Jumat, 01 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 20. SEBERAPA BESAR CINTA MAMAK – 2
----------------------------------------------------------------
Esok sore, saat pulang dari menemani Bapak mengambil petai dari kebun, aku terlonjak kaget. Sepeda gress berwarna hitam, telah terparkir gagah di depan rumah. Berkilauan ditimpa cahaya matahari senja. 
“I-ni… ini sepedaku?”
“Bukan, itu sepeda kita ramai-ramai.” Ayuk Eli nyengir.
“Ergh?” Aku mengabaikan Ayuk Eli, masih kaget dengan sepeda itu. Menyentuhnya. Sungguhan. Bukan sepeda bohongan, juga bukan mimpi. Oi, aku tertawa senang sekali.
“Ini, ini sepeda Burlian ya, Mak?” Aku bertanya ke Mamak yang keluar dari rumah. 
Mamak tersenyum, mengangguk. 
Tere Liye : Burlian

Aku sudah berseru riang. Meletakkan keranjang petai, lantas bergegas membawa sepeda itu ke jalan depan rumah. Mencoba memakainya. Cahaya matahari senja terasa nyaman sekali, dan bayanganku yang menaiki sepeda terlihat hebat di aspal jalanan. Melesat bersama terpaan angin. Terus bolak-balik mengelilingi kampung hingga Mamak berseru menyuruhku mandi, sebentar lagi adzan maghrib.
Tadi siang, saat aku berangkat menemani Bapak ke kebun, Mamak ternyata pergi lagi ke kota kabupaten, khusus hanya untuk membeli sepeda itu. Butuh dua jam pergi ke kota, itupun dengan kondisi jalan yang telah diperbaiki rombongan Nakamura-san setahun silam. Mamak terpaksa menyewa mobil pemilik toko sepeda untuk membawa sepeda itu pulang. Sudah kesorean, tidak ada lagi mobil angkutan pedesaan.
“Memangnya Mamak sudah punya uang?” Aku bertanya saat makan malam.
“Iya.” Mamak mengangguk, menjawab pendek.
“Wak Lihan sudah mengembalikan uangnya ya, Mak?”
“Iya.”
“Wah, cepat sekali, dari mana Wak Lihan dapat uangnya? Kan, belum panen kopi?”
“Mamak tidak tahu.” Mamak menjawab pendek lagi, lantas ber-hsss menyuruhku menghabiskan makanan, berhenti banyak tanya.
Dan aku tidak pernah berpikir sedikitpun kalau Bapak semalam bilang tentang: ….karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli, maka itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.
***
Enam bulan berlalu tidak terasa. 
Jelas bukan hanya gara-gara sepeda baru maka waktu terasa ringan, lagipula sama seperti hal baru yang selama ini aku alami, lama-lama aku juga bosan bolak-balik menaiki sepeda mengelilingi kampung yang terbatas. Awalnya memang seru, tapi dengan cepat kesenangan itu menjadi biasa saja. 
Enam bulan berlalu tidak terasa karena pekerjaan di rumah sedang banyak-banyaknya. Hampir setiap hari selepas pulang sekolah aku ikut Bapak, Mamak ke kebun kopi. Telaten menyiangi rumput dan ilalang, membawa karung-karung pupuk, memotongi dahan kopi yang sudah mati serta memangkas tunasnya. 
Di sekolah, Pak Bin ikut-ikutan menambah jam sekolah. Menyebutnya ‘kursus spesial’ untuk ujian kelulusan SD kelak, dua jam tiga kali seminggu bersama anak-anak kelas enam. Kami mengeluh, protes kalau kami masih kelas lima, jadi masih terlalu lama persiapannya, Pak Bin seperti biasa hanya nyengir, bilang: lebih cepat lebih baik. 
Aku dan Kak Pukat juga semakin sibuk karena Ayuk Eli sudah sekolah di kota kabupaten, baru pulang setiap sabtu siang, dan kembali lagi ke kota minggu sore. Banyak pekerjaan rumah yang selama ini dikerjakan Ayuk Eli harus bergantian kami ambil alih. Dan karena aku lebih kecil, Kak Pukat tega menyuruh-nyuruhku. Menyetrika seragam sekolah, mencuci sepatu, menyapu depan rumah, mengepel lantai dan berbagai pekerjaan perempuan lainnya.
