Selasa, 26 Desember 2017

Robby Julianda : Pilihan Ganda dari Tuhan

Pilihan Ganda

Pilihlah salah satu huruf a, b, c, atau d, sesuai dengan jawaban yang Anda anggap paling benar!

Anda sedang berada di atap sebuah gedung 37 lantai, berdiri di salah satu titik yang mempertemukan sisi gedung agar mata Anda leluasa memandang kota di bawahnya, seolah Anda sedang memandangi miniatur kota rancangan seorang arsitek agung: petak-petak rumah dan gedung-gedung yang menjulang; barisan pepohonan; ratusan kendaran yang bergerak lambat menyusuri jalan raya bercabang yang membagi pemukiman menjadi bagian-bagian kecil; lapangan; juntaian kabel yang menghubungkan tiang-tiang, sebuah sungai lebar yang mengalir tenang menuju laut yang begitu jauh dari pandangan Anda, membelah kota menjadi dua bagian, serta sebuah jembatan kukuh yang kembali menghubungkan dua bagian tersebut. Anda memperhatikan semua itu dengan saksama hingga menimbulkan perasaan takjub. Segalanya tampak simetris dan tertata. Lebih-lebih usai menatap kerlip cahaya matahari yang dipantulkan air sungai dan seluruh kota membuat perasaan tenang menghinggapi Anda untuk sejenak.

Anda kemudian merasakan keringat mengalir di dahi Anda dan tengkuk Anda terasa panas. Anda mendongak. Matahari yang sejajar dengan kepala membuat Anda harus mengerinyitkan mata karena silau. Tak ada awan. Hanya hamparan langit biru yang memayungi Anda.
Pilihan Ganda dari Tuhan ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo

Tiba-tiba angin bertiup kencang. Gelombang rasa takjub dan tenang yang menjalari Anda sebelumnya lenyap, berganti dengan rasa khawatir kalau-kalau angin membuat Anda limbung. Andai jatuh, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke bawah? Anda bergidik memikirkannya kemudian mundur beberapa langkah sembari melihat jam tangan. Pukul 12 tepat. Empat puluh lima menit yang lalu Anda baru saja dipecat dari pekerjaan.

Setelah pemecatan tersebut, hal apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?

a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.

b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.

c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.

d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Kau tiba-tiba merasa putus asa. Kau sendiri tak yakin apa yang akan kaulakukan andai Tuhan memberikan pilihan semacam itu.

a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.

Ini bukan pilihan yang sulit sebenarnya. Kau dicampakkan dan dianggap sudah tak berharga-apa lagi yang pantas untuk dilakukan kecuali melompat? Andai kau melakukannya, nyaris tak ada peluang untuk hidup. Kau mampus dan otakmu berceceran di jalanan atau trotoar-beruntung jika seseorang mau mengumpulkannya dalam kantong plastik. Namun kau masih mencintai kehidupan meski kehidupanmu tak bisa dikatakan bahagia. Kau hidup sendiri dan bekerja sedari usia muda. Dua minggu lagi usiamu 46 tahun. Kau tak pernah bergonta-ganti pekerjaan, bekerja selama 21 tahun terakhir di perusahaan yang sama sebagaimana laku seorang kekasih setia. Semuanya bercampur aduk. Kau marah dan kecewa dan sedih dan putus asa. Bukan karena pesangon yang diberikan tak memuaskan, namun harus terpisah dari pekerjaan yang sudah menjadi identitasmu bukanlah perkara gampang. Secara tidak langsung pemecatanmu sama saja dengan kematian. Aneh memang, seseorang yang sudah mati masih mencintai kehidupan.

Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…

b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.

Tentu saja, kembali menemui atasanmu bukanlah demi adegan memohon-mohon agar ia urung memecatmu dan, sambil berlinang air mata, mengatakan pemecatan itu adalah sebuah kesalahan. Kau masih punya harga diri. Kau mungkin melakukannya karena perasaan menyesal dan menyalahkan diri sendiri sebab kau tak berkutik sedikit pun di hadapan atasan yang umurnya jauh lebih muda. Kau masih ingat bagaimana ia menyambutmu di ruangannya dengan wajah murung namun ia tak menyadari cara duduknya di tepi meja membuat kau merasa direndahkan. Setelah basa-basi atau apalah namanya, ia mempersilakan kau duduk.

“Bapak M. Azhar Ahmad,” ia berkata dengan suara berat sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. “Mungkin Bapak sedang bertanya-tanya-ada apa? Namun saya akan langsung saja. Alasan kita melakukan pembicaraan ini adalah karena posisi Bapak di perusahaan ini sudah tidak tersedia lagi,” ucapnya lancar. “Bapak dipersilakan untuk pergi mencari peluang dan pengalaman baru.”

Saat itu kau serasa disambar petir.

“Saya masih tak mengerti. Dipersilakan untuk pergi maksudnya?” Kau bertanya bukan karena tak mengerti. Kau hanya mengulur-ulur waktu. Percuma saja.

“Ya, Bapak dipersilakan untuk pergi,” ulangnya.

“Apakah saya dipecat?”

“Sebenarnya kami tidak diizinkan menggunakan kata-kata tersebut. Namun dengan menyesal harus saya katakan: Bapak dipersilakan untuk pergi. Semoga Bapak mengerti mengingat situasi sekarang tak memungkinkan kita untuk—”

Ia mulai berceloteh tentang ini dan itu dan kau hanya diam. Kau memandangi gerak mulutnya sesekali menatap foto keluarga yang dibingkai, sengaja ditaruh di atas meja. Selama berceloteh ia menggaruk hidungnya delapan kali. Ketika selesai ia tak lupa mengucapkan terima kasih untuk kerja keras dan jasamu selama ini bagi perusahaan dan selanjutnya kau bisa melapor ke bagian administrasi mengambil uang pesangon. Ia kemudian mengulurkan tangan dan kau menyambutnya dengan perasaan hancur dan hasrat untuk menumbuk batang hidungnya sekaligus.

Jadi sekaranglah saatnya kembali masuk ke ruangannya, mendobrak pintu dengan kasar kemudian melabrak meja dan melihatnya menciut ketakutan di kursi putarnya. Selanjutnya kau bebas menyumpahi omong kosong tentang peluang baru pengalaman baru tahi kucing yang sebelumnya ia muntahkan. Sebelum keluar dari sana, tentu saja kau bisa melepaskan hasrat menumbuk hidungnya lalu meraih foto keluarga bahagia atasanmu kemudian membantingnya ke lantai atau melemparnya lewat jendela.

Namun kembali lagi ke akar masalah: Apakah semua itu akan membuat pemecatanmu dibatalkan? Yang kaudapati mungkin dua orang petugas keamanan sedang memitingmu.

Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…

c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.

Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa akan membuatmu menjadi seorang pecundang yang paling pecundang. Kau sudah cukup dipermalukan istrimu ketika delapan tahun yang lalu ia lebih memilih laki-laki lain. Awalnya rumah tangga kalian baik-baik saja dan kalian saling mencintai. Namun setahun sebelum ia angkat kaki dari rumah, kalian lebih sering bertengkar daripada bercinta. Permasalahannya: istrimu tak bahagia sebab belum memilki anak. Padahal sebelum-sebelumnya ia tak pernah mempersoalkannya.

“Tolong hentikan tatapan itu.” Kata-kata itu selalu meluncur ketika obrolan mulai memanas dan pertengkaran segera dimulai.

“Tatapan apa?”

“Tatapan itu. Tatapan ini-semua-salahmu itu.”

“Jadi ini semua salahku?” balas istrimu. Ia langsung berada di atas angin. Lidahmu kelu sebab semua memang kesalahanmu. Kau mandul.

Sekarang istrimu hidup bahagia dengan laki-laki yang tak pernah kauketahui bentuk wajah atau potongan rambutnya-kabarnya mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Andai saja kau tahu siapa laki-laki itu, pikirmu geram. Geram. Hanya sebatas itu. Kau tak pernah mencari tahu mengapa istrimu berubah setahun sebelum meninggalkanmu lantaran seluruh perhatianmu disedot oleh pekerjaan. Dalam hati kau pun agaknya mengakui, terlepas dari masalah kejantanan, kalau kau sebenarnya seorang lelaki lemah. Jika tidak demikian, kau mungkin sudah mencari tahu tentang laki-laki itu dan menghajarnya hingga babak belur. Setelahnya mungkin kau menghabiskan tiga empat bulan di penjara sembari berdoa sipir penjara tidak menggilirmu setiap malam.

Mungkin memang ada baiknya bagimu pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.

Kini kau tak terikat lagi dengan pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu untuk anjing peliharaanmu. Manis, begitu kau memanggilnya. Seekor anjing golden retriever warna cokelat pudar dan putih pada bagian leher dan kakinya. Manis kaubeli setelah istrimu pergi. Harga yang mahal untuk mengusir kesepian.

Kau dan Manis bisa jalan-jalan setiap sore. Menyusuri bantaran sungai atau duduk di bangku taman sembari menanti matahari tenggelam. Bisa jadi, di sela-sela jalan sore kalian, kau akan bertemu dengan seorang perempuan. Kau tahu, perempuan selalu tertarik dengan laki-laki yang memelihara anjing. Namun kau kembali mengingat kesalahanmu: urusan kejantanan.

Anggaplah menghabiskan banyak waktu dengan Manis membuat kau lebih bahagia. Namun apa yang akan terjadi setelah uang pesangonmu habis, pikirmu. Di umurmu yang sekarang, kau tak akan mendapatkan pekerjaan seperti sebelumnya. Mustahil untukmu kembali bekerja di kantoran. Kau bahkan akan ditolak mentah-mentah menjadi penjaga toko karena pemilik toko hanya butuh anak-anak muda penuh semangat dengan penampilan menarik dan kuat dan sarjana. Kemiskinan dan kesendirian dan masa tua membuatmu takut setengah mati.

Dan sekarang kau masih berdiri. Menatap nanar ke arah kota di bawahmu yang sebelumnya membuatmu takjub.

Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…

d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Tetapi… bagaimana mungkin kau menyerahkan semuanya kepada Tuhan sedang Tuhan sendiri memberikanmu pilihan?

Sungai Landia, 2017


*) Bentuk dari cerpen ini dikembangkan dari tulisan Eko Triono, “Cerita dalam Ulangan Harian Kita.”

 Cerpen Robby Julianda (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)
Robby Julianda lahir pada 1991 dan sekarang menetap di Nagari Sungai Landia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Senin, 11 Desember 2017

Dwi Rezki Fauziah : Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan

“Ibu, aku ingin menjadi tentara.”

Oh, Syahdan… kau tidak tahu sudah berapa kali aku bermimpi buruk selepas Digta mengatakan itu padaku. Kurasa setiap malam, satu-satunya hal yang dapat kudengar adalah bunyi meriam dan tembakan peluru yang menembus daun, dinding, kayu dan hati-hati manusia. Setiap aku memejamkan mata, bayangan akan darah, memar dan tanganmu gemetar saat menyentuhku membuat aku tak pernah sekali pun tidur nyenyak. Lebih parah lagi, kadang aku merasa darah itu mengalir di sela-sela jariku, merembes ke bagian leher dan kuisapi baunya, sementara kau benar-benar pucat—kehilangan darah. Lalu Digta juga akan terbangun, bertanya mengapa aku gelisah, dan ujung-ujungnya berkata dengan “sok dewasa”-nya: Tak perlu takut ibu, itu hanya mimpi buruk. Sekali pun tak pernah berpikir bahwa dialah penyebab mimpi burukku.
Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan ilustrasi Indra Fauzi/Koran Tempo

Seandainya kau ada di sini, akan kupukul kau habis-habisan. Sebab kisah peperangan yang saban hari kau ceritakan pada Digta membuat anak kita itu tumbuh dengan terobsesi menjadi tentara. Katanya pejuanglah, patriotlah, pahlawanlah, Hah! Pahlawan apa? Kau dan orang-orang berbaju loreng itu hanya dijadikan tumbal saja, Bodoh! Mereka menempatkanmu di barisan depan, agar mereka bisa bersembunyi di barisan ke seratus sambil duduk-duduk. Kau tidak tahukah? Dan sekarang bertanggungjawablah, karena Digta sudah sangat ingin menjadi tentara. Bahkan dia lebih ingin itu ketimbang melihat jasadmu, yang kini tak tahu rimbanya.

Beberapa kali sudah kukatakan padanya, menjadi guru atau dokter jauh lebih baik dan mulia ketimbang tentara. Sudah kuiming-imingi dengan status sosial, gaji tinggi, para gadis bahkan pahala dan ridaku sendiri, tetapi dia tetap tak bergeming. Selalu saja, kehormatan yang dia junjung tinggi. Dia berkata padaku dengan wajah dibuat semeyakinkan mungkin: Ibu, kalau aku jadi tentara, ibu akan dihormati karena telah melahirkan seorang prajurit. Kata ayah, itulah keinginan setiap ibu di dunia ini. Kau yang mengajarinya, kan? Menentang keinginanku demi mengatasnamakan namamu. Oh, Syahdan.. harus bagaimana lagi aku mengatakannya? Aku benci tentara.

***

“Ibu, tentara itu hebat, yah? Pandai menembak dan memanah.”

Begitulah dia katakan setiap kali melihat berita perang saudara di kampung kita. Lalu dia akan menjulurkan tangannya ke depan, mengepal jari- seolah-olah itu pistol, dia arahkan ke sana-kemari sembari berkata: “Door!” “Door!”

Aku kesulitan sekali menangkapnya yang berlarian di halaman. Kau tahu, perang masih belum reda. Meski sudah tak pakai senjata, masih banyak penduduk desa kita yang tiba-tiba terkapar bercucuran darah, sebab peluru yang entah siapa empunya. Keluarga kita termasuk orang paling diincar. Terlebih mereka tahu bahwa Digta ini satu-satunya lelaki setelahmu. Orang-orang mengira Digta pasti memiliki jiwa-jiwa pejuang sepertimu. Dan sayangnya, perkiraan itu memang benar.

Saban hari, Digta menyisihkan satu jam sepulang sekolah untuk belajar bela diri di kampung sekolah. Anak kita sudah menginjak usia sepuluh dan sudah hafal jalan pulang. Sebagai anak lelaki, adalah hal wajar ketika dia suka bepergian. Selain itu, dia bilang dia suka petualangan, silat, naik sepeda menuruni bukit, dan ah, dia juga sangat suka sepak bola. Tetapi yang sering dia katakan malah, Aku ingin jadi tentara. Bukan jadi karateka, pesilat, atau pemain sepak bola. Mengapa tidak jadi pemain bola saja? Tanyaku padanya suatu ketika. Tidak usah, Bu. Pemain bola tidak akan bisa bermain jika keamanan saja masih terganggu. Begitulah jawabnya yang membuat aku semakin mengutuk dirimu, Oh Syahdan.

Kau pernah bilang bahwa jika itu laki-laki, kau ingin anakmu menjadi tentara. Dan aku bersikukuh mau punya anak mahaguru. Kita sempat tak bicara tiga hari tiga malam karena itu. Padahal, kau sangat jarang berada di rumah. Dirga—anak perempuan kita-juga tidak suka dengan pekerjaanmu. Seperti halnya aku, dia pun paling benci kehilangan. Dan tampaknya dia mulai terbiasa merasakan hilangmu, sehingga ada-tidaknya kau dianggap angin lalu saja. Malangnya anak kita, Syahdan, dia pun mulai menyatu dengan kehilangan itu.

Beberapa bulan setelah kematianmu, dan kepergian tawaku, dia keracunan akibat memakan daun aglaonema di depan rumah. Kurangnya persediaan beras waktu itu membuatku terpaksa hanya memasak sekali sehari saja. Uang pun aku tak punya. Ibu dan bapak yang sakit bahkan tak kuobati. Inilah yang mengherankan. Kau bilang, uang pensiunmu akan membantu kami, selalu kau embel-embeli dengan uang tunjangan, asuransi, jaminan, atau apalah, tapi semuanya hampa. Kau itu cuma orang desa, Syahdan. Mereka mungkin sudah lupa alamatmu. Omong kosong dengan uang-uang itu. Anak kita—Dirga—akhirnya meninggal, di rumah sakit yang tak memberi pelayanan baik karena hanya kubayar dengan janji.

Ibu dan bapak pun menyusul tak lama kemudian. Namun, kematian mereka masih kuwajari dan tak terlalu menyayat hati. Mereka memang sudah tua sekali, dan beberapa kali telah kita prediksikan mati. Sebab asap-asap peluru yang mengganggu pernapasan mereka kian menerobos celah-celah rumah kita. Kini kami tinggal berdua. Aku dan Digta. Kuhidupi dia dengan menjual segala berharga yang masih melekat di badan. Anting-anting, kalung, baju pengantin, dan cincin kita. Lalu kugunakan uang itu sebijak mungkin. Ada pula beberapa juta kusisipkan untuk pengobatan. Kalau saja Digta kenapa-kenapa, maka aku tidak pontang-panting lagi untuk berhutang.

***

“Ibu, apa tentara punya banyak uang?”

Aku masih memikirkan kau dan uangmu ketika Digta menanyakan itu padaku. Aku muak, Syahdan. Aku lelah diingatkan tentang kau oleh pertanyaan-pertanyaan Digta. Kubanting meja keras-keras di depannya. Sebuah vas bunga kaca terjatuh namun tak sampai pecah. Dia bertanya kenapa. Aku balas dengan teriakan murka.

“Berhentilah berbicara tentang tentara!”

“Memangnya salah, Bu? Digta ingin jadi tentara, untuk melindungi ibu.”

“Omong kosong! Kau hanya akan pergi dari ibu, meninggalkan ibu sendiri. Seperti yang dilakukan ayahmu itu.”

“Tidak. Meskipun mati, Digta mati terhormat sebagai prajurit. Lagipula semua orang bukannya akan mati, Bu? Mengapa ibu begitu takut?”

“Digta, pokoknya ibu tidak mau kau jadi tentara!”

“Ibuuu!” lalu aku mendengar teriakan Digta. Entahlah, ada kaget, marah dan perih tersirat dari suaranya. Namun, aku tidak bisa memastikan. Yang kuingat setelah teriakan itu, hanya tangis, darah, peluru dan salak anjing menyahut-nyahut, kalau aku tidak keliru.

***

“Jadi kakek dulu juga seorang tentara, Yah?”

“Iya. Kakek ayah- bapak dari nenek- juga tentara.”

“Wah, betapa beruntungnya nenek, dikelilingi oleh banyak tentara. Sudah semestinya dia tidak merasa takut selama perang berlangsung.”

“Seharusnya begitu.”

Seorang tentara dan anak perempuannya itu masih bersimpuh di kuburan menjelang sore hari ini. Sesekali mereka tertawa, dan menunduk khidmat—menatap nisan di hadapannya. Hingga telepon genggam tentara itu berdering. Maka segerahlah dia mengajak anaknya kembali.

“Shayla, ayo pulang. Ayah ada kerjaan.”

“Apa ayah tidak kembali lagi malam ini?” Anak itu menatap ayahnya dengan mata berbinar gelisah.

“Ya, seharusnya begitu.”

Cerpen Dwi Rezki Fauziah (Koran Tempo, 25-26 November 2017)
Dwi Rezki Fauziah. Berusia 18 tahun. Masih pelajar di sekolah menengah. Suka menulis. Cerpennya beberapa kali diterbitkan dalam buku antologi.

Minggu, 10 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

EPILOG: TOKYO, 10 TAHUN KEMUDIAN
-------------------------------------------------------
“POOOONG!” Suara kapal yang hendak merapat berbunyi mantap.
Suara pekikan burung camar memenuhi pelabuhan. Terbang kesana-kemari. Hinggap di ujung-ujung runcing tiang kapal yang tampak padat memenuhi dermaga. Salah-satu burung camar itu berani hinggap di pagar geladak dekatku. Kepalanya bergerak-gerak. Naik-turun.
Aku tertawa kecil. 
“POOOONGG!!”
Angin menerpa memainkan ujung rambut. Sepanjang mata memandang, langit terlihat biru tanpa saputan awan. Sekarang pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Berarti kapal ini tiba sesuai jadwal. Pagi yang indah. Pelabuhan Tokyo terlihat ramai. Orang-orang yang menurunkan barang. Mobil-mobil merapat menaikkan penumpang. Petugas bea cukai. Imigrasi. 
Tere Liye : Burlian

“Kau akan melihat kapal besar, Burlian. Kau sungguh akan melihatnya.” Sepuluh tahun silam, Pak Bin menangis memelukku. Ikut melepas keberangkatan.
Aku mengangguk. Menyeka ujung mata.
“Tetaplah bersahaja kau, Burlian. Tetaplah bersahaja seperti kau berpeluh menghabiskan nasi lemang spesial buatan Bakwo.” Bakwo Dar mengelus rambutku.
Aku mengangguk, berjanji sungguh-sungguh dalam hati.
“Schat, apa yang dulu Wawak bilang, je bent speciaal… Hanya satu pesan Wawak… Jangan sekali-kali kau ulangi judi seperti SDSB dulu. Itu berbahaya.” Wawak tertawa menggenggam bahuku. Bahkan Bapak yang berdiri di belakangku ikut tertawa lebar.
“Lihat… dia masih kecil sekali… jagoan Mamak masih kecil sekali…” Mamak menciumi wajahku. “Dan kau… kau biarkan dia sekolah di seberang pulau sana. Kau biarkan dia mengurus semuanya sendiri. Siapa yang akan menyiapkan sarapan buatnya… makan malam… mencuci seragamnya… sepatunya…” Mamak menangis.
“Burlian akan baik-baik saja.” Bapak tersenyum, “Ah, setiap kali ada seseorang yang akan pergi… maka sejatinya yang pergi sama sekali tidak perlu dicemaskan. Dia akan menemukan tempat-tempat baru. Berkenalan dengan orang-orang baru. Melihat banyak hal. Belajar banyak hal. Dia akan menemukan petualangan di luar sana… sementara yang ditinggalkan.. nah itu baru perlu dicemaskan. Lihatlah, Mamak kau yang menangis macam anak kecil saja.”
Mamak dengan wajah masih penuh air-mata melotot kepada Bapak. Membuat semua orang tertawa lagi. Suara ‘klakson’ kereta melenguh panjang, memutus tawa. Dengus nafasnya membuat bergetar tanah.
“Saatnya berangkat, Burlian.” Lik Lan lembut menyentuh bahuku. Petugas stasiun kereta sudah sejak tadi selesai menaikkan dua tas besarku ke atas gerbong masinis. 
Mamak menciumi wajahku untuk terakhir kalinya. Lantas aku loncat menaiki gerbong. Berdiri melambaikan tangan. Kereta mulai bergerak. Munjib, Can membalas lambaian bersama yang lain. Juga ada Ayuk Eli, Kak Pukat dan Amelia yang sedang pilek. Kereta melaju cepat meninggalkan stasiun kampung. Mulai menerabas lembah, mendaki bukit.
Hari itu aku berangkat.
Seluruh murid kelas enam SD kami lulus. Pak Bin mendapatkan penghargaan spesial dari dinas pendidikan. Sekolah kami meluluskan tiga belas murid dengan rata-rata nilai ujian fantastis, tertinggi di seluruh provinsi. Meski ujian itu tidak mudah kami lewati. 
Malam itu, pekuburan kampung ramai oleh penduduk. Mengabaikan pertandingan piala Thomas, seluruh kampung mengepung pekuburan. Petugas koramil dari kota kecamatan datang beberapa jam kemudian. Sosok tinggi itu adalah buronan ‘bajing loncat’ dari penjara kota. Sudah tiga malam dia bersembunyi di kuburan kampung. Membuat burung di atas pohon bungur terganggu lantas melenguh nyaring. Penjahat itu akhirnya berhasil ditangkap. Diborgol, dibawa petugas. Bahunya luka terkena tembakan Bapak sebelum dia lari mengurungkan diri menghantam kepalaku dengan nisan kuburan.
Can dan Munjib baru sadar esok pagi. Meski pingsan cukup lama, setelah diperiksa Mantri Kesehatan, mereka hanya memar dan tergores oleh duri semak pekuburan. Aku malam itu juga sudah sadar dari pingsan. Menatap sekitar yang ramai sekali. Mamak yang cemas menunggui. Dengan segala keributan itu, kami melewati ujian nasional dengan baik seminggu kemudian.
Aku baru diajak bicara Bapak soal rencana melanjutkan sekolah setelah pengumuman kelulusan. Bapak berkali-kali menggelengkan kepala, menatap hasil ujianku dengan berkaca-kaca, mengeluarkan surat beramplop cokelat, lantas bilang, “Kawan baik kau Nakamura-san, menawarkan kesempatan sekolah SMP di Jakarta. Kau mau?” Dan tanpa perlu menunggu kalimat Bapak selesai, aku sudah mengangguk mantap.
Berangkatlah aku beberapa hari kemudian, menumpang kereta. Tiba di Palembang pagi-pagi, salah-satu kolega kerja Nakamura sudah berdiri menunggu. Membawaku ke bandara. Langsung terbang ke Jakarta. Terpesona menatap seluruh isi bandara. Mendesis bangga sekali, berseru dalam hati kencang-kencang, “Bapakku dan Bakwo Dar-ku, berpuluh tahun silam ikut membangun bandara ini.” 
Teman kerja Nakamura mengurus kedatanganku di Jakarta. Memasukkanku ke sekolah berasrama. Aku memang tidak pernah bertemu dengan Nakamura selama SMP, SMA dan kuliah di Jakarta. Tuan Nakamura sudah kembali ke Tokyo sejak menyelesaikan proyek jalan lintas pulau Sumatera. Dia memutuskan pensiun lebih cepat.
Hari-hari berlalu cepat sejak aku sekolah di Jakarta. Apa kata Pak Bin dulu? Sekolah yang bangunan untuk perpustakaan saja sebesar gedung SD kami. Pak Bin keliru, sungguh keliru. Di sini bangunan perpustakaanya jauh lebih besar lagi. Ada ribuan buku yang tidak akan bisa kuhabiskan selama bertahun-tahun. Berkenalan dengan teman-teman baru. Pengalaman baru.
Sepuluh tahun melesat bagai peluru. 
Saat menginjak remaja, dewasa, perlahan aku mulai mengerti banyak hal dari potongan masa kecilku di kampung Padang. Kampung yang jauh sekali dari mana-mana, kecuali hutan, sungai, lembah dan bukit barisan.
Aku akhirnya mengerti kenapa Bapak, Mamak sejak kecil selalu bilang, “Kau spesial, Burlian.” Itu cara terbaik bagi Bapak, Mamak untuk menumbuhkan percaya diri, keyakinan dan menjadi pegangan penting setiap kali aku terbentur masalah. Aku ingat, Mamak, Bapak selalu bilang, “Kau anak yang kuat, Amelia.” Agar Amelia yang sakit-sakitan tumbuh jadi ‘kuat’. 
Mamak, Bapak juga bilang, “Kau anak yang pemberani, Eli.” Maka jadilah Ayuk Eli menjadi orang yang pemberani atas banyak hal. Termasuk saat ia telah besar. Kudengar, ia mendatangi sendirian pabrik perkebunan kelapa sawit agar mereka berhenti menebangi hutan kami. Memimpin ribuan demonstran menolak konsesi tambang. Sedangkan kepada Kak Pukat, Bapak, Mamak selalu bilang, “Kau anak yang pintar.” Maka jadilah Kak Pukat sepintar kalimat itu diucapkan berkali-kali sejak kecil. Dia menjadi peneliti hebat sekarang.
Itu semua dibiasakan oleh Bapak, Mamak. Sehingga tetangga kami, kenalan-kenalan kami juga ikut memanggil kami seperti itu.
Saat aku kelas dua SMP, Amelia mengirimiku surat yang isinya lucu, mengharukan. Masih ingat dengan si kembar? Ibu Juni-Juli kembali melahirkan anak kembar. Kalian bisa menebak nama bayi-bayi itu? Oktober-Nopember. Karena sama seperti Juni-Juli, kedua bayi itu lahir di bulan yang berbeda. Selisih tiga puluh menit. Seluruh kampung ikut bahagia berbagi kabar itu. Bahkan juga kamar asramaku yang jaraknya ribuan pal.
Aku juga tahu kenapa Bapak pernah bersumpah demi Allah tidak akan pernah menembak lagi. Can yang sekolah di kota kabupaten mengirimkan surat kepadaku. Can mendengar kisah itu lengkap dari Bakwo Dar. Aku yang sedang di penghujung ujian nasional kelulusan SMP hanya bisa menatap lembaran Can dengan tertunduk takjim. Jika kalian ingin tahu, besok lusa aku akan ceritakan bagian ini di buku yang berbeda.
“POOOONNGGG!”
Suara sirene kapal sekali lagi terdengar mantap. 
Belasan awak kapal sigap melemparkan tali ke arah dermaga. Sibuk bekerja di sekitarku. Aku meletakkan tangan di atas dahi, sinar matahari membuat silau, mencoba melihat ke depan lebih jelas. Ratusan orang terlihat melambai menyambut kapal kami. Kapal pertukaran pemuda “Jepang-Indonesia.” Rekan-rekan pemuda yang berdiri di geladak ikut melambaikan tangan, membalas. Dua bendera Indonesia – Jepang berukuran besar berkibar di tempat kami merapat. Juga ratusan bendera kecil yang dipegang anak-anak sekolah dasar di dermaga.
Tangga diulurkan keluar. Satu-persatu wakil pemuda dari Indonesia tangkas menaikinya. Lompat menginjak tanah negeri seberang. Rekan-rekan pemuda dari Jepang membungkukkan badan menyambut, lantas memeluk kami erat-erat. Beberapa pejabat kota Tokyo dan kedutaan besar Indonesia ikut menyambut. Suara lagu kebangsaan dinyanyikan oleh anak SD. Meski lirik lagunya jadi seperti huruf ‘r’ semua, mereka berhasil menyanyikannya dengan megah.
Aku turun paling belakang. Mantap menyentuh dermaga.
Aku tahu sekali siapa yang akan menyambutku pertama kali.
“Kore wa nagai michi norida, Burlian-kun…. Motto ganbaranakya…” Tuan Nakamura memelukku erat sekali. Aku tertawa, mataku basah oleh air-mata. Kalimat itu pula yang diucapkan Nakamura saat kami berdua melihat ‘jalur naga’ yang terbuat dari obo-obor bambu belasan tahun silam. “Jalan ini tidak pernah memiriki ujung, anakku… tidak pernah…” 
Nakamura benar sekali.
Lihatlah, fisik Nakamura-san masih gagah, gurat wajahnya tetap riang, meski rambut Tuan Nakamura sudah beruban satu-dua. Wajahnya bersih, tidak ada lagi sisa hitam bekas terbakar. 
“Mari… mari.. kuperkenarkan kau dengan seseorang.” Tuan Nakamura menepuk bahuku. 
“Katanya kau sepuruh tahun terakhir seraru berkirim surat dengannya. Benar bukan? Katanya karian tidak sabar untuk bersua?” Tuan Nakamura menyibak rombongan penyambut yang ramai di dermaga. Membimbingku. Lantas menujuk ke depan.
Di sana, dengan gaun putih dan topi rajutan cokelat, ditimpa cahaya matahari pagi nan lembut, di antara seluruh kesibukan dermaga, berdiri dengan cantiknya, berdiri dengan amat menarik hatinya, si tukang panjat pohon bunga sakura, si pemilik rasi ‘busur dewa-dewa’.
Siapa lagi kalau bukan Keiko-chan. 
Tersenyum lebar kepadaku.
Ah, kalian pembaca pastilah penasaran apakah besok-besok aku berjodoh dengan Keiko-chan. Sayangnya, kisah ini hanya tentang masa kecilku. Juga buku-buku berikutnya, Kak Pukat, Ayuk Eli dan Amel, akan menceritakan bagian masa kecil mereka, dibukunya masing-masing.

Sabtu, 09 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 28. POHON BUNGUR RAKSASA part 2
---------------------------------------------------------
“Kau tidak berbohong?”
“Mana pula aku berbohong?” Aku bersungut-sungut menatap Can. Cukup tadi pagi Mamak dan Bapak tidak mempercayaiku. Tidak perlu ditambah Munjib dan Can.
“Kalau begitu, kita tunggu nanti malam di rumah kau. Sambil menonton televisi. Siapa tahu burung itu berbunyi lagi.” Munjib berusaha menengahi. 
“Burung itu tidak berbunyi jam sembilan atau sepuluh.” Aku menyeringai putus-asa. Bukankah sudah kujelaskan tadi, burung itu berbunyi jam dua malam. Jadi acara televisi sudah lama usai. Penduduk kampung sudah bubar pulang. Bagi mereka berdua, dan juga seluruh anak kampung, cerita suara lenguhan burung di atas pohon bungur sebagai penanda kematian kampung selalu menarik didengarkan– meski sambil ketakutan mendengarnya. 
Tere Liye : Burlian

Pak Bin memukul papan tulis dengan mistar kayu. Meminta perhatian seluruh kelas. Memutus percakapan kami. Munjib dan Can bergegas kembali ke meja masing-masing. Pak Bin mulai membagikan soal-soal latihan Matematika. 
Malam itu, tanpa jahil menakutnakuti Amelia terlebih dahulu, aku berusaha tidur lebih cepat. Celakanya, meski sudah berusaha memejamkan mata, berkali-kali merubah posisi tidur di atas dipan, aku tetap tidak bisa tertidur. Di dipan seberang, sepertinya Amelia sudah sibuk dengan mimpi. Sementara suara televisi terdengar sayup-sayup dari depan rumah. Juga sesekali celoteh tetangga yang menumpang menonton. Bapak dan Mamak sedang ngobrol di ruang depan dengan Bakwo Dar. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin soal sekolah aku dan Can.
Aku melirik jam di dinding, pukul 21.30. Menguap.
“KAAAKK!!” Suara itu seperti batu yang dilontarkan ketapel, tiba-tiba terdengar. 
“KAAAAKKK!!” Sekali lagi, dengan lenguh lebih nyaring.
Aku sudah loncat dari tempat tidur. Seluruh bulu kudukku berdiri. Seram sekali suaranya yang terakhir. Aku seperti bisa membayangkan derita burung itu saat melihat liang kuburan kosong menganga di bawahnya. Aku berteriak panik memanggil Mamak.
“Ada apa, Burlian?” Bakwo Dar yang ikut masuk ke kamar bertanya.
“Burung itu… Burung itu berbunyi lagi.”
“Burung apa?” Mamak melotot.
“Suara burung dari pohon bungur pekuburan belakang, Mak. Burung itu berbunyi lagi.” Aku terbata menjelaskan, menunjuk-nunjuk ke arah pekuburan. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengarnya, suara itu kencang sekali terdengar dari kamar.
“Mana suaranya?” Bapak memasang kuping. Celingak-celinguk.
Tidak ada. Hanya jangkrik dan serangga malam yang berderik.
“Bukankah Mamak sudah bilang, Burlian. Itu hanya suara burung biasa. Makanya kau jangan terlalu banyak menakuti Amelia. Tahu rasa kau. Imajinasi kau malah menakuti diri sendiri.” Mamak setelah sekian lama tidak terdengar apa-apa beranjak keluar dari kamar. Diikuti Bapak dan Bakwo Dar. 
Aku menelan ludah. Astaga, suara burung itu tadi jelas-jelas terdengar menyeramkan. Aku sama sekali tidak salah dengar. Bukan pula hanya karang-karanganku saja.
Sialnya, hingga akhirnya pukul 01.00 malam hanya suara gerimis yang membasuh kampung terdengar. Aku berusaha memeluk bantal senyaman mungkin. Lelah sepanjang hari berlatih soal ujian. Lelah ngeri memikirkan suara burung itu terdengar lagi. 
Lelah hingga tertidur.
***
“Semalam burung itu berbunyi jam setengah sepuluh.” Aku berbisik.
“Oi??” Munjib menatapku, dahinya terlipat.
“Suaranya sekarang lebih seram.”
“Kau pasti sudah lari ketakutan, bukan?” Can menyeringai.
“Aku tidak takut!” Aku menukas cepat. 
“Bohong. Kata Bapakku, kau semalam berteriak lari ketakutan ke depan rumah.” Can memasang wajah jahatnya. “Dan ternyata tidak ada suara-suara burung itu.”
“Aku tidak takut. Kata siapa aku lari ke depan rumah?” Aku mendengus galak. Sedikit tersinggung atas tuduhan Can. 
“Bagaimana kalau malam ini kita tunggu suara itu di rumah Burlian.” Munjib berusaha menengahi. Wajahnya sejak tadi tegang mendengar cerita, tegang bercampur dengan rasa ingin tahu soal bunyi itu. 
“Baik. Kita tunggu malam ini di belakang rumahku. Kita buktikan suara itu.” Aku tanpa berpikir dua kali, langsung menjawab ajakan Munjib.
“Kau ikut?” Munjib menyikut Can.
“Memangnya aku penakut?”
***
“Nanti selepas SD, Burlian melanjutkan sekolah kemana, Pak?” Aku bertanya di antara denting suara sendok. Kami berempat sedang makan malam, lepas shalat isya dari mesjid. 
“Belum tentu juga kau lulus SD.” Mamak tertawa, mendorong mangkok sayur bayam ke Amelia, menyuruhnya menghabiskan.
Aku menyeringai, kembali ke piring makanan.
“Kau sendiri mau sekolah di mana?” Bapak bertanya.
Aku mengangkat kepala, Bapak tersenyum kepadaku. 
“Burlian mau sekolah di tempat yang buku-bukunya menumpuk seperti gunung… guru-guru hebat seperti Pak Bin… Burlian mau melihat dunia… menaiki kapal-kapal… melihat gedung tinggi… bandara…” Aku tersedak karena semangatnya.
Mamak melotot menyuruhku diam, jangan bicara sambil makan. Mendorong gelas air ke dekatku. Tapi Bapak tetap tersenyum, menatapku dengan wajah cerah, mengacungkan sendoknya ke atas, “Maka biarlah itu menjadi kenyataan, Burlian. Biarlah….”
Aku menyeka mulut dari basah air minum. Lekas mengangguk senang, meski tidak terlalu mengerti apa maksud kalimat Bapak. Amelia di sebelah tanpa banyak komentar tetap sibuk mengunyah sayur bayam makan malamnya.
Malam itu gerimis turun sejak “Berita Nasional” dibacakan pembawa acara TVRI yang bernampilan rapi. Tetangga ramai memenuhi depan rumah. Semua orang sudah tahu, lepas acara berita ini, akan ada siaran langsung badminton dari Kuala Lumpur. Kejuaraan Piala Thomas dan Uber. Bebearapa penduduk kampung terlihat tidak sabaran menunggu aksi atlet badminton itu.
Aku, Munjib dan Can duduk di pojokan depan rumah. Tidak seperti yang lain sibuk menonton, kami sibuk berbisik-bisik mematangkan rencana tadi siang. Wajah Munjib tegang sekali. Sementara Can masih tertawa-tawa santai. Berkali-kali kami melirik jam di dinding. Aku menelan ludah, memasukkan pisau kecil Bapak ke dalam saku celana. Pisau itu ‘kupinjam’ dari tempat peralatan Bapak, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan. TVRI sudah menyiarkan pertandingan badminton. Sudah lewat jam sembilan malam. 
“Kita berangkat sekarang.” Munjib setelah melirik kanan-kiri depan-belakang, berkata pelan, mengeluarkan senter kecilnya.
Aku dan Can mengangguk.
Maka kami beringsut ke samping rumah. Tetangga ribut berteriak-teriak menyoraki pemain ganda Indonesia yang gagah-perkasa melibas pasangan Korea. Berseru ramai setiapkali smesh deras terhujam ke bidang permainan lawan. Tidak ada yang memperhatikan kami.
Gerimis hujan membuat basah pakaian kami. Aku mengusap butir air di ujung rambut. Dingin. Terus melangkah hingga belakang rumah. Menatap ke depan. Jantungku berdetak lebih kencang. Pekuburan kampung itu terlihat gelap-gulita. Pohon bungur dan pohon-pohon lainnya terlihat seperti bayangan hitam. 
“Ayo lebih dekat lagi.” Can melenggang terus.
Aku dan Munjib bersitatap sebentar, lantas ikut melangkah. Jarak rumah Bapak dengan pagar kuburan sekitar dua puluh meter. Tanganku sedikit bergetar saat memegang kawat berduri. Dengan jarak sedekat ini, ujung-ujung nisan terlihat. Bebatuan pekuburan. Sungguh aku tidak takut seperti pengertian takut yang dituduhkan Can tadi siang di sekolah. Aku gentar, tentu saja, tapi rasa itu berpilin dengan keinginanku menaklukkan rasa takut itu sendiri. 
Aroma pohon dan lumut tercium dari arah pekuburan. Bau bunga melati yang banyak tumbuh di atas batu-batu kuburan menerpa hidung kami. Munjib menelan ludah. 
“Aku pikir kita harus ke bawah pohon bungur itu.” Can mendesis.
Situasi sungguh berubah menjadi tidak terkendali dengan kalimat Can barusan. Itu melanggar skenario yang sudah disepekati. 
“Aku ingin melihat burung sialan itu. Tidak hanya mendengar suaranya.” Can membantah pendapat Munjib yang keberatan.
“Itu berbahaya. Kita hanya membawa senter kecil.”
“Bilang saja kalau kau takut!” 
“Aku tidak takut. Tapi masuk hutan pekuburan gelap seperti sekarang. Kau bisa menginjak kepala ular atau kalajengking. Itu berbahaya.” Munjib melotot.
“Kau takut.” Can menyeringai.
Munjib mencengkeram kerah baju Can, “Baik, kita ke bawah pohon bungur itu. Bila perlu kita panjat untuk menangkap burungnya. Terserah kau saja.” Dan Munjib sudah menyibak pagar karet. Menyelinap di sela-selanya, melangkah menuju ke dalam pekuburan.
Can tanpa banyak bicara ikut melangkah masuk. Astaga! Aku menepuk jidat. Bagaimana urusan ini? Menatap pohon bungur itu sekali lagi. Jaraknya hanya lima puluh meter dari kami. Pohon itu persis di tengah-tengah pekuburan kampung. Terlihat amat menyeramkan. Baiklah, pilihannya sederhana sekarang, ikut bersama mereka atau kembali ke rumah dengan esok-esoknya tidak akan punya muka lagi.
Aku menggigit bibir, menyibak pagar kawat, menyusul Can dan Munjib. Melewati bebatuan kuburan, semak yang tumbuh liar, dan bunga melati. Gerimis terus membasuh tubuh kami. Udara malam yang dingin menusuk tulang.
Langkah Munjib terhenti sebentar. Can di belakangnya ikut terhenti.
“Ada apa?” Suaraku bergetar dibungkus kabut malam. 
“Lihat.” Munjib mengarahkan senternya ke salah-satu nisan.
‘Ahmad Barima’. 
Dadaku berdegup kencang sekali membaca nama yang tertulis di nisan itu. Butiran air hujan membasuh ujung nisannya. Sedikit berkemilau memantulkan cahaya senter Munjib. Ini pusara kawan baik kami. Si rendah hati, ikal, tonggos, si ringkih yang hitam. Si jago main bola. Maradona kampung.
Munjib mengarahkan senternya ke dua nisan lain berdekatan.
‘Juni Awansyah’…. ‘Juli Awansyah’.
Aku menggigit bibir. Menyeka air di rambut sekali lagi. Ini kuburan si kembar. Kawan kami yang selalu riang. Jago matematika.
“Ayo!” Can melanjutkan langkah, ingin benar menunjukkan kalau dia tidak takut dan tidak peduli, “Mereka sudah mati. Malam ini kita datang bukan untuk ziarah kubur.”
Saat itulah, saat Can sudah satu langkah meninggalkan kami, dari arah pohon bungur, melengking suara yang amat kukenal dua malam terakhir.
“KAAAKK!!”
Dengan jarak tinggal sepuluh meter, suara itu terdengar amat mengerikan. 
“KAAAAAK!” Suara itu meruntuhkan seluruh keangkuhan.
Can reflek loncat ke belakang. Merapat pada kami. Wajahnya yang sejak tadi selalu menyebalkan, seketika berubah pias.
“I… itu suaranya?”
Aku mengangguk. Tidak ada di antara kami yang mempedulikan Can. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Tangan Munjib yang memegang senter bergetar hebat. Aku mencengkeram pisau kecil Bapak di saku celana. Bersiap atas segala kemungkinan buruk.
Sebelum kami memutuskan apa yang harus dilakukan. Sebelum kami tahu persis apa yang sedang terjadi. Dari balik pohon bungur, di antara siluet bayangan hitam, di tengah rintik hujan yang mulai menderas, keluarlah sosok bayangan itu. Tinggi. Besar. Mengerikan. 
Allahuakbar. Aku mendesis menyebut nama Tuhan. 
“KAAAAKK!” Lenguhan suara burung terdengar lagi.
Sosok besar itu berjalan cepat ke arah kami. Di antara kegelapan julur dahan bungur, matanya terlihat seperti bersinar. 
“KAAAAKK!”
Aku sebenarnya hendak secepat mungkin menarik Can dan Munjib lari dari pekuburan. Tapi kakiku seperti ada yang mengikatnya. Laksana ada bandul rantai baja di kakiku. Tanganku yang memegang pisau kecil seperti mati rasa. Kabut mengepul dari mulut ketakutan kami. Udara dingin menusuk tulang. Aroma melati tercium semakin pekat. Siapapun sosok besar ini, tubuhnya tinggal sepuluh langkah dari kami. Rambutnya beriap-riap panjang. Bajunya kebesaran, seperti jubah. Sebelum aku utuh menyadarinya, tangan besar sosok tinggi itu sudah mencengkeram Can yang berdiri paling depan. Membanting tubuh Can ke batu kuburan seperti membanting karung beras.
Rasa sakit, suara aduhan Can, membuat aku kembali menginjak tanah. Mengembalikan semua akal sehat dan kesadaran. Sosok ini bukan hantu. Bukan setan atau penunggu kuburan seperti yang aku bayangkan. Sosok ini manusia. 
“LARIII!!!” Aku berteriak kencang. Mulutku bisa bicara sekarang. Buhul-buhul yang mengikat tubuhku seperti terlepas satu persatu. “MUNJIB!!! CAN!!! LARI!!!”
Tetapi teriakanku percuma. Can sudah mengaduh, terkapar di atas salah-satu kuburan. Munjib sedang bergulat melawan sosok yang juga berusaha memukulnya roboh. Aku lompat menolong Munjib. Mengeluarkan pisau kecil Bapak. Percuma, sosok besar itu memukul tanganku, membuat pisau hadiah Lik Lan itu terpelanting jatuh dalam kegelapan. 
“TO – LONG!” Munjib tersedak, lehernya dipegang sosok besar itu.
Aku berusaha berdiri. Berpikir secepat yang bisa kulakukan. Teriakanku sepertinya tidak akan terdengar oleh tetangga yang menonton di depan rumah. Terlalu jauh. Kalaupun aku lari meninggalkan Can dan Munjib memanggil pertolongan, entah apa yang akan terjadi dengan mereka saat aku pergi. Aku yang gemetar jatuh terduduk lagi. Munjib sudah terkulai jatuh. Pingsan. Kehabisan nafas. Entahlah. 
Sosok besar itu melangkah mendekatiku.
Apa yang harus kulakukan? Tubuhku tertahan nisan Ahmad.
“KAAAAKK!” Suara burung itu terdengar kencang.
Apa yang harus kulakukan?
Sosok besar itu tinggal lima langkah.
“KAAAAKK!” 
Aku menelan ludah, memaksa otakku berpikir cepat. 
Mamak benar. Cerita Mamak tentang hari kelahiranku itu benar. Burung ini berbunyi karena melihat sesuatu di bawahnya. Bukan melihat liang lahat yang menganga, burung ini berbunyi karena terganggu. Maka aku tahu jawabannya. Tanganku gemetar meraih salah satu bebatuan kuburan Ahmad. Bergegas berdiri. Lantas dengan sisa-sisa tenaga melemparkan batu itu ke arah pohon bungur.
Sosok besar yang menduga batu itu akan dilemparkan kepadanya, menaikkan tangannya untuk melindungi kepala, terhenti sebentar. Menoleh ke arah pohon bungur. Bingung. 
“KAAAAK!!” Burung itu membalas lemparanku dengan melenguh lebih kencang, benar-benar terganggu sekarang. Dan hanya dalam hitungan seperseribu detik, puluhan burung lain juga berceloteh. Mendengking menyanyikan orkestra perkuburan.
Juga anjing-anjing yang tidur di kuburan. Mereka melolong.
Pilu sekali mendengar suaranya.
Sosok besar-tinggi itu akhirnya mengerti apa yang telah kulakukan. Dia dengan buas lompat hendak menerkamku. Aku menghindar. Tangannya membuat robek kemejaku. Sekali lagi aku bergegas meraih batu dari kuburan Ahmad. Melempar kuat-kuat ke atas pohon. Membuat keriuhan terdengar lebih ramai. 
Sosok tinggi itu mendengus marah. Dia mencabut salah-satu nisan. Menghantamkan papan kayu itu kuat-kuat. Aku menunduk menghindar. Berusaha lari sambil meraih lagi satu batu. Melemparkannya kuat-kuat ke atas pohon bungur. Ayolah, siapapun yang berada di depan rumah sekarang. Dengarkanlah semua keributan ini.
Sosok tinggi itu akhirnya berhasil memojokkanku di pohon bungur. Di tangannya, papan nisan yang sudah patah siap terhujam ke leherku. Aku yang ketakutan, gentar, dan kehabisan tenaga akhirnya jatuh terduduk. Jatuh setengah sadar, setengah tidak. Mulutku menyungging senyum. Setidaknya aku sudah bertahan selama mungkin. Setidaknya aku berhasil mengalihkan perhatian sosok tinggi ini dari Munjib dan Can. Apapun yang akan terjadi sekarang, setidaknya rencanaku berhasil. Keributan di pekuburan ini pasti didengar orang-orang di depan rumah.
Benar saja. Saat papan kayu itu sudah dekat sekali. Saat aku sudah tidak tahu apa-apa lagi. Satu cahaya terang terarah ke sosok tinggi itu. 
Di seberang sana, di belakang rumah, dari jarak lima puluh meter, Bapak berdiri gagah sekali dengan senapan angin terarah sempurna. Di sebelahnya, Bakwo Dar memegang senter besar. Sosok tinggi itu mendengus berat, menoleh ke belakang.
Gigi Bapak bergemeletuk. Mendesis, coba saja kalau kau berani.

Jumat, 08 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 27: ABRI MASUK DESA – 3
-------------------------------------------
Esok pagi di depan tenda komandan tentara.
“Kalian peserta ke-500, 501, 502.” Sersan Sergio yang menjaga meja pendaftaran lomba lari menyerahkan tiga carik kertas kepada kami, “Besok kalian pasang di dada dengan peniti.”
Kami memperhatikan kertas masing-masing
“Sudah sebanyak ini yang mendaftar?” Munjib bertanya.
“Yeah. Hingga nanti sore mungkin bisa mencapai tujuh ratusan. Kalian lihat rombongan itu,” Sersan Sergio menunjuk lima-enam pemuda tinggi-tinggi yang melangkah meninggalkan bumi perkemahan, “Mereka baru mendaftar, atlit dari kota provinsi. Tidak akan mudah menang lari besok pagi. Karena itulah selain piala, Komandan menambahkan hadiah uang tiga juta untuk pemenang pertama hingga ketiga.”
Tere Liye : Burlian

Kami menelan ludah mendengar uang sebanyak itu.
“Kenapa lomba larinya tidak dibagi menjadi berkelas-kelas?”
“Maksud kau?” Sersan Sergio menatapku tidak mengerti.
“Maksudku untuk anak-anak dibedakan dengan orang dewasa. Dengan begitu kami juga punya kesempatan buat menang.” Aku masih menatap rombongan pemuda tadi.
“Kau benar, jenius.” Sersan Sergio mengangguk, “Sayangnya lomba ini dibuat sesederhana mungkin. Tidak ada pembedaan kelas. Siapa saja boleh ikut. Dan peraturannya sederhana sekali. Siapa saja yang bisa lari lebih cepat mencapai kampung Paduraksa, maka dia-lah pemenangnya. Selain itu tidak ada aturan lain.”
Can menghela nafas kesal. Sederhana memang, tapi dengan jumlah peserta sebanyak itu, tidak dibedakan anak-anak dengan lelaki dewasa, kami pastilah kalah cepat dan kalah tenaga. Beranjak meninggalkan meja pendaftaran.
Malam ini malam terakhir ‘ABRI Masuk Desa’. Panggung di tengah kepungan tenda-tenda terlihat semarak. Kelompok musik dadakan dari tentara itu menghibur orang-orang yang ramai menonton. Malam ini ada banyak pembagian hadiah pemenang lomba sebulan terakhir. Komandan tentara bersama petinggi kota kabupaten bergantian menyerahkan piala. Pemenang lomba pantun, lomba puisi, menyanyi, tertawa cerah bersama juara pertandingan volley, sepak-bola, tarik tambang dan sebagainya.
“Aku ingin sekali memenangkan uang itu.” Munjib berkata pelan. Mendongak ke langit, menatap bintang-gemintang yang remang karena cahaya lampu.
Aku menoleh ke arah Munjib. Kami bertiga duduk berjejer, menonton paling belakang, di atas parit jalan yang baru jadi. Jauh dari keramaian panggung. Aku mengerti intonasi suara Munjib. Semengerti aku waktu Munjib juga terpaksa berhenti sekolah karena dipaksa Bapaknya bekerja. Munjib butuh uang banyak untuk melanjutkan ke SMP kota kabupaten. Bapaknya sudah tidak mau lagi peduli dengan sekolahnya.
“Aku juga ingin sekali memenangkan piala itu. Bersalaman dengan Jenderal. Uangnya aku tidak peduli.” Can ikut berkata pelan. Ikut mendongak ke langit, menatap bintang-gemintang.
Aku menghela nafas, jahil mendorong Can.
“Oi, oi!” Can berseru jengkel, tubuhnya terjerambab ke parit.
***
Pagi yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
Seluruh kegiatan tentara itu tuntas hari ini. Jalan sepanjang 10 pal selesai seminggu lalu. Bangunan sekolah, masjid, MCK umum sudah berdiri dengan gagah. Belasan rumah selesai direnovasi, juga penyuluhan, sosialisasi, berbagai kursus dan sebagainya.
Banyak sekali penduduk kampung, sukarelawan, tentara dan Pramuka seperti kami yang memenuhi lapangan tempat upacara pagi dilangsungkan. Beberapa menit lalu, kami dengan mulut terbuka, menatap takjub saat satu helikopter besar menurunkan rombongan Jenderal bersama petinggi tentara lainnya. Gerakan baling-balingnya membuat debu berterbangan, daun-daun tersibak dan tenda-tenda bergetar. Aku melindungi mata dari debu, tetap melotot melihat ke depan, tidak mau kehilangan satu detik pun momen hebat.
Jenderal itu sigap loncat dari helikopter, menerima salam hormat dari pasukannya. Tanpa banyak komentar, hanya menyimpul senyum, Jenderal itu meraih toa, mengambil alih posisi komandan briefing. Menyampaikan beberapa kalimat tentang terima-kasih telah menerima pasukannya selama sebulan, terima-kasih telah membantu, menjadi bagian dari pembangunan, dan bla-bla-bla. Cara bicaranya sudah seperti Pak Bin yang tidak bosan menjelaskan tentang janji masa depan yang hebat dan sebagainya. Aku, Can dan Munjib tidak terlalu mendengarkan, mata kami sibuk melirik ke helikopter yang terparkir di ujung lapangan.
“Pagi ini kita tutup semua kegiatan ABRI Masuk Desa dengan lari sepanjang jalan baru ini. Mari kita mulai lomba ini dengan penuh suka cita… penuh kebersamaan…”
Aku menyikut Can dan Munjib. Ratusan peserta lomba sudah bergerak menuju garis putih yang menjadi tempat start. Di dada masing-masing sudah terpasang nomor. Kami lekas bergabung dengan kerumunan peserta.
Jenderal itu mengibarkan bendera.
Lomba lari itu dimulai sudah. Ratusan peserta bergerak maju.
Kalau naik helikopter itu pasti cepat sekali tiba di kampung Paduraksa, aku membenak dalam hati. Tubuh kecil kami terhimpit di antara peserta besar lainnya. 
Seandainya bisa secepat itu tiba di sana, aku menyeka dahi, tiga ratus meter pertama terlewati. Kami berlari agak ke pinggir jalan, menghindari peserta lain. Aku melirik Munjib, wajahnya terlihat sungguh-sungguh, berusaha tetap berada di garis terdepan. Uang sebesar itu pasti penting sekali bagi masa depan sekolahnya. Selama ini saja SPP Munjib dibayari uang kepala kampung.
Seandainya kami bisa mengambil jalan pintas, aku mulai tersengal, mengatur nafas. Seratus meter berlalu, kami dengan cepat ditinggalkan peserta yang lebih besar. Aku melirik Can, wajahnya lebih terlihat sungguh-sungguh. 
Jalan pintas? Tiba-tiba ide itu muncul saja di kepalaku. Bukankah dua hari lalu saat tersesat di dalam hutan, memanjat salah satu pohon, aku tahu kalau melintas di tengah hutan jarak bumi perkemahan dengan kampung Paduraksa hanya lima pal? Kami tahu jalan itu. Gara-gara sesat dua hari lalu, kami hafal jalur pintas itu, jalan setapak penduduk mencari rotan atau obat-obatan hutan.
Aku bergegas menarik lengan Can dan Munjib.
“Mau kemana?” Munjib tersengal, bertanya.
“Ikut saja.” Aku sudah loncat menyelinap ke dalam hutan. Di tengah keriuhan peserta, tidak ada yang memperhatikan kami.
“Oi, kita tidak boleh keluar dari jalan.” Can protes.
“Kata siapa?” Aku menjelaskan dengan deru nafas kencang, “Kau ingat apa kata Sersan Sergio di meja pendaftaran? Peraturannya sederhana saja: siapa yang lebih dulu tiba di kampung Paduraksa, maka dialah pemenangnya. Selain itu, tidak ada aturan lain.”
Can dan Munjib sambil terus berlari di antara pohon-pohon besar saling berpandangan. Mulai mengerti kenapa aku menarik mereka ke dalam hutan.
“Oi! Kalian mau menang tidak?” Aku berseru sepuluh langkah di depan mereka.
“He-eh.” Can dan Munjib menjawab terengah.
“Kalau begitu ayo BERGEGAS!! Lari sekuat kaki kau bisa.” 
Tidak perlu diteriaki dua kali. Bagai anak peluru, Can dan Munjib sudah melesat saling mendahului. Aku tertawa, segera menyusul.
***
Besok2, aku tahu itu curang. Apapun alasannya. Tapi di usia itu, aku berpikir sangat polos. Tidak semua aku mengerti. Aku hanya tahu, peraturan lomba itu sederhana, siapa duluan sampai, dia menang. Kami start di titik yang sama, semua peserta, maka bagaimana pun caranya, adalah sampai lebih dulu.
Aku ingat sekali kami jatuh-bangun melewati belukar, menunduk menghindari dahan kayu, terjatuh karena tersangkut tunggul. Tapi kami tidak berhenti sedetik pun. Munjib yang tahu kalau dia sekarang punya kesempatan untuk menang, berlari seperti dikejar beruang. Sementara Can yang seperti melihat piala itu di depan matanya, berlari seperti dikejar Bakwo Dar kalau dia ketahuan keluar rumah malam-malam lewat jendela.
Aku tidak ada urusannya dengan piala-piala atau uang itu. Bagiku urusan ini semata-mata agar kedua teman baikku memenangkan keinginan masing-masing. Maka setiap kali Can terjatuh, aku menariknya agar lekas berdiri. Setiap kali baju Munjib tersangkut, aku bergegas melepaskan dahan kayunya. Tertawa menyemangati.
Kami harus cepat. Meski kami diuntungkan dengan jarak hanya separuhnya, kami tetap harus lari secepat yang kami bisa.
Setelah berkali-kali jatuh bangun, gerbang hutan menuju kampung Paduraksa akhirnya terlihat. Mudah saja kami kembali menyelinap masuk ke dalam jalur resmi lomba. Tidak ada siapa-siapa di jalan. Peserta lain tidak terlihat di belakang atau di depan. Kami tertawa-tawa, tersengal, tertawa lagi, bergegas melanjutkan lari dengan sisa tenaga. Lewat tiga tikungan terakhir, lima ratus meter dilewati, garis finis itu terlihat. Beberapa jeep besar parkir di depan bangunan balai kampung. Jenderal, bersama puluhan tentara, pejabat kota kabupaten sudah siap menyambut. Mereka tiba semenit lebih awal dengan menumpang jeep. Ibu-ibu, anak-anak dan penduduk kampung lainnya yang tidak ikut lomba ramai bertepuk-tangan.
Aku menoleh ke arah Munjib dan Can. Tertawa lebar. Lihatlah, warga kampung bertepuk-tangan menyambut kemenangan kami. Bukan main. Kami bertiga semangat mempercepat langkah. Can akhirnya finis pertama, disusul Munjib hanya berselisih setengah langkah. Aku yang sengaja memperlambat gerak kaki sepuluh meter lagi dari pita biru itu, finis nomor tiga.
Kami tiba lima menit lebih awal dibanding peserta tercepat lainnya. Lima atlet dari kota provinsi menggaruk rambut tidak mengerti. Berbisik, bertanya satu sama lain, di tikungan mana mereka telah disalip. Tetapi lomba itu adalah kesenangan, kemeriahan. Meski Sersan Sergio dan panitia lain juga bingung melihat kami yang pertama tiba, menatap curiga kalau kami sudah curang, tidak ada yang berniat mempertanyakan kemenangan itu.
Can tertawa mengangkat tinggi-tinggi pialanya. Selama sebulan ke depan, dia bangga sekali menunjukkan fotonya bersama sang Jenderal. Munjib meski tidak seekspresif Can ikut berdiri di atas panggung menerima hadiah. Aku tahu kalau dia tersenyum lega sekali. Uang hadiah lomba lari itu menjadi jalan keluar SMP-nya di kota kabupaten. Tiga bulan lagi kami akan ujian kelulusan SD.
Aku akan selalu mengingat kejadian siang itu. 
Semua terlalu spesial untuk dilupakan.
BAB 28. POHON BUNGUR RAKSASA
“Tidur Amelia.” Mamak menyuruh.
“Kak Burlian nakut-nakutin, Mak.” Amelia si tukang lapor menunjukku.
“Siapa pula yang mengganggu. Burlian dari tadi sudah tidur, Mak.” Bantahku, yang sejak Mamak masuk kamar segera menutupi seluruh tubuh dengan selimut kumal.
Mamak mendekati dipanku, menarik selimut. Melotot saat melihat kepalaku masih mengenakan atasan mukena Ayuk Eli. 
“LEPAS, Burlian.” Mamak mencubit bahuku, “Sekali lagi kau menakuti-nakuti Amelia seperti ini. Mamak ikat kau sungguhan seperti pocong di belakang rumah.” 
Aku meringis menahan sakit dicubit. Amelia di seberang kamar menjulurkan lidah. 
Di luar hujan gerimis membasuh kampung. Sejak satu jam lalu penduduk yang ramai menonton televisi Bapak di depan rumah beranjak pulang. Udara dingin menusuk tulang, acara televisi malam ini tidak terlalu menarik, mereka memilih segera tidur berkelung kemul.
Aku belum mengantuk. Sejak tadi bosan membaca buku perpustakaan sekolah yang itu-itu saja. Mulai jahil mengganggu Amelia yang hendak tidur. Meniru-niru suara burung di atas pohon bungur pekuburan belakang rumah. Gagal. Amelia menutup kupingnya dengan bantal, tidak peduli. Tidak putus asa, mengambil atasan mukena Ayuk Eli, mengenakannya. Amelia berteriak memanggil Mamak yang sedang menganyam keranjang rotan di ruang depan.
“Ayo semuanya tidur. Bapak kalian malam ini pulang larut lagi…. Apa pula yang dirapatkan di balai kampung itu. Setiap malam rapat…. Buat apa pula kepala kampung, perangkat, kalau setiap ada masalah sibuk memanggil yang lain….” Mamak mengomel, kembali ke ruang tengah.
Aku menggaruk rambut, bosan menatap langit-langit kamar. 
Suara jangkrik dan serangga malam terdengar berderik. Berirama dengan rintik gerimis yang menerpa atap seng, dedaunan dan bebatuan halaman rumah. Udara malam yang dingin melewati celah-celah papan. Tidak ada hal menarik untuk dipikirkan, kepalaku akhirnya berpikir tentang banyak hal secara sekilas. Mengingat banyak kejadian. Si pengebom hutan dulu. Kejadian ditangkap petugas stasiun kereta gara-gara memasang paku di atas rel. Pohon sengon itu. Nakamura dan rombongan Korea-nya. Buaya di lubuk larangan. Sekolah kami yang roboh. Buku-buku perpustakaan. Kelas enam. 
Setengah jam berlalu, Amelia sudah terlelap di dipannya. Aku akhirnya menguap. Berusaha mengabaikan pikiran tentang SMP. Satu minggu lagi kami ujian nasional kelulusan. Can dan Munjib tadi siang bicara kalau mereka akan melanjutkan ke kota kabupaten. Aku menguap lagi. Bapak, Mamak sejauh ini belum pernah membahas soal itu. Menarik selimut, paling juga aku melanjutkan ke sekolah Ayuk Eli dan Kak Pukat sekarang.
Tertidur. Dibuai suara hujan yang segera menderas. Lebat sekali.
*** 
“Can Sahibul Kayan, kau lulus. Nilaimu rata-rata sembilan.”
“Wooww...” Seluruh kelas melongo kanget. Sejak kapan Can sepintar itu. Mulut-mulut terbuka. Can sudah ke depan, mengambil ijasahnya, berseru senang, lantas berlari kecil ke luar. Disambut Bakwo Dar dan istrinya dengan bangga.
“Munjib Muntasa, kau lulus. Nilaimu rata-rata sembilan koma lima.”
“Wooww..” Seluruh kelas bertepuk-tangan. Semua orang tahu kalau Munjib memang cerdas. Selalu rangking dua. Munjib lompat dari kursinya. Takjim menerima ijasah dari Pak Bin. Mencium tangan Pak Bin. Tetap tertawa lebar di luar kelas meski Bapaknya tidak ada dan tidak pernah peduli lagi. Penduduk kampung lain yang ramai menyambut. Menepuk-nepuk bahunya, amat menghargai.
“Burlian Pasai…” Pak Bin berseru.
Aku sudah berdiri dari kursiku. Bergegas melangkah ke depan kelas. Berapakah nilaiku? Lebih besar dibanding Munjib? Lebih kecil?
“Bur-li-an Pa-sai…” Pak Bin menghela nafas.
“Eh?” Aku mencicit demi melihat ekspresi Pak Bin. 
Wajah Bapak, Mamak di luar kelas mulai terlihat panik. Seluruh kelas terdiam. Saling bertatapan. Intonasi suara Pak Bin terdengar seperti kabar buruk. 
“Kau… kau tidak lulus…”
BRAKK!! Aku sudah terjatuh dari dipan. 
Mengaduh pelan. Jidatku terasa sakit. Pasti terkena sisi-sisi dipan. Tanganku meraba-raba, berusaha duduk. Astaga. Mimpi barusan terasa nyata sekali. Bahkan aku seperti bisa merasakan detak jantungku. Keringatku yang berpeluh. Menghela nafas lega, untunglah hanya mimpi. Beranjak kembali naik ke atas dipan.
Di luar sana hujan lebat sudah mereda. Melirik jam di dinding. Sudah pukul dua malam. Posisi tidur Amelia di seberang dipan sudah berbalik 180 derajat. Di luar hanya terdengar suara tetes air dari atap seng, ujung-ujung daun menimpa bebatuan. Sisanya lengang. Suara jangkrik dan derik serangga malam tidak terdengar. Aku menyeka sisa peluh di dahi. Menguap. Hendak melanjutkan tidur. 
Saat itulah, saat tubuhku sudah dalam posisi enak. Bersiap menarik kemul. Teriakan nyaring dari pohon bungur pekuburan belakang rumah terdengar.
“KAAAK!!”
Meski belum jelas benar itu suara apa, sekujur tubuhku merinding.
“KAAAAK!!” 
Suara itu terdengar seperti memanggil sesuatu, seperti melenguh meratap, atau apalah yang seperti itu. Menyeramkan sekali mendengarnya. Aku mendecit gentar.
“KAAAKK!”
Meski bertahun-tahun cerita soal burung melenguh nyaring dari pekuburan belakang rumah sering aku dengar. Meski berkali-kali aku menakuti Amelia dengan meniru suara burung itu. Sejatinya aku dan juga mungkin Kak Pukat, Ayuk Eli tidak pernah mendengar langsung seperti apa suara burung itu. Tetapi kali ini tidak salah lagi. Itu jelas suara burung besar seperti yang dimaksudkan. Kalau dari suaranya, suara itu datang dari pekuburan belakang rumah. Itu jelas lenguhan ‘penanda kematian’. 
Aku tanpa tunggu waktu lagi, langsung membenamkan bantal kencang-kencang di telinga. Meringkuk menutup mata. Mengusir bayangan suara mengerikan itu.
“KAAAAKK!!”
Seluruh tubuhku bergetar oleh senasi ngeri.
***
Sarapan, keesokan harinya.
“Apa pula yang dibicarakan tetua di balai kampung? Selalu saja selesai larut malam. Tidak mengerti mereka kalau semua orang pagi-pagi harus ke kebun?” Mamak menumpahkan ikan goreng ke atas piring makan Amelia.
“Sebenarnya rapat tadi malam sudah selesai pukul sepuluh.” Bapak menjelaskan sambil meletakkan gelas kopi luwaknya. “Tapi tiba-tiba ada petugas koramil. Mereka menyampaikan sesuatu. Ada penjahat ‘bajing loncat’ yang melarikan diri dari tahanan.”
“Itu bukan urusan kita. Mereka bekerja ceroboh kenapa kita yang harus repot.” Giliran piringku yang mendapatkan ikan goreng kecil-kecil itu.
Bapak hanya mengangkat bahu, tidak melanjutkan percakapan.
Amelia sudah sibuk dengan sarapannya.
“Mak, semalam Burlian mendengar suara burung dari kuburan belakang. Apakah itu suara burung tanda kematian di kampung?” Aku yang teringat kejadian bertanya pelan.
“Itu hanya burung biasa.” Mamak mengabaikanku. Meletakkan penggorengan.
“Benar, Mak. Suaranya melenguh-lenguh seperti melihat sesuatu.”
Gerakan tangan Amelia yang hendak menyuap terhenti, “Tuh, kan. Kak Burlian jahat, mulai nakut-nakutin Amelia lagi.”
Bapak tertawa, pura-pura meninju bahuku. “Kau selalu saja pandai mengarang-ngarang cerita, Burlian.”
“Burlian tidak mengarang. Sungguh.” Aku menelan ludah. “Semalam Burlian terbangun jam dua malam. Burung itu berbunyi nyaring sekali. Persis seperti cerita Mamak waktu mengandung Burlian dulu.”
Mamak tertawa, melambaikan tangannya, “Itu hanya suara burung biasa. Kau bergegas makannya. Bukannya di sekolah Pak Bin masih mengadakan latihan ujian nasional?”
Aku mendengus dalam hati. Pak Bin sejak sebulan lalu bahkan sudah melatih kami tidak henti setiap hari. Sudah macam latihan tentara saja. Mengunyah potongan ikan goreng dengan banyak pikiran. Aku sungguh tidak salah dengar. Suara burung itu bahkan masih terngiang di telingaku sepagi ini.

Kamis, 07 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 26. ABRI MASUK DESA – 2
-------------------------------------------
“Kalau sudah besar aku ingin jadi tentara.” Can berkata mantap.
Aku dan Munjib yang berjejer di sebelah kanan-kirinya menoleh, menatap wajah Can yang berseri-seri ditimpa cahaya matahari pagi.
“Oi, pasti hebat sekali kalau aku yang berdiri di depan sana.” Can berkata lagi.
“Kau tidak akan jadi tentara seperti mereka.” Munjib menyeringai di sebelah.
“Kenapa tidak? Kalau sudah besar aku akan setinggi mereka.”
“Sekarang bukan lagi soal tingginya, Kawan. Tapi memangnya kau kuat makan daging simpai?” Munjib terbahak.
Tere Liye : Burlian

Aku ikut tertawa. Menatap wajah Can yang masam.
Cahaya matahari pagi menerabas kabut lembut yang menyelimuti hutan. Indah sekali menatap larik sinarnya, cahaya-cahaya itu seperti terperangkap di sela-sela pohon. Ini upacara briefing pagi hari ke-28. Program ABRI Masuk Desa itu tinggal beberapa hari lagi. Pekerjaan mereka sudah hampir usai. Jalan sepanjang sepuluh kilometer sudah jadi. Tidak diaspal seperti jalan Nakamura, hanya di lapisi kerikil dan pasir, tetapi itu lebih dari layak dibandingkan jalan setapak dulu. Setidaknya mobil bisa melewatinya dengan mudah.
Bangunan gedung sekolah baru berdiri gagah. Dilapisi cat warna merah-putih. Aromanya mengingatkan pada gedung sekolah kami dulu. Bedanya, tentara itu mendirikan gedung dari papan kayu, bukan pondasi beton. Juga mesjid kampung. Belasan kamar mandi umum. Rumah-rumah yang direnovasi. Sejak kedatangan tentara zeni, kampung Paduraksa bersolek banyak.
Dengan durasi bumi perkemahan selama sebulan, kami tidak setiap hari ada di sana. Apa kata Pak Bin kalau setiap hari kami harus ada di sana, apalagi kurang tiga bulan kami akan ujian kelulusan SD, Pak Bin bisa protes besar ke komandan tentara. 
Tentara itu sudah menyusun jadwal agar semua sukarelawan datang bergantian, sehingga masih sempat mengurus keperluan sehari-hari. Jadwal SD kampung kami hanya empat hari di minggu pertama dan empat hari lagi di minggu terakhir. Kami sudah memasuki hari-hari terakhir bumi perkemahan.
“Kalau aku besok lusa jadi komandan tentara, kalian berdua kusuruh push-up sampai pingsan.” Can menyeringai jahat, memutus tawaku dan Munjib.
“Kau tidak bisa sembarangan menyuruh orang.” Munjib membantah.
“Kenapa tidak? Aku kan komandan tentara.”
“Kau hanya bisa menyuruh anak-buahmu. Dan kami jelas-jelas tidak akan pernah jadi anak-buahmu. Lagipula, siapa sih yang begitu bodoh mau jadi anak-buahmu?” Munjib menahan tawa.
“Lantas kenapa? Besok lusa aku rubah saja peraturannya. Tentara bisa menyuruh siapa saja. Mereka bawa senapan, tidak ada yang bisa melawan.” Can tidak mau kalah.
Munjib menepuk jidatnya, urung meneruskan perdebatan.
Barisan kami sudah berantakan sejak tadi. Kalah jauh dengan disiplin ratusan tentara di depan. Mereka tetap berbaris sempurna rapi, meski sudah hampir satu bulan berada di tengah hutan, setiap hari bekerja keras pula. Komandan tentara yang memegang toa menyampaikan pengumuman kalau dua hari lagi, di hari terakhir program ABRI Masuk Desa, akan diadakan lomba lari 10K melewati jalan yang selesai dibangun. Hadiah bagi pemenang akan diberikan langsung oleh Jenderal dari kota Jakarta.
“Kau mau ikut lomba lari, Burlian?” Can bertanya padaku.
Aku mengangkat bahu. Belum tahu.
“Aku akan ikut, dan aku pasti menang. Aku akan menerima hadiah dari Jenderal itu.” Can berkata mantap sekali. Suaranya seperti di-amini takjim oleh beribu larik cahaya matahari pagi. Bahkan Munjib yang suka mengolok-oloknya kali ini hanya menyeringai, terdiam.
***
Tapi sebelum mengurus lomba itu, ada hal penting lainnya yang harus kami urus terlebih dahulu, makan. Hari ini aku, Munjib dan Can piket di tenda menyiapkan makanan. Tadi pagi sebelum upacara, teman-teman yang lain sudah protes soal nasi telur dadar yang kami sajikan. Kami sebenarnya sudah bangun pukul empat pagi saat kokok ayam hutan terdengar, dengan penerangan lampu petromaks, bertiga sibuk memasak makanan selezat mungkin di belakang tenda. Hasilnya saja yang tidak berbanding lurus dengan semangat kami.
Lepas briefing pagi, teman-teman pramuka lain mengikuti langkah Sersan Sergio menuju lokasi kerja hari ini. Aku, Munjib dan Can melangkah menuju tenda. Udara pagi terasa segar. Bumi perkemahan terlihat lengang. Hanya ada beberapa tentara, sukarelawan dan peserta lainnya yang mungkin sama seperti kami, piket di tenda. Tadi Sersan Sergio sempat tertawa melihat kami. Mungkin dia ingat soal gulai simpai tiga minggu lalu.
Munjib memeriksa kardus bahan makanan. Mengeluh soal bungkusan telur yang tadi pagi tidak sengaja tersenggol Can. Itulah kenapa telur dadar itu rasanya aneh, daripada terbuang percuma, kami memutuskan memasak semua telur yang terlanjur pecah. Di dalam kardus hanya ada karung kecil berisi beras, beberapa bungkus mie rebus, cabai, potongan buah kelapa dan sedikit bumbu lainnya.
“Kecuali mie, tidak ada yang tersisa untuk makan siang.” Munjib menatapku, meminta pendapat. “Kiriman ransum bahan makanan dari Pak Bin baru tiba paling juga nanti sore.”
Aku menggaruk ujung hidung, ikut memeriksa kardus, tidak ada yang bisa dimasak, “Bagaimana kalau kita minta lauk ke tenda tentara saja?”
“Tidak mau.” Can yang sedang duduk meluruskan kaki menjawab cepat.
Aku dan Munjib tertawa, “Tidak setiap hari mereka masak gulai simpai, bukan?”
“Lalu bagaimana kau tahu kalau itu bukan ular, trenggiling, katak, tupai atau sekalian bengkarung?” Can melotot.
Aku dan Munjib bersitatap, mengangkat bahu.
“Kau punya ide mau masak apa?” Aku bertanya.
“Masih pagi ini, nantilah memikirkannya.” Can melepas kancing atas baju Pramukanya, menikmati cahaya matahari yang lembut menimpa seluruh bumi perkemahan. “Lebih baik sekarang memikirkan bagaimana memenangkan lomba lari itu.”
“Kau mustahil menang. Pasti ada ratusan peserta lomba lusa. Dibandingkan kita yang masih anak-anak, mereka pasti lebih besar dan lebih kuat.” Munjib setelah putus-asa melihat kardus bahan makanan sekali lagi, ikut duduk di sebelah Can.
“Nah, justru itulah, mari kita pikirkan bagaimana caranya.” Can manggut-manggut serius. “Sepuluh pal, dari jalan raya beraspal ke kampung Paduraksa. Berkelok-kelok, melengkung di sini, naik bukit di sini, di sini, di sini, turun lembah di sini dan di sini.” Can meraih sebatang ranting, menggambar rute perlombaan.
Aku ikut duduk memperhatikan.
“Kita tidak lari lebih cepat, lebih kuat dan lebih tahan lama dibanding yang lain, bukan? Maka pertanyaan sederhananya adalah bagaimana kita bisa sampai paling dulu dibandingkan yang lain dengan segala tidak tadi?” Can memukul-mukulkan ranting itu ke telapak tangannya. Wajahnya sudah mirip komandan tentara saat memberikan instruksi di tenda loreng, “Di antara ratusan peserta lomba lusa, siapa yang bisa menjawab pertanyaan sederhana ini, maka dialah yang akan memenangkan lomba.”
Aku sepertinya belum pernah melihat Can ‘secerdas’ pagi ini.
“Bagaimana kalau kita menyelinap menumpang truk tentara?” Munjib usul.
“Pasti ketahuan, dan itu curang. Lagipula saat lomba lusa, seluruh truk pasti berhenti beroperasi.” Aku mementahkan usul Munjib.
“Bagaimana kalau kita menyelinap lari lebih dulu? Atau seperti cerita lomba lari kura-kura melawan kancil, kita bergantian larinya. Kau lari duluan di sepertiga awal, aku menunggu di sepertiga kedua, dan Burlian menunggu di sepertiga akhir.” 
“Memangnya panitia lomba sebegitu bodohnya tidak bisa membedakan? Pasti ketahuan. Dan itu juga curang.” Can menggeleng.
“Bagaimana kalau kita minta Pak Bin mengirimkan sepeda Burlian saja? Yang lain lari, kita bertiga bersepeda. Pasti menang, bukan?” Munjib sembarang menyebut usul berikut. Tertawa. 
Aku ikut tertawa. Menepuk jidat.
“Pasti ada cara jitu yang tidak curang agar kita bisa menang.” Can mendongak menatap pohon besar di atas kami. Daunnya yang rimbun membuat sejuk udara pagi.
Dua jam berlalu, tanpa terasa kami justru sibuk membicarakan hal lain. Tentang Pak Bin yang terlalu bersemangat mengajar. PR dan tugas-tugas menumpuk. Tentang pohon bungur di belakang rumahku. Suara burung pertanda kematian di kampung. Bergidik ngeri, buru-buru mengganti topik pembicaraan. Tentang nanti lulus SD hendak kemana. ‘Bapakku belum bilang apakah aku boleh melanjutkan SMP di kota atau tidak.’ Munjib tertunduk. Aku dan Can saling tatap, teringat setahun lalu, Munjib bahkan harus nekad memaksakan diri sekolah. ‘Kau pasti akan melanjutkan SMP, Kawan.” Can menjawab sok-bijak. Aku hanya mengusap dahi.
Berganti lagi topik soal senapan angin, musim durian, tentang tentara, tertawa –mentertawakan Can yang sampai muntah-muntah—mengingat menu spesial tiga minggu lalu. Gulai daging simpai. Berdebat apakah Sersan Sergio membohongi kami atau tidak. Mengingat-ingat bukankah malam itu potongan daging yang kami makan bentuknya sama seperti gulai ayam. Juga rasanya seperti gulai ayam biasa. Asyik bicara tentang makanan membuat kami menyadari sesuatu. 
“Oi, sudah hampir jam sepuluh. Kita jadinya masak apa?” Munjib berseru.
“Masak mie rebus sajalah. Peduli amat yang lain protes.” Aku menjawab ringan.
“Atau begini saja. Kenapa kita tidak mencoba mencari ayam hutan itu?” Can menyeringai, memikirkan sesuatu, ”Bukankah pagi tadi saat kita bangun jam empat subuh, kokok ayam hutan terdengar ramai? Ayam itu pasti banyak berkeliaran di hutan sana.”
“Tidak mudah menangkap ayam hutan.” Munjib menggeleng.
“Apa susahnya. Lagi pula kita bertiga.” Can menjawab yakin.
Aku menggaruk ujung hidung. Can benar, kalau didengar dari suara kokoknya tadi pagi, pasti ada banyak ayam itu di hutan. Dulu Mang Unus sering membawa pulang ayam hutan saat mencari rebung bersama Bapak. Kata Mang Unus, tinggal dikepung agar ayam itu terdesak di semak-belukar, maka mudah saja menangkapnya. 
“Kita masih punya waktu tiga jam lagi. Menurut kau, Burlian?”
Aku pikir tidak ada salahnya mengikuti ide Can. Lagipula kalau hanya masak mie rebus, itu hanya hitungan menit. Terlanjur lembek mie-nya saat teman-teman yang lain pulang. Dua lawan satu, Munjib terpaksa ikut.
***
“Ini pasti gara-gara kau tadi kencing sembarangan.” Munjib bersungut-sungut, terduduk. Menyeka dahinya yang berkeringat.
“Enak saja. Aku tadi sudah minta ijin waktu kencing.” Can membela diri. Ikut duduk di sebelah Munjib. Nafasnya tersengal. “Aku sudah bilang, ‘Nek, permisi, cucumu numpang kencing.’ Jadi tidak mungkin penunggu hutan marah padaku.” Mengulang mantra ijin kencing tiga jam lalu.
Aku jongkok di antara mereka. Melepas kacu Pramuka di leher. Gerah.
Urusan menangkap ayam hutan ini ternyata panjang.
Awalnya kami tertawa-tawa memasuki hutan. Membayangkan paling lama hanya butuh satu jam untuk menangkap sembarang satu-dua ayam. Dengan semangat menelusuri jalan setapak. Memasang kuping lebar-lebar dan mata menatap awas. Adalah sekitar beberapa ratus meter masuk ke dalam hutan, satu ayam jago liar terlihat. Tidak salah juga suara kokok tadi pagi. Aku, Munjib dan Can langsung lompat mengejar ayam itu. Jatuh-bangun tersangkut tunggul, menyibak semak belukar, berlarian menyelinap di sela-sela pohon. Berseru-seru mengepungnya.
Ayam jago berwarna hitam bersurai emas itu tidak mudah ditaklukkan. Dia selalu saja berhasil lolos dari kepungan. Bahkan saat sudah terpojok di rumpun semak-belukar, ayam itu mendadak lompat terbang. Astaga, aku belum pernah melihat ayam bisa terbang setinggi itu. Kami bergegas mengejarnya, mulai lagi dari nol, berusaha memojokkannya.
Keasyikan mengejar ayam jago hutan itu membuat kami lupa kalau kami semakin masuk ke dalam hutan liar. Jalan setapak telah lama habis. Suara berisik dari kesibukan bumi perkemahan sudah jauh tertinggal. 
Setelah putus-asa mengejar ayam hutan itu, duduk menjeplak menyeka keringat, barulah kami bertiga menyadari kalau seisi hutan sudah terlihat berbeda. Saling pandang satu sama lain. Oi, di manakah kami sekarang? Dan di tengah situasi seperti itu, penyakit Can yang sering menggampangkan masalah justru kambuh, bukanya segera berbalik arah ke bumi perkemahan, dia mengajak terus mengejar ayam hutan itu. Maka kami tersesat semakin dalam. 
Detik berlalu menjadi menit. Menit merangkai menjadi jam. Satu jam, dua jam, tiga jam… lima jam sudah kami kebingungan dengan arah jalan. Aku memutuskan memanjat salah-satu pohon tinggi, berusaha melihat sekitar, siapa tahu bumi perkemahan, jalan yang dibuat, atau kampung Paduraksa itu terlihat. Kosong. Sejauh mata memandang hanya terlihat pucuk-pucuk pohon, tidak ada tanda-tandanya.
Matahari mulai tumbang di ufuk barat. Kalau dilihat dari arah cahayanya, sekarang sudah pukul tiga sore. Itu berarti sudah hampir enam jam kami tersesat. 
Munjib dan Can mulai sibuk bertengkar.
“Buah pala tumbuh di perigi/ buah pepaya di karung goni//
Siapa suruh ikut si bodoh pergi/ jadilah sesat macam begini//” 
Munjib macam peserta lomba pantun beberapa waktu lalu, menyindir Can yang berjalan di depannya.
“Buah pepaya rasanya kecut/ Jangan dimakan bersama roti//
Susahlah hati bersama si pengecut/ sesat sedikit mengomel tak henti//” 
Can tidak mau kalah, cepat membalas.
Senyap sejenak. Hanya terdengar serangga berderik.
“Buah pala bukan karamel/ tidak enak buat kudapan
Siapa pula tak ‘kan mengomel/ Cemas baru kembali bulan depan//” 
Munjib mencibirkan mulut, segera mendapatkan pantun sindiran baru.
“Memanjat pala jadi berpeluh/ jatuh terluka harus dibebat// 
Susah urusan si tukang keluh/ Sesat sebentar dibilang seabad//” 
Can melotot, setelah beberapa detik, kembali membalas. 
“Buah pala/ buah pepaya/
Sudah salah/ tak mau kalah//” 
Munjib melancarkan serangan berikut.
“Buah pala/ buah pepaya/
Sudah susah/ ada yang ngomel pula//” 
Can tidak kalah cekatan membalas.
Aku yang berjalan di belakang mereka berdua, dari tadi hanya mendengarkan pantun-pantun itu jadi sebal, ikut berseru, “Buah pala/ jangan dibuang/ ADA BERUANGGG!!!” jahil tiba-tiba berteriak kencang. 
Can dan Munjib tanpa perlu di perintah, langsung lari terbirit-birit. Berhamburan ke segala arah, berusaha memanjat pohon secepat mungkin. Suasana hutan jadi senyap sejenak, menyisakan derik serangga. Beberapa saat berlalu, Can dan Munjib baru sadar kalau kutipu, beranjak turun dari pohon masing-masing. Mereka kembali dengan wajah bersungut-sungut, meski pias. Aku tertawa memegangi perut. Melanjutkan langkah kaki, berusaha mencari di mana jalan setapak keluar dari hutan ini. 
Satu jam berlalu lagi, rasanya sudah jauh sekali kaki kami melangkah, sudah pegal sekujur tubuh, tetap saja jalan setapak menuju tenda atau kampung Paduraksa tidak ditemukan. Kami untuk ke sekian kalinya jatuh terduduk. Seluruh badan kotor oleh miang pohon, baju basah oleh peluh. Can dan Munjib duduk beradu punggung, lemas. Kehilangan selera untuk bertengkar. Aku bersandar di salah-satu pohon. Mendesah cemas. Lihatlah, hutan mulai gelap. Matahari hampir tumbang. Urusan akan serius sekali jika malam sempurna turun. Kami tidak tahu apa yang ada di sekitar hutan. Bukan soal beruang yang banyak berkeliaran di hutan, tapi bisa jadi kaki kami tidak sengaja terperosok ke dalam jurang. Itu berbahaya sekali.
Suara jangkrik dan serangga malam mulai berderik.
“Jangan-jangan kita tidak bisa pulang lagi.” Munjib berkata tertahan.
“Nanti juga mereka mencari kita.” Can berusaha tetap yakin.
Masalahnya, tentara dan orang-orang di bumi perkemahan tidak tahu kemana kami pergi. Boleh jadi mereka menduga kami hanya nakal menumpang truk loreng pulang ke kampung Padang. Pencarian paling cepat baru dimulai esok pagi atau malah dua-tiga hari lagi, sedangkan masalah kami ada di depan mata, melewati malam di tengah rimba dengan seluruh isinya. 
Suara lolongan binatang malam terdengar dari kejauhan. Entah itu lolongan hewan apa. Can dan Munjib terloncat dari duduknya. Kami bertiga saling pandang, merinding. 
“Kita harus segera keluar dari sini.” Aku menelan ludah.
“Tapi ke arah mana?” Munjib berseru panik.
Kunang-kunang mulai menari di sekitar kami.
Aku mengusap rambut berkali-kali. Ayolah, bagaimana caranya kami tahu jalan keluar dari hutan ini. Tidak mungkin kami hanya duduk di sini saja menunggu besok. Berbahaya sekali.
Kunang-kunang semakin banyak terbang.
Can tiba-tiba berteriak kencang sekali. “OOOOIIII!!!” membuatku kaget. Satu kali. “OOIII!” Dua kali. “OOOIIII!!!” Terus berteriak-teriak memanggil. 
“Apa yang kau lakukan?” Munjib menyikut bahunya.
“Meminta pertolongan? Siapa tahu ada yang mendengar?”
“Bumi perkemahan itu ber-pal-pal jauhnya dari kita. Tidak akan ada yang mendengar. Kau hanya akan membuat beruang yang datang. Atau malah nenek penunggu hutan ini.” Munjib ber-hsss menyuruhnya diam. 
Can mengangkat bahu, memasang ekspresi wajah, apa salahnya dicoba?
Kunang-kunang semakin banyak terbang.
Oi? Aku segera menepuk dahi. Urusan ini mudah sekali, bukan? Wajahku langsung cerah. Menghiraukan Can dan Munjib yang masih sibuk berdebat soal teriakan, aku loncat mendekati pohon terdekat. Soal memanjat, tidak ada yang mengalahkanku. Gerakan tangan dan kakiku tangkas. Munjib dan Can yang menyadari kalau aku telah memanjat salah-satu pohon bertanya panik, “Kenapa? Ada beruang?” Bergegas hendak ikut memanjat.
“Kalian tunggu saja di bawah.” Aku berseru dari ketinggian tiga meter, terus naik. Berayun dari satu dahan ke dahan lain. 
Seekor kunang-kunang melintas di depanku. Aku tersenyum, konsentrasi penuh dengan pegangan tangan. Semua terlihat gelap, salah berpegangan fatal akibatnya. Setengah menit berlalu, aku sudah hampir di puncak pohon. Delapan meter tingginya. Lantas kepalaku menyeruak di balik dedaunan.
Itu dia! Aku tertawa lebar. Tidak seperti tadi siang saat memanjat pohon mencari arah yang terlihat hanya hijau hutan, lihatlah, sekarang nun jauh di sana, mungkin sekitar enam-tujuh pal jaraknya, dari balik pucuk pepohonan, seperti mercu suar, cahaya itu menyeruak ke langit. Itu bumi perkemahan dengan belasan lampu terang-benderangnya. Aku tahu ke mana arah kami sekarang. Menghela nafas lega, memutar kepala ke kanan. Lihatlah, di sisi satunya, kerlap-kerlip kampung Paduraksa juga terlihat. Tentara zeni pastilah memasang lebih banyak lagi lampu di kampung itu. 
Dari ketinggian ini, aku baru tahu, meski jalan yang dibangun antara bumi perkemahan dengan kampung Paduraksa panjangnya hampir sepuluh pal, tetapi sebenarnya jika memotong langsung lewat hutan tempat kami tersesat sekarang, jaraknya tinggal separuhnya. Jalan yang dibangun jadi lebih panjang karena berkelok-kelok mengikuti jalan setapak lama yang melewati kebun-kebun penduduk. Jika memotong lewat hutan, ternyata dekat sekali. 
Aku beranjak turun dari pohon.
Dengan situasi normal, kembali ke bumi perkemahan hanya membutuhkan waktu dua-tiga jam. Tetapi kami berjalan dalam situasi tidak normal. Tubuh letih, semua terlihat gelap, sering tersangkut tunggul, jatuh di atas belukar. Setelah lima jam memaksakan tenaga terakhir, kami akhirnya tiba di bumi perkemahan. Berjalan gontai menuju tenda. Mengabaikan final lomba pantun di panggung serta penonton yang duduk ramai menonton. 
“Kalian dari mana saja?” Pak Bin melotot, menyambut di depan tenda. “Oi, lihat! Teman-teman kalian terpaksa makan seadanya sepanjang siang dan malam setelah bekerja keras. Sementara tukang masaknya hanya asyik bermain-main di luar sana.”
Kami tidak menjawab, langsung terkapar di dalam tenda. Kelelahan.