Sabtu, 02 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 21. PEMILIHAN KEPALA KAMPUNG
--------------------------------------------------------
Minggu-minggu terakhir ‘situasi politik kampung memanas’. 
Itu istilah beberapa pemuda yang asyik bercakap di pinggir lapangan stasiun kereta sambil menonton bola. Berbeda dengan pemilu nasional lima tahunan yang pemenangnya itu-itu saja—partai berwarna kuning, pemilihan kepala kampung kami jauh lebih meriah. Mang Dullah sudah habis masa jabatannya, dan dia enggan maju kembali sebagai kandidat. Sudah saatnya warga kampung memilih pemimpin baru.
Tere Liye : Burlian

Yang membuat urusan ini rumit, sejak pendaftaran calon kepala kampung dibuka, tidak ada satupun warga yang berniat mendaftar selain Haji Sohar—seseorang yang baru saja tinggal di kampung kami. Haji Sohar ini bukan warga asli, orang-tuanya dulu memang pernah tinggal di kampung selama lima tahun, lantas pekerjaan membawanya pindah ke kota provinsi. Mereka katanya sukses dan kaya raya di sana. Berpuluh tahun berlalu, saat semua orang sudah lupa, salah-satu anaknya tiba-tiba pulang. Membangun kembali rumah yang dulu pernah ditinggali orang-tuanya.
Pemilihan ini menjadi penanda saat kami tinggal beberapa minggu lagi menerima raport Catur Wulan kedua. Orang-orang ramai membicarakan masalah itu, jadi setiap malam, depan rumah Bapak ramai oleh tetangga yang berkumpul bercakap-cakap seru, mengabaikan siaran televisi.
“Haji Sohar itu sepertinya sengaja benar pulang di tahun pemilihan.” Salah seorang menyela, langsung ke topik yang paling hangat dibicarakan.
“Tapi buat apa pula dia menjadi kepala kampung? Bukankah keluarga mereka di kota sana sudah kaya-raya? Buat apa dia repot-repot menetap di sini lagi? Apalagi yang dicarinya?”
“Ah, kau seperti tidak tahu saja. Uang bandes dari pemerintahan pusat setiap tahunnya hampir belasan juta. Belum lagi dana-dana proyek yang diterima kampung, jangan bodoh, semua itu uang. Itulah yang dicari pendatang itu.” Percakapan mulai menghangat.
“Aku dengar-dengar, usaha warisan orang-tuanya di kota bangkrut. Makanya dia pulang. Lumayanlah mengambil uang bandes.” 
Bapak yang duduk di antara mereka, sedang asyik menyimak ‘Dunia Dalam Berita’ TVRI berdehem, “Kau jangan asal bicara, Pendi. Mulut lancang bagai pedang.”
Orang-orang terdiam sejenak. Menggaruk kepala tidak berani membantah. Bukan karena takut nanti diusir menonton televisinya, tetapi penduduk kampung sejak dulu memang segan dengan Bapak.
“Kenapa tidak Pak Syahdan saja yang mencalonkan diri? Kami pasti mendukung.” Salah seorang dari mereka akhirnya bersuara, yang langsung ramai disambut seruan-seruan setuju. Anggukan-anggukan mantap.
Bapak tertawa, melambaikan tangan, “Bukankah kalian tahu persis kenapa Dullah tidak mau menjadi kepala kampung lagi? Karena dia ingin meneruskan tradisi kepala kampung hanya satu kali. Delapan tahun itu bukan waktu sedikit. Jangan diperpanjang lagi. Itu terlalu lama untuk menabung dosa menjadi pemimpin yang buruk.”
Orang-orang terdiam. Aku manggut-manggut mengikuti percakapan itu. Cerita Mamak suatu ketika, dulu kepala kampung seperti jabatan seumur hidup. Sekali jadi, seterusnya baru diganti setelah mati. Siklus delapan tahunan hanya formalitas. Celakalah kalau kepala kampung yang terpilih tidak peduli dan amanah. Masa-masa itu, hampir menjadi pemahaman di seluruh kampung, kalau berbagai uang bantuan untuk desa (bandes) adalah jatah kepala kampung. Terserah-serah dia, mau digunakan untuk keperluan pribadi boleh, untuk membangun kampung ya nanti-nanti. 