Soal ini sering membuatku protes pada Mamak. Aku anak laki-laki, tidak cocok (dan jelas tidak mau) mengerjakan pekerjaan perempuan itu. Sebagai jawaban protesku, esok lusanya, Mamak berangkat ke kebun sengaja tanpa menyiapkan makanan di rumah. Jadilah aku dan Kak Pukat terpaksa masak sendiri di dapur. Ditemani Amelia yang tahun ini sudah kelas tiga, setelah berkutat dua jam kami berhasil membuat sayur rebung dan pindang daging. Menyiapkan piring-piring, mengangkat nasi yang super-lembek dari perapian kayu, mulai makan. Bersitatap satu sama lain. Tertawa. Rasanya aneh sekali.
“Suatu saat kau pasti membutuhkan seluruh keterampilan ini, Burlian. Lihat Ayuk Eli, sekarang sudah sekolah di kota kabupaten, dia harus melakukan banyak sendirian. Menyiapkan makanan sendiri, mengurus pakaian sendiri, mengatur uang sendiri, semuanya. Lagipula bukankah Bakwo dulu pernah bilang kepadamu, ‘Laki-laki di keluarga kita semuanya pandai memasak’. Itu tentu termasuk mengerjakan pekerjaan lain. Tidak ada pekerjaan perempuan atau pekerjaan laki-laki. Kalau ada, berarti Mamakmu tidak boleh ke kebun lagi.” Bakwo Dar yang menjawab protesku kali ini, mengabaikan ekspresi wajahku.
Jadi enam bulan berlalu tanpa terasa. Tiba masanya panen kopi. Musim panen kali ini, menurut Bapak, sangat-sangat baik. Buah kopi yang lebat terlihat merah ranum di dahan-dahan pohonnya. Berada di kebun kopi amat menyenangkan. Selama dua minggu beberapa tetangga membantu Bapak dan Mamak panen kopi. Puluhan karung kopi penuh sesak di depan rumah. Terpal-terpal dihamparkan di pinggir jalan untuk menjemur kopi. Teknologi panen kopi di kampung kami sederhana saja. Setelah di jemur hingga kering, karung-karung kopi itu di bawa ke mesin penutuk, untuk dikelupas kuliang kering bagian luarnya. Sehingga tinggalah biji kopi bagian dalam yang kemudian dijual ke kota.
Wajah Mamak dan Bapak meski terlihat lelah, tampak riang saat kopi itu selesai dikarungi siap di bawa ke kota. Terbayar sudah semua kerja keras setahun terakhir. Harga kopi di pasar dunia katanya sedang turun, sehingga otomatis harga di tengkulak kota juga turun. Tetapi dikalikan dengan jumlah panen yang baik, itu lebih dari cukup untuk biaya sekolah kami, keperluan rumah dan sebagainya. Dibandingkan keluarga lain, kami cukup beruntung, Bapak sejak masih bujang, telah menyiapkan beberapa sumber nafkah. Banyak tetangga lain yang hanya menggantungkan pada sepotong kebun yang tidak terlalu luas. Ketika panen gagal, atau harga komoditas benar-benar sedang turun, keperluan rumah tangga harus ditambal dengan menghutang. Jadi apalagi untuk biaya sekolah, itu di luar prioritas.
“MAMAK PULANG!” Kepala Amelia nongol dari bawa pohon jambu belakang rumah. 
“A-pa?” Aku dan Kak Pukat yang sedang asyik bermain rumah-rumahan di atas pohon jambu bertanya balik.
“Mamak sudah pulang dari kota—“ Amelia tidak menyelesaikan kalimatnya, dia segera berlarian ke depan. Aku dan Kak Pukat tanpa banyak bicara, langsung perosotan turun dari rumah-rumahan dengan tali.
Meski tadi merajuk karena tidak diajak bermain rumah-rumahan di atas pohon jambu, Amelia tidak bohong. Mobil angkutan pedesaan berwarna merah terlihat berhenti di depan rumah. Bapak, Mamak dibantu Ayuk Eli sibuk menurunkan banyak barang belanjaan. 
