Jumat, 08 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 27: ABRI MASUK DESA – 3
-------------------------------------------
Esok pagi di depan tenda komandan tentara.
“Kalian peserta ke-500, 501, 502.” Sersan Sergio yang menjaga meja pendaftaran lomba lari menyerahkan tiga carik kertas kepada kami, “Besok kalian pasang di dada dengan peniti.”
Kami memperhatikan kertas masing-masing
“Sudah sebanyak ini yang mendaftar?” Munjib bertanya.
“Yeah. Hingga nanti sore mungkin bisa mencapai tujuh ratusan. Kalian lihat rombongan itu,” Sersan Sergio menunjuk lima-enam pemuda tinggi-tinggi yang melangkah meninggalkan bumi perkemahan, “Mereka baru mendaftar, atlit dari kota provinsi. Tidak akan mudah menang lari besok pagi. Karena itulah selain piala, Komandan menambahkan hadiah uang tiga juta untuk pemenang pertama hingga ketiga.”
Tere Liye : Burlian

Kami menelan ludah mendengar uang sebanyak itu.
“Kenapa lomba larinya tidak dibagi menjadi berkelas-kelas?”
“Maksud kau?” Sersan Sergio menatapku tidak mengerti.
“Maksudku untuk anak-anak dibedakan dengan orang dewasa. Dengan begitu kami juga punya kesempatan buat menang.” Aku masih menatap rombongan pemuda tadi.
“Kau benar, jenius.” Sersan Sergio mengangguk, “Sayangnya lomba ini dibuat sesederhana mungkin. Tidak ada pembedaan kelas. Siapa saja boleh ikut. Dan peraturannya sederhana sekali. Siapa saja yang bisa lari lebih cepat mencapai kampung Paduraksa, maka dia-lah pemenangnya. Selain itu tidak ada aturan lain.”
Can menghela nafas kesal. Sederhana memang, tapi dengan jumlah peserta sebanyak itu, tidak dibedakan anak-anak dengan lelaki dewasa, kami pastilah kalah cepat dan kalah tenaga. Beranjak meninggalkan meja pendaftaran.
Malam ini malam terakhir ‘ABRI Masuk Desa’. Panggung di tengah kepungan tenda-tenda terlihat semarak. Kelompok musik dadakan dari tentara itu menghibur orang-orang yang ramai menonton. Malam ini ada banyak pembagian hadiah pemenang lomba sebulan terakhir. Komandan tentara bersama petinggi kota kabupaten bergantian menyerahkan piala. Pemenang lomba pantun, lomba puisi, menyanyi, tertawa cerah bersama juara pertandingan volley, sepak-bola, tarik tambang dan sebagainya.
“Aku ingin sekali memenangkan uang itu.” Munjib berkata pelan. Mendongak ke langit, menatap bintang-gemintang yang remang karena cahaya lampu.
Aku menoleh ke arah Munjib. Kami bertiga duduk berjejer, menonton paling belakang, di atas parit jalan yang baru jadi. Jauh dari keramaian panggung. Aku mengerti intonasi suara Munjib. Semengerti aku waktu Munjib juga terpaksa berhenti sekolah karena dipaksa Bapaknya bekerja. Munjib butuh uang banyak untuk melanjutkan ke SMP kota kabupaten. Bapaknya sudah tidak mau lagi peduli dengan sekolahnya.
“Aku juga ingin sekali memenangkan piala itu. Bersalaman dengan Jenderal. Uangnya aku tidak peduli.” Can ikut berkata pelan. Ikut mendongak ke langit, menatap bintang-gemintang.
Aku menghela nafas, jahil mendorong Can.
“Oi, oi!” Can berseru jengkel, tubuhnya terjerambab ke parit.
***
Pagi yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
Seluruh kegiatan tentara itu tuntas hari ini. Jalan sepanjang 10 pal selesai seminggu lalu. Bangunan sekolah, masjid, MCK umum sudah berdiri dengan gagah. Belasan rumah selesai direnovasi, juga penyuluhan, sosialisasi, berbagai kursus dan sebagainya.
Banyak sekali penduduk kampung, sukarelawan, tentara dan Pramuka seperti kami yang memenuhi lapangan tempat upacara pagi dilangsungkan. Beberapa menit lalu, kami dengan mulut terbuka, menatap takjub saat satu helikopter besar menurunkan rombongan Jenderal bersama petinggi tentara lainnya. Gerakan baling-balingnya membuat debu berterbangan, daun-daun tersibak dan tenda-tenda bergetar. Aku melindungi mata dari debu, tetap melotot melihat ke depan, tidak mau kehilangan satu detik pun momen hebat.