Enam belas tahun lalu Bapak memutuskan ikut pemilihan. Umur Bapak waktu itu masih tiga puluhan, jadi ramailah seluruh kampung saat tahu Bapak mencalonkan diri melawan kepala kampung yang sudah 24 tahun berkuasa. Selama ini mereka terbiasa dengan satu calon, kepala kampung lama melawan ‘kotak kosong’. Itu istilah jika kandidatnya hanya satu. Dengan hanya satu kandidat, penduduk akan melubangi tanda gambar kandidat lama atau ‘kotak kosong’ tidak bergambar. Jika lebih banyak kotak kosong yang dipilih, maka pemilihan diulang kembali.
Bapak menang telak. Berbagai upaya kepala kampung lama membujuk warga agar tetap memilihnya tidak berhasil. Uang-uang yang dibagikan, karung-karung beras yang dikirimkan, rehab masjid, perbaikan jalan, semua percuma. Sejak terpilih, Bapak mengembalikan banyak fungsi pemerintahan di kampung. Rapat desa dihidupkan, perangkat desa ditunjuk, dan berbagai uang bantuan desa digunakan bersama, termasuk jika tidak ada ide untuk apa, uang itu diputuskan dibagi rata saja.
Lepas delapan tahun, Bapak digantikan Mang Dullah. Ada dua calon waktu itu, Bakwo Dar dan Mang Dullah. Orang-orang kampung (termasuk Bapak) memilih Mang Dullah yang sempat sekolah SMA di kota. “Semua orang juga tahu, Bakwo kau itu hanya pandai mengurus kebun duriannya.” Bapak tertawa menjelaskan saat aku bertanya kenapa Bakwo Dar kalah telak.
Tahun ini, siklus delapan tahun itu datang lagi, dan Mang Dullah yang berketetapan hati tidak ingin menjadi kepala kampung lagi membuat situasi politik kampung memanas.
“Kenapa tidak salah-satu diantara kalian saja yang maju?” Bapak bertanya, memecah gumaman di depan rumah.
“Pak Syahdan bergurau, tidak ada di antara kami yang lulus SD. Menurut peraturan baru, kepala kampung harus berijasah SD…. Kalaupun ada, mereka lebih memilih mengurus kebun masing-masing.”
Bapak tertawa kecil, mengusap rambutnya, “Nah, kalau begitu pilih saja Si Sohar. Apa salahnya memilih dia? Kalian juga tidak ada yang mencalonkan diri. Janganlah bertingkah kekanakkanakan, memilih dia tidak mau, tapi kalian juga tidak mau mencalonkan diri.”
Orang-orang bergumam lagi. Mungkin agak sebal dengan kalimat terakhir Bapak. Suara guntur bergemeletuk menghentikan percakapan. Nampaknya akan turun hujan deras. Satu persatu tetangga pamit pulang, percakapan itu lagi-lagi berakhir tanpa kesimpulan.
***
Termasuk di sekolah, percakapan soal kepala kampung juga menarik.
Kami sedang mengelap meja-meja dan kursi-kursi yang basah oleh tampias hujan lebat semalam, saat aku tiba-tiba punya ide cemerlang. Beranjak mendekati Pak Bin yang sedang muram memeriksa atap sekolahan.
“Ini agak mencemaskan, Burlian.” Pak Bin berkata lebih dahulu.
“Eh, Bapak juga ikut cemas soal pemilihan itu?”
Pak Bin tertawa, “Bukan itu yang membuat Bapak cemas. Kau lihat atap sekolah kita?” 
Aku mengangguk, menggaruk rambut.
