Minggu, 03 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 22. ROBOHNYA HARAPAN KAMI
----------------------------------------------------
Orang-orang ramai berkerumun di lapangan stasiun kereta, ketua panitia pemilihan sudah ancang-acang hendak memulai acara. Nama-nama pemilih sudah didaftar, kertas-kertas suara bergambar jagung—sebagai tanda pilihan Haji Sohar— dan sebelahnya kosong tanpa gambar –sebagai tanda pilihan ‘kotak kosong’— disusun rapi di atas meja. Semua saksi sudah hadir, petugas dari kecamatan juga sudah datang. Maka sebentar lagi, resmi sudah pesta demokrasi kelas kampung dimulai. 
Tere Liye : Burlian

Butiran sisa air hujan menggelayut di ujung-ujung daun. Embun masih berkilauan diterpa cahaya matahari pagi yang mulai mengintip dari pucuk-pucuk pohon. Sengaja acara dimulai sepagi mungkin, agar penduduk kampung yang selesai mencoblos, masih sempat pergi ke kebun. Urusan memilih dan mencari nafkah sama pentingnya, tak boleh yang satu mengalahkan yang lain. Ketua panitia meraih toa, “Test, test, satu, dua, tiga…” Suaranya nyaring terdengar hingga ke sekolahan. Bergema.
Sebagai jawabannya, bersama pantulan gema, suara berdebam menggetarkan seluruh kampung terdengar dari arah sekolahan. Itu lebih kencang dibandingkan dentuman dinamit tim eksplorasi pencari minyak dulu. Lapangan terasa bergetar. Butiran air jatuh berguguran. Semua wajah tertoleh. Kepala panitia pemilihan menurunkan toa, para petugas pencatat meletakkan pulpen, dan orang-orang yang berkerumun seperti lebah, berdengung bertanya satu sama lain.
“GEDUNG SEKOLAH!!” Terdengar teriakan dari ujung jalan.
Sedetik senyap. Saling tatap tidak mengerti.
“GEDUNG SEKOLAH AMBRUKK!!” Teriakan itu terdengar sekali lagi.
Saat kesadaran itu datang, bagai air bah, kerumunan penduduk yang hendak mencoblos bergegas menghambur ke arah sekolah, berlarian secepat kaki bisa berlari. Astaga? Apa mereka tidak salah dengar. Ini hari Senin, anak-anak tadi pagi pamit berangkat sekolah, kalau gedung itu roboh, apa yang terjadi dengan mereka? 
Jarak lapangan stasiun kereta dengan sekolah hanya dua ratus meter, tapi berlari dengan kecepatan setinggi itu cukup untuk membuat nafas tersengal, dan lebih tersengal lagi saat tiba di lokasi kejadian. Debu dari bangunan ambruk mengepul tinggi. Seperti baru saja ada bom meledak di sana. Gedung sekolahan rata dengan tanah, genting atapnya terlempar hingga belasan meter. Dindingnya luruh. Meja dan bangku kayunya remuk. Tidak ada lagi yang tersisa. Sungguh tidak ada.
Dan bersama kepulan debu, ratap tangis mulai terdengar dari seluruh penjuru sekolah. Seruan-seruan minta tolong. Teriakan-teriakan mengaduh kesakitan. Seruan-seruan panik mencari anak masing-masing. Campur-aduk di langit-langit sekolahan kami. 
Embun menetes satu-persatu diujung daun bougenvile yang menjadi pagar halaman sekolah, cahaya matahari pagi yang seharusnya menyenangkan membasuh kelam seluruh lapangan sekolahan. Wajah-wajah histeris.
Hari itu, hari paling hitam dalam sejarah kampung kami.
***
Pernahkan aku menceritakan tentang teman sekelas kami yang bernama Juni dan Juli? Pernahkah? Belum, karena aku sengaja tidak menceritakannya hingga tiba di bagian ini. Mereka yang selalu riang di sekolahan, pandai sekali dalam pelajaran Matematika—mungkin hanya mereka berdua saja yang mencintai pelajaran itu, selalu duduk paling depan sejak kelas satu, selalu mengenakan sepatu berwarna sama, tas sama, kaos kaki sama, semua serba sama. 
Selalu menyakitkan mengenang hal-hal itu. 
Membuat sesak dan terdiam menggigit bibir. 
Kalau kami jahil berteriak memanggil “JU!” maka kedua teman kami itu akan serentak menoleh, tertawa, Juni dan Juli tidak pernah marah dengan olok-olok itu. Malah bangga, bilang bahwa ‘dalam seribu kelahiran, belum tentu ada satu yang terlahir kembar’. Bilang, merekalah kembar pertama yang lahir di kampung Padang. Membuat kami yang awalnya jahil, malah melongo terpesona. “Boleh jadi benar… Karena sejak Bakwo kecil hingga sekarang, belum pernah melihat ada yang kembar.” Itu klarifikasi Bakwo Dar saat aku penasaran bertanya. Jangan-jangan kalimat Juni dan Juli hanya omong-kosong.
Di kampung kami yang sederhana, fakta mereka kembar amat menarik bagi anak-anak. Apalagi nama mereka ganjil sedemikian rupa. ‘Juni’ diberi nama begitu, karena dia memang lahir di bulan Juni, persisnya tanggal 30 Juni, pukul 23.15. Sementara Juli, lahir satu jam kemudian, tanggal 1 Juli pukul 00.09, karena itulah namanya ‘Juli’. Penjelasan ini ajaib sekali, dan fakta kalau Juni dan Juli adalah teman yang baik hati dan bersahaja membuat kami cepat akrab dengannya sejak minggu pertama masuk sekolah. Mereka berdua adalah kawan yang bisa diandalkan.
Hingga hari ini, saat gedung tua sekolah kami roboh.
Pagi itu, kami masih khidmat melaksanakan upacara bendera saat retak pertama di dinding merekah. Aku yang menjadi pemimpin upacara berteriak kencang memberikan penghormatan terakhir sebelum bubar kepada Pak Bin ketika retak dinding itu pecah menjadi lima belas alur. Menjalar mengerikan. Dan saat teman-teman berlarian hendak masuk ke dalam kelas, saat itulah gedung sekolah kami ambruk, roboh tidak berbilang.
Juni dan Juli meninggal di tempat. Mereka tidak ikut upacara karena pilek. Mereka beristirahat di ruang guru. Seluruh kelas buncah oleh suara tangis saat tahu kabar itu. Dan lebih banyak lagi ratap tangis Ibu Juni dan Juli. Ia menjerit histeris saat kedua kembar itu diangkat dari balik reruntuhan, “Mana anakku!! Mana anakku.” Menciumi dua tubuh yang mengenaskan itu. Tersedu bilang kalau tadi pagi ia sudah melarang mereka sekolah, sudah bersiap menuliskan surat ke Pak Bin agar diberi ijin sakit. 
Seluruh kampung terbenam dalam kesedihan. 
Juga Mamak dan Bapak, mereka tergopoh panik membawaku ke atas mobil angkutan pedesaan, membawaku secepat mungkin ke rumah sakit kota kabupaten. Ada lima anak yang terkena lemparan genting dan bongkahan batubata gedung, aku yang berdiri paling dekat dengan gedung sekolah sebelum roboh terbilang paling parah. 
Tergeletak di tengah kepulan debu. Dengan kepala berlumuran darah.
***
“Mereka harus membayar mahal… mereka harusnya membayar mahal sekali semua kejadian ini.” Pak Bin menangis, menatap kepalaku yang sempurna terbebat kain putih, hanya menyisakan kedua bola mata dan lubang mulut.
“Saya sudah berkali-kali datang ke mereka, menjelaskan kalau gedung itu sudah jauh dari layak pakai… gedung itu sudah tua, sudah retak di mana-mana, bocor, tampias… tapi apa jawaban mereka? Tunggu anggaran tahun depan… tunggu tahun depannya lagi.. tahun depan-depannya lagi. Padahal kalau itu soal uang untuk mobil-mobil dinas mereka, renovasi rumah-rumah dinas mereka, atau uang yang bisa mereka ambil, cepat sekali urusannya.”
Bapak ber-hsss menyentuh lengan Pak Bin. Berbisik sudahlah, semua sudah terjadi, Burlian akan baik-baik saja, hanya luka luar. “Apanya yang baik-baik saja? Lihat, seluruh kepala dibebat, infus-infus, apanya yang baik-baik saja?” Pak Bin memotong serak. Wajahnya marah, menggelembung. Bapak tersenyum, akhirnya memapah Pak Bin agar keluar dari ruangan gawat darurat. 
Aku yang setengah sadar, samar-samar mencerna percakapan itu. Kepalaku masih sakit, dan seluruh tubuhku lemas sekali untuk digerakkan. Menatap sekitar, melihat selang dan belalai yang menghujam di tubuhku. Mengeluh pelan, di manakah aku sekarang?
***
Dari bisik-bisik Bakwo Dar dan Mang Unus yang membesukku besoknya aku tahu Juni dan Juli sudah dikuburkan. Mereka sengaja bicara pelan, sepertinya benar-benar tidak mau mengganggu istirahatku. Dari bisik-bisik penduduk kampung lain yang mengunjungiku beberapa hari kemudian, aku tahu kalau empat anak-anak lain sudah pulang, rawat jalan. Mereka tidak terlalu parah. Aku juga tahu kalau pemilihan kepala kampung kami ditunda. 
Bebat kepalaku masih terpasang lewat empat hari kejadian, kondisiku masih lemas. Aku hanya lamat-lamat memperhatikan orang-orang yang bergantian menjagaiku.
Kabar robohnya sekolah kami dengan cepat menjalar ke kota provinsi. Kata Mang Unus dalam bisik-bisiknya, liputan gedung yang rata dengan tanah ditayangkan di TVRI, dalam siaran berita nasional. Sebenarnya kabar tentang sekolah roboh lazim saja di masa itu, tetapi meninggalnya si kembar Juni dan Juli menjadi ‘bumbu’ yang luar-biasa. Inspeksi dan kunjungan pejabat dari kota membanjiri kampung. Semua berebut hendak menunjukkan empati. 
“Mana… mana anak yang selamat itu?” Suara berat terdengar dari luar, juga rusuh langkah kaki, seruan-seruan agar memberikan jalan.
Pintu ruangan rawat inapku terbuka, Mamak yang sejak semalam menungguiku, beranjak dari duduknya, adalah belasan orang yang mendadak masuk ke ruanganku. Bersama kilauan blitz tustel dan rekaman kamera dari orang-orang mengenakan rompi TVRI.
“Selamat pagi, Bu.” Orang yang mengenakan seragam safari itu menegur Mamak, ramah tersenyum. Mamak yang lelah semalaman berjaga mengangguk. Sebenarnya kalau dilihat dari ekspresi wajah, terlihat sekali Mamak sebal dengan kunjungan mendadak ini. Dua hari lalu Mamak bahkan bertengkar dengan dokter rumah sakit, “Anakku bukan tontonan. Kenapa kalian tidak melarang orang-orang itu datang? Burlian butuh istirahat.” Sayangnya, yang kali ini jangankan Mamak, kepala rumah sakit saja tidak bisa menahannya.
“Nah, ini dia anak yang selamat dari reruntuhan… Apa kabarmu?” Bapak itu bertanya dengan suara serak, senyuman tidak lepas menghias wajahnya.
Aku mengangguk, kabar baik. Sejak kemarin aku sudah bisa duduk. Aku juga sudah bisa bicara, meski masih malas bicara panjang-panjang.
“Kita tidak akan membiarkan ini terjadi lagi. Seluruh bangunan tua sekolah harus diganti. Pemerintah akan menangani masalah ini sungguh-sungguh.” Bapak itu menoleh ke kolega yang mengelilinginya, berkata mantap di depan rekaman kamera TVRI.
Aku diam saja, meski entah kenapa, tiba-tiba hatiku terasa sesak. Aku tidak tahu dan tidak peduli dengan siapa rombongan ini, aku hanya ingat kalimat Pak Bin beberapa hari lalu: Mereka harus membayar… mereka harusnya membayar mahal sekali semua kejadian ini. Aku menggigit bibir, berusaha menahan rasa marah yang tiba-tba datang memenuhi kepala. Itu benar, siapa yang bisa menebus kesedihan Ibu Juni dan Juli? Siapa yang bisa mengembalikan nyawa yang sudah pergi? 
“Apa yang ingin kau katakan, Nak? Katakan saja?” Bapak itu menoleh ke arahku yang terdengar mendengus pelan dengan nafas mengencang.
“Bapak jamin semua akan dilaksanakan… Katakan saja! Tidak ada orang yang akan berani melanggar janji di depan kamera wartawan.” Bapak itu tertawa, yang lain juga tertawa.
“A-ku…” Aku menghela nafas, berusaha mengendalikan diri.
“Aku ingin sekolah itu dibangun lagi.”
“Tentu saja itu akan dilakukan.” Bapak itu memotong. Tertawa renyah.
“Juga ruangan perpustakaannya.” Aku teringat kalau kami tidak punya perpustakaan. 
“Catat itu.” Bapak itu memerintah salah seorang stafnya.
“Juga peralatan-peralatan sekolahnya.”
“Lapangan bulutangkis.”
“Seragam sekolah.”
“Beasiswa untuk seluruh murid.”
“Motor untuk guru-guru—”
“Cukup, cukup…” Bapak itu tertawa, “Kau tidak akan mendaftar semua permintaan dalam satu kali kunjungan, bukan? Nanti kantong hadiah sinterklas saya kosong melompong.”
Orang-orang ikut tertawa.
“Tapi Bapak sudah berjanji akan melaksanakannya tadi. BAPAK SUDAH BERJANJI!!” Aku berseru galak. Suaraku melengking membuat seluruh ruangan terdiam.
“Ergh… baiklah.. baiklah.. tapi kau hanya boleh menyebutkan satu permintaan lagi.” Bapak itu menelan ludah, berusaha mengendalikan situasi dengan tersenyum kembali.
“A-ku…” Aku menelan ludah. Berpikir cepat, apa yang akan jadi permintaan terakhirku. 
“Aku ingin Pak Bin diangkat jadi PNS.” Aku akhirnya berkata mantap, menatap penuh rasa puas ke arah Bapak itu. Lantas tidak peduli, beranjak tiduran kembali. 
Aku tentu saja tidak bisa ‘menghukum’ mereka atas dosa membiarkan gedung sekolah itu roboh. Dalam banyak hal, mereka juga punya alasan kalau kejadian itu bukan salah mereka. Maka biarlah aku menyebutkan satu permintaan yang paling pantas sebagai tebusan. Setidaknya, sekolah kami akan memiliki seseorang yang penuh kasih-sayang, sangat peduli atas masa depan anak-anak didiknya. Setidaknya, sekolah kami akan memiliki ‘penjaga’-nya yang hidup tenang karena sudah PNS.
Laksanakan saja, aku menutup mulut, pembicaraan sudah selesai. Tidak menjawab lagi gurauan kaku Bapak itu. Bahkan sebenarnya dari gurat wajah, menyuruhnya menyingkir dari ruangan. Aku membiarkan kamera merekam seluruh ekspresi benci wajahku. Dan beberapa hari kemudian, saat televisi kecil di depan rumah menyiarkan dialog di ruangan rumah sakit itu, warga kampung berseru ramai, bertepuk-tangan, “Pak Menteri itu kena batunya sekarang… Bukan main putranya Pak Syahdan.”

0 komentar:

Posting Komentar