Hari ini Bapak menyewa truk untuk membawa karung-karung kopi ke kota, pulangnya, seperti tahun-tahun lalu membawa banyak kantong plastik berisi barang-barang. Aku berebut ikut membantu—sebenarnya memeriksa kantong plastik mana yang jadi bagianku. Ada seragam putih-merah baru, buku-buku tulis, dan hei, tas dan sepatu baru. Aku tertawa lebar. Harusnya Mamak membelikan ini semua waktu kenaikan kelas lalu, tapi karena uangnya habis untuk membantu Wak Lihan dan uang pangkal sekolah Ayuk Eli, semua ditunda.
Bapak membantu membawa lima ikat ayam ras yang berkotek riuh. Memasukkannya ke dalam kandang kambing sebelah rumah. Itu untuk acara syukuran lusa malam. Syukuran panen kopi, syukuran untuk Ayuk Eli yang telah melanjutkan sekolah ke kota, serta tentu saja yang paling utama syukuran untukku yang khatam mengaji Al Qur’an –yang tertunda enam bulan.
Sore itu aku tidak bermain bola, membawa sepeda, atau bermain kemanalah. Seharian aku di rumah, asyik memeriksa barang-barang baru. Rumah terasa ramai, Ayuk Eli sedang libur semesteran, jadi ada yang bertugas penuh mengurus rumah. Semua terasa menyenangkan, hingga aku lupa untuk memperhatikan air muka Mamak sejak turun dari mobil angkutan pedesaan tadi. 
Wajah Mamak yang keruh dan terlipat. 
Malam harinya, hujan deras turun menjelang kami beranjak tidur. Musim penghujan. Aku tidur bergelung, merapat ke Kak Pukat agar terasa lebih hangat. Di luar suara katak berdengking nyaring. Mungkin senang air melimpah di sekitarnya. Lantai hutan basah, dedaunan basah, bibit tanaman padi, kopi di ladang-ladang baru juga basah. Itu kabar baik. Semoga musim penghujan kali ini tidak disertai banjir bandang.
Sudah larut malam saat aku terbangun, hendak buang air kecil. Menyibak selimut kumal, beranjak ke kamar mandi di belakang bangunan rumah. Kalau Amelia yang terbangun ingin ke kamar mandi, ia otomatis akan membangunkan Bapak atau Mamak, minta ditemani. Aku jelas lebih dari besar untuk ke sana sendirian. Tidak takut dengan siluet pekuburan belakang rumah yang bisa terlihat dari kamar mandi. Memang seram kalau melihat pohon bungur besarnya, tapi buat apa dilihat, lebih baik bergegas menyelesaikan hajat, kembali ke rumah.
Mamak tidak terlihat di ranjangnya. Bapak juga tidak ada. Aku menggaruk rambut, menatap sekitar yang remang, lampu canting kerlap-kerlip menahan angin dari sela-sela papan. Menguap, hendak melanjutkan tidur, tetapi rasa ingin tahuku di mana Bapak dan Mamak membuatku melangkah ke luar, mungkin mereka sedang duduk di bangku depan, berduaan menatap jalanan lengang.
Benar saja, suara Bapak dan Mamak terdengar dari sana. Sudah hampir pukul satu malam. Pasti ada hal penting yang mereka bicarakan selarut ini.
Tiba-tiba aku tercekat, langkah kakiku terhenti. Urung membuka pintu. Apakah aku tidak salah dengar? Aku menelan ludah, seumur-umur aku belum pernah mendengar Mamak menangis. Mamak yang selalu tegar menghadapi apa saja, termasuk kenakalanku. Mamak yang semangat, suka melotot, mengomel, Mamak yang segalanya bagi kami. Tetapi aku tidak mungkin keliru, Mamak terdengar menangis. Terisak malah.
“Sudahlah, tidak usah disesali lagi.” Bapak berkata pelan.
“Ta-pi… tapi itu benda paling berharga milikku.”
“Aku tahu… besok lusa bisa diganti dengan yang lebih baik… bukankah Koh Acan sudah berjanji menggantinya.”
“Itu tidak akan sama, Abang. Tidak akan sama…” Tangis Mamak sedikit mengeras.
