Rabu, 10 Januari 2018

Pohon Pohon di Halaman Rumah Misyik

Semua penerbangan dari Madinah, Jeddah dan Riyadh ke Banda Aceh sudah penuh. Masa liburan seperti sekarang ini kedua jalur penerbangan ini memang padat dengan para peziarah. Warga Aceh yang melakukan umrah, juga warga Saudi yang berziarah ke Serambi Mekkah. Pocut Ana mendapatkan visa tinggal selama 3 bulan Universitas Madinah untuk menyelesaikan penulisan buku tentang waqaf diaspora saudagar Aceh ban sigom donya di Madinah dan kaitannya dengan waqaf Aceh yang terkenal di Mekkah. Baru satu bulan berjalan ketika tiba-tiba dating berita banjir bandang melanda Blang Resort di Lembah Selawah. Ia memutuskan untuk segera kembali ke Tanah Air, bukan semata karena ia punya saham di resort itu tetapi karena banjir itu petanda ada yang salah di sana sehingga menyebabkan jatuh korban luka beberapa warga. Bahkan sebelum berita itu sampai, ia sudah merasa begitu ingin pulang kampong. Pada suatu malam setelah Isya di Masjid Nabawi tiba-tiba ia begitu rindu pada almarhum Misyik-neneknya, pada  udara pegunungan yang berkabut dan bau tanah basah sesudah hujan senja hari. Pada rumah dan halaman yang penuh pohon aneka rupa di gampong Misyik. Pocut kecil dahulu selalu menghabiskan liburan ke rumah Misyiknya dari pihak Ayah. Pocut menyimpan kenangan liburan di sana seperti harta karun yang berharga. Ia mengingat semua pohon di halaman rumah Misyik, sawah, hutan sala (pinus), punggung bukit lalu gunung yang kadang Nampak bergradasi hijau ke biru.
lukisan pemandagan
Pohon Pohon di Halaman Rumah Misyik/Ilustrasi Pinterest

Rumah Misyik terdiri dari dua bagian. Ada rumoh ateuh yang merupakan rumah panggung dari kayu dan rumoh miyup berdinding separuh bata dan selebihnya papan. Rumoh minyup di bangun putra-putrinya ketika Misyik mulai kesulitan naik turun tangga. Di sanalah anak-cucunya sering berkumpul saat liburan sekolah dan hari-hari raya. Pocut Ana ingat betul di halaman depan rumah ada pohon jeruk manis kecil (citrus x sinensis) yang jarang berbuah, tidak manis sehingga lalu di tebang. Ada pohon mangga (mangifera indica) yang tak banyak buahnya tetapi tidak ditebang karena dahannya dipakai untuk mengikat ayunan. Ada banyak pohon jambu klutuk (psidium guajava) yang daging buahnya bewarna putih lalu menjadi merah jambu dengan biji putih kekuningan ketika masak. Ada juga tiga pohon belimbing manis (averrhoa carambola) yang buahnya begitu melimpah di puncak musim sehingga kadang separuh halaman penuh dengan buah yang gugur dan tak bisa lagi disapu sehingga harus ditarik dengan cangkul. Ada juga manggis (mangosteen) yang manis dan berkhasiat.

Di halaman belakang ada beberapa pohon durian (durio zibethinus) yang selalu dinanti penuh harap jatuhnya. Pocut Ana dan para sepupunya sering main keong atau golek-golek membaca buku dan mendengar Misyik bercerita Abunawas sambil menanti durian runtuh. Ada juga tiga pohon rambutan (nephelium lappaceum) yang begitu banyak buahnya sehingga tiap panen selalu dibagikan ke seluruh tetangga. Ada banyak pohon kelapa (cocos nucifera) yang sepanjang tahun bisa dinikmati buahnya muda atau tua. Misyik paling cekatan membelah kelapa dengan sundak atau parang, juga mengolah kelapa menjadi minyak dan pliek u. ada juga pohon cengkeh (syzygium aromaticum), jambu bol merah dan putih (syzygium malaccense). Pohon bumbu seperti temurui (murraya koenigii), belimbing wuluh (overrhoa bilimbi) dan berbagai pohon lainnya. 

