Rabu, 06 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

Bab 25. ABRI MASUK DESA – 1
-----------------------------------------
“Kalau sudah besar aku ingin jadi tentara.” Can berkata mantap.
Aku dan Munjib yang berjejer di sebelah kanan-kirinya menoleh, menatap wajah Can yang berseri-seri ditimpa cahaya matahari pagi.
“Oi, pasti hebat sekali kalau aku yang berdiri di depan sana.” Can berkata lagi.
“Kau terlalu pendek untuk jadi tentara.” Munjib menyeringai, jahil. Menahan tawa. Postur tubuh Can dibanding teman-teman yang lain memang lebih pendek.
Tere Liye : Burlian

“Oi, besok lusa aku pasti jadi lebih tinggi dibanding kau. Asal makan daging banyak-banyak saja.” Can mengabaikan, tidak mau kesenangan mengkhayalnya terganggu.
Di depan, seorang tentara berseragam loreng, memegang toa, masih terus memberikan instruksi. Ratusan tentara zeni yang lain, berbaris rapi tanpa miring sesenti pun mendengarkan dengan disiplin. Tubuh mereka hampir sama dan sepantar, kekar dengan kepala plontos. Berbeda dengan barisan kami, tidak rata depan-belakang, ada yang bicara, garuk-garuk rambut, malah di belakang ada kawan yang asyik mengupil.
Ini hari kedua kami ikut serta dalam bumi perkemahan ABRI Masuk Desa. Awalnya aku pikir masa-masa kelas enam kami hanya akan dihabiskan dengan belajar, belajar dan belajar. Mendengarkan Pak Bin yang selalu saja bersemangat, PR menumpuk, serta ceramah tentang sekolah penting bagi masa depan kami. Saat kami mulai bosan, menjelang masuk Cawu tiga, datanglah kejutan yang hebat. Program ABRI Masuk Desa di kampung Paduraksa dimulai. Ada ratusan tentara yang dikirim ke sana, dengan konvoi truk-truk loreng. Dan untuk menyukseskan program itu, seluruh sekolahan di kecamatan kami diinstruksikan mengirim muridnya untuk ikut bumi perkemahan. Maka segera Pak Bin membentuk ‘gugus depan’ Pramuka di sekolahan.
Terus-terang saja, kami selama ini jarang sekali latihan Pramuka. Bagaimana Pak Bin akan sempat mengurus latihannya, dia sudah direpotkan dengan kegiatan mengajar sehari-hari. Seminggu menjelang kami diberangkatkan ke bumi perkemahan, Pak Bin menyuruh kami melengkapi seragam Pramuka masing-masing, membawa tongkat kayu, belajar tali-temali, mendirikan tenda dan kemampuan dasar berkemah lainnya. 
Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Lihatlah Si Can yang berusaha berdiri gagah dengan tongkat di tangan. Baju pramukanya sudah pudar karena itu sebenarnya warisan dari kakaknya. Sama dengan yang kukenakan, meski tidak terlalu kusut, juga bekas dari Kak Pukat. Kami rata-rata tidak ber-kacu, tidak bertopi, hanya bersepatu seadanya. Apalagi soal disiplin, kalah jauh dengan ratusan tentara itu. 
“Kau mau masuk angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut atau kepolisian?” Munjib menjawil siku Can, menggodanya.
“Memangnya apa bedanya?” Can bertanya balik, tidak mengerti. 
“Bedalah, Oi.” Munjib menepuk jidat, “Payah, katanya mau jadi tentara. Bagaimana pula kau sampai tidak tahu.”
“Tidak penting pula aku tahu. Aku mau masuk tentara yang bisa empat-empatnya, di darat, udara, laut sekaligus juga polisi.” Can menjawab tidak mau kalah.
Munjib menghela nafas, putus-asa. 