Aku sudah mencengkeram pegangan pintu, mencegah mataku yang tiba-tiba terasa panas, kerongkonganku yang mendadak tercekat dan hidungku yang kedat. Meski sering melawan, sering membantah, tapi aku tidak akan pernah tega melihat Mamak bersedih. Apalagi menangis seperti ini. Setelah beberapa menit hanya bisa mematung di depan pintu, aku memutuskan beranjak kembali ke tempat tidur. Aku tidak tahu kenapa Mamak menangis. Aku menarik kemul menutupi kepala, memejamkan mata, berusaha mengusir kecemasan yang tiba-tiba memenuhi pikiran: jangan-jangan, Mamak menangis karena aku.
***
Espk hari, rumah kami ramai. Tetangga berkumpul dengan membawa buntalan kain berisi seperempat kilo beras, satu butir kelapa dan beberapa telur ayam. Sejak pagi laki-laki dewasa menyiapkan tungku-tungku di sebelah rumah. Tempat meletakkan panci-panci besar untuk memasak nasi, air minum, opor ayam, sambal petai dan sebagainya. Tetangga berkumpul membantu menyiapkan syukuran nanti malam.
Aku ikut sibuk. Membantu mengelupas bulu ayam yang telah selesai dipotong. Membelah perut ayam, mengeluarkan usus dan bagian kotornya. Memisahkan hati, empedu dan bagian lainnya. Semua anak-anak kampung terampil melakukan itu. Untuk ukuran Kak Pukat, dia bisa mengurus satu kambing penuh. Cekatan menguliti serta membuka bagian perutnya.
Aku sibuk. Tanganku sibuk, juga kepalaku. Sejak tadi aku ingin bertanya ke Bapak kenapa Mamak semalam menangis. Tetapi kesempatan itu tidak pernah datang. Bapak selalu bersama Bakwo Dar, Mang Unus dan tetangga lain di depan rumah. Ada sekali sempat, tapi aku yang malah tidak kuasa mengeluarkan pertanyaan. Takut mengganggu Bapak, dan lebih cemas lagi mendengar jawabannya. 
Malam harinya, acara syukuran berlangsung khidmat. Mang Ejus yang sering menjadi imam shalat berjamaah di masjid memimpin membaca Yasin, diikuti dengan shalawat, lantas ditutup dengan doa syukur. Berterima-kasih atas banyak kenikmatan yang diberikan kepada keluarga Pak Syahdan. Kemudian piring-piring dihamparkan, gelas-gelas sirup, makanan. Karena Bapak mengundang seluruh warga kampung, ada tiga tikar pandan terbentang luas di depan rumah, dikelilingi beramai-ramai. Suara sendok berdenting, bergurau satu sama lain, tertawa. Syukuran begini selalu efektif mendekatkan tali silaturahmi sambil sekalian berbagi rezeki sebagai tanda syukur atas nikmat yang melimpah.
Hingga hidangan terakhir terhampar, piring-piring dicuci, tikar pandan dilipat, tetangga satu demi satu berpamitan, aku tidak sempat bertanya ke Bapak. Mengusap dahiku yang berpeluh, lelah bolak-balik membawa piring basah ke dalam. 
Malam sudah larut sekali ketika semua pekerjaan beres. Ibu-ibu tetangga yang membantu membereskan rumah berpamitan satu persatu, Mamak menyelipkan bungkusan makanan, kue-kue ke dalam buntalan kain mereka. Berterimakasih banyak sudah dibantu sepanjang hari. Bapak mematikan lima lampu petromaks di depan rumah—kalau sedang ada keramaian, lampu-lampu itu baru dinyalakan. Geledek terdengar nyaring di luar sana. Sepertinya hendak hujan deras lagi. 
Aku beranjak tidur. Karena ada saudara dari kampung lain bermalam di rumah, Ayuk Eli dan Amelia bergabung di ranjangku dan Kak Pukat. Kami berempat tidur seperti sarden. Tidak jelas mana kepala, mana kaki. 
Sebenarnya menyenangkan tidur dengan suara hujan menimpa atap seng. Terasa nyaman, seperti dibuai. Tetapi aku tidak mengantuk. Kepalaku sedang dipenuhi pertanyaan yang sama namun berulang-ulang. Susah sekali memejamkan mata. Aku harus tahu kenapa Mamak menangis kemarin malam. Masalahnya, sekarang harus bertanya ke siapa? Bapak sudah terlelap di ranjangnya.