Jenderal itu sigap loncat dari helikopter, menerima salam hormat dari pasukannya. Tanpa banyak komentar, hanya menyimpul senyum, Jenderal itu meraih toa, mengambil alih posisi komandan briefing. Menyampaikan beberapa kalimat tentang terima-kasih telah menerima pasukannya selama sebulan, terima-kasih telah membantu, menjadi bagian dari pembangunan, dan bla-bla-bla. Cara bicaranya sudah seperti Pak Bin yang tidak bosan menjelaskan tentang janji masa depan yang hebat dan sebagainya. Aku, Can dan Munjib tidak terlalu mendengarkan, mata kami sibuk melirik ke helikopter yang terparkir di ujung lapangan.
“Pagi ini kita tutup semua kegiatan ABRI Masuk Desa dengan lari sepanjang jalan baru ini. Mari kita mulai lomba ini dengan penuh suka cita… penuh kebersamaan…”
Aku menyikut Can dan Munjib. Ratusan peserta lomba sudah bergerak menuju garis putih yang menjadi tempat start. Di dada masing-masing sudah terpasang nomor. Kami lekas bergabung dengan kerumunan peserta.
Jenderal itu mengibarkan bendera.
Lomba lari itu dimulai sudah. Ratusan peserta bergerak maju.
Kalau naik helikopter itu pasti cepat sekali tiba di kampung Paduraksa, aku membenak dalam hati. Tubuh kecil kami terhimpit di antara peserta besar lainnya. 
Seandainya bisa secepat itu tiba di sana, aku menyeka dahi, tiga ratus meter pertama terlewati. Kami berlari agak ke pinggir jalan, menghindari peserta lain. Aku melirik Munjib, wajahnya terlihat sungguh-sungguh, berusaha tetap berada di garis terdepan. Uang sebesar itu pasti penting sekali bagi masa depan sekolahnya. Selama ini saja SPP Munjib dibayari uang kepala kampung.
Seandainya kami bisa mengambil jalan pintas, aku mulai tersengal, mengatur nafas. Seratus meter berlalu, kami dengan cepat ditinggalkan peserta yang lebih besar. Aku melirik Can, wajahnya lebih terlihat sungguh-sungguh. 
Jalan pintas? Tiba-tiba ide itu muncul saja di kepalaku. Bukankah dua hari lalu saat tersesat di dalam hutan, memanjat salah satu pohon, aku tahu kalau melintas di tengah hutan jarak bumi perkemahan dengan kampung Paduraksa hanya lima pal? Kami tahu jalan itu. Gara-gara sesat dua hari lalu, kami hafal jalur pintas itu, jalan setapak penduduk mencari rotan atau obat-obatan hutan.
Aku bergegas menarik lengan Can dan Munjib.
“Mau kemana?” Munjib tersengal, bertanya.
“Ikut saja.” Aku sudah loncat menyelinap ke dalam hutan. Di tengah keriuhan peserta, tidak ada yang memperhatikan kami.
“Oi, kita tidak boleh keluar dari jalan.” Can protes.
“Kata siapa?” Aku menjelaskan dengan deru nafas kencang, “Kau ingat apa kata Sersan Sergio di meja pendaftaran? Peraturannya sederhana saja: siapa yang lebih dulu tiba di kampung Paduraksa, maka dialah pemenangnya. Selain itu, tidak ada aturan lain.”
Can dan Munjib sambil terus berlari di antara pohon-pohon besar saling berpandangan. Mulai mengerti kenapa aku menarik mereka ke dalam hutan.
“Oi! Kalian mau menang tidak?” Aku berseru sepuluh langkah di depan mereka.
“He-eh.” Can dan Munjib menjawab terengah.
“Kalau begitu ayo BERGEGAS!! Lari sekuat kaki kau bisa.” 
Tidak perlu diteriaki dua kali. Bagai anak peluru, Can dan Munjib sudah melesat saling mendahului. Aku tertawa, segera menyusul.
***
Besok2, aku tahu itu curang. Apapun alasannya. Tapi di usia itu, aku berpikir sangat polos. Tidak semua aku mengerti. Aku hanya tahu, peraturan lomba itu sederhana, siapa duluan sampai, dia menang. Kami start di titik yang sama, semua peserta, maka bagaimana pun caranya, adalah sampai lebih dulu.
Aku ingat sekali kami jatuh-bangun melewati belukar, menunduk menghindari dahan kayu, terjatuh karena tersangkut tunggul. Tapi kami tidak berhenti sedetik pun. Munjib yang tahu kalau dia sekarang punya kesempatan untuk menang, berlari seperti dikejar beruang. Sementara Can yang seperti melihat piala itu di depan matanya, berlari seperti dikejar Bakwo Dar kalau dia ketahuan keluar rumah malam-malam lewat jendela.
Aku tidak ada urusannya dengan piala-piala atau uang itu. Bagiku urusan ini semata-mata agar kedua teman baikku memenangkan keinginan masing-masing. Maka setiap kali Can terjatuh, aku menariknya agar lekas berdiri. Setiap kali baju Munjib tersangkut, aku bergegas melepaskan dahan kayunya. Tertawa menyemangati.
Kami harus cepat. Meski kami diuntungkan dengan jarak hanya separuhnya, kami tetap harus lari secepat yang kami bisa.
Setelah berkali-kali jatuh bangun, gerbang hutan menuju kampung Paduraksa akhirnya terlihat. Mudah saja kami kembali menyelinap masuk ke dalam jalur resmi lomba. Tidak ada siapa-siapa di jalan. Peserta lain tidak terlihat di belakang atau di depan. Kami tertawa-tawa, tersengal, tertawa lagi, bergegas melanjutkan lari dengan sisa tenaga. Lewat tiga tikungan terakhir, lima ratus meter dilewati, garis finis itu terlihat. Beberapa jeep besar parkir di depan bangunan balai kampung. Jenderal, bersama puluhan tentara, pejabat kota kabupaten sudah siap menyambut. Mereka tiba semenit lebih awal dengan menumpang jeep. Ibu-ibu, anak-anak dan penduduk kampung lainnya yang tidak ikut lomba ramai bertepuk-tangan.
Aku menoleh ke arah Munjib dan Can. Tertawa lebar. Lihatlah, warga kampung bertepuk-tangan menyambut kemenangan kami. Bukan main. Kami bertiga semangat mempercepat langkah. Can akhirnya finis pertama, disusul Munjib hanya berselisih setengah langkah. Aku yang sengaja memperlambat gerak kaki sepuluh meter lagi dari pita biru itu, finis nomor tiga.
Kami tiba lima menit lebih awal dibanding peserta tercepat lainnya. Lima atlet dari kota provinsi menggaruk rambut tidak mengerti. Berbisik, bertanya satu sama lain, di tikungan mana mereka telah disalip. Tetapi lomba itu adalah kesenangan, kemeriahan. Meski Sersan Sergio dan panitia lain juga bingung melihat kami yang pertama tiba, menatap curiga kalau kami sudah curang, tidak ada yang berniat mempertanyakan kemenangan itu.
Can tertawa mengangkat tinggi-tinggi pialanya. Selama sebulan ke depan, dia bangga sekali menunjukkan fotonya bersama sang Jenderal. Munjib meski tidak seekspresif Can ikut berdiri di atas panggung menerima hadiah. Aku tahu kalau dia tersenyum lega sekali. Uang hadiah lomba lari itu menjadi jalan keluar SMP-nya di kota kabupaten. Tiga bulan lagi kami akan ujian kelulusan SD.
Aku akan selalu mengingat kejadian siang itu. 
Semua terlalu spesial untuk dilupakan.
BAB 28. POHON BUNGUR RAKSASA
“Tidur Amelia.” Mamak menyuruh.
“Kak Burlian nakut-nakutin, Mak.” Amelia si tukang lapor menunjukku.
“Siapa pula yang mengganggu. Burlian dari tadi sudah tidur, Mak.” Bantahku, yang sejak Mamak masuk kamar segera menutupi seluruh tubuh dengan selimut kumal.
Mamak mendekati dipanku, menarik selimut. Melotot saat melihat kepalaku masih mengenakan atasan mukena Ayuk Eli. 
“LEPAS, Burlian.” Mamak mencubit bahuku, “Sekali lagi kau menakuti-nakuti Amelia seperti ini. Mamak ikat kau sungguhan seperti pocong di belakang rumah.” 
Aku meringis menahan sakit dicubit. Amelia di seberang kamar menjulurkan lidah. 