Sinar matahari menerabas sela-sela dedaunan, membuat kabut yang menyelungkupi hutan mulai menipis. Komandan tentara di sana sepertinya sudah selesai dengan instruksi pagi-nya. Memerintahkan pasukan bubar. Seluruh peserta briefing pagi itu ikut bubar. Sersan Sergio segera mendekati kami, berteriak nyaring agar seluruh Pramuka SD berkumpul di dekatnya. Kami bukan satu-satunya peserta bumi perkemahan itu, juga ada puluhan pemuda karang taruna, belasan organisasi kepemudaan lainnya, serta beberapa rombongan sukarelawan dari kota kabupaten.
Seperti yang Bapak dulu pernah bilang, kampung Paduraksa terletak jauh terpencil di dekat Bukit Barisan. Penduduk kampung itu harus berjalan kaki sepuluh pal dari persimpangan jalan raya yang dulu dibangun Nakamura-san untuk tiba di kampung mereka. 
Tentara itu mendirikan bumi perkemahan persis di dekat jalan raya. Di tengah hutan lebat. Tentara-tentara itu cekatan menyiapkan tenda-tenda, hanya butuh hitungan jam saat truk-truk mereka tiba di lokasi, cepat sekali pohon-pohon besar ditebang, semak-belukar sudah terpangkas rata menjadi lapangan luas. Dan tenda-tenda berwarna loreng itu laksana jamur yang tumbuh di musim penghujan sudah berdiri satu per satu. Berbeda dengan kami yang lebih banyak bertengkar patok mana yang akan dipasang lebih dulu, simpul apa yang akan dipakai untuk mengikatnya. 
Meski kami terbiasa melihat warga kampung menaklukan hutan, tentara ini berkali-kali jauh lebih terampil. Mereka sigap membuat barak-barak tempat tidur dari bilah bambu dan kayu. Potongan pohon yang mereka tebang sebelumnya digunakan, tidak ada yang mubazir. Sementara kami, hanya membentangkan tikar pandan di dalam tenda. Can menyeringai lama sekali, mungkin dia sedang membayangkan betapa nyaman nanti malam tidur di dipan tentara, dibandingkan dengan tikar tipis kami.
Masalah kami ternyata bukan hanya tempat tidur. Ada yang lebih serius dari itu, makan. Pak Bin menyuruh kami membawa beras, telur, mie rebus, peralatan masak dan sebagainya. Kami sudah mengangkut itu semua. Menumpuk di belakang tenda. Masalahnya, tidak ada satupun diantara kami yang bisa masak. Jadilah semuanya berantakan. Nasi lembek, sayur tidak jelas rasanya, dan jangan tanya lauknya apa. Can yang paling lama bersungut-sungut, termasuk sarapan sebelum mengikuti upacara pagi ini. Dia terus saja berceloteh soal harus makan daging banyak agar lebih cepat tinggi.
***
“Apa kabar semua?” Sersan Sergio berseru nyaring. 
“Baik.” Dua puluh anggota bumi perkemahan dari Pramuka SD menjawab lantang. Kecuali Can yang menjawab pelan, “Lapar.” Sambil nyengir. Aku dan Munjib menahan tawa.
“Pagi ini kita akan bergabung dengan penduduk untuk memindahkan batu-batu besar dari sungai ke sepanjang jalan yang akan dibuat.” Sersan Sergio gagah memulai instruksi.
Sersan Sergio adalah pendamping kelompok kami. Sejak tadi malam dia memberikan banyak aturan main dan tips. Dari dialah kami tahu kalau harus menumpahkan garam di sekeliling tenda. “Kalian tidak mau saat terbangun, tiba-tiba telah ada ular yang bergelung di sebelah kalian, bukan?” Kami bergidik ngeri. Bahkan Can hampir saja menghabiskan persediaan garam di tenda. Tapi entahlah, itu memang berhasil mengusir ular sungguhan atau hanya mitos.
