Selasa, 02 Januari 2018

Perempuan Anak Biaju

Perempuan itu menatap arus sungai tanpa berkedip. Air berwarna kecoklatan itu bergelombang membentuk lidah yang ingin menjilat sisis perahu. Sudah lama ia merasakan, kalau sungai adalah ririnya dalam bentuk lain.

Sekali waktu Kawala pernah ingin menjadi angin timur, seperti ibu dan perempuan-perempuan lainnya, yang memantrai ikan hingga masuk perangkap. Yang membawa rejeki, tapi keberuntungan itu bukan milik Kawala. Bahkan ia ia juga ingin protes pada panglima burung yang katanya sakti itu. Seharusnya tak ada perempuan seperti Kawala atau panglima burung sudah membuat sebuah kesalahan ketika meniup takdir pada gadis kecil itu. Seharusnya ibu tak mati, seharusnya…

Sebuah perahu kecil dengan dua lelaki kekar kian mendekat menujui perahu itu. Sunyi, sepi, bisu seakan menjadi konstanta. Kawala masih menatap lidah air yang ingin memamah perahu. Salah satu dari lelaki bertato itu melangkah ke perahu beratap tempat Kawal berada.

“Sedang apa kau. Puan manis?”
Sunyi, sepi, bisu menjadi sahabat setia. Tak ada tanda, tak ada reaksi. Ibu telah mati. Terbaring bisu di Rumpang Tulang. Tepukan di bahu membuat Kawala terkejut, segera berpaling. Senyum berahi terlintas di paras lelaki itu.

Siapa kau? Ada apa gerangan muncul di saat ayah dan Sangkurun sedang tak di perahu? 
Semilir angin membawa bisu, lelaki itu tertawa senang. “Cantik nian putrid Si Nanjan.” Lelaki itu tersenyum penuh berahi sambil gelengkan kepala. “oi Purok! Untuk apa kau tetap di situ, mari kita bersenang sejenak dengan gadis cantik anak Si nanjan ini.”
Sangkala melangkah mundur hingga punggungnya merapat pada atap perahu. Tidak! Aku baru empat belas.

Lelaki yang dipanggil Purok ikut tertawa dang melangkah ke perahu milik keluarga Kawala. Sunyi, sepi mengobrak-abrik itu. Sungai Biaju di bulan Desember airnya kecoklakan. Namun sebuah jiwa telah punah. Jiwa empat belas itu mulai memanggil Manajah Natang, Tanpa tarian, tanpa sesajen tanpa tetua adat bahkan tanpa suara. Ini bukanlah hal yang biasa.
Perempuan Anak Biaju/ilustrasi pinteres
Malapetaka itu takkan terjadi, andaikan istrinya masih ada. Tak mati karena melahirkan anak perempuan laknat itu. Istrinya adalah angin timur sejati, suaranya merdu yang membuat bayu membawa ikan ke perangkap. Kini ia terperangkap di sebuah perahu bersama seoranganak laki-laki dan anak perempuan itu yang membunuh istrinya.

Atap-atap perahu saban hari ingin menekannya dalam air sungai Biaju yang dingin itu. Menenggelamkannya hingga ajal menjemput. Sial bener hidupnya. Pohon-pohon di bibir sungai dan ikan-ikan pun menertawainya. Hanya sang instri yang telah mati yang ia rindukan hingga kea lam mimpinya.

Malam itu istrinya sudi dating menghibur dalam tidur, hingga mereka benar-benar bercinta kembali di atas perahu itu. Menggelora setiap hasrat yang selama ini  ia pendam. Mimpi yang serasa begitu nyata. Saking nyatanya, ia bisa merasakan otot-ototnya berdenyut nikmat, surga turun ke bumi menyinggahi seorang lelaki. 

Saat ia terbangun, seorang perempuan kecil yang selama ini dibencinya menangis sambil menutupi tubuhnya. Ia terpana pada kecantikan itu, ranum seperti istrinya saat muda dulu. Ia mendekati gadis kecil yang selama ini dibencinya itu, dan malapetaka itu pun terjadi lagi.

Angin gunung semakin dingin, tapi lelaki itu telah menemukan pelabuhan kehangatan. Ia tak peduli pada perempuan kecil yang masih saja menangis mesti itu telah terjadi berulang kali. Beruntung perempuan itu bisu, tak bisa mencaci atau bercerita pada penghuni rumah perahu lainnya yang terkadang berpapasan dengan mereka.

Sekali waktu ia pernah memarahi Sangkurun yang diam-diam mengintip perbuatannya. Anak lelaki yang iktu mengerang-ngerang dalam kenikmatan ayanya. Tapi kemudian ia tidak peduli lagi. Bahkan ketika ia pergoki Sangkurun yang menindih perempuan kecil itu saat ia tak ada di perahu, ia anggap angin lalu saja. Putranya telah dewasa, sudah saatnya surga juga menyinggahi lelaki dewasa. Perempuan kecil itu telah berubah menjadi gadis cantik bahkan melebihi kecantika istrinya. Hanya saja. Ia terlalu sering menangis dan tak berkata-kata.

Bulan desember telah mati kembali. Ikan-ikan menjadi sangat sulit untuk masuk perangkap. Lelaki itu telah terjerat pada permainan judi. Saat tak ada lagi yang busa dipertaruhkan, ia mulai menaikkan perempuan cantik, anak yang telah membunuh istrinya itu di meja judi.

Ia melakukan itu begitu saja, tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ia telah benar-benar lupa jika anak istrinya adalah anaknya juga. Kalah judi membuatnya membiarkan Purok dan temannya menuju perahu. Sementara ia mengajak Sangkurun untuk minum lebih banyak lagi. Takpernah ia ingat akan norma, akan adat suku, akan panglima burung.

Ia dan putranya tertawa-tawa di sebuah perahu yang dijadikan arena judi. Mentertawakan kelucuan yang baru saja mereka buat. Kawala benar-benar telah mereka naikkan ke atas meja judi, sebenarnya ia berharap menang. Menggambil keuntungan banyak. Tapi apa hendak dikata, selain berbagi Kawala dengan Putranya, ia juga harus berbagi dengan dua lelaki bertato itu.
***
Memanggil Panglima Burung itu tabu, pertanda malapetaka menjelang. Ritual Mangkok Merah tidak dilaksanakan semestinya. Terkadang hati yang tercabik, jiwa teraniaya memiliki kekuatan unutk melakukan hal yang tak terduga. Kadang langit pun menjadi begitu dekat tanpa batas.

Kawala, jiwa empat belas itu menginginkan kehadiran panglima Burung. Ia marah, marah pada segala yang menimpanya. Bahkan ia marah pada sungai Biaju, sahabat setianya.

Dumah hetoh, dumah hetoh, datanglah panglima tertinggi, turunkan lenganmu. Turunkan rupamu, jika kau memang ada. Suara anak perempuan itu menyatu dalam sengau angin. Yang semakin lama semakin kencang, mengangkut awan-awan hitam. Hujan badai petir menggelegar di langit.

Purok dan temannyaterkejut melihat alam mengamuk. Ia menyambar baju yang tergeletak di sisi perahu. Sementara temannya juga sibuk melakukan hal yang sama. Perempuan kecil di depannya sudah tak menangis lagi.  Ia terlihat memejamkan mata. Kepasrahan pada kepolosan tubuhnya.

Kedua lelaki itu melangkah ke perahu kecil mereka. Badai telah mengamuk mendatangkan air yang lebih besar dari arah hulu.  Kayu-kayu iktu hanyut kemudian menghantam perahu yang dijadikan arena judi. Ayah Kawala dan putranya jatuh ke air sambil tertawa mabuk. Pusaran air menelan tubuh keduanya ke dasar Biaju. Batang kayu lain menghantam perahu beratap milik keluarga Kawala. Gadis empat belas itu memejamkan mata untuk kembali pada bumi.

Sungai tak mampu menampung air dan kayu-kayu dating secepat kilat itu, luapannya yang deras menghantam rumah-rumah penduduk. Menelan lelaki, perempuan, tua muda maupun anak kecil tanpa ampun. Ketika alam menjadi hakim, ia tidak peduli lagi, siapa yang berbuat dosa paling banyak.

Cerpen Ida Fitri (Serambi Indonesia. Minggu 31 Desember 2017)
Ida Fitri, lahir di Bireun 25 Agustus. Sekarang bekerja di Aceh Timut. Cerpen-cerpennya pernah terbit di Koran Tempo, Republika dan media lainnya.Buku kumpulan cerpen pertamanya 
berjudul Air Mata Shakespeare. Salah satu contributor Antologi Kopi 1.550 mdpl.

0 komentar:

Posting Komentar