Satu jam berlalu, aku akhirnya beringsut mendekati Ayuk Eli. Menggoyang-goyangkan bahunya, berusaha membangunkan. Ayuk Eli menggeliat jengkel. Aku semakin kencang menggoyangkan bahunya. Ayuk Eli terbangun dengan wajah sebal. 
“Ada apa, sih?” Mendengus menatapku.
Aku menelan ludah. Ada apa? Eh, bagaimana cara memulai pertanyaanku. 
“Ada apa?”
Aku menggeleng. Bingung menggaruk kepala.
“Oi, kau menyebalkan sekali Burlian.” Ayuk Eli beranjak tidur lagi.
“Jangan… jangan tidur lagi.” Aku memegang lengan Ayuk Eli.
Di tengah buncah suara hujan, remang kerlip lampu canting, orang-orang yang terlelap karena lelah sepanjang hari mengurus syukuran, percakapan itu akhirnya terjadi juga. 
“Kau sungguh melihat Mamak menangis?” Ayuk Eli bertanya memastikan, tampangnya berubah lebih ramah. Mungkin informasi ini juga menarik baginya.
Aku mengangguk pelan. Bertanya lewat ekspresi wajah, Ayuk Eli tahu kenapa Mamak menangis?
Ayuk Eli menghela nafas, memperbaiki rambut di dahinya, “Berarti kehilangan benda itu benar-benar membuat Mamak sedih. Aku belum pernah melihat Mamak menang—”
“Benda apa, sih?” Aku memotong.
“Cincin kawin Mamak.” 
“Cin-cin?”
“Iya, itu mahar pernikahan Bapak, sekaligus cincin kawin untuk Mamak. Kau tahu, dulu tidak ada kamera yang bisa mengabadikan pernikahan Bapak-Mamak, tidak ada kenang-kenangan selain cincin kawin itu… itu benda paling berharga yang Mamak punya.”
Aku terdiam, menelan ludah. Sekali lagi perasaan bersalah itu menusuk. Entahlah, aku tidak tahu, jangan-jangan semua ini ada hubungannya denganku.
“Kemarin siang saat Mamak, Bapak ke kota, menjual hasil panen kopi, Mamak akhirnya punya uang untuk menebus cincin itu dari toko emas Koh Acan. Tapi waktu Koh Acan menyuruh pembantu toko mengambilnya, cincin itu tidak ditemukan. Hilang.”
“Ma-mak… Mamak menebus? Memangnya Mamak menggadaikan cincin itu?”
Ayuk Eli mengangguk.
“Buat apa?” Aku bertanya dengan suara mendecit.
“Kau tidak tahu?” Ayuk Eli justru menatapku lamat-lamat.
Aku buru-buru menggeleng.
“Sepeda baru kau…. Cincin itu Mamak gadaikan untuk membeli sepeda baru kau. Enam bulan lalu, waktu kau menangis marah-marah, berteriak bilang Mamak tidak menepati janji, Mamak bohong, esok harinya Mamak memutuskan membawa cincin itu ke kota. Menggadaikan cincin itu ke toko emas Koh Acan. Kau tahu, Burlian, baginya kau adalah segalanya.” Ayuk Eli menghela nafas panjang.
Aku sudah terdiam. Mulutku tersumpal.
“Bagi Mamak, kau selalu berbeda Burlian….”
Aku sudah menyambar bantal, menyembunyikan kepala di bawahnya.
“Waktu Ayuk Eli dan Pukat khatam mengaji, kami hanya dijanjikan sepatu dan tas baru. Tapi kau… Mamak akan melakukan apa saja untuk membuat kau senang. Maka Mamak ringan hati menggadaikan cincin kawin itu demi kau. Cincin yang sekarang hilang entah kemana.”
Aku menutup telinga erat-erat. Jangan, jangan lanjutkan lagi penjelasannya, aku sungguh tidak tahan. Tetapi meski telingaku tidak lagi mendengar kalimat Ayuk Eli, dengan segera, kalimat Bapak dulu menghujam kuat-kuat di hatiku: ….karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli, maka itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian. 
Suara katak hutan terdengar mendengking nyaring.

0 komentar:

Posting Komentar