Sersan Sergio, menurut ceritanya sendiri, berasal dari Flores. Kami tidak tahu di mana Flores itu berada, tetapi melihat garis wajah dan cara bicaranya Sersan Sergio jelas bukan orang Melayu, apalagi Jawa. Sejauh ini, bagi kami, Sersan Sergio menyenangkan.
“Kalian mengerti instruksinya? Ingat, rantai yang kita buat akan terputus jika di antara kalian ada yang meninggalkan posisi. Jadi kalau kalian lelah, jangan lupa untuk berteriak memberitahu agar digantikan. Saya akan segera mengirimkan tenaga sukarelawan atau tentara pengganti lain. Mengerti?”
Kami semangat menuju lokasi pekerjaan. Ratusan tentara dan peserta bumi perkemahan lainnya juga beranjak menuju tugas masing-masing. Program ABRI Masuk Desa itu tidak hanya mengerjakan pembangunan jalan, mereka turut membangun gedung sekolah, balai kampung, mesjid dan merenovasi rumah penduduk yang tidak layak huni. Selain pekerjaan fisik, tentara itu juga melakukan banyak penyuluhan, ceramah dan termasuk menggelar berbagai lomba seni dan olahraga. Mereka taktis membagi begitu banyak pekerjaan menjadi bagian-bagian kecil dan terjadwal.
Jika mendengar instruksi Sersan Sergio, pekerjaan kami pagi ini sederhana saja, memindahkan batu-batu besar dari sungai ke sepanjang jalan yang akan dibangun. Udara pagi masih terasa menyenangkan, suara burung nektar yang berebut bunga liar ramai terdengar, juga suara serangga yang berderik berirama. Sersan Sergio menyuruh kami berbaris dengan jarak sedemikian rupa agar batu-batu itu dengan mudah bisa diulurkan ke kawan di sebelah.
Itulah rantai yang disebut Sersan Sergio dalam instruksinya. 
Can terlihat bersemangat memulai tugas pagi ini. Mencoba melupakan sarapan gagal tadi pagi. Anak-anak yang lain juga terlihat tertawa riang. Apalagi saat rantai itu mulai bekerja. Setelah melewati ratusan tangan, batu pertama tiba di tangan Munjib. Diulurkan kepadaku. Aku lantas mengulurkannya kepada Can. Can kemudian mengulurkannya ke kawan di sebelahnya. Begitu seterusnya hingga batu itu tiba di lokasi jalan yang sedang dibangun.
Kalau dilihat dari bawah, rantai ini biasa-biasa saja. Tetapi jika kalian melihatnya dari atas, maka rantai manusia yang memindahkan batu itu seperti ular, melewati pohon-pohon besar, turun melandai, naik sedikit, melingkar ke kanan, belok ke kiri, berbaris panjang hingga ke tumpukan batu terakhirnya. Menakjubkan. Sersan Sergio dan rekan-rekannya terbiasa sekali mengatur pekerjaan massal seperti ini. Batu yang basah saat diangkat dari dalam sungai, menetes airnya di tangan orang ke sepuluh, semakin kering di tangan orang ke sebelas dan benar-benar kering saat tiba di ujungnya.
“1.200.” Can tertatih mengulurkan batu ke sebelahnya. Batu yang satu ini lebih berat.
“1.201.” Can menyeka keringat di dahi, bersiap menerima batu berikutnya dariku.
“1.202.” Can menghembuskan nafas, mulai lelah.
“Kau tidak bosan menghitungnya?” Munjib bertanya jahil.
“Kau tidak bosan terus bertanya hal yang sama?” Can menyeringai.
Aku tertawa melihat mereka sejak tadi sibuk bertengkar. Mengusap peluh di leher. Oi, meski kami hanya berdiri, lantas melangkah ke kiri satu langkah-ke kanan satu langkah, mengulurkan batu, ternyata pekerjaan ini melelahkan. Matahari mulai meninggi, hutan mulai terasa gerah.