Di luar hujan gerimis membasuh kampung. Sejak satu jam lalu penduduk yang ramai menonton televisi Bapak di depan rumah beranjak pulang. Udara dingin menusuk tulang, acara televisi malam ini tidak terlalu menarik, mereka memilih segera tidur berkelung kemul.
Aku belum mengantuk. Sejak tadi bosan membaca buku perpustakaan sekolah yang itu-itu saja. Mulai jahil mengganggu Amelia yang hendak tidur. Meniru-niru suara burung di atas pohon bungur pekuburan belakang rumah. Gagal. Amelia menutup kupingnya dengan bantal, tidak peduli. Tidak putus asa, mengambil atasan mukena Ayuk Eli, mengenakannya. Amelia berteriak memanggil Mamak yang sedang menganyam keranjang rotan di ruang depan.
“Ayo semuanya tidur. Bapak kalian malam ini pulang larut lagi…. Apa pula yang dirapatkan di balai kampung itu. Setiap malam rapat…. Buat apa pula kepala kampung, perangkat, kalau setiap ada masalah sibuk memanggil yang lain….” Mamak mengomel, kembali ke ruang tengah.
Aku menggaruk rambut, bosan menatap langit-langit kamar. 
Suara jangkrik dan serangga malam terdengar berderik. Berirama dengan rintik gerimis yang menerpa atap seng, dedaunan dan bebatuan halaman rumah. Udara malam yang dingin melewati celah-celah papan. Tidak ada hal menarik untuk dipikirkan, kepalaku akhirnya berpikir tentang banyak hal secara sekilas. Mengingat banyak kejadian. Si pengebom hutan dulu. Kejadian ditangkap petugas stasiun kereta gara-gara memasang paku di atas rel. Pohon sengon itu. Nakamura dan rombongan Korea-nya. Buaya di lubuk larangan. Sekolah kami yang roboh. Buku-buku perpustakaan. Kelas enam. 
Setengah jam berlalu, Amelia sudah terlelap di dipannya. Aku akhirnya menguap. Berusaha mengabaikan pikiran tentang SMP. Satu minggu lagi kami ujian nasional kelulusan. Can dan Munjib tadi siang bicara kalau mereka akan melanjutkan ke kota kabupaten. Aku menguap lagi. Bapak, Mamak sejauh ini belum pernah membahas soal itu. Menarik selimut, paling juga aku melanjutkan ke sekolah Ayuk Eli dan Kak Pukat sekarang.
Tertidur. Dibuai suara hujan yang segera menderas. Lebat sekali.
*** 
“Can Sahibul Kayan, kau lulus. Nilaimu rata-rata sembilan.”
“Wooww...” Seluruh kelas melongo kanget. Sejak kapan Can sepintar itu. Mulut-mulut terbuka. Can sudah ke depan, mengambil ijasahnya, berseru senang, lantas berlari kecil ke luar. Disambut Bakwo Dar dan istrinya dengan bangga.
“Munjib Muntasa, kau lulus. Nilaimu rata-rata sembilan koma lima.”
“Wooww..” Seluruh kelas bertepuk-tangan. Semua orang tahu kalau Munjib memang cerdas. Selalu rangking dua. Munjib lompat dari kursinya. Takjim menerima ijasah dari Pak Bin. Mencium tangan Pak Bin. Tetap tertawa lebar di luar kelas meski Bapaknya tidak ada dan tidak pernah peduli lagi. Penduduk kampung lain yang ramai menyambut. Menepuk-nepuk bahunya, amat menghargai.
“Burlian Pasai…” Pak Bin berseru.
Aku sudah berdiri dari kursiku. Bergegas melangkah ke depan kelas. Berapakah nilaiku? Lebih besar dibanding Munjib? Lebih kecil?
“Bur-li-an Pa-sai…” Pak Bin menghela nafas.
“Eh?” Aku mencicit demi melihat ekspresi Pak Bin. 
Wajah Bapak, Mamak di luar kelas mulai terlihat panik. Seluruh kelas terdiam. Saling bertatapan. Intonasi suara Pak Bin terdengar seperti kabar buruk. 
“Kau… kau tidak lulus…”
BRAKK!! Aku sudah terjatuh dari dipan. 
Mengaduh pelan. Jidatku terasa sakit. Pasti terkena sisi-sisi dipan. Tanganku meraba-raba, berusaha duduk. Astaga. Mimpi barusan terasa nyata sekali. Bahkan aku seperti bisa merasakan detak jantungku. Keringatku yang berpeluh. Menghela nafas lega, untunglah hanya mimpi. Beranjak kembali naik ke atas dipan.