Pocut Ana memutuskan segera pulang karena ia sangat prihatin. Sudah lama sekali sejak banjir bandang terjadi di daerah itu. Dahulu memang sistem pengelola sampah dan sanitasi gampong begitu buruk sehingga ketika curah hujan tinggi, gampong pegunungan itupun banjir karena air tersumbat sampah di saluran. Teungku Man yang ketika itu menjadi ketua pemuda mengajaknya dan Husna yang ketika itu baru lulusdari Fakultas Pertanian Unsyiah untuk membuat program pembersihan gampong dan mengontrol perambahan hutan di kawasan hutan rakyat. Bukan perkara mudah. Tanpa inisiatif dari pemuda gampong dan dukungan warga merantau seperti Pocut yang penulis atau Husna dan jaringan kampus, program itu takkan berhasil. Ada orang kuat yang menghambat niat baik mereka. Akhirnya program itu berjalan. Lalu seiring berlalu dengan banjir yang tak dating lagi dan hutan-hutan mulai pulih. Tumbuh pula industri pariwisata yang berkembang dengan pesat. 

Keprihatinan dan kerinduan yang membuat Pocut memutuskan untuk segera pulang. Pihak Universitas Madinah yang menjadi tuan rumah program memakluminya. Lagi pula Ia memang mendapat multiple entry visa dan bisa kembali lagi melanjutkan pekerjaannya menulis nanti.

Pocut Ana memilih terbang melalui jalur yang tidak terlalu dipadati peziarah. Syukurnya penerbangan Air Aceh dengan rute Madinah-langkawi-Sabang masih memiliki kursi kosong walaupun harganya sudah melangit. Di sabang Ia akan bertemu Laskat Muhammad. Pemuda itu menawarkan diri bahkan setengah memaksa untuk mejemput dan mengantarkannya ke Seulawah. Sayangnya jalur udara Sabang menuju Banda Aceh sudah penuh sehingga mereka harus naik ferry cepat.

Bandara sabang yang kecil tidak seperti Bandara SIM yang megah di Banda Aceh tetapi terasa jauh lebih mewah dan bersuasana internasional. Orang-orang dari berbagau bangsa hilir mudik. Kedai-kedai kopi dan mie di bandara dipenuhi wajah-wajah Arab, Cina, Eropa, Hindia. Petugas imigrasi yang mengenalnya menyapa dengan nama kecilnya. “Selamat datang Nena.” Ujar petugas itu dengan ramah. Begitu keluar dari kawasan kedatangan dari jauh sudah terlihat wajah tampan Laskar.Nena! teriaknya penuh rindu. Nena adalah panggilan sayang Laskar untuk Pocut Ana yang kemudian juga menjadi nama kecilnya sebagai penulis. Pemuda 25 tahun berperawakan tinggi dengan rambut ikal itu menyalaminya lalu memeluk erat-erat dengan mata berbinar. Namun Nena membaca sekilas sirat kecemasan di dalamnya.

Dari bandara mereka menuju pelabuhan ferry dengan taksi. Setelah bertahun-tahun berpisah jarak, Laskar mulai dekat lagi dengannya sejak Ia mulai tertarik mempelajari tentang kondisi lingkungan di Aceh. Ketika mereka menghabiskan waktu bersama, Nena menceritkan kenangannya dengan pohon-pohon di halaman rumah Misyiknya dan juga harapan-harapannya kedepan. Ia begitu bahagia mendapati pemuda itu sama bersemangatnya. Dua tahun yang lalu Laskar akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sabang. Sejak kecil Laskar sudah berkeliling dunia mengikuti orang tuanyayang berpindah-pindah sebelum akhirnya Ia memutuskan untuk kembali ke Aceh dan membangun perusahaan yang memproduksi game advokasi lingkungan dengan tema pertualangan bawah laut.