“1.213. Eh, berapa?” Can bingung dengan hitungannya.
“1.203.” Aku membenarkan. 
“Tidak ada gunanya juga kau hitung.” Munjib tertawa, “Berani bertaruh, paling lama satu jam lagi kau pasti bosan menghitungnya.”
Can tidak menjawab, dia sekali lagi tertatih mengulurkan batu ke kawan sebelahnya. Aku juga mulai mengeluh, kenapa semakin lama semakin besar batu yang dialirkan. Kenapa orang yang bertugas di bibir sungai tidak mengirimkan batu yang kecil-kecil saja.
Dari kejauhan terdengar lenguh suara simpai. Bersahut-sahutan. Sekarang bukan musim buah-buahan, jadi entahlah apa yang diperebutkan mereka di atas pohon-pohon sana. Mungkin ada yang sedang berburu simpai.
“Seribu tiga puluh dua ratus.” Tidak menunggu satu jam Can mulai bosan. Hitungannya terlipat. Aku dan Munjib bersitatap satu sama lain.
“Lonceng pulangnya jam berapa?”
“Kau pikir ini sekolah?” Aku menatap Can kasihan.
“Boleh istirahat dulu, bukan?” Can nyengir lebar, seperti mendapatkan ide cemerlang. Aku dan Munjib sekali lagi mengangkat bahu. Tidak tahu. 
“Pasti boleh. Kita istirahat lima menit saja.” Can tanpa perlu menunggu pendapat kami, sudah duduk selonjor di dasar hutan. Bersandarkan akar pohon. 
Aku meletakkan batu yang seharusnya ku-ulurkan ke dia ke lantai hutan. Membiarkan Can duduk sebentar. Aku meletakkan lagi batu yang barusaja ku terima dari Munjib ke bawah. Can melepas kancing atas seragam Pramuka-nya. Gerah. Batu yang ketiga, keempat, kelima juga kuletakkan. Can sepertinya tidak akan segera berdiri. Dalam hitungan menit, tumpukan batu di bawah kakiku mulai meninggi. Dan urusan menjadi tambah kacau, karena ketika Can tidak mengulurkan batu ke sebelahnya, maka kawan di sebelahnya ikut-ikutanan istirahat. Juga sebelahnya lagi, sebelah lagi, sebelah-sebelahnya lagi hingga tepi jalan.
Kami benar-benar tidak membayangkan kalau rantai yang disusun Sersan Sergio dan tentara-tentara itu panjangnya nyaris satu pal. Hampir lima ratus orang ikut bergotong-royong memindahkan batu-batu itu dari sungai. Bagi kami, rantai itu terlihat hanya sepotong saja, belasan meter di sebelah kanan, belasan meter di sebelah kiri. Tidak terlihat ujung-ujungnya. 
Can malah bersiul santai sekarang.
“OII, BATUNYA MANA?” Salah seorang penduduk di ujung sana berteriak. Sudah lima menit dia berdiri bengong, tidak menerima aliran batu.
“ISTIRAHAT DULU!” Can menjawab sembarang.
Can benar-benar tidak tahu apa akibatnya, jawaban asalnya mengalir diluar kendali dari mulut ke mulut hingga ujung tumpukan batu di jalan yang akan dibangun. “Apa? Istirahat?” Yang satu berbisik ke sebelahnya. “Ya, katanya istirahat makan dulu.” Yang lain meneruskan ke sebelahnya. “Apa? Makan?” Yang satu bertanya memastikan. “Iya, makan siang.” Sebelahnya menjawab yakin. “Makan siang apanya? Siapa yang menyediakan?” Yang lain bertanya. “Katanya, kita mau dikasih makan siang sama tentara itu.” Yang paling ujung benar-benar keliru mengambil kesimpulan. Dan semakin rumit saat bisik-bisik itu memantul lagi, kembali ke ujungnya di sungai. Orang pertama yang mengambil batu di sungai menyeka dahi, beranjak duduk di bibir sungai seperti yang lain. Kabar makan siang gratis membuatnya bersenandung riang. Jadilah semua duduk-duduk saja. Menunggu jatah makan siang.
“Jangan pernah membuat rantainya terputus.” Sepertinya kami telah melupakan instruksi penting Sersan Sergio tadi pagi. Rantai manusia itu terputus hampir satu jam.
Tentara-tentara itu bergegas mencari sumber masalah. Dan demi melihat tumpukan batu itu ada di depanku, tentara-tentara itu mengomeliku panjang lebar. Aku ingin sekali menimpuk Can yang memasang wajah bodoh, pura-pura tidak mengerti apa yang telah terjadi.
***
Waktu berjalan tidak terasa di bumi perkemahan.
Meski sudah mengganti dua kali ‘petugas’ piket menyiapkan makanan di tenda, tetap saja makan siang dan makan malam gagal total. Kami yang kelelahan sepanjang hari memindahkan ribuan batu itu bersungut-sungut kepada tiga teman yang bertugas memasak di tenda. 
Malam menghampiri bumi perkemahan. Setidaknya rasa lapar kami segera menghilang saat melihat ada begitu banyak pemandangan menarik. Tentara itu membawa generator listrik besar. Tadi siang saat kami sibuk dengan batu-batu kali, mereka memasang kabel-kabel panjang menjuntai ke seluruh pojok perkemahan, dan di ujung kabel itu lampu-lampu menyala terang. Lampu yang paling besar dan paling terang diletakkan di atas tiang kayu tinggi dekat tenda komandan. Saking besarnya, mungkin dengan satu lampu ini saja, seluruh bumi perkemahan terlihat.
Kami menatap lampu itu terpesona. 
“Seandainya di rumah ada lampu seperti ini.” Munjib menatapnya takjim, “Membaca buku di malam hari akan lebih mudah.”
Aku mengangguk setuju, teringat lampu canting yang nyala apinya bergoyang setiap kali angin lembah menerobos sela-sela papan.
Tentara itu tadi siang juga mendirikan panggung di tengah-tengah bumi perkemahan. Dengan berbekal gitar dan alat musik seadanya, mereka menghibur diri sendiri dan peserta kemah. Di panggung itu juga berbagai lomba seni dilaksanakan. Kami tertawa menyimak lomba pantun malam ini. Dua lelaki dewasa di atas panggung tidak mau kalah sedang berbalas pantun. Aku baru tahu kalau berbalas pantun bisa secanggih ini. Tentara-tentara yang menonton juga tertawa. Bertepuk-tangan. Pemenang lomba ditentukan jika ada peserta yang kehabisan kata-kata untuk membalas pantun lawannya. Ada sekitar delapan ronde hingga acara itu selesai. Salah seorang tentara dengan memegang toa mengakhiri acara lomba pantun malam itu, bilang sampai berjumpa besok malam di babak berikutnya.
Aku menguap lebar, diikuti Can dan Munjib. Kami bangkit dari duduk, tanpa banyak cakap langsung menuju tenda. Sudah larut, saatnya tidur. Melewati tenda-tenda loreng tentara. Suara burung hantu terdengar di kejauhan. Laron dan serangga malam berterbangan mengerubungi lampu-lampu. Mereka terbang jauh sekali dari sekitar hutan, tergoda cahayanya.
Saat melewati salah-satu tenda, tiba-tiba langkah Can terhenti. Aku dan Munjib yang berjalan di belakangnya hampir menabrak punggungnya. Munjib mendorong punggung Can agar dia segera bergerak. Can justru mendongak. Hidungnya mengendus-endus.
“Kau cium baunya?” Can menoleh.
“Bau apa?” Aku bertanya.
“Oi, ada yang masak gulai.” Wajah Can yang tadi sayu karena kantuk langsung terang benderang. Tertawa. Dia bergegas mengikuti muasal bau itu. 
Aku dan Munjib mengikuti langkah Can. Benar. Kalau urusan makan, dia bisa diandalkan. Semakin dekat, aroma gulai itu tercium semakin pekat. Perut kami yang seharian tidak diisi dengan layak langsung berbunyi. Mencari dari tenda mana asal aroma itu. Langkah kaki kami akhirnya tiba di salah-satu tenda. Can memberanikan diri menyibak pintu terpal, masuk. 
“Hei, apa yang kalian lakukan malam-malam di sini?” Salah seorang tentara menegur. Tenda yang kami masuki ternyata dapur umum. Tentara itu sedang asyik mengaduk masakan di panci. Api perapian menyala tinggi. Dari dalam panci itulah aroma gulai berasal. Mengepul di antara udara malam yang dingin.
“Mereka tertarik dengan masakan kau, Prajurit.” Suara yang kami kenali menyahut dari pojokan tenda, melangkah mendekat. Sersan Sergio, kami segera mengenalinya. Aku menggaruk rambut, teringat kejadian rantai manusia tadi siang. 
“Kalian mau ikut makan?” Prajurit yang mengaduk masakan bertanya.
Kami bertiga tanpa perlu ditanya dua kali, mengangguk serempak. Beberapa tentara yang ada di dapur itu tertawa.
“Ambil piring masing-masing.” Prajurit itu menunjuk.
Tidak perlu disuruh lagi, kami sudah saling sikut mengambil piring plastik di atas meja bambu. Bukan main. Kalau sudah rezeki memang tidak akan lari kemana. Setelah sehari semalam makan seadanya, menu spesial ini terhidang tanpa diduga. Lima belas menit berlalu, kami bersama tentara itu sudah sibuk menghabiskan nasi dan gulai daging dari panci.
“Ini gulai daging apa?” Can bertanya sambil ber-hah kepedasan.
“Ayam hutan.” Salah seorang prajurit menjawab, diikuti tawa yang lain.
“Ayam hutan?”
“Ya, ada banyak berkeliaran di hutan. Kau bisa menangkapnya dengan mudah.”
Kami mengangguk-angguk. Pantas enak sekali. Ayam hutan ternyata. 
Setengah jam berlalu, tidak ada lagi yang bersisa di panci gulai. Can menepuk-nepuk perutnya yang kenyang. Tertawa senang. Bilang sudah seharusnya dia makan daging seperti ini banyak-banyak. Kami mengucapkan banyak terimakasih, lantas berpamitan. Sersan Sergio ikut melangkah kembali ke tendanya di belakang kami.
Saat itulah, ketika Can menyibak terpal tenda bagian belakang, melangkah keluar, mata kami menangkap sesuatu yang ganjil, di atas karung-karung bahan makanan, dua ekor simpai (sebangsa monyet) terlihat sibuk lari kesana-kemari berusaha melepaskan diri. Kaki mereka terikat.
“Itu simpai dari mana?” Aku bertanya.
“Tadi siang ditangkapi tentara dari hutan kampung.”
“Simpai itu buat apa?” Can bertanya polos.
Sersan Sergio tertawa lepas, menepuk bahu Can, “Sebenarnya, itulah makan malam kita tadi. Bukan ayam hutan.”
Mulutku langsung tersumpal. Menatap kembali dua simpai yang terus berusaha melepaskan ikatan tali di kakinya. Munjib dengan wajah pias, mencengkeram perutnya. Membayangkan potongan daging gulai tadi. Astaga?
Can sudah sibuk muntah-muntah.
1). ABRI saat itu masih terdiri dari empat elemen: AD, AL, AU dan Kepolisian
2). Simpai; sejenis monyet, warna bulunya kekuningkuningan

0 komentar:

Posting Komentar