Minggu, 10 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

EPILOG: TOKYO, 10 TAHUN KEMUDIAN
-------------------------------------------------------
“POOOONG!” Suara kapal yang hendak merapat berbunyi mantap.
Suara pekikan burung camar memenuhi pelabuhan. Terbang kesana-kemari. Hinggap di ujung-ujung runcing tiang kapal yang tampak padat memenuhi dermaga. Salah-satu burung camar itu berani hinggap di pagar geladak dekatku. Kepalanya bergerak-gerak. Naik-turun.
Aku tertawa kecil. 
“POOOONGG!!”
Angin menerpa memainkan ujung rambut. Sepanjang mata memandang, langit terlihat biru tanpa saputan awan. Sekarang pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Berarti kapal ini tiba sesuai jadwal. Pagi yang indah. Pelabuhan Tokyo terlihat ramai. Orang-orang yang menurunkan barang. Mobil-mobil merapat menaikkan penumpang. Petugas bea cukai. Imigrasi. 
Tere Liye : Burlian

“Kau akan melihat kapal besar, Burlian. Kau sungguh akan melihatnya.” Sepuluh tahun silam, Pak Bin menangis memelukku. Ikut melepas keberangkatan.
Aku mengangguk. Menyeka ujung mata.
“Tetaplah bersahaja kau, Burlian. Tetaplah bersahaja seperti kau berpeluh menghabiskan nasi lemang spesial buatan Bakwo.” Bakwo Dar mengelus rambutku.
Aku mengangguk, berjanji sungguh-sungguh dalam hati.
“Schat, apa yang dulu Wawak bilang, je bent speciaal… Hanya satu pesan Wawak… Jangan sekali-kali kau ulangi judi seperti SDSB dulu. Itu berbahaya.” Wawak tertawa menggenggam bahuku. Bahkan Bapak yang berdiri di belakangku ikut tertawa lebar.
“Lihat… dia masih kecil sekali… jagoan Mamak masih kecil sekali…” Mamak menciumi wajahku. “Dan kau… kau biarkan dia sekolah di seberang pulau sana. Kau biarkan dia mengurus semuanya sendiri. Siapa yang akan menyiapkan sarapan buatnya… makan malam… mencuci seragamnya… sepatunya…” Mamak menangis.
“Burlian akan baik-baik saja.” Bapak tersenyum, “Ah, setiap kali ada seseorang yang akan pergi… maka sejatinya yang pergi sama sekali tidak perlu dicemaskan. Dia akan menemukan tempat-tempat baru. Berkenalan dengan orang-orang baru. Melihat banyak hal. Belajar banyak hal. Dia akan menemukan petualangan di luar sana… sementara yang ditinggalkan.. nah itu baru perlu dicemaskan. Lihatlah, Mamak kau yang menangis macam anak kecil saja.”
Mamak dengan wajah masih penuh air-mata melotot kepada Bapak. Membuat semua orang tertawa lagi. Suara ‘klakson’ kereta melenguh panjang, memutus tawa. Dengus nafasnya membuat bergetar tanah.
“Saatnya berangkat, Burlian.” Lik Lan lembut menyentuh bahuku. Petugas stasiun kereta sudah sejak tadi selesai menaikkan dua tas besarku ke atas gerbong masinis. 
Mamak menciumi wajahku untuk terakhir kalinya. Lantas aku loncat menaiki gerbong. Berdiri melambaikan tangan. Kereta mulai bergerak. Munjib, Can membalas lambaian bersama yang lain. Juga ada Ayuk Eli, Kak Pukat dan Amelia yang sedang pilek. Kereta melaju cepat meninggalkan stasiun kampung. Mulai menerabas lembah, mendaki bukit.
Hari itu aku berangkat.
Seluruh murid kelas enam SD kami lulus. Pak Bin mendapatkan penghargaan spesial dari dinas pendidikan. Sekolah kami meluluskan tiga belas murid dengan rata-rata nilai ujian fantastis, tertinggi di seluruh provinsi. Meski ujian itu tidak mudah kami lewati. 
Malam itu, pekuburan kampung ramai oleh penduduk. Mengabaikan pertandingan piala Thomas, seluruh kampung mengepung pekuburan. Petugas koramil dari kota kecamatan datang beberapa jam kemudian. Sosok tinggi itu adalah buronan ‘bajing loncat’ dari penjara kota. Sudah tiga malam dia bersembunyi di kuburan kampung. Membuat burung di atas pohon bungur terganggu lantas melenguh nyaring. Penjahat itu akhirnya berhasil ditangkap. Diborgol, dibawa petugas. Bahunya luka terkena tembakan Bapak sebelum dia lari mengurungkan diri menghantam kepalaku dengan nisan kuburan.
Can dan Munjib baru sadar esok pagi. Meski pingsan cukup lama, setelah diperiksa Mantri Kesehatan, mereka hanya memar dan tergores oleh duri semak pekuburan. Aku malam itu juga sudah sadar dari pingsan. Menatap sekitar yang ramai sekali. Mamak yang cemas menunggui. Dengan segala keributan itu, kami melewati ujian nasional dengan baik seminggu kemudian.
Aku baru diajak bicara Bapak soal rencana melanjutkan sekolah setelah pengumuman kelulusan. Bapak berkali-kali menggelengkan kepala, menatap hasil ujianku dengan berkaca-kaca, mengeluarkan surat beramplop cokelat, lantas bilang, “Kawan baik kau Nakamura-san, menawarkan kesempatan sekolah SMP di Jakarta. Kau mau?” Dan tanpa perlu menunggu kalimat Bapak selesai, aku sudah mengangguk mantap.
Berangkatlah aku beberapa hari kemudian, menumpang kereta. Tiba di Palembang pagi-pagi, salah-satu kolega kerja Nakamura sudah berdiri menunggu. Membawaku ke bandara. Langsung terbang ke Jakarta. Terpesona menatap seluruh isi bandara. Mendesis bangga sekali, berseru dalam hati kencang-kencang, “Bapakku dan Bakwo Dar-ku, berpuluh tahun silam ikut membangun bandara ini.” 
Teman kerja Nakamura mengurus kedatanganku di Jakarta. Memasukkanku ke sekolah berasrama. Aku memang tidak pernah bertemu dengan Nakamura selama SMP, SMA dan kuliah di Jakarta. Tuan Nakamura sudah kembali ke Tokyo sejak menyelesaikan proyek jalan lintas pulau Sumatera. Dia memutuskan pensiun lebih cepat.
Hari-hari berlalu cepat sejak aku sekolah di Jakarta. Apa kata Pak Bin dulu? Sekolah yang bangunan untuk perpustakaan saja sebesar gedung SD kami. Pak Bin keliru, sungguh keliru. Di sini bangunan perpustakaanya jauh lebih besar lagi. Ada ribuan buku yang tidak akan bisa kuhabiskan selama bertahun-tahun. Berkenalan dengan teman-teman baru. Pengalaman baru.
Sepuluh tahun melesat bagai peluru. 
Saat menginjak remaja, dewasa, perlahan aku mulai mengerti banyak hal dari potongan masa kecilku di kampung Padang. Kampung yang jauh sekali dari mana-mana, kecuali hutan, sungai, lembah dan bukit barisan.
Aku akhirnya mengerti kenapa Bapak, Mamak sejak kecil selalu bilang, “Kau spesial, Burlian.” Itu cara terbaik bagi Bapak, Mamak untuk menumbuhkan percaya diri, keyakinan dan menjadi pegangan penting setiap kali aku terbentur masalah. Aku ingat, Mamak, Bapak selalu bilang, “Kau anak yang kuat, Amelia.” Agar Amelia yang sakit-sakitan tumbuh jadi ‘kuat’. 
Mamak, Bapak juga bilang, “Kau anak yang pemberani, Eli.” Maka jadilah Ayuk Eli menjadi orang yang pemberani atas banyak hal. Termasuk saat ia telah besar. Kudengar, ia mendatangi sendirian pabrik perkebunan kelapa sawit agar mereka berhenti menebangi hutan kami. Memimpin ribuan demonstran menolak konsesi tambang. Sedangkan kepada Kak Pukat, Bapak, Mamak selalu bilang, “Kau anak yang pintar.” Maka jadilah Kak Pukat sepintar kalimat itu diucapkan berkali-kali sejak kecil. Dia menjadi peneliti hebat sekarang.
Itu semua dibiasakan oleh Bapak, Mamak. Sehingga tetangga kami, kenalan-kenalan kami juga ikut memanggil kami seperti itu.
Saat aku kelas dua SMP, Amelia mengirimiku surat yang isinya lucu, mengharukan. Masih ingat dengan si kembar? Ibu Juni-Juli kembali melahirkan anak kembar. Kalian bisa menebak nama bayi-bayi itu? Oktober-Nopember. Karena sama seperti Juni-Juli, kedua bayi itu lahir di bulan yang berbeda. Selisih tiga puluh menit. Seluruh kampung ikut bahagia berbagi kabar itu. Bahkan juga kamar asramaku yang jaraknya ribuan pal.
Aku juga tahu kenapa Bapak pernah bersumpah demi Allah tidak akan pernah menembak lagi. Can yang sekolah di kota kabupaten mengirimkan surat kepadaku. Can mendengar kisah itu lengkap dari Bakwo Dar. Aku yang sedang di penghujung ujian nasional kelulusan SMP hanya bisa menatap lembaran Can dengan tertunduk takjim. Jika kalian ingin tahu, besok lusa aku akan ceritakan bagian ini di buku yang berbeda.
“POOOONNGGG!”
Suara sirene kapal sekali lagi terdengar mantap. 
Belasan awak kapal sigap melemparkan tali ke arah dermaga. Sibuk bekerja di sekitarku. Aku meletakkan tangan di atas dahi, sinar matahari membuat silau, mencoba melihat ke depan lebih jelas. Ratusan orang terlihat melambai menyambut kapal kami. Kapal pertukaran pemuda “Jepang-Indonesia.” Rekan-rekan pemuda yang berdiri di geladak ikut melambaikan tangan, membalas. Dua bendera Indonesia – Jepang berukuran besar berkibar di tempat kami merapat. Juga ratusan bendera kecil yang dipegang anak-anak sekolah dasar di dermaga.
Tangga diulurkan keluar. Satu-persatu wakil pemuda dari Indonesia tangkas menaikinya. Lompat menginjak tanah negeri seberang. Rekan-rekan pemuda dari Jepang membungkukkan badan menyambut, lantas memeluk kami erat-erat. Beberapa pejabat kota Tokyo dan kedutaan besar Indonesia ikut menyambut. Suara lagu kebangsaan dinyanyikan oleh anak SD. Meski lirik lagunya jadi seperti huruf ‘r’ semua, mereka berhasil menyanyikannya dengan megah.
Aku turun paling belakang. Mantap menyentuh dermaga.
Aku tahu sekali siapa yang akan menyambutku pertama kali.
“Kore wa nagai michi norida, Burlian-kun…. Motto ganbaranakya…” Tuan Nakamura memelukku erat sekali. Aku tertawa, mataku basah oleh air-mata. Kalimat itu pula yang diucapkan Nakamura saat kami berdua melihat ‘jalur naga’ yang terbuat dari obo-obor bambu belasan tahun silam. “Jalan ini tidak pernah memiriki ujung, anakku… tidak pernah…” 
Nakamura benar sekali.
Lihatlah, fisik Nakamura-san masih gagah, gurat wajahnya tetap riang, meski rambut Tuan Nakamura sudah beruban satu-dua. Wajahnya bersih, tidak ada lagi sisa hitam bekas terbakar. 
“Mari… mari.. kuperkenarkan kau dengan seseorang.” Tuan Nakamura menepuk bahuku. 
“Katanya kau sepuruh tahun terakhir seraru berkirim surat dengannya. Benar bukan? Katanya karian tidak sabar untuk bersua?” Tuan Nakamura menyibak rombongan penyambut yang ramai di dermaga. Membimbingku. Lantas menujuk ke depan.
Di sana, dengan gaun putih dan topi rajutan cokelat, ditimpa cahaya matahari pagi nan lembut, di antara seluruh kesibukan dermaga, berdiri dengan cantiknya, berdiri dengan amat menarik hatinya, si tukang panjat pohon bunga sakura, si pemilik rasi ‘busur dewa-dewa’.
Siapa lagi kalau bukan Keiko-chan. 
Tersenyum lebar kepadaku.
Ah, kalian pembaca pastilah penasaran apakah besok-besok aku berjodoh dengan Keiko-chan. Sayangnya, kisah ini hanya tentang masa kecilku. Juga buku-buku berikutnya, Kak Pukat, Ayuk Eli dan Amel, akan menceritakan bagian masa kecil mereka, dibukunya masing-masing.

0 komentar:

Posting Komentar