Untuk menghindari kepadatan di pelabuhan ferry Ulee Lheu mereka memutuskan naik ferry dari Sabang ke Pulau Breuh lalu naik kereta cepat menyusuri jalur lintas Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Bunta kecil, menyebrang ke Puekan Bada dan turun di stadium terakhir Lambaro tanpa melalui pusat kota. Dari sana melanjutkan dengan kereta api biasa ke Seulawah. Perjalan Madinah-Sabang sudah termasuk transit makan waktu sekitar 8 jam. Memang tidak selama perjalanan Banda Aceh-Harissburg di Negara bagian Pennyslvania Amerika tempat Laskar dan orang tuannya pernah lama tinggal. Tetapi Nena terasa begitu lelah. Kereta mulai sepi ketika memasuki stasiun Samahani. Laskar menyinggung tentang mulai dibukanya kembali kawasan hutan raya yang lama dikonservasi masyarakat. Penyebabnya tak lain karena bertambahnya kebutuhan lahan untuk mengakomodasi industry pariwisata yang berkembang pesat. Selama ini memang hutan itu bertahan dengan consensus masyarakat dan belum dilengkapi dengan perangkat hukum yang kuat. Yang mempersulit keadaan juga adanya oknum aparat yang ikut mengembangkan usaha di seputaran kawasan pelatihan mereka di sisi lainnya gunung Seulawah. Laskar menceritakan bahwa pergantian pimpinan dalam asosiasi petani, perusahaan wisata dan perangkat desa juga membawa dinamika baru yang cenderung mengabaikan komitment pada pelestarian hutan yang dulu menjadi prinsip pemuda desa. Nena memandang pemuda di depannya dalam-dalam berkata “bagaimana jika kamu pindah saja ke Seulawah. Kamu juga bisa menjalankan perusahaanmu dari sana sambil membantu upaya pemulihan lingkungan?” Laskar memandangnya lekat-lekat, tersenyum tapi tidak segera menjawab. Nena tidak tahu, pemuda itu masih ragu. Di benak Laskar terbayang wajah seseorang perempuan di Sabang yang setahun belakangan juga mulai dekat dengannya. 

Ketika kereta mulai memasuki stasiun Seulimuem Nena jatuh tertidur. Laskar membiarkannya bersender di bahunya. Nena bermimpi tentang keluarganya, tentang hutan sala, tentang pohon-pohon di rumah Misyik, tentang sampah gampong. Tentang semangat Teungku Man, husna, tentang tahun-tahun tanpa banjir. Kereta berhenti sejenak di stasiun Saree dan mulai ramai kembali dengan orang-orang yang ingin menuju Blang Resort di Blang Lambaro. Nena masih tertidur ketika kereta melewati lahan tempat dulu Misyiknya berdiri. Di sana kini berdiri deretan pertokoan dan penginapan. Hanya sebagian kecil lahan di belakangnnya yang dijadikan tempat pemakaman keluarga yang masih dipenuhi pepohonan.sudah menjadi kesepakatan keluarga besar untuk mempertahankan kawasan itu.  Entah sampai kapan kesepakatan semacam itu bisa bertahan. Ketika kereta mulai melambat kembali menjelang stasiun tujuan, Nena mendengar panggilan samar-samar dari Laskar. Ketika matanya terbuka dilihatnya wajah pemuda gagah itu berkata lembut padanya. Nena, Nena sayang.. Bangunlah. Nenek Ana sayang, bangun Nek kita sudah sampai. Tapi Nena atau nenak Ana atau Nenek Pocut Ana hanya terjaga sekejap saja lagi. Seiring merambatnya kereta, ia mengusap rambut cucunya dan minta maaf atas segala kesalahannya. Ia mohon maaf tak cukup kuat berusaha menjaga alam dan berpesan untuk terus menjaga apa yang sama-sama mereka cintai. Ia menutup usia dalam senyum sesudah Laskar yang gemetar dengan mata berkaca-kaca berjanji akan memenuhi permintaannya. Ia pulang dalam umur 80 tahun dalam pelukan cucu tercinta tepat ketika kereta berhenti di stasiun gampongnya. Pocut Ana pulang untuk berkumpul kembali dengan Jasad pohon-pohon di rumah Misyiknya yang telah menyatu bersama keluarga, bersama tanah, gunung dan gampong yang selalu dicintainya.

Cerpen S. Agustina (Serambi Indonesia, Minggu 7 Januari 2018)
Kuala Lumpur-Banda Aceh 27-28 Desember 2017
Peminat Sastra, Tulisan dan terjemahannya pernah dimuat di Serambi, Kompas dan Jakarta Post.

0 komentar:

Posting Komentar