarian hutan yang dulu menjadi prinsip pemuda desa. Nena memandang pemuda di depannya dalam-dalam berkata “bagaimana jika kamu pindah saja ke Seulawah. Kamu juga bisa menjalankan perusahaanmu dari sana sambil membantu upaya pemulihan lingkungan?” Laskar memandangnya lekat-lekat, tersenyum tapi tidak segera menjawab. Nena tidak tahu, pemuda itu masih ragu. Di benak Laskar terbayang wajah seseorang perempuan di Sabang yang setahun belakangan juga mulai dekat dengannya. 

Ketika kereta mulai memasuki stasiun Seulimuem Nena jatuh tertidur. Laskar membiarkannya bersender di bahunya. Nena bermimpi tentang keluarganya, tentang hutan sala, tentang pohon-pohon di rumah Misyik, tentang sampah gampong. Tentang semangat Teungku Man, husna, tentang tahun-tahun tanpa banjir. Kereta berhenti sejenak di stasiun Saree dan mulai ramai kembali dengan orang-orang yang ingin menuju Blang Resort di Blang Lambaro. Nena masih tertidur ketika kereta melewati lahan tempat dulu Misyiknya berdiri. Di sana kini berdiri deretan pertokoan dan penginapan. Hanya sebagian kecil lahan di belakangnnya yang dijadikan tempat pemakaman keluarga yang masih dipenuhi pepohonan.sudah menjadi kesepakatan keluarga besar untuk mempertahankan kawasan itu.  Entah sampai kapan kesepakatan semacam itu bisa bertahan. Ketika kereta mulai melambat kembali menjelang stasiun tujuan, Nena mendengar panggilan samar-samar dari Laskar. Ketika matanya terbuka dilihatnya wajah pemuda gagah itu berkata lembut padanya. Nena, Nena sayang.. Bangunlah. Nenek Ana sayang, bangun Nek kita sudah sampai. Tapi Nena atau nenak Ana atau Nenek Pocut Ana hanya terjaga sekejap saja lagi. Seiring merambatnya kereta, ia mengusap rambut cucunya dan minta maaf atas segala kesalahannya. Ia mohon maaf tak cukup kuat berusaha menjaga alam dan berpesan untuk terus menjaga apa yang sama-sama mereka cintai. Ia menutup usia dalam senyum sesudah Laskar yang gemetar dengan mata berkaca-kaca berjanji akan memenuhi permintaannya. Ia pulang dalam umur 80 tahun dalam pelukan cucu tercinta tepat ketika kereta berhenti di stasiun gampongnya. Pocut Ana pulang untuk berkumpul kembali dengan Jasad pohon-pohon di rumah Misyiknya yang telah menyatu bersama keluarga, bersama tanah, gunung dan gampong yang selalu dicintainya.

Cerpen S. Agustina (Serambi Indonesia, Minggu 7 Januari 2018)
Kuala Lumpur-Banda Aceh 27-28 Desember 2017
Peminat Sastra, Tulisan dan terjemahannya pernah dimuat di Serambi, Kompas dan Jakarta Post.

Lindap Cinta

Matahari berlari
Dalam kabut tipis

Seiris puisi berbaris 
Mencungkil kedua bola mata
Sepintas, namun cukup pedas

Asap mengempul dari kawan
Bahkan telinga tak sanggup
Untuk mendengar lolongan
Yang entah kenapa, masih 
Terus menguntit pagi yang hening

Buah tasbih telah bertutur
Melumatkan setiap murka
Tanpa jeda

Meureudu, 2017

Sajak Halim Mubary (Serambi Indonesia, Minggu 7 Januari 2018)
Halim Mubary, lahir di Meureudu, 1969. Dosen IAI Al-Azizyah Samalanga.
Sekarang menetap di Bireun

Pantai Senja
Lindap Cinta


Kamis, 04 Januari 2018

Janji dan Dirinya Sendiri

Dia hadir menembus dinginnya selaput angin
Dari derasnya cibiran hujan yang hampir menenggelamkan mimpi sejarah

Meraba-raba setapak sempit pada tebalnya kabut subuh
Mengendus aroma titah pada bukit yang berbatu
Meski pandangan masih hitam tanpa gores pandang warna,
Dia masih kukuh menyelam pada awan sejuk pengunungan

Mendaki terus dan terus mendaki tanpa memandang ke belakang
Meski banyak edelweiss yang menggoda hati setianya,
Diri itu masih terus meraba-raba
Setapak sempit pada jejak-jejak kecilnya

Hingga akhirnya subuh menyerah kepada fajar
Dan membuka warna terjalnya neraka hijau

Ada sukma yang terletak tinggi
Pada dalamnya nafas zikir yang menghidupkan cinta mulia 
Hingga debu enggan melekat pada suci tanpa zina,
Yang akan iseng mengundang murka yang sebenarnya mengerikan

Pada titah yang dijemput diri itu,
Adalah janji kecil kepada khalik,
Yang mana angin, hujan, dan kabut subuh turut menjadi saksi Ikrar kerinduan tentang kecintaan nya yang masih semu itu
Demi seribu judul puisi, yang tergantung di awan surga,
Akulah Diri itu,
Yang akan mencari jejak-jejak wangimu
Berdampingan dengan janji yang kelak akan aku jadikan sejarah

Sajak Fauzi Rias Utama (Serambi Indonesia. Minggu 31 Desember 2017)
Fauzi Rias Utama, lahir di Babahrot, 6 Juni 1998. Bermukim di Simeulue
Banda Aceh, 1 Desember 2017
Janji dan Dirinya Sendiri/Ilustrasi Pinterest



Rabu, 03 Januari 2018

Tulang Rawan

Setelah ini aku ingin berterus terang
Bahwa jiwa ini 
Telah keluar dari jasad

Setelah ini aku ingin berterus terang
Bahwa jiwa ini tidak lagi punya hasrat
Hasrat menawar-nawar
Hasrat suci yang terkulai dan tersikap
Hasrat penakluk yang bersemburat merah pipinya akibat daging dan tulang rawannya terungkap

Setelah ini aku akan berterus terang
Melalui selembar telinga atas puji puji yang menyiulkan senada
Atau kerawang pohon di surga yang dipetik buahnya untuk hawa
Atau tanggul raksasa yang coba kau lindungi dari iman yang terlelap buta

Di bumi layaknya di surga
Sepanjang kita tetap terjaga menuju janji-janji subuh
Yang ingin kita bina
Sesungguhnya kita masih di surga

Sajak Nurhafna Zakaria (Serambi Indonesia. Minggu 31 Desember 2017)
Nurhafna Zakaria, mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Lahir di Sigli, 5 Juli 1994
Tulang Rawan/Ilustrasi Pinterest

Selasa, 02 Januari 2018

Perempuan Anak Biaju

Perempuan itu menatap arus sungai tanpa berkedip. Air berwarna kecoklatan itu bergelombang membentuk lidah yang ingin menjilat sisis perahu. Sudah lama ia merasakan, kalau sungai adalah ririnya dalam bentuk lain.

Sekali waktu Kawala pernah ingin menjadi angin timur, seperti ibu dan perempuan-perempuan lainnya, yang memantrai ikan hingga masuk perangkap. Yang membawa rejeki, tapi keberuntungan itu bukan milik Kawala. Bahkan ia ia juga ingin protes pada panglima burung yang katanya sakti itu. Seharusnya tak ada perempuan seperti Kawala atau panglima burung sudah membuat sebuah kesalahan ketika meniup takdir pada gadis kecil itu. Seharusnya ibu tak mati, seharusnya…

Sebuah perahu kecil dengan dua lelaki kekar kian mendekat menujui perahu itu. Sunyi, sepi, bisu seakan menjadi konstanta. Kawala masih menatap lidah air yang ingin memamah perahu. Salah satu dari lelaki bertato itu melangkah ke perahu beratap tempat Kawal berada.

“Sedang apa kau. Puan manis?”
Sunyi, sepi, bisu menjadi sahabat setia. Tak ada tanda, tak ada reaksi. Ibu telah mati. Terbaring bisu di Rumpang Tulang. Tepukan di bahu membuat Kawala terkejut, segera berpaling. Senyum berahi terlintas di paras lelaki itu.

Siapa kau? Ada apa gerangan muncul di saat ayah dan Sangkurun sedang tak di perahu? 
Semilir angin membawa bisu, lelaki itu tertawa senang. “Cantik nian putrid Si Nanjan.” Lelaki itu tersenyum penuh berahi sambil gelengkan kepala. “oi Purok! Untuk apa kau tetap di situ, mari kita bersenang sejenak dengan gadis cantik anak Si nanjan ini.”
Sangkala melangkah mundur hingga punggungnya merapat pada atap perahu. Tidak! Aku baru empat belas.

Lelaki yang dipanggil Purok ikut tertawa dang melangkah ke perahu milik keluarga Kawala. Sunyi, sepi mengobrak-abrik itu. Sungai Biaju di bulan Desember airnya kecoklakan. Namun sebuah jiwa telah punah. Jiwa empat belas itu mulai memanggil Manajah Natang, Tanpa tarian, tanpa sesajen tanpa tetua adat bahkan tanpa suara. Ini bukanlah hal yang biasa.
Perempuan Anak Biaju/ilustrasi pinteres
Malapetaka itu takkan terjadi, andaikan istrinya masih ada. Tak mati karena melahirkan anak perempuan laknat itu. Istrinya adalah angin timur sejati, suaranya merdu yang membuat bayu membawa ikan ke perangkap. Kini ia terperangkap di sebuah perahu bersama seoranganak laki-laki dan anak perempuan itu yang membunuh istrinya.

Atap-atap perahu saban hari ingin menekannya dalam air sungai Biaju yang dingin itu. Menenggelamkannya hingga ajal menjemput. Sial bener hidupnya. Pohon-pohon di bibir sungai dan ikan-ikan pun menertawainya. Hanya sang instri yang telah mati yang ia rindukan hingga kea lam mimpinya.

Malam itu istrinya sudi dating menghibur dalam tidur, hingga mereka benar-benar bercinta kembali di atas perahu itu. Menggelora setiap hasrat yang selama ini  ia pendam. Mimpi yang serasa begitu nyata. Saking nyatanya, ia bisa merasakan otot-ototnya berdenyut nikmat, surga turun ke bumi menyinggahi seorang lelaki. 

Saat ia terbangun, seorang perempuan kecil yang selama ini dibencinya menangis sambil menutupi tubuhnya. Ia terpana pada kecantikan itu, ranum seperti istrinya saat muda dulu. Ia mendekati gadis kecil yang selama ini dibencinya itu, dan malapetaka itu pun terjadi lagi.

Angin gunung semakin dingin, tapi lelaki itu telah menemukan pelabuhan kehangatan. Ia tak peduli pada perempuan kecil yang masih saja menangis mesti itu telah terjadi berulang kali. Beruntung perempuan itu bisu, tak bisa mencaci atau bercerita pada penghuni rumah perahu lainnya yang terkadang berpapasan dengan mereka.

Sekali waktu ia pernah memarahi Sangkurun yang diam-diam mengintip perbuatannya. Anak lelaki yang iktu mengerang-ngerang dalam kenikmatan ayanya. Tapi kemudian ia tidak peduli lagi. Bahkan ketika ia pergoki Sangkurun yang menindih perempuan kecil itu saat ia tak ada di perahu, ia anggap angin lalu saja. Putranya telah dewasa, sudah saatnya surga juga menyinggahi lelaki dewasa. Perempuan kecil itu telah berubah menjadi gadis cantik bahkan melebihi kecantika istrinya. Hanya saja. Ia terlalu sering menangis dan tak berkata-kata.

Bulan desember telah mati kembali. Ikan-ikan menjadi sangat sulit untuk masuk perangkap. Lelaki itu telah terjerat pada permainan judi. Saat tak ada lagi yang busa dipertaruhkan, ia mulai menaikkan perempuan cantik, anak yang telah membunuh istrinya itu di meja judi.

Ia melakukan itu begitu saja, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ia telah benar-benar lupa jika anak istrinya adalah anaknya juga. Kalah judi membuatnya membiarkan Purok dan temannya menuju perahu. Sementara ia mengajak Sangkurun untuk minum lebih banyak lagi. Takpernah ia ingat akan norma, akan adat suku, akan panglima burung.

Ia dan putranya tertawa-tawa di sebuah perahu yang dijadikan arena judi. Mentertawakan kelucuan yang baru saja mereka buat. Kawala benar-benar telah mereka naikkan ke atas meja judi, sebenarnya ia berharap menang. Menggambil keuntungan banyak. Tapi apa hendak dikata, selain berbagi Kawala dengan Putranya, ia juga harus berbagi dengan dua lelaki bertato itu.
***
Memanggil Panglima Burung itu tabu, pertanda malapetaka menjelang. Ritual Mangkok Merah tidak dilaksanakan semestinya. Terkadang hati yang tercabik, jiwa teraniaya memiliki kekuatan unutk melakukan hal yang tak terduga. Kadang langit pun menjadi begitu dekat tanpa batas.

Kawala, jiwa empat belas itu menginginkan kehadiran panglima Burung. Ia marah, marah pada segala yang menimpanya. Bahkan ia marah pada sungai Biaju, sahabat setianya.

Dumah hetoh, dumah hetoh, datanglah panglima tertinggi, turunkan lenganmu. Turunkan rupamu, jika kau memang ada. Suara anak perempuan itu menyatu dalam sengau angin. Yang semakin lama semakin kencang, mengangkut awan-awan hitam. Hujan badai petir menggelegar di langit.

Purok dan temannyaterkejut melihat alam mengamuk. Ia menyambar baju yang tergeletak di sisi perahu. Sementara temannya juga sibuk melakukan hal yang sama. Perempuan kecil di depannya sudah tak menangis lagi.  Ia terlihat memejamkan mata. Kepasrahan pada kepolosan tubuhnya.

Kedua lelaki itu melangkah ke perahu kecil mereka. Badai telah mengamuk mendatangkan air yang lebih besar dari arah hulu.  Kayu-kayu iktu hanyut kemudian menghantam perahu yang dijadikan arena judi. Ayah Kawala dan putranya jatuh ke air sambil tertawa mabuk. Pusaran air menelan tubuh keduanya ke dasar Biaju. Batang kayu lain menghantam perahu beratap milik keluarga Kawala. Gadis empat belas itu memejamkan mata untuk kembali pada bumi.

Sungai tak mampu menampung air dan kayu-kayu dating secepat kilat itu, luapannya yang deras menghantam rumah-rumah penduduk. Menelan lelaki, perempuan, tua muda maupun anak kecil tanpa ampun. Ketika alam menjadi hakim, ia tidak peduli lagi, siapa yang berbuat dosa paling banyak.

Cerpen Ida Fitri (Serambi Indonesia. Minggu 31 Desember 2017)
Ida Fitri, lahir di Bireun 25 Agustus. Sekarang bekerja di Aceh Timut. Cerpen-cerpennya pernah terbit di Koran Tempo, Republika dan media lainnya.Buku kumpulan cerpen pertamanya 
berjudul Air Mata Shakespeare. Salah satu contributor Antologi Kopi 1.550 mdpl.