Selasa, 05 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

Bab 24. RUSA BERTANDUK
-------------------------------------
Aku pikir, Pak Bin dulu yang tidak ber-PNS jauh lebih menyenangkan dibanding Pak Bin sekarang yang ber-PNS. Tiga bulan merasakan gedung baru, duduk di kelas enam, aku rasa Pak Bin terlalu bersemangat, terlalu riang, terlalu cemas, terlalu semuanya. 
“Kita harus memastikan kalian bisa melalui ujian nasional kelulusan dengan baik. Bapak berharap kalian mengerti dan bisa bekerjasama memastikan semua berjalan lancar. Jadi, PR! Kerjakan soal Matematika halaman 34 sampai 40. Kumpulkan besok pagi.” 
Tere Liye : Burlian

Seluruh kelas mengeluh. Can ekspresif sekali menepuk jidat seolah hendak pingsan saja mendengar PR sebanyak itu. Pak Bin hanya tertawa, “Kerjakan PR kalian masing-masing. Sekali lagi kau ketahuan mencontek, Can, maka aku akan menghukummu menulis kalimat itu seribu kali di papan tulis.”
Can menggerutu (dalam hati), seperti yang lain bergegas memasukkan buku ke dalam tas. Lonceng bel sudah berdentang. Sementara anak-anak kelas enam berebut keluar kelas, berlarian melintas halaman sekolah, aku beranjak mendekati Pak Bin yang masih membereskan penggaris panjang. Tadi belajar geometri, volume kubus, isi kotak persegi panjang dan bola.
“Bukunya sudah selesai, Pak.” Aku menyerahkan tiga buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolah dua hari.
Pak Bin mengangkat kepalanya, tersenyum, “Cepat sekali kau membacanya, Burlian.”
Aku nyengir, memperbaiki posisi tas.
“Sayangnya tidak ada lagi koleksi perpustakaan kita yang belum kau baca.” Pak Bin menghela nafas pelan. Rambut berubannya terlihat dari jarak sedekat ini.
“Sudah ada kabar dari kakak-kakak itu?” 
“Oh, sudah. Tadi suratnya sudah Bapak terima dari petugas kantor pos kota kecamatan. Mereka bilang bisa saja mengirimkan buku-buku baru buat perpustakaan kita, tapi itu terjadwal setiap tahun, tidak setiap saat.” 
Aku menyeringai kecewa. Kalau tahun depan, aku juga sudah lulus SD.
“Kau terlalu cepat membaca buku-buku itu, Burlian.” Pak Bin bergurau, sambil mengacak rambutku, “Atau harusnya anak seperti kau tidak bersekolah di kampung yang jauh dari segalanya. Harusnya kau sekolah di tempat yang memiliki gedung sebesar sekolah kita hanya untuk perpustakaan saja. Ribuan buku-buku yang tidak akan habis kau baca bertahun-tahun.”
Pak Bin berdiri, menyusun tiga buku itu di lemari pojok kelas.
“Kau akan melanjutkan sekolah kemana, Burlian?”
“S-M-P.” Aku menatap Pak Bin, sedikit tidak mengerti. 
“Maksud Bapak, kau akan melanjutkan SMP mana? Kota kabupaten?”
Aku mengangguk ragu-ragu. Bukankah Ayuk Eli dan Kak Pukat sekarang sekolah SMP di sana. Juga semua anak-anak kampung yang melanjutkan sekolah, hanya itu satu-satunya pilihan paling dekat.
“Bapak khawatir SMP kota kabupaten juga tidak akan mencukupi rasa ingin tahu kau. Bukankah kau ingin seperti layang-layang, Burlian, terbang tinggi melihat banyak hal. Kau ingin membaca ribuan buku. Ingin tahu banyak hal baru yang menakjubkan. Jadi kenapa kita tidak memulai dengan pertanyaan, bagaimana kalau kau sekolah SMP di Jakarta?”
Aku tertegun. 
Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya. Memikirkan ujian kelulusan saja belum, masih sembilan bulan lagi. Apalagi tentang kemana aku akan melanjutkan sekolah. Teringat kalau Mamak tadi pagi menyuruhku langsung pulang. Bergegas pamit pada Pak Bin.
Pak Bin tertawa, “Sampaikan salam buat Bapak, Mamak kau.”
***
Sejak Kak Pukat menyusul Ayuk Eli sekolah SMP di kota kabupaten tiga bulan lalu, malam-malam di rumah tidak otomatis jadi lebih sepi. Meski di rumah tinggal aku dan Amelia, potensi pertengkaran di rumah tidak berkurang sedikit pun. Seperti malam ini, saat aku bertugas menjemput Amelia pulang mengaji dari rumah Nek Kiba seperti biasanya.
Amelia belum khatam mengaji. Sudah di juz delapan belas. Aku sebenarnya malas menjemput Amelia. Untuk anak yang sudah sepuluh tahun, ia harusnya berani pulang sendiri. Mentang-mentang anak cewek, Mamak selalu saja menyuruhku menjemputnya. Aku menguap bosan menunggu di bawah rumah panggung Nek Kiba, kenapa malam ini lama sekali giliran Amelia menghadap, padahal sudah hampir jadwal film kesukaanku di televisi mungil Bapak. 
Langit bersih dari saputan awan, ribuan bintang menghias angkasa. Aku menyeringai melihat rasi ‘busur dewa-dewa’, teringat dengan Nakamura yang tiga tahun lalu mengajakku melihat langit dengan teleskop besarnya. Si ‘Toli-toli’, aku tertawa mengingat nama teropong bintang itu. Apa kabar Nakamura? Surat terakhir yang kuterima darinya sekitar tiga bulan lalu. Di surat itu dia bilang rombongannya sudah hampir tiba di ujung pulau Sumatera. Setahun lagi maka selesai sudah ribuan kilometer proyek jalan yang dikerjakannya.
Aku teringat percakapan kami tentang ‘di mana ujung jalan-jalan ini’. Apa kata Nakamura dulu? “Jalan-jalan ini tidak pernah berujung… jalan-jalan ini akan terus mengalir melewati lembah-lembah basah, lereng-lereng gunung terjal, kota-kota ramai, desa-desa eksotis nan indah, tempat-tempat yang memberikan pengetahuan, tempat-tempat yang menjanjikan masa depan… lantas jalan ini akan terusss.. terus menuju pelabuhan-pelabuhan, bandara-bandara… dan dari sana kau bahkan bisa pergi lebih jauh lagi, menemukan sambungan jalan berikutnya… mengelilingi dunia… melihat seluruh dunia, masa depan anak-anak kampung, masa depan bangsa kalian. Masa depan kau yang penuh kesempatan, Burlian-kun.”
“Kak Burlian.” Suara Amelia yang menuruni anak tangga memutus lamunanku.
Aku merapatkan posisi sarung, mengambil obor bambu, bergegas melangkah. Beberapa anak lain juga pulang dari mengaji.
“Kau lama sekali mengajinya.” 
“Nek Kiba-nya terus mengulang-ulang tartil bacaan. Jadi lama…. Kak Burlian jangan cepat-cepat.” Amelia protes. Ia mengangkat lebih tinggi kain yang masih dikenakannya.
“Bergegas. Sudah mau mulai film-nya.”
“Aduh, jangan-jangan cepat. Amel kainnya susah ini.” Amelia melotot.
Aku tidak mendengarkan justru mempercepat langkah, api oborku meliuk-liuk diterpa angin lembah. Amelia yang dongkol disuruh jalan cepat-cepat malah berhenti. Aku yang merasa Amelia tidak lagi di belakangku menoleh. Ia berdiri mematung belasan meter di belakang. Aku berteriak, “Bisa bergegas tidak? Nanti ku tinggal lari.”
Amelia tidak menjawab. Mukanya menggelembung.
“Ya sudah, aku tinggal. Asal kau tahu saja, pohon mangga di dekat kau berdiri itu ada hantunya.” Aku jahat balik kanan, terus melangkah tidak peduli.
Amelia menjerit ketakutan, menyusulku.
***
Sial, sudah diomeli Mamak panjang lebar gara-gara meninggalkan Amelia, ternyata aki televisi-nya soak pula persis serial film Allien itu hendak dimulai. Tabung ajaib Bapak tidak bisa dinyalakan. Tetangga yang hendak menonton di ruang depan bubar-jalan. 
Amelia bersungut-sungut membaca buku di bangku ruang tengah. Wajahnya masih melotot galak setiap kali aku melewatinya. Mamak menganyam keranjang rotan di sebelahnya. Aku kehabisan ide, bingung hendak melakukan apa. Buku-buku itu sudah dua-tiga kali kubaca. PR dari Pak Bin sudah kuselesaikan sebelum menjemput Amelia. Menyeringai hendak mengganggu Amelia, tetapi dengan Mamak persis di sebelahnya, sama saja mencari bala.
“Mak, nanti Burlian melanjutkan sekolah kemana?” Aku mencomot sembarang topik pembicaraan, daripada bosan menatap langit-langit rumah.
“SMP.” Mamak menjawab pendek. 
“Iya, Burlian tahu itu. Tapi, SMP yang mana?” Aku menggaruk rambut.
“Kota.” Mamak tetap menjawab pendek. Konsentrasi pada keranjangnya.
“Kota mana, Mak?”
“Ya, kota kabupaten. Kau pikir kemana lagi?”
Aku menyeringai. Tidak seru memang mengajak Mamak bicara kalau dia lagi konsentrasi penuh dengan pekerjaannya. Beruntung sebelum aku mati karena bosan, pintu depan terbuka, Bapak melangkah masuk. Aku melompat dari tempat duduk, bergegas menyambutnya.
“Bapak dari mana?”
“Balai kampung.”
“Memangnya di sana ada apa?”
“Pertemuan.”
“Iya, Burlian tahu. Tapi, pertemuan apa?” Aku menggaruk rambut.
“Urusan kampung.” Bapak tetap menjawab pendek.
“Urusan kampung apa?”
“Ya, urusan kampung biasanya.”
Aku menepuk jidat. Astaga, kenapa pula malam ini Bapak juga pelit sekali berkomentar. Ya sudahlah, aku mengalah, berhenti bertanya. Mungkin lebih baik aku tidur lebih awal.
***
Kelas enam ini, hari favorit aku dan Amelia adalah Sabtu. 
Itu berarti sekitar pukul dua siang, mobil engkel tua angkutan pedesaan yang tersengal mendaki bukit dan bergetar menuruni lembah akan berhenti di depan rumah. Ayuk Eli dan Kak Pudin pulang dari kota kabupaten. Menyenangkan, karena Ayuk Eli meski sering mengomeliku, berbaik hati membawakan majalah bekas yang dibelinya di pasar kota. Itu bacaan baru, tidak peduli meski tanggal terbitnya setahun silam. 
Mamak, Bapak setiap sabtu sore juga tidak kemana-mana. Bersama kami menghabiskan petang dengan duduk-duduk di depan rumah. Mamak bertanya banyak hal tentang seminggu terakhir kepada Kak Pukat dan Ayuk Eli di kota, memastikan semua baik-baik saja. Bapak dengan santai menyela kalimat Mamak yang terkadang serius sekali, berusaha melucu, membuat petang semakin menyenangkan. Aku dan Amelia asyik membaca ‘majalah baru’ itu, sambil menguping percakapan. Sekali-kali percakapan terputus karena ada penduduk yang lewat depan rumah menyapa, Bapak akan tersenyum balas melambaikan tangan.
“Tadi di mobil engkel, Eli dengar dari penumpang dari kampung Paduraksa, akan ada AMD di kampung mereka, Pak?” Ayuk Eli yang mukanya tersipu merah, mengganti topik pembicaraan Mamak tentang ‘kau jangan pacaran dulu di sekolah’.
“Iya, itu benar. Akan ada AMD di kampung mereka.”
“AMD itu apa, Pak?” Kepala Amelia terangkat dari bacaan.
“ABRI Masuk Desa.” Ayuk Eli yang menjawab.
“ABRI Masuk Desa itu apa?” Amelia bertanya lagi.
Bapak tertawa, mengacak rambut panjang Amelia, “Akan ada pasukan tentara yang datang. Pasukan zeni. Mereka tentu saja bukan datang untuk berperang, mereka datang untuk membantu membangun kampung itu. Mendirikan sekolah, memperbaiki masjid, rumah-rumah penduduk, hingga membuat jalan akses ke kampung.” 
Amelia mengangguk, kembali ke bacaannya. 
“Kalau jalan ke kampung mereka jadi dibangun, akan lebih banyak lagi orang-orang kota yang datang berburu, menebangi kayu, mengeduk pasir di kampung mereka… di kampung kita saja sejak jalan depan rumah bagus, sudah tidak berbilang orang-orang yang merusak hutan.” Ayuk Amelia menatap Bapak serius. 
“Kau benar. Apa mau dikata, tidak selalu pembangunan itu membawa dampak baik, Eli. Terkadang juga membawa sesuatu yang buruk. Itu tidak bisa dicegah. Sudah puluhan tahun penduduk kampung Paduraksa harus berjalan kaki di jalan setapak sejauh belasan pal. Mereka juga berhak atas akses jalan seperti kampung lain. Setidaknya yang bisa dilalui mobil.” Bapak menghela nafas.
“Tapi kalau Eli boleh memilih, Eli lebih setuju jalan-jalan di kampung kita rusak saja. Biar tidak ada pendatang yang bisa bebas membawa truk-truk menebangi kayu, mengambili pasir di sungai. Tidak mengapa kita jadi susah.” Ayuk Eli berkata mantap.
Aku mengangkat kepala dari lipatan majalah. Teringat, kalau soal menangkap burung dulu saja Ayuk Eli protes, apalagi yang lebih serius dari itu. Menyeringai.
“Bapak senang kau punya pemahaman seperti itu. Artinya kau mencintai hutan ini, Eli. Dua malam lalu, saat rapat di balai kampung, penduduk juga membahas tentang air sungai belakang yang mulai keruh. Tidak nyaman lagi untuk mandi sore. Katanya di bagian hulu, ada alat berat dan beberapa truk yang setiap siang mengeduk pasir dan koralnya.”
“Mereka harusnya diusir pergi, Pak. Bila perlu diancam alat beratnya akan digulingkan, truk-nya dirantai, pengemudinya dikurung, biar kapok.” Ayuk Eli berkata penuh semangat, “Kalau Eli boleh memilih, Eli juga akan melarang penduduk kampung membuka hutan untuk kebun, menembaki ayam hutan, mengambil rebung dan rotan.”
Bapak tertawa, “Kalau yang itu terlalu berlebihan, Eli.”
“Itu juga merusak hutan.” Eli bersikukuh.
“Bapak setuju, Eli. Itu juga merusak hutan. Tapi kau lupa poin terpentingnya. Penduduk kampung hanya mengambil seperlunya, menebang sebutuhnya. Mereka punya batasan. Jangan pernah mengambil semua rebung tanpa menyisakan tunasnya untuk tumbuh lagi. Jangan pernah menebar racun atau menjulurkan kawat setrum di sungai yang akan membuat telur dan ikan-ikan kecil juga mati, padahal esok-lusa dari merekalah sungai akan terus dipenuhi ikan-ikan. Jangan pernah menebas umbut rotan semuanya, dan sebagainya. Itu yang disebut—”
“Kebijakan leluhur kampung.” Aku dan Kak Pukat memotong kalimat Bapak hampir bersamaan.
Bapak menoleh, menatap kami dengan wajah sedikit terkejut, “Ka-li-an? Kalian sudah tahu soal itu?”
“Mang Unus yang bilang.” Aku menjawab mantap. Nyengir.
“Kalian juga melihatnya?”
Aku dan Kak Pukat mengangguk. 
“Astaga! Unus seharusnya bilang kepada Bapak kalau kalian sudah tahu. Seharusnya itu kewajiban Bapak untuk menjadikan kalian bagian dari ‘penjaga kebijakan leluhur kampung’.”
“Tahu apa, Pak?” Ayuk Eli menyela, ingin tahu.
“Eh, ya tentang itu.” Bapak menyeringai salah-tingkah, “Tahu tentang kebijakan leluhur kampung. Mengambil seperlunya. Menebang sebutuhnya.”
Ayuk Eli menatap Bapak curiga. Pasti bukan tentang itu. 
“Selamat petang, Pak Syahdan.” Lik Lan yang melintas dengan sepeda di depan rumah menyapa, berhenti sejenak. “Bukan main, semuanya sedang berkumpul.”
“Begitulah, Lan. Dari mana?” Bapak tersenyum, melambaikan tangan. Memutus ekspresi ingin tahu Ayuk Eli.
“Cerita lama. Tadi petugas stasiun menangkap anak kampung seberang yang memasang paku di rel kereta. Aku baru saja dari sana mengurusnya. Sore, Pak Syahdan. Mari, Burlian, Pukat.” Lik Lan tertawa, mengedipkan mata kepada kami sambil mengayuh sepedanya lagi. Aku dan Kak Pukat menggaruk rambut yang tidak gatal, teringat kejadian beberapa tahun lalu.
“Kau sungguh tidak pacaran di kota, bukan?” Mamak kembali membahas masalah itu selepas Lik Lan pergi.
“Aduuh, tidak, Mak.” Ayuk Eli melotot sebal. Ayuk Eli yang bersiap bertanya tentang aku dan Kak Pukat ‘melihat apa’ tadi ke Bapak jadi memerah wajahnya. “Mesti berapa kali Eli bilang kalau Eli tidak pacaran.”
Bapak tertawa, menengahi, “Percaya sajalah. Tidak akan banyak anak laki-laki yang bisa menaklukkan hati gadis dengan pemahaman hidup setangguh dan seberani anakmu Eli, Mak.”
Kami meski tidak mengerti benar maksud Bapak ikut tertawa. Setidaknya mentertawakan wajah Ayuk Eli yang macam udang rebus. Merah. Mamak juga akhirnya ikut tertawa. Petang itu sepertinya akan berakhir menyenangkan.
***
Sebentar lagi adzan maghrib, ketika mobil bak terbuka itu merapat cepat ke pagar rumah. Mengeluarkan suara berdecit. Dua orang membuka pintu, melangkah turun. Keduanya mengenakan topi lebar, sepatu bot tinggi dan senapan angin terselempang di punggung. Sepatu mereka dipenuhi lumpur kering. Baju lengan panjang mereka juga kotor.
Bapak beranjak berdiri, aku dan Amelia menghentikan membaca majalah. Percakapan menyenangkan di depan rumah terputus. Kali ini bukan oleh sapaan tetangga yang lewat.
“Selamat petang. Maaf mengganggu.” Salah seorang mereka menyapa, “Bisa minta air minum. Kami kehabisan perbekalan. Kawan kami teluka di bak belakang mobil.”
Bapak menyuruh Ayuk Eli bergegas mengambil botol air. Melintasi halaman rumah, mendatangi mobil yang terparkir di dekat pagar. Aku, Kak Pukat dan Amelia ikut mendekat. Memperhatikan pakaian mereka, senapan-senapan angin, tidak salah lagi, mereka pastilah rombongan pemburu dari kota. Seperti yang Ayuk Eli bilang tadi, belakangan banyak sekali pemburu dari luar kampung memasuki hutan-hutan kami.
Salah seorang rekan mereka duduk dengan kaki lurus di bak mobil. Salah-satu kaki itu terlihat berdarah, tulang betisnya patah, menembus daging. Mengerikan melihatnya. Tetapi meski wajahnya meringis menahan sakit, dia masih menyapa Bapak ramah, “Selamat petang, Pak. Maaf kalau sudah mengganggu.”
Bapak mengangguk, memperhatikan lebih dekat, “Kau baik-baik saja?”
“Yeah, aku baik-baik saja…. Ini sebanding dengan hasil yang kami dapatkan.” Orang dengan kaki patah itu tertawa pelan, “Dua hari dua malam mengejarnya. Semua perbekalan habis, bahkan air minum pun habis. Akhirnya kami bisa menyudutkannya di sungai yang masuk ke dalam tanah. Tiga tembakan sia-sia. Barulah setelah melepas peluru keempat buruan itu roboh. Sialnya, aku tergelincir saat hendak menuruni bukit mendekatinya. Kaki ini menghantam tunggul besar. Seperti yang Bapak lihat, patah tulangnya.”
Aku bergidik melihat pemburu itu menyingkap kain di betisnya. Patahan tulangnya benar-benar keluar. Hanya saja, kalimat barusan dari pemburu itu membuat jantungku berdetak lebih kencang. ‘Sungai yang masuk ke dalam tanah’. Jangan-jangan.
“Airnya… tolong airnya.” Pemburu itu melihat botol di genggaman Ayuk Eli, “Luka sialan ini membuatku cepat sekali haus. Terimakasih gadis manis.” Dia rakus sekali menenggak air dari botol. Membasahi leher dan dadanya.
“Kau sebaiknya mampir di Mantri kesehatan kota kecamatan. Lukamu perlu dibersihkan.” Bapak memberikan saran.
“Tidak mengapa, saya bisa bertahan hingga kota kabupaten. Terima-kasih banyak. Bisakah aku dibekali dengan botol-botol air?”
Bapak menyuruh Ayuk Eli mengambil beberapa botol air lagi.
“Itu… itu apa?” Aku tidak bisa menahan rasa ingin tahu, menunjuk terpal di sebelahnya yang seperti menutupi sesuatu.
Pemburu itu tertawa, menyingkap terpal, “Inilah buruan yang kami kejar dua hari dua malam. Seharga kakiku yang patah….” 
Amelia menjerit tertahan. Aku dan Kak Pukat undur satu langkah, mendesis gentar, “Ba-dan-nya… badannya mana?”
“Kami tinggalkan di mulut goa itu. Hanya kepalanya yang berharga, Kawan. Jadi buat apa repot-repot kami bawa. Oh, maaf nona manis, kau seharusnya tidak melihat pemandangan seperti ini. Sebaiknya kututup terpalnya….” Pemburu itu tersenyum ke arah Amelia. Menutup kembali terpal.
Botol-botol air minum diletakkan di bak mobil, pemburu itu sekali lagi bilang terima-kasih, bergegas melanjutkan perjalanan ke kota kabupaten. Berderum. Cahaya lampu mobil bak terbuka itu hilang di tikungan kampung, seiring matahari rebah di ufuk barat sana.
“Mereka tadi sebenarnya berburu apa?” Ayuk Eli yang sepanjang kejadian hanya bolak-balik mengambil air di dapur, bertanya saat kami melangkah masuk ke dalam rumah.
Bahkan Bapak kehilangan kata-kata.

0 komentar:

Posting Komentar