“Bangunan sekolah ini sudah tua sekali. Gentingnya sudah bergeser, rangka atapnya sudah lapuk dimakan rayap, dinding-dindingnya sudah banyak retak… Bapak cemas jangan-jangan cepat atau lambat bangunan ini ambruk. Sudah berkali-kali Bapak mengirimkan proposal ke kota, meminta gedung ini segera direhab, tapi jangankan memperbaiki gedung yang pasti mahal ongkosnya, menambah perlengkapan mengajar saja yang terbilang murah susah sekali mereka penuhi.”
Pak Bin menghela nafas pelan, wajahnya semakin muram.
“Sekarang saja kita sudah repot. Setiap lepas hujan lebat, kalian harus beramai-ramai membersihkan kelas sebelum belajar. Apalagi esok-lusa…. Bisa-bisa kalian terpaksa dipulangkan jika hujan turun waktu jam belajar.”
“Ergh.. maaf, Pak Bin… boleh Burlian bertanya satu hal?”
“Iya, ada apa Burlian?”
“Kenapa Pak Bin tidak mencalonkan diri jadi kepala kampung?” Aku tersenyum lebar, menyampaikan ide cemerlangku dengan mantap.
Pak Bin menatapku sedikit heran, lantas tertawa lepas, menepuk jidatnya putus asa. Astaga, ternyata aku sama sekali tidak mendengarkan penjelasan soal gedung sekolah yang mencemaskan. Aku lebih tertarik bicara soal pemilihan kepala kampung beberapa minggu lagi, sama seperti yang lain.
***
Tentu saja, orang sesederhana, jujur dan enggan berurusan uang seperti Pak Bin menolak mentah-mentah menjadi calon kepala kampung. Dia memang lulusan SPG, lebih dari layak, tapi Pak Bin lebih tertarik mengurus sekolah dibanding mengurus kampung. Jadi dia dicoret dari daftar kandidat. Aku beberapa hari terakhir ini memang jadi ikutan sibuk berpikir, siapa yang tepat menjadi kepala kampung. 
“Kenapa Bakwo tidak mencalonkan saja lagi?” Aku mendaftar kandidat kedua saat Bakwo Dar bertamu ke rumah. Bakwo menggelengkan kepala. “Bakwo kau takut kalah lagi, Burlian. Dulu saja dia malu setengah mati waktu kalah sama Dullah.” Mamak yang menjawab, nyengir menggoda Bakwo Dar. Depan rumah ramai oleh tawa.
Aku mencoret nama Bakwo Dar di kertas.
“Kenapa Mamang tidak mencalonkan diri jadi kepala kampung kami?” Aku mendaftar kandidat ketiga saat Mang Unus singgah ke rumah. Mang Unus tertawa lebar, “Kau ini aneh sekali, Burlian… Mamang itu bukan warga kampung Padang. Mana bolehlah.”
Aku menggaruk rambut, mencoret nama Mang Unus. 
“Kenapa Wawak tidak mencalonkan diri jadi kepala kampung?” Aku mendaftar kandidat keempat, mendatangi Wak Yati yang sedang duduk di beranda rumah panggungnya.
“Bukan soal mencalonkannya, Schat. Bukan apakah penduduk kampung mau memilih Wawak jadi pemimpin mereka atau tidak. Bukankah Wawak dulu pernah bilang? Volksregering, tidak ada demokrasi untuk orang-orang bodoh.”
Aku menggerutu dalam hati, mencoret nama Wak Yati. Astaga, untuk urusan ini saja ia tetap bicara filosofis, mana pula aku mengerti maksudnya. 
“Kenapa Mamak tidak mencalonkan diri jadi kepala kampung?” Aku mendaftar kandidat kesekian, mengganggu Mamak yang sedang menjemur ikan selai di halaman.
“Kenapa tidak Burlian saja yang mencalonkan diri?” Mamak balik bertanya, “Nanti Mamak coblos dua kali gambar kau saking setujunya.”
Aku ikut tertawa dengan guraun Mamak.
