Kamis, 07 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 26. ABRI MASUK DESA – 2
-------------------------------------------
“Kalau sudah besar aku ingin jadi tentara.” Can berkata mantap.
Aku dan Munjib yang berjejer di sebelah kanan-kirinya menoleh, menatap wajah Can yang berseri-seri ditimpa cahaya matahari pagi.
“Oi, pasti hebat sekali kalau aku yang berdiri di depan sana.” Can berkata lagi.
“Kau tidak akan jadi tentara seperti mereka.” Munjib menyeringai di sebelah.
“Kenapa tidak? Kalau sudah besar aku akan setinggi mereka.”
“Sekarang bukan lagi soal tingginya, Kawan. Tapi memangnya kau kuat makan daging simpai?” Munjib terbahak.
Tere Liye : Burlian

Aku ikut tertawa. Menatap wajah Can yang masam.
Cahaya matahari pagi menerabas kabut lembut yang menyelimuti hutan. Indah sekali menatap larik sinarnya, cahaya-cahaya itu seperti terperangkap di sela-sela pohon. Ini upacara briefing pagi hari ke-28. Program ABRI Masuk Desa itu tinggal beberapa hari lagi. Pekerjaan mereka sudah hampir usai. Jalan sepanjang sepuluh kilometer sudah jadi. Tidak diaspal seperti jalan Nakamura, hanya di lapisi kerikil dan pasir, tetapi itu lebih dari layak dibandingkan jalan setapak dulu. Setidaknya mobil bisa melewatinya dengan mudah.
Bangunan gedung sekolah baru berdiri gagah. Dilapisi cat warna merah-putih. Aromanya mengingatkan pada gedung sekolah kami dulu. Bedanya, tentara itu mendirikan gedung dari papan kayu, bukan pondasi beton. Juga mesjid kampung. Belasan kamar mandi umum. Rumah-rumah yang direnovasi. Sejak kedatangan tentara zeni, kampung Paduraksa bersolek banyak.
Dengan durasi bumi perkemahan selama sebulan, kami tidak setiap hari ada di sana. Apa kata Pak Bin kalau setiap hari kami harus ada di sana, apalagi kurang tiga bulan kami akan ujian kelulusan SD, Pak Bin bisa protes besar ke komandan tentara. 
Tentara itu sudah menyusun jadwal agar semua sukarelawan datang bergantian, sehingga masih sempat mengurus keperluan sehari-hari. Jadwal SD kampung kami hanya empat hari di minggu pertama dan empat hari lagi di minggu terakhir. Kami sudah memasuki hari-hari terakhir bumi perkemahan.
“Kalau aku besok lusa jadi komandan tentara, kalian berdua kusuruh push-up sampai pingsan.” Can menyeringai jahat, memutus tawaku dan Munjib.
“Kau tidak bisa sembarangan menyuruh orang.” Munjib membantah.
“Kenapa tidak? Aku kan komandan tentara.”
“Kau hanya bisa menyuruh anak-buahmu. Dan kami jelas-jelas tidak akan pernah jadi anak-buahmu. Lagipula, siapa sih yang begitu bodoh mau jadi anak-buahmu?” Munjib menahan tawa.
“Lantas kenapa? Besok lusa aku rubah saja peraturannya. Tentara bisa menyuruh siapa saja. Mereka bawa senapan, tidak ada yang bisa melawan.” Can tidak mau kalah.
Munjib menepuk jidatnya, urung meneruskan perdebatan.
Barisan kami sudah berantakan sejak tadi. Kalah jauh dengan disiplin ratusan tentara di depan. Mereka tetap berbaris sempurna rapi, meski sudah hampir satu bulan berada di tengah hutan, setiap hari bekerja keras pula. Komandan tentara yang memegang toa menyampaikan pengumuman kalau dua hari lagi, di hari terakhir program ABRI Masuk Desa, akan diadakan lomba lari 10K melewati jalan yang selesai dibangun. Hadiah bagi pemenang akan diberikan langsung oleh Jenderal dari kota Jakarta.
“Kau mau ikut lomba lari, Burlian?” Can bertanya padaku.
Aku mengangkat bahu. Belum tahu.
“Aku akan ikut, dan aku pasti menang. Aku akan menerima hadiah dari Jenderal itu.” Can berkata mantap sekali. Suaranya seperti di-amini takjim oleh beribu larik cahaya matahari pagi. Bahkan Munjib yang suka mengolok-oloknya kali ini hanya menyeringai, terdiam.
***
Tapi sebelum mengurus lomba itu, ada hal penting lainnya yang harus kami urus terlebih dahulu, makan. Hari ini aku, Munjib dan Can piket di tenda menyiapkan makanan. Tadi pagi sebelum upacara, teman-teman yang lain sudah protes soal nasi telur dadar yang kami sajikan. Kami sebenarnya sudah bangun pukul empat pagi saat kokok ayam hutan terdengar, dengan penerangan lampu petromaks, bertiga sibuk memasak makanan selezat mungkin di belakang tenda. Hasilnya saja yang tidak berbanding lurus dengan semangat kami.
Lepas briefing pagi, teman-teman pramuka lain mengikuti langkah Sersan Sergio menuju lokasi kerja hari ini. Aku, Munjib dan Can melangkah menuju tenda. Udara pagi terasa segar. Bumi perkemahan terlihat lengang. Hanya ada beberapa tentara, sukarelawan dan peserta lainnya yang mungkin sama seperti kami, piket di tenda. Tadi Sersan Sergio sempat tertawa melihat kami. Mungkin dia ingat soal gulai simpai tiga minggu lalu.
Munjib memeriksa kardus bahan makanan. Mengeluh soal bungkusan telur yang tadi pagi tidak sengaja tersenggol Can. Itulah kenapa telur dadar itu rasanya aneh, daripada terbuang percuma, kami memutuskan memasak semua telur yang terlanjur pecah. Di dalam kardus hanya ada karung kecil berisi beras, beberapa bungkus mie rebus, cabai, potongan buah kelapa dan sedikit bumbu lainnya.
“Kecuali mie, tidak ada yang tersisa untuk makan siang.” Munjib menatapku, meminta pendapat. “Kiriman ransum bahan makanan dari Pak Bin baru tiba paling juga nanti sore.”
Aku menggaruk ujung hidung, ikut memeriksa kardus, tidak ada yang bisa dimasak, “Bagaimana kalau kita minta lauk ke tenda tentara saja?”
“Tidak mau.” Can yang sedang duduk meluruskan kaki menjawab cepat.
Aku dan Munjib tertawa, “Tidak setiap hari mereka masak gulai simpai, bukan?”
“Lalu bagaimana kau tahu kalau itu bukan ular, trenggiling, katak, tupai atau sekalian bengkarung?” Can melotot.
Aku dan Munjib bersitatap, mengangkat bahu.
“Kau punya ide mau masak apa?” Aku bertanya.
“Masih pagi ini, nantilah memikirkannya.” Can melepas kancing atas baju Pramukanya, menikmati cahaya matahari yang lembut menimpa seluruh bumi perkemahan. “Lebih baik sekarang memikirkan bagaimana memenangkan lomba lari itu.”
“Kau mustahil menang. Pasti ada ratusan peserta lomba lusa. Dibandingkan kita yang masih anak-anak, mereka pasti lebih besar dan lebih kuat.” Munjib setelah putus-asa melihat kardus bahan makanan sekali lagi, ikut duduk di sebelah Can.
“Nah, justru itulah, mari kita pikirkan bagaimana caranya.” Can manggut-manggut serius. “Sepuluh pal, dari jalan raya beraspal ke kampung Paduraksa. Berkelok-kelok, melengkung di sini, naik bukit di sini, di sini, di sini, turun lembah di sini dan di sini.” Can meraih sebatang ranting, menggambar rute perlombaan.
Aku ikut duduk memperhatikan.
“Kita tidak lari lebih cepat, lebih kuat dan lebih tahan lama dibanding yang lain, bukan? Maka pertanyaan sederhananya adalah bagaimana kita bisa sampai paling dulu dibandingkan yang lain dengan segala tidak tadi?” Can memukul-mukulkan ranting itu ke telapak tangannya. Wajahnya sudah mirip komandan tentara saat memberikan instruksi di tenda loreng, “Di antara ratusan peserta lomba lusa, siapa yang bisa menjawab pertanyaan sederhana ini, maka dialah yang akan memenangkan lomba.”
Aku sepertinya belum pernah melihat Can ‘secerdas’ pagi ini.
“Bagaimana kalau kita menyelinap menumpang truk tentara?” Munjib usul.
“Pasti ketahuan, dan itu curang. Lagipula saat lomba lusa, seluruh truk pasti berhenti beroperasi.” Aku mementahkan usul Munjib.
“Bagaimana kalau kita menyelinap lari lebih dulu? Atau seperti cerita lomba lari kura-kura melawan kancil, kita bergantian larinya. Kau lari duluan di sepertiga awal, aku menunggu di sepertiga kedua, dan Burlian menunggu di sepertiga akhir.” 
“Memangnya panitia lomba sebegitu bodohnya tidak bisa membedakan? Pasti ketahuan. Dan itu juga curang.” Can menggeleng.
“Bagaimana kalau kita minta Pak Bin mengirimkan sepeda Burlian saja? Yang lain lari, kita bertiga bersepeda. Pasti menang, bukan?” Munjib sembarang menyebut usul berikut. Tertawa. 
Aku ikut tertawa. Menepuk jidat.
“Pasti ada cara jitu yang tidak curang agar kita bisa menang.” Can mendongak menatap pohon besar di atas kami. Daunnya yang rimbun membuat sejuk udara pagi.
Dua jam berlalu, tanpa terasa kami justru sibuk membicarakan hal lain. Tentang Pak Bin yang terlalu bersemangat mengajar. PR dan tugas-tugas menumpuk. Tentang pohon bungur di belakang rumahku. Suara burung pertanda kematian di kampung. Bergidik ngeri, buru-buru mengganti topik pembicaraan. Tentang nanti lulus SD hendak kemana. ‘Bapakku belum bilang apakah aku boleh melanjutkan SMP di kota atau tidak.’ Munjib tertunduk. Aku dan Can saling tatap, teringat setahun lalu, Munjib bahkan harus nekad memaksakan diri sekolah. ‘Kau pasti akan melanjutkan SMP, Kawan.” Can menjawab sok-bijak. Aku hanya mengusap dahi.
Berganti lagi topik soal senapan angin, musim durian, tentang tentara, tertawa –mentertawakan Can yang sampai muntah-muntah—mengingat menu spesial tiga minggu lalu. Gulai daging simpai. Berdebat apakah Sersan Sergio membohongi kami atau tidak. Mengingat-ingat bukankah malam itu potongan daging yang kami makan bentuknya sama seperti gulai ayam. Juga rasanya seperti gulai ayam biasa. Asyik bicara tentang makanan membuat kami menyadari sesuatu. 
“Oi, sudah hampir jam sepuluh. Kita jadinya masak apa?” Munjib berseru.
“Masak mie rebus sajalah. Peduli amat yang lain protes.” Aku menjawab ringan.
“Atau begini saja. Kenapa kita tidak mencoba mencari ayam hutan itu?” Can menyeringai, memikirkan sesuatu, ”Bukankah pagi tadi saat kita bangun jam empat subuh, kokok ayam hutan terdengar ramai? Ayam itu pasti banyak berkeliaran di hutan sana.”
“Tidak mudah menangkap ayam hutan.” Munjib menggeleng.
“Apa susahnya. Lagi pula kita bertiga.” Can menjawab yakin.
Aku menggaruk ujung hidung. Can benar, kalau didengar dari suara kokoknya tadi pagi, pasti ada banyak ayam itu di hutan. Dulu Mang Unus sering membawa pulang ayam hutan saat mencari rebung bersama Bapak. Kata Mang Unus, tinggal dikepung agar ayam itu terdesak di semak-belukar, maka mudah saja menangkapnya. 
“Kita masih punya waktu tiga jam lagi. Menurut kau, Burlian?”
Aku pikir tidak ada salahnya mengikuti ide Can. Lagipula kalau hanya masak mie rebus, itu hanya hitungan menit. Terlanjur lembek mie-nya saat teman-teman yang lain pulang. Dua lawan satu, Munjib terpaksa ikut.
***
“Ini pasti gara-gara kau tadi kencing sembarangan.” Munjib bersungut-sungut, terduduk. Menyeka dahinya yang berkeringat.
“Enak saja. Aku tadi sudah minta ijin waktu kencing.” Can membela diri. Ikut duduk di sebelah Munjib. Nafasnya tersengal. “Aku sudah bilang, ‘Nek, permisi, cucumu numpang kencing.’ Jadi tidak mungkin penunggu hutan marah padaku.” Mengulang mantra ijin kencing tiga jam lalu.
Aku jongkok di antara mereka. Melepas kacu Pramuka di leher. Gerah.
Urusan menangkap ayam hutan ini ternyata panjang.
Awalnya kami tertawa-tawa memasuki hutan. Membayangkan paling lama hanya butuh satu jam untuk menangkap sembarang satu-dua ayam. Dengan semangat menelusuri jalan setapak. Memasang kuping lebar-lebar dan mata menatap awas. Adalah sekitar beberapa ratus meter masuk ke dalam hutan, satu ayam jago liar terlihat. Tidak salah juga suara kokok tadi pagi. Aku, Munjib dan Can langsung lompat mengejar ayam itu. Jatuh-bangun tersangkut tunggul, menyibak semak belukar, berlarian menyelinap di sela-sela pohon. Berseru-seru mengepungnya.
Ayam jago berwarna hitam bersurai emas itu tidak mudah ditaklukkan. Dia selalu saja berhasil lolos dari kepungan. Bahkan saat sudah terpojok di rumpun semak-belukar, ayam itu mendadak lompat terbang. Astaga, aku belum pernah melihat ayam bisa terbang setinggi itu. Kami bergegas mengejarnya, mulai lagi dari nol, berusaha memojokkannya.
Keasyikan mengejar ayam jago hutan itu membuat kami lupa kalau kami semakin masuk ke dalam hutan liar. Jalan setapak telah lama habis. Suara berisik dari kesibukan bumi perkemahan sudah jauh tertinggal. 
Setelah putus-asa mengejar ayam hutan itu, duduk menjeplak menyeka keringat, barulah kami bertiga menyadari kalau seisi hutan sudah terlihat berbeda. Saling pandang satu sama lain. Oi, di manakah kami sekarang? Dan di tengah situasi seperti itu, penyakit Can yang sering menggampangkan masalah justru kambuh, bukanya segera berbalik arah ke bumi perkemahan, dia mengajak terus mengejar ayam hutan itu. Maka kami tersesat semakin dalam. 
Detik berlalu menjadi menit. Menit merangkai menjadi jam. Satu jam, dua jam, tiga jam… lima jam sudah kami kebingungan dengan arah jalan. Aku memutuskan memanjat salah-satu pohon tinggi, berusaha melihat sekitar, siapa tahu bumi perkemahan, jalan yang dibuat, atau kampung Paduraksa itu terlihat. Kosong. Sejauh mata memandang hanya terlihat pucuk-pucuk pohon, tidak ada tanda-tandanya.
Matahari mulai tumbang di ufuk barat. Kalau dilihat dari arah cahayanya, sekarang sudah pukul tiga sore. Itu berarti sudah hampir enam jam kami tersesat. 
Munjib dan Can mulai sibuk bertengkar.
“Buah pala tumbuh di perigi/ buah pepaya di karung goni//
Siapa suruh ikut si bodoh pergi/ jadilah sesat macam begini//” 
Munjib macam peserta lomba pantun beberapa waktu lalu, menyindir Can yang berjalan di depannya.
“Buah pepaya rasanya kecut/ Jangan dimakan bersama roti//
Susahlah hati bersama si pengecut/ sesat sedikit mengomel tak henti//” 
Can tidak mau kalah, cepat membalas.
Senyap sejenak. Hanya terdengar serangga berderik.
“Buah pala bukan karamel/ tidak enak buat kudapan
Siapa pula tak ‘kan mengomel/ Cemas baru kembali bulan depan//” 
Munjib mencibirkan mulut, segera mendapatkan pantun sindiran baru.
“Memanjat pala jadi berpeluh/ jatuh terluka harus dibebat// 
Susah urusan si tukang keluh/ Sesat sebentar dibilang seabad//” 
Can melotot, setelah beberapa detik, kembali membalas. 
“Buah pala/ buah pepaya/
Sudah salah/ tak mau kalah//” 
Munjib melancarkan serangan berikut.
“Buah pala/ buah pepaya/
Sudah susah/ ada yang ngomel pula//” 
Can tidak kalah cekatan membalas.
Aku yang berjalan di belakang mereka berdua, dari tadi hanya mendengarkan pantun-pantun itu jadi sebal, ikut berseru, “Buah pala/ jangan dibuang/ ADA BERUANGGG!!!” jahil tiba-tiba berteriak kencang. 
Can dan Munjib tanpa perlu di perintah, langsung lari terbirit-birit. Berhamburan ke segala arah, berusaha memanjat pohon secepat mungkin. Suasana hutan jadi senyap sejenak, menyisakan derik serangga. Beberapa saat berlalu, Can dan Munjib baru sadar kalau kutipu, beranjak turun dari pohon masing-masing. Mereka kembali dengan wajah bersungut-sungut, meski pias. Aku tertawa memegangi perut. Melanjutkan langkah kaki, berusaha mencari di mana jalan setapak keluar dari hutan ini. 
Satu jam berlalu lagi, rasanya sudah jauh sekali kaki kami melangkah, sudah pegal sekujur tubuh, tetap saja jalan setapak menuju tenda atau kampung Paduraksa tidak ditemukan. Kami untuk ke sekian kalinya jatuh terduduk. Seluruh badan kotor oleh miang pohon, baju basah oleh peluh. Can dan Munjib duduk beradu punggung, lemas. Kehilangan selera untuk bertengkar. Aku bersandar di salah-satu pohon. Mendesah cemas. Lihatlah, hutan mulai gelap. Matahari hampir tumbang. Urusan akan serius sekali jika malam sempurna turun. Kami tidak tahu apa yang ada di sekitar hutan. Bukan soal beruang yang banyak berkeliaran di hutan, tapi bisa jadi kaki kami tidak sengaja terperosok ke dalam jurang. Itu berbahaya sekali.
Suara jangkrik dan serangga malam mulai berderik.
“Jangan-jangan kita tidak bisa pulang lagi.” Munjib berkata tertahan.
“Nanti juga mereka mencari kita.” Can berusaha tetap yakin.
Masalahnya, tentara dan orang-orang di bumi perkemahan tidak tahu kemana kami pergi. Boleh jadi mereka menduga kami hanya nakal menumpang truk loreng pulang ke kampung Padang. Pencarian paling cepat baru dimulai esok pagi atau malah dua-tiga hari lagi, sedangkan masalah kami ada di depan mata, melewati malam di tengah rimba dengan seluruh isinya. 
Suara lolongan binatang malam terdengar dari kejauhan. Entah itu lolongan hewan apa. Can dan Munjib terloncat dari duduknya. Kami bertiga saling pandang, merinding. 
“Kita harus segera keluar dari sini.” Aku menelan ludah.
“Tapi ke arah mana?” Munjib berseru panik.
Kunang-kunang mulai menari di sekitar kami.
Aku mengusap rambut berkali-kali. Ayolah, bagaimana caranya kami tahu jalan keluar dari hutan ini. Tidak mungkin kami hanya duduk di sini saja menunggu besok. Berbahaya sekali.
Kunang-kunang semakin banyak terbang.
Can tiba-tiba berteriak kencang sekali. “OOOOIIII!!!” membuatku kaget. Satu kali. “OOIII!” Dua kali. “OOOIIII!!!” Terus berteriak-teriak memanggil. 
“Apa yang kau lakukan?” Munjib menyikut bahunya.
“Meminta pertolongan? Siapa tahu ada yang mendengar?”
“Bumi perkemahan itu ber-pal-pal jauhnya dari kita. Tidak akan ada yang mendengar. Kau hanya akan membuat beruang yang datang. Atau malah nenek penunggu hutan ini.” Munjib ber-hsss menyuruhnya diam. 
Can mengangkat bahu, memasang ekspresi wajah, apa salahnya dicoba?
Kunang-kunang semakin banyak terbang.
Oi? Aku segera menepuk dahi. Urusan ini mudah sekali, bukan? Wajahku langsung cerah. Menghiraukan Can dan Munjib yang masih sibuk berdebat soal teriakan, aku loncat mendekati pohon terdekat. Soal memanjat, tidak ada yang mengalahkanku. Gerakan tangan dan kakiku tangkas. Munjib dan Can yang menyadari kalau aku telah memanjat salah-satu pohon bertanya panik, “Kenapa? Ada beruang?” Bergegas hendak ikut memanjat.
“Kalian tunggu saja di bawah.” Aku berseru dari ketinggian tiga meter, terus naik. Berayun dari satu dