Selasa, 23 Januari 2018

Cut Yanti

Cut Yanti (35), asal Lamno-Aceh, dihukum mati karena terbukti terlibat sebagai otak pelaku penembakan terhadap suaminya sendiri di Pahang-Malaysia.

***
Tentu saja berita ini cepat menyebar, menjalar seperti api disiram pertalite ditengah tumpukan daun kering kerontang di musim kemarau. Aku, Cut Yanti, kontan menjadi topik pembicaraan dan pemberitaan yang ramai di surat kabar, televise maupun di media sosial. Mereka semua menghukum dan menghakimiku tanpa tahu latar belakang masalahku.

Mungkin Mak sudah mendengar, bahwa aku, anakmu yang bernama Cut yanti, musti menghadapi kenyataan sebagai seorang tahanan yang harus menghadapi hukuman mati di negeri orang. Benar, katamu Mak, “Hidup adalah tulisan tanpa penghapus.”

Inilah goresan hidupku Mak. Tapi aku tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaik yang diberikan Allah untukku. Sebab semuanya bermula karena cinta kepada suamiku. Suami yang engkau pilihkan untukku. Aku tahu saat ini Mak tak mampu lagi menyembunyikan kesedihan Mak yang semakin menyusutkan buah dada Mak, tempat aku dulu menyusui. Dan kerut-merut diwajah Mak semakin memetakan penderitaan akibat perbuatan durjana dari putrimu ini. Ampuni aku Mak, karena semua ini bermula dari cinta, dari niat mempertahankan rumah tangga yang telah kau restui 20 tahu yang lalu. Semenjak ayah diseret keluar rumah dan diberondong peluru didepan matamu, kau selalu khawatir akan keselamatanku, putrimu satu-satunya. Karena itu Mak sibuk mencari jodoh yang terbaik untukku, agar ada yang menemani dan melindungiku karena usia Mak semakin tua, bahkan wajah Mak lebih tua dari pada di Katepe, sinar mata Mak semakin hampa, Makpun mulai sakit-sakitan dipicu sesak dibatin Mak. Maka di usia 15 tahun aku sudah duduk di pelaminan.
Perempuan di pinggir pantai
Cerpen Cut Yanti/Ilustrasi pinterest

Tak tegalah aku menolak pilihanmu Mak, dan membiarkan Mak seumur hidup menyimpan takut dan dendam. Tak perlu Mak katakana, karena dengan diamnya Mak sejak ayah ditembak, aku tahu hari-hari Mak diisi dengan munajat panjang. Memohon kebahagiaan putrimu dan mengutuki si keparat yang telah menembak ayah.

Pilihan Mak untuk putrimu ini tidaklah salah. Bang Wan adalah laki-laki yang baik, pintar mengaji dan rajin jadi imam di meunasah. Tapi kami terpaksa harus lari ke hutan. Karena ada desas-desus bang Wan masuk dalam jaringan teroris. Nanggroe kita tidak aman Mak, sedikit kabar burung bisa menghilangkan nyawa. Maka maafkan aku Mak, yang tak mencium tanganmu dan bersimpuh di kakimu saat aku pergi malam itu. Bang Wan tidak melarangku untuk meminta izinmu, tapi aku yang tak mau karena ku tahu kau takkan mengizinkanku. Aku hanya meninggalkan selembar surat permohonan maafku padamu. Aku tahu darah yang mengalir di tubuhku adalah darahmu juga, maafkan aku saat itu Mak…aku berniat akan kembali, dan menjilat luka di hatimu.

Demi cintaku pada suami, akau tinggal di hutan Mak. Rumahku di atas gunung, aku tidur berselimut langit. Di langit itu ada satu bintang yang bersinar cerah, bintang kejora namanya. Maka ingat saat bocah bila Mak Tanya cita-citaku, aku selalu bilang ingin menjadi bintang. Sampai sekarangpun aku masih ingin menjadi bintang. Bintang yang bersinar dalam kegelapan, walau sinarnya semaki lama semaki redup, karena langit di Naggroe kita selalu di gayuti awan. Awan yang menggumpal dari butiran air mata anak-anak tanah endatu.

Tapi tak lama kami tinggal di hutan Mak, karena teman-teman Bang Wan telah mempersiapkan sebauh pelarian ke negeri seberang, Malaysia. Negeri yang warganya dulu menuntut ilmu di negeri kita. Sekarang kita sudah sangat ketinggalan dari mereka. Ironis, seironis jodoh pilihanmu. Bukankah Mak menjodohkanku dengan orang sekampung agar aku tak pergi jauh. Tapi sekarang aku harus meninggalkan Mak dan pergijauh mengikutii suami ke negeri orang.

Di Malaysia Bang Wan bekerja sebagai montir di bengkel temannya. Aku membantu Bang Wan mencari rezeki sebagai tukang cuci piring di restoran tak jauh dari bengkel Bang Wan. Tak jarang kami harus bersembunyi dari kejaran tentara Malaysia karena kami tak punya passport dan visa legal. Semua aku jalanin dengan tabah Mak, karena kau telah mengajarkanku untuk bekerja keras.. sampai akhirnya Tsunami melanda Nanggroe kita. Dan berkah dari Tsunami itu adalah perdamaia. Maka aku dan Bang Wan bisa kembali ke kampong halaman dengan jalur laut. Jalur untuk tenaga kerja yang tidak mempunyai passport dan vis. Kampong kita sudah rata dengan tanah, tapi Alhamdulillah aku bisa menemukanmu di rumah Wak Cut Dollah. Itu adalah pertemuan kita yang terakhir Mak, karena kau bersikeras tak mau ikut denganku dan Bang Wan ke Malaysia. “Mak ingin mati di kampong halaman sendiri dan dimakamkan di samping kuburan ayah.” Itu alasanmu. Sedangkan Bang Wan sudah mempersiapkan berkas-berkas yang legal unutk keberangkatan kami kembali ke Malaysia. Aku kembali harus memilih antara Mak dan suamikku, tapi kali ini kau izinkan aku mendampingi Bang Wan, “tempat seorang istri adalah di samping suaminya” itu pesanmu.

Berkat restumu Mak, semakin hari usaha Bang Wan di Malaysia semakin maju. Dari bekerja sebagai montir di bengkel orang, kini Bang Wan bisa punya bengkel sendiri. Bukan hanya satu tapi sudah tiga. Saat jaya itulah prahara itu dimulai. Benar kata orang, “kesetiaan seorang istri diuji saat suami berada dibawah dan kesetiaan suami diuji saat suami berada di atas.” Harta menjadi prahara di rumah tangga kami. Bang Wan mulai menuntut dan mulai menuding karena aku tak bisa memberikan seorang anak. “mau diwariskan kepada siapa harta kita, kalau kita tak mempunyai keturunan.” Pernyataan itu selalu  diulangnya saat marah. Bang Wan mulai sering pergi berhari-hari tanpa kabar. Sampai suatu hari dia mengaku bahwa dia mencintai perempuan lain. Shakeenah namanya. Seorang janda cantik beranak tiga. Berasal dari kota Langsa. Dia minta izin dariku untuk poligami. Tentu saja aku menolak Mak, aku marah dan kecewa. Sudah sedemikian banyak pengorbananku untuk mendampinginya. Disaat susah aku selalu ada untuknya, bahkan rela meninggalkan Mak dan kampong halamanku. Di saat senang Bang Wan ingin membaginya dengan orang lain, dengan dalih perempuan itu adalah janda dari sahabatnya yang meninggal di tabrak tronton. Bang Wan sayang kepada ketiga anak yatim itu dan ingin membantunya karena menolong anak yatim dan janda adalah ibadah. Sampah! Itu semua dalah alasan dari nafsu liarnya. Aku tidak terima Mak… Aku tidak terima!

Tapi Bang wan tidak mau dibantah, dia mengancam akan menceraikan aku kalau tidak patuh pada suami. Hatiku mendidih tapi tak berdaya, kalau diceraikan aku merasa terhina dan malu. Bagaimana aku bisa menatap matamu saat aku pulang ke kampung halaman dalam keadaan ditalak. Dipoligami aku juga tak rela, membayangkan harus membagi suami di ranjang perempuan lain membuat hatiku murka. Karena itulah setan membisikkan pikiran gila ke benakku. Pikiran untuk membunuh suamiku dengan tangan orang lain. Dan ide itu aku wujudkan, dengan uang yang aku punya, tak susah di zaman ini untuk mencari orang untuk melakukan yang aku mau. Tetapi ternyata aku salah memilih orang, dalam waktu 1x24 jam saja dia sudah tertangkap. Dan mulailah penembak itu bernyanyi menyebut-nyebut namaku.  Maka di sinilah aku saat ini Mak. Mendekam di sel sunyi samba menungu waktu kematianku tiba. Aku tahu Mak, sekarang kau merutukku karena telah membayar orang untuk membunuh suamiku sendiri. Akupun tak kurang merutuk diriku sendiri mengapa begitu cepat terperdaya oleh ide busuk yang melintas di benakku. Seandainya saat itu aku bisa lebih sabar menghadapi cobaan ini. Mungkin sejarah hidupku akan lebih indah. Aku akan mati dan dikenang sebagai seorang istri yang rela dipoligami demi mencapai surge. Bukan seperti saat ini, dihukum mati karena otak penembakan suami sendiri.

Namun sekarang, peristiwa pahit ini harus ketelan Mak, bukan karena takdir Allah semata. Namun, risiko yang dari awal harus kuterima. Kalau surat ini sampai ketangan Mak, tolong sampaikan permintaan maafku pada keluarga Bang Wan. Aku memang pantas disalahkan meskipun dulu kau pernah berkata “tidak ada yang mesti disalahkan, semua itu yang di ataslah yang mengatur.” Berulang kali kalimat itu Mak ucapkan dulu. Ya, dulu saat binar di mata Emak masih teduh. Dan aku selalu mengangguk isyarat setuju. Maka Mak, kumohon jangan menetes air mata untu putrimu ini, berdoalah untuk ketenangan arwahku, meski Mak menahan perih.

Banda Aceh, 29 November 2017
Cerpen Yanti Shakeenah (Serambi Indonesia. Minggu/21/01/2018)

Yanti Shakeenah, guru di SMA Negeri 1 Lubok Ingin Jaya.
Pecinta dan penikmat sastra.

0 komentar:

Posting Komentar