“Kenapa Wak Lihan tidak mencalonkan diri jadi kepala kampung?”
“Oh, sudah.” Wak Lihan mengangkat bahunya, bangga.
Aku terperangah, sungguh? Ini benar-benar kejutan. Setelah hampir menanyai belasan kandidat dalam daftarku, akhirnya ada yang bersedia.
“Tapi bukan Wawak yang mencalonkan diri. Haji Sohar. Nah, Wawak mendukung penuh Haji Sohar. Kau mau pegang kertas ini? Ya, tolong dibagikan.”
Aku menerima tumpukan kertas dengan wajah Haji Sohar tersenyum terpampang di dalamnya, beserta tulisan-tulisan besar memenuhi setiap bagian kertas. Maka dengan cepat bukan hanya aku yang termangu menatap kertas-kertas itu, juga seluruh penduduk kampung. Haji Sohar resmi mengkampanyekan dirinya ke seluruh kampung. Bisik-bisik segera menjalar, tentang kertas ini yang pastilah dicetak dengan mesin khusus dari kota provinsi, soal gaya dan sombong sekali isi tulisannya, serta tentu saja termasuk soal Wak Lihan yang tiba-tiba menjadi orang paling sibuk mendukung Haji Sohar.
“Ah, itu karena Wak Lihan disumpal duit.” Cetus seorang tetangga.
“Kau juga mau kan kalau dibayar?”
“Enak saja. Suaraku tidak bisa dibeli siapapun.” Berkelit.
“Tapi berapa dulu tawarannya. Kalau dibayar sejuta, mau?”
“Kalau sebanyak itu…” Terdiam salah-tingkah. Mengelus jidat. Orang-orang yang sedang duduk menonton televisi di depan rumah Bapak ramai tertawa.
“Tadi kulihat Wak Lihan semangat sekali ceramah di bale-bale. Bilang soal visi-misi pendatang baru itu, janji masa depan yang lebih baik... Oi, duduk di bangku SD saja Wak Lihan tidak pernah, sekarang hendak menceramahi kita.”
“Benar itu. Jangan-jangan dia sendiri tidak mengerti apa yang dia katakan. Membaca saja dia belepotan.” Yang lain semakin semangat menimpali.
Bapak berdehem keras, membuat seruan-seruan terhenti, orang-orang menoleh, “Dalam banyak hal, aku sering tidak sependapat dengan perangai bodoh Lihan. Tetapi menurutku, kali ini aku setuju dengan apa yang dilakukan olehnya.”
Muka-muka mengkerut menatap Bapak, meminta penjelasan.
“Dibandingkan kalian, setidaknya Lihan telah ‘memilih’… Astaga. Jangan-jangan kalian benar-benar tidak mengerti prinsip mendasar setiap kali kita memilih pemimpin?” Bapak balik menatap mereka dengan wajah berkerut.
“Bukankah kalian tahu, bahkan untuk urusan perjalanan dua hari mengumpulkan damar di hutan kita diwajibkan memilih pemimpin. Pilihlah salah-satu diantara kalian, pilihlah pemimpin yang kalian percayai… apalagi urusan kampung yang lebih penting. 
“Aku paham, kita tidak selalu punya pilihan yang baik... dalam kasus mengumpulkan damar tadi misalnya, katakanlah dari lima orang yang berangkat, tidak satupun yang pantas menjadi pemimpin; satu orang matanya rabun, jadi mudah tersesat di hutan; satu orang lagi egois, jadi dengan mudah bisa meninggalkan temannya; dua orang malah tidak pernah pergi ke hutan itu, jadi apa pula yang dia bisa lakukan kalau terjadi sesuatu; orang terakhir bahkan penakut dan mudah sekali panik, sungguh tidak memenuhi syarat. 
“Tapi meski tidak ada satupun yang pantas, tetap harus diputuskan siapa yang akan menjadi pemimpin rombongan, itu teladan agama kita, contoh Rasul Allah. Pilihlah yang paling sedikit keburukannya, yang paling sedikit membawa masalah diantara banyak masalah. 
“Dan tidak hanya cukup sampai di sini. Setelah pilihan dilakukan, maka adalah kewajiban kita untuk mendukung yang terpilih, bantu dia dengan segala cara agar keburukannya tidak keluar. Sehingga rombongan bukan hanya kembali dari hutan dengan selamat tanpa kurang satu apapun, tapi pulang dengan hasil damar berkeranjang-keranjang.”
Orang-orang berseru mendengar penjelasan Bapak. Beberapa mengangguk setuju mengangguk-angguk, lebih banyak yang membantah dan bilang kalau urusan kepala kampung ini tidak sesederhana pergi ke hutan mengumpulkan damar.
“Aku tahu kalian tidak suka dengan Sohar, pendatang baru itu. Jujur saja aku juga tidak suka dengannya. Terlalu tinggi hati dan menganggap rendah penduduk kampung. Baru menjadi warga enam bulan, sudah tak menenggang perasaan dengan blak-blakan mencalonkan diri. Tapi mau dibilang apa? Dia resmi sudah mencalonkan diri. Kalau kalian benci memilihnya, kenapa kalian tidak mencalonkan diri? Kenapa kalian tidak menunjuk salah seorang di antara kalian sebagai calon kepala kampung untuk melawannya? Itu lebih baik dibandingkan hanya sibuk menggunjingkan Sohar, dan sekarang mengolok-olok Lihan…. Oi, aku pikir, dalam urusan ini Lihan lebih bermartabat dibandingkan kalian.”
Untuk kesekian kalinya tetangga meninggalkan depan rumah dengan hati mengkal kepada Bapak. Beranjak pulang di tengah suara guntur gemeretuk di atas sana. Tetap tidak ada kesimpulan atas percakapan itu.
***
Sekolah dibubarkan Pak Bin. Hujan terus turun sejak pagi, dan separuh kelas tampias. Kami sudah menarik meja-meja merapat ke dinding agar tidak basah. Percuma, tampias semakin luas. Jadi Pak Bin menyuruh kami pulang. 
Aku bersenandung senang, pulang mengayuh sepeda. Tiba di rumah persis ketika Wak Lihan berpamitan dengan Bapak. Wajah Wak Lihan terlihat masygul. Aku menyapanya sambil menyandarkan sepeda ke pagar rumah. Tidak dijawab, Wak Lihan melengos.
“Wak Lihan ke sini mau pinjam uang, Pak?”
Bapak menggeleng, “Dia pinjam sesuatu yang lebih berharga dibanding uang.”
“Lebih berharga?” Aku meletakkan tas di sandaran kursi.
“Iya lebih berharga, karena dia meminta Bapak bicara ke tetangga yang sering datang menonton televisi di rumah kita agar mendukung Sohar.” Bapak menjelaskan. 
“Lantas Bapak bilang apa?” Aku menjadi bersemangat.
Bapak tersenyum simpul, “Bapak bilang baiklah, sepanjang Sohar mau mendengar nasehat-nasehat warga kepadanya. Termasuk yang Bapak bilang langsung kepadanya.”
“Bapak pernah bertemu Haji Sohar.”
“Tadi Bapak bertemu dengannya di sini, sebelum dia pulang tanpa pamit. Baru kemudian disusul Lihan yang juga pulang begitu saja.”
Aku sedikit tidak mengerti, “Memangnya Bapak bilang apa sehingga Haji Sohar pulang begitu saja dari rumah? Tadi juga Wak Lihan tidak mau menjawab salamku.”
Bapak menatapku lamat-lamat, menghela nafas, “Bapak bilang, kalau Bapak sungguh tidak suka melihat dia membagibagikan beras, amplop-amplop uang. Itu perbuatan tercela. Menjijikkan. Suara penduduk tidak perlu dan memang tidak bisa dibeli.
“Seharusnya dia bersilaturahmi baik-baik dengan warga. Rendah hati meminta ijin hendak mencalonkan menjadi kepala kampung. Menghargai yang lain dengan tulus, niat baik serta perkataan terjaga. Ah, dengan itu semua, bahkan dia tidak perlu melakukan apapun untuk memenangkan pemilihan minggu depan.”
Aku terdiam. Berusaha mengerti kalimat Bapak.
“Kalau begitu, minggu depan Bapak memilih siapa?”
“Sohar.” Bapak menjawab pendek.
Aku menggaruk kepala, bukankah dia jahat?
“Dunia ini tidak hitam-putih, Burlian. Lebih banyak abu-abunya. Jarang ada orang yang hatinya hitam sekali, dan sebaliknya juga susah mencari yang hatinya sempurna putih. Semua orang punya kelemahan, dan karena itulah seringkali kita tidak selalu diberikan pilihan terbaik. Setiap kali kita memilih pemimpin, sejatinya kita bukan memilih orangnya. Sejatinya itu hanya soal apakah kita mau dipimpin orang ini atau orang itu, pilihan lainnya. Dan saat kau bersedia dipimpin oleh seseorang, maka urusan sungguh tidak selesai saat kau telah memilihnya. Itu benar-benar menyederhanakan permasalahan. 
“Dalam hal ini, Bapak memutuskan bersedia dipimpin Sohar. Kenapa tidak? Toh, kita tidak punya pilihan lain, itulah yang tersedia. Tapi urusan ini tidak selesai dengan hanya memilihnya. Kita harus menemaninya untuk memerbaiki diri. Tadi waktu Bapak bilang soal karung-karung beras, amplop-amplop uang, wajahnya merah, tersinggung sekali, itu pertanda baik. Itu artinya dia masih punya nurani, masih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”
Aku menggaruk rambut, lebih banyak tidak mengerti kalimat Bapak.
“Kau masih sebelas tahun, Burlian.” Bapak tertawa melihat wajahku yang terlipat, “Suatu hari nanti kau pasti mengerti. Boleh jadi pula kau punya pendapat lain. Itu sah-sah saja. Tapi yakinlah, membicarakan orang lain, menggunjingkan orang lain, itu sungguh tidak elok padahal kau memilih untuk tidak terlibat dalam prosesnya. Dan yang lebih jahat lagi, ketika seorang pemimpin telah terpilih, kau justru lebih asyik memperoloknya dibandingkan membantunya bekerja. Bahkan binatang buas yang tidak berakal lebih pantas memperlakukan pemimpin kumpulan mereka. Ah sudahlah, kau ganti baju sana, bergegas makan. Siang ini, kau temani Bapak mencari sarang kerengge.”
***
Obrolan soal pemilihan kepala kampung semakin memanas. Manuver-manuver politik semakin seru. Wak Lihan dan orang-orang yang mendukung Haji Sohar siang malam tidak lelah berkampanye. Di sungai-sungai saat orang menjala ikan, “Haji Sohar akan memberikan fasilitas pinjaman untuk jala!” Di kebun-kebun saat orang sibuk menyadap karet, “Haji Sohar akan mendirikan koperasi petani, jadi harga jual getah karet pasti terjamin.” Di pengajian Yasin malam Jum’at, “Haji Sohar akan merehab masjid kampung jadi dua tingkat.” Juga tidak malu-malu berkampanye di depan rumah Bapak, “Haji Sohar akan membelikan televisi di balai kampung. Semua bebas menonton.”
Dan tibalah esok hari pemilihan kepala kampung. 
Dengan segala upaya Haji Sohar, orang-orang mulai jerih membicarakannya. Suara mereka boleh jadi memang tidak bisa dibeli, tetapi idealisme penduduk kampung yang rata-rata tidak berpendidikan punya batasnya. Tidak pernah sebelumnya terjadi, situasi kampung begitu gamang menyambut hari esok, garis finis semua urusan ini. Wajah-wajah saling curiga. Bisik-bisik penuh intrik. Entahlah apa yang akan terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar