Sabtu, 09 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 28. POHON BUNGUR RAKSASA part 2
---------------------------------------------------------
“Kau tidak berbohong?”
“Mana pula aku berbohong?” Aku bersungut-sungut menatap Can. Cukup tadi pagi Mamak dan Bapak tidak mempercayaiku. Tidak perlu ditambah Munjib dan Can.
“Kalau begitu, kita tunggu nanti malam di rumah kau. Sambil menonton televisi. Siapa tahu burung itu berbunyi lagi.” Munjib berusaha menengahi. 
“Burung itu tidak berbunyi jam sembilan atau sepuluh.” Aku menyeringai putus-asa. Bukankah sudah kujelaskan tadi, burung itu berbunyi jam dua malam. Jadi acara televisi sudah lama usai. Penduduk kampung sudah bubar pulang. Bagi mereka berdua, dan juga seluruh anak kampung, cerita suara lenguhan burung di atas pohon bungur sebagai penanda kematian kampung selalu menarik didengarkan– meski sambil ketakutan mendengarnya. 
Tere Liye : Burlian

Pak Bin memukul papan tulis dengan mistar kayu. Meminta perhatian seluruh kelas. Memutus percakapan kami. Munjib dan Can bergegas kembali ke meja masing-masing. Pak Bin mulai membagikan soal-soal latihan Matematika. 
Malam itu, tanpa jahil menakutnakuti Amelia terlebih dahulu, aku berusaha tidur lebih cepat. Celakanya, meski sudah berusaha memejamkan mata, berkali-kali merubah posisi tidur di atas dipan, aku tetap tidak bisa tertidur. Di dipan seberang, sepertinya Amelia sudah sibuk dengan mimpi. Sementara suara televisi terdengar sayup-sayup dari depan rumah. Juga sesekali celoteh tetangga yang menumpang menonton. Bapak dan Mamak sedang ngobrol di ruang depan dengan Bakwo Dar. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin soal sekolah aku dan Can.
Aku melirik jam di dinding, pukul 21.30. Menguap.
“KAAAKK!!” Suara itu seperti batu yang dilontarkan ketapel, tiba-tiba terdengar. 
“KAAAAKKK!!” Sekali lagi, dengan lenguh lebih nyaring.
Aku sudah loncat dari tempat tidur. Seluruh bulu kudukku berdiri. Seram sekali suaranya yang terakhir. Aku seperti bisa membayangkan derita burung itu saat melihat liang kuburan kosong menganga di bawahnya. Aku berteriak panik memanggil Mamak.
“Ada apa, Burlian?” Bakwo Dar yang ikut masuk ke kamar bertanya.
“Burung itu… Burung itu berbunyi lagi.”
“Burung apa?” Mamak melotot.
“Suara burung dari pohon bungur pekuburan belakang, Mak. Burung itu berbunyi lagi.” Aku terbata menjelaskan, menunjuk-nunjuk ke arah pekuburan. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengarnya, suara itu kencang sekali terdengar dari kamar.
“Mana suaranya?” Bapak memasang kuping. Celingak-celinguk.
Tidak ada. Hanya jangkrik dan serangga malam yang berderik.
“Bukankah Mamak sudah bilang, Burlian. Itu hanya suara burung biasa. Makanya kau jangan terlalu banyak menakuti Amelia. Tahu rasa kau. Imajinasi kau malah menakuti diri sendiri.” Mamak setelah sekian lama tidak terdengar apa-apa beranjak keluar dari kamar. Diikuti Bapak dan Bakwo Dar. 
Aku menelan ludah. Astaga, suara burung itu tadi jelas-jelas terdengar menyeramkan. Aku sama sekali tidak salah dengar. Bukan pula hanya karang-karanganku saja.
Sialnya, hingga akhirnya pukul 01.00 malam hanya suara gerimis yang membasuh kampung terdengar. Aku berusaha memeluk bantal senyaman mungkin. Lelah sepanjang hari berlatih soal ujian. Lelah ngeri memikirkan suara burung itu terdengar lagi. 
Lelah hingga tertidur.
***
“Semalam burung itu berbunyi jam setengah sepuluh.” Aku berbisik.
“Oi??” Munjib menatapku, dahinya terlipat.
“Suaranya sekarang lebih seram.”
“Kau pasti sudah lari ketakutan, bukan?” Can menyeringai.
“Aku tidak takut!” Aku menukas cepat. 
“Bohong. Kata Bapakku, kau semalam berteriak lari ketakutan ke depan rumah.” Can memasang wajah jahatnya. “Dan ternyata tidak ada suara-suara burung itu.”
“Aku tidak takut. Kata siapa aku lari ke depan rumah?” Aku mendengus galak. Sedikit tersinggung atas tuduhan Can. 
“Bagaimana kalau malam ini kita tunggu suara itu di rumah Burlian.” Munjib berusaha menengahi. Wajahnya sejak tadi tegang mendengar cerita, tegang bercampur dengan rasa ingin tahu soal bunyi itu. 
“Baik. Kita tunggu malam ini di belakang rumahku. Kita buktikan suara itu.” Aku tanpa berpikir dua kali, langsung menjawab ajakan Munjib.
“Kau ikut?” Munjib menyikut Can.
“Memangnya aku penakut?”
***
“Nanti selepas SD, Burlian melanjutkan sekolah kemana, Pak?” Aku bertanya di antara denting suara sendok. Kami berempat sedang makan malam, lepas shalat isya dari mesjid. 
“Belum tentu juga kau lulus SD.” Mamak tertawa, mendorong mangkok sayur bayam ke Amelia, menyuruhnya menghabiskan.
Aku menyeringai, kembali ke piring makanan.
“Kau sendiri mau sekolah di mana?” Bapak bertanya.
Aku mengangkat kepala, Bapak tersenyum kepadaku. 
“Burlian mau sekolah di tempat yang buku-bukunya menumpuk seperti gunung… guru-guru hebat seperti Pak Bin… Burlian mau melihat dunia… menaiki kapal-kapal… melihat gedung tinggi… bandara…” Aku tersedak karena semangatnya.
Mamak melotot menyuruhku diam, jangan bicara sambil makan. Mendorong gelas air ke dekatku. Tapi Bapak tetap tersenyum, menatapku dengan wajah cerah, mengacungkan sendoknya ke atas, “Maka biarlah itu menjadi kenyataan, Burlian. Biarlah….”
Aku menyeka mulut dari basah air minum. Lekas mengangguk senang, meski tidak terlalu mengerti apa maksud kalimat Bapak. Amelia di sebelah tanpa banyak komentar tetap sibuk mengunyah sayur bayam makan malamnya.
Malam itu gerimis turun sejak “Berita Nasional” dibacakan pembawa acara TVRI yang bernampilan rapi. Tetangga ramai memenuhi depan rumah. Semua orang sudah tahu, lepas acara berita ini, akan ada siaran langsung badminton dari Kuala Lumpur. Kejuaraan Piala Thomas dan Uber. Bebearapa penduduk kampung terlihat tidak sabaran menunggu aksi atlet badminton itu.
Aku, Munjib dan Can duduk di pojokan depan rumah. Tidak seperti yang lain sibuk menonton, kami sibuk berbisik-bisik mematangkan rencana tadi siang. Wajah Munjib tegang sekali. Sementara Can masih tertawa-tawa santai. Berkali-kali kami melirik jam di dinding. Aku menelan ludah, memasukkan pisau kecil Bapak ke dalam saku celana. Pisau itu ‘kupinjam’ dari tempat peralatan Bapak, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan. TVRI sudah menyiarkan pertandingan badminton. Sudah lewat jam sembilan malam. 
“Kita berangkat sekarang.” Munjib setelah melirik kanan-kiri depan-belakang, berkata pelan, mengeluarkan senter kecilnya.
Aku dan Can mengangguk.
Maka kami beringsut ke samping rumah. Tetangga ribut berteriak-teriak menyoraki pemain ganda Indonesia yang gagah-perkasa melibas pasangan Korea. Berseru ramai setiapkali smesh deras terhujam ke bidang permainan lawan. Tidak ada yang memperhatikan kami.
Gerimis hujan membuat basah pakaian kami. Aku mengusap butir air di ujung rambut. Dingin. Terus melangkah hingga belakang rumah. Menatap ke depan. Jantungku berdetak lebih kencang. Pekuburan kampung itu terlihat gelap-gulita. Pohon bungur dan pohon-pohon lainnya terlihat seperti bayangan hitam. 
“Ayo lebih dekat lagi.” Can melenggang terus.
Aku dan Munjib bersitatap sebentar, lantas ikut melangkah. Jarak rumah Bapak dengan pagar kuburan sekitar dua puluh meter. Tanganku sedikit bergetar saat memegang kawat berduri. Dengan jarak sedekat ini, ujung-ujung nisan terlihat. Bebatuan pekuburan. Sungguh aku tidak takut seperti pengertian takut yang dituduhkan Can tadi siang di sekolah. Aku gentar, tentu saja, tapi rasa itu berpilin dengan keinginanku menaklukkan rasa takut itu sendiri. 
Aroma pohon dan lumut tercium dari arah pekuburan. Bau bunga melati yang banyak tumbuh di atas batu-batu kuburan menerpa hidung kami. Munjib menelan ludah. 
“Aku pikir kita harus ke bawah pohon bungur itu.” Can mendesis.
Situasi sungguh berubah menjadi tidak terkendali dengan kalimat Can barusan. Itu melanggar skenario yang sudah disepekati. 
“Aku ingin melihat burung sialan itu. Tidak hanya mendengar suaranya.” Can membantah pendapat Munjib yang keberatan.
“Itu berbahaya. Kita hanya membawa senter kecil.”
“Bilang saja kalau kau takut!” 
“Aku tidak takut. Tapi masuk hutan pekuburan gelap seperti sekarang. Kau bisa menginjak kepala ular atau kalajengking. Itu berbahaya.” Munjib melotot.
“Kau takut.” Can menyeringai.
Munjib mencengkeram kerah baju Can, “Baik, kita ke bawah pohon bungur itu. Bila perlu kita panjat untuk menangkap burungnya. Terserah kau saja.” Dan Munjib sudah menyibak pagar karet. Menyelinap di sela-selanya, melangkah menuju ke dalam pekuburan.
Can tanpa banyak bicara ikut melangkah masuk. Astaga! Aku menepuk jidat. Bagaimana urusan ini? Menatap pohon bungur itu sekali lagi. Jaraknya hanya lima puluh meter dari kami. Pohon itu persis di tengah-tengah pekuburan kampung. Terlihat amat menyeramkan. Baiklah, pilihannya sederhana sekarang, ikut bersama mereka atau kembali ke rumah dengan esok-esoknya tidak akan punya muka lagi.
Aku menggigit bibir, menyibak pagar kawat, menyusul Can dan Munjib. Melewati bebatuan kuburan, semak yang tumbuh liar, dan bunga melati. Gerimis terus membasuh tubuh kami. Udara malam yang dingin menusuk tulang.
Langkah Munjib terhenti sebentar. Can di belakangnya ikut terhenti.
“Ada apa?” Suaraku bergetar dibungkus kabut malam. 
“Lihat.” Munjib mengarahkan senternya ke salah-satu nisan.
‘Ahmad Barima’. 
Dadaku berdegup kencang sekali membaca nama yang tertulis di nisan itu. Butiran air hujan membasuh ujung nisannya. Sedikit berkemilau memantulkan cahaya senter Munjib. Ini pusara kawan baik kami. Si rendah hati, ikal, tonggos, si ringkih yang hitam. Si jago main bola. Maradona kampung.
Munjib mengarahkan senternya ke dua nisan lain berdekatan.
‘Juni Awansyah’…. ‘Juli Awansyah’.
Aku menggigit bibir. Menyeka air di rambut sekali lagi. Ini kuburan si kembar. Kawan kami yang selalu riang. Jago matematika.
“Ayo!” Can melanjutkan langkah, ingin benar menunjukkan kalau dia tidak takut dan tidak peduli, “Mereka sudah mati. Malam ini kita datang bukan untuk ziarah kubur.”
Saat itulah, saat Can sudah satu langkah meninggalkan kami, dari arah pohon bungur, melengking suara yang amat kukenal dua malam terakhir.
“KAAAKK!!”
Dengan jarak tinggal sepuluh meter, suara itu terdengar amat mengerikan. 
“KAAAAAK!” Suara itu meruntuhkan seluruh keangkuhan.
Can reflek loncat ke belakang. Merapat pada kami. Wajahnya yang sejak tadi selalu menyebalkan, seketika berubah pias.
“I… itu suaranya?”
Aku mengangguk. Tidak ada di antara kami yang mempedulikan Can. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Tangan Munjib yang memegang senter bergetar hebat. Aku mencengkeram pisau kecil Bapak di saku celana. Bersiap atas segala kemungkinan buruk.
Sebelum kami memutuskan apa yang harus dilakukan. Sebelum kami tahu persis apa yang sedang terjadi. Dari balik pohon bungur, di antara siluet bayangan hitam, di tengah rintik hujan yang mulai menderas, keluarlah sosok bayangan itu. Tinggi. Besar. Mengerikan. 
Allahuakbar. Aku mendesis menyebut nama Tuhan. 
“KAAAAKK!” Lenguhan suara burung terdengar lagi.
Sosok besar itu berjalan cepat ke arah kami. Di antara kegelapan julur dahan bungur, matanya terlihat seperti bersinar. 
“KAAAAKK!”
Aku sebenarnya hendak secepat mungkin menarik Can dan Munjib lari dari pekuburan. Tapi kakiku seperti ada yang mengikatnya. Laksana ada bandul rantai baja di kakiku. Tanganku yang memegang pisau kecil seperti mati rasa. Kabut mengepul dari mulut ketakutan kami. Udara dingin menusuk tulang. Aroma melati tercium semakin pekat. Siapapun sosok besar ini, tubuhnya tinggal sepuluh langkah dari kami. Rambutnya beriap-riap panjang. Bajunya kebesaran, seperti jubah. Sebelum aku utuh menyadarinya, tangan besar sosok tinggi itu sudah mencengkeram Can yang berdiri paling depan. Membanting tubuh Can ke batu kuburan seperti membanting karung beras.
Rasa sakit, suara aduhan Can, membuat aku kembali menginjak tanah. Mengembalikan semua akal sehat dan kesadaran. Sosok ini bukan hantu. Bukan setan atau penunggu kuburan seperti yang aku bayangkan. Sosok ini manusia. 
“LARIII!!!” Aku berteriak kencang. Mulutku bisa bicara sekarang. Buhul-buhul yang mengikat tubuhku seperti terlepas satu persatu. “MUNJIB!!! CAN!!! LARI!!!”
Tetapi teriakanku percuma. Can sudah mengaduh, terkapar di atas salah-satu kuburan. Munjib sedang bergulat melawan sosok yang juga berusaha memukulnya roboh. Aku lompat menolong Munjib. Mengeluarkan pisau kecil Bapak. Percuma, sosok besar itu memukul tanganku, membuat pisau hadiah Lik Lan itu terpelanting jatuh dalam kegelapan. 
“TO – LONG!” Munjib tersedak, lehernya dipegang sosok besar itu.
Aku berusaha berdiri. Berpikir secepat yang bisa kulakukan. Teriakanku sepertinya tidak akan terdengar oleh tetangga yang menonton di depan rumah. Terlalu jauh. Kalaupun aku lari meninggalkan Can dan Munjib memanggil pertolongan, entah apa yang akan terjadi dengan mereka saat aku pergi. Aku yang gemetar jatuh terduduk lagi. Munjib sudah terkulai jatuh. Pingsan. Kehabisan nafas. Entahlah. 
Sosok besar itu melangkah mendekatiku.
Apa yang harus kulakukan? Tubuhku tertahan nisan Ahmad.
“KAAAAKK!” Suara burung itu terdengar kencang.
Apa yang harus kulakukan?
Sosok besar itu tinggal lima langkah.
“KAAAAKK!” 
Aku menelan ludah, memaksa otakku berpikir cepat. 
Mamak benar. Cerita Mamak tentang hari kelahiranku itu benar. Burung ini berbunyi karena melihat sesuatu di bawahnya. Bukan melihat liang lahat yang menganga, burung ini berbunyi karena terganggu. Maka aku tahu jawabannya. Tanganku gemetar meraih salah satu bebatuan kuburan Ahmad. Bergegas berdiri. Lantas dengan sisa-sisa tenaga melemparkan batu itu ke arah pohon bungur.
Sosok besar yang menduga batu itu akan dilemparkan kepadanya, menaikkan tangannya untuk melindungi kepala, terhenti sebentar. Menoleh ke arah pohon bungur. Bingung. 
“KAAAAK!!” Burung itu membalas lemparanku dengan melenguh lebih kencang, benar-benar terganggu sekarang. Dan hanya dalam hitungan seperseribu detik, puluhan burung lain juga berceloteh. Mendengking menyanyikan orkestra perkuburan.
Juga anjing-anjing yang tidur di kuburan. Mereka melolong.
Pilu sekali mendengar suaranya.
Sosok besar-tinggi itu akhirnya mengerti apa yang telah kulakukan. Dia dengan buas lompat hendak menerkamku. Aku menghindar. Tangannya membuat robek kemejaku. Sekali lagi aku bergegas meraih batu dari kuburan Ahmad. Melempar kuat-kuat ke atas pohon. Membuat keriuhan terdengar lebih ramai. 
Sosok tinggi itu mendengus marah. Dia mencabut salah-satu nisan. Menghantamkan papan kayu itu kuat-kuat. Aku menunduk menghindar. Berusaha lari sambil meraih lagi satu batu. Melemparkannya kuat-kuat ke atas pohon bungur. Ayolah, siapapun yang berada di depan rumah sekarang. Dengarkanlah semua keributan ini.
Sosok tinggi itu akhirnya berhasil memojokkanku di pohon bungur. Di tangannya, papan nisan yang sudah patah siap terhujam ke leherku. Aku yang ketakutan, gentar, dan kehabisan tenaga akhirnya jatuh terduduk. Jatuh setengah sadar, setengah tidak. Mulutku menyungging senyum. Setidaknya aku sudah bertahan selama mungkin. Setidaknya aku berhasil mengalihkan perhatian sosok tinggi ini dari Munjib dan Can. Apapun yang akan terjadi sekarang, setidaknya rencanaku berhasil. Keributan di pekuburan ini pasti didengar orang-orang di depan rumah.
Benar saja. Saat papan kayu itu sudah dekat sekali. Saat aku sudah tidak tahu apa-apa lagi. Satu cahaya terang terarah ke sosok tinggi itu. 
Di seberang sana, di belakang rumah, dari jarak lima puluh meter, Bapak berdiri gagah sekali dengan senapan angin terarah sempurna. Di sebelahnya, Bakwo Dar memegang senter besar. Sosok tinggi itu mendengus berat, menoleh ke belakang.
Gigi Bapak bergemeletuk. Mendesis, coba saja kalau kau berani.

0 komentar:

Posting Komentar