Di luar sana hujan lebat sudah mereda. Melirik jam di dinding. Sudah pukul dua malam. Posisi tidur Amelia di seberang dipan sudah berbalik 180 derajat. Di luar hanya terdengar suara tetes air dari atap seng, ujung-ujung daun menimpa bebatuan. Sisanya lengang. Suara jangkrik dan derik serangga malam tidak terdengar. Aku menyeka sisa peluh di dahi. Menguap. Hendak melanjutkan tidur. 
Saat itulah, saat tubuhku sudah dalam posisi enak. Bersiap menarik kemul. Teriakan nyaring dari pohon bungur pekuburan belakang rumah terdengar.
“KAAAK!!”
Meski belum jelas benar itu suara apa, sekujur tubuhku merinding.
“KAAAAK!!” 
Suara itu terdengar seperti memanggil sesuatu, seperti melenguh meratap, atau apalah yang seperti itu. Menyeramkan sekali mendengarnya. Aku mendecit gentar.
“KAAAKK!”
Meski bertahun-tahun cerita soal burung melenguh nyaring dari pekuburan belakang rumah sering aku dengar. Meski berkali-kali aku menakuti Amelia dengan meniru suara burung itu. Sejatinya aku dan juga mungkin Kak Pukat, Ayuk Eli tidak pernah mendengar langsung seperti apa suara burung itu. Tetapi kali ini tidak salah lagi. Itu jelas suara burung besar seperti yang dimaksudkan. Kalau dari suaranya, suara itu datang dari pekuburan belakang rumah. Itu jelas lenguhan ‘penanda kematian’. 
Aku tanpa tunggu waktu lagi, langsung membenamkan bantal kencang-kencang di telinga. Meringkuk menutup mata. Mengusir bayangan suara mengerikan itu.
“KAAAAKK!!”
Seluruh tubuhku bergetar oleh senasi ngeri.
***
Sarapan, keesokan harinya.
“Apa pula yang dibicarakan tetua di balai kampung? Selalu saja selesai larut malam. Tidak mengerti mereka kalau semua orang pagi-pagi harus ke kebun?” Mamak menumpahkan ikan goreng ke atas piring makan Amelia.
“Sebenarnya rapat tadi malam sudah selesai pukul sepuluh.” Bapak menjelaskan sambil meletakkan gelas kopi luwaknya. “Tapi tiba-tiba ada petugas koramil. Mereka menyampaikan sesuatu. Ada penjahat ‘bajing loncat’ yang melarikan diri dari tahanan.”
“Itu bukan urusan kita. Mereka bekerja ceroboh kenapa kita yang harus repot.” Giliran piringku yang mendapatkan ikan goreng kecil-kecil itu.
Bapak hanya mengangkat bahu, tidak melanjutkan percakapan.
Amelia sudah sibuk dengan sarapannya.
“Mak, semalam Burlian mendengar suara burung dari kuburan belakang. Apakah itu suara burung tanda kematian di kampung?” Aku yang teringat kejadian bertanya pelan.
“Itu hanya burung biasa.” Mamak mengabaikanku. Meletakkan penggorengan.
“Benar, Mak. Suaranya melenguh-lenguh seperti melihat sesuatu.”
Gerakan tangan Amelia yang hendak menyuap terhenti, “Tuh, kan. Kak Burlian jahat, mulai nakut-nakutin Amelia lagi.”
Bapak tertawa, pura-pura meninju bahuku. “Kau selalu saja pandai mengarang-ngarang cerita, Burlian.”
“Burlian tidak mengarang. Sungguh.” Aku menelan ludah. “Semalam Burlian terbangun jam dua malam. Burung itu berbunyi nyaring sekali. Persis seperti cerita Mamak waktu mengandung Burlian dulu.”
Mamak tertawa, melambaikan tangannya, “Itu hanya suara burung biasa. Kau bergegas makannya. Bukannya di sekolah Pak Bin masih mengadakan latihan ujian nasional?”
Aku mendengus dalam hati. Pak Bin sejak sebulan lalu bahkan sudah melatih kami tidak henti setiap hari. Sudah macam latihan tentara saja. Mengunyah potongan ikan goreng dengan banyak pikiran. Aku sungguh tidak salah dengar. Suara burung itu bahkan masih terngiang di telingaku sepagi ini.

0 komentar:

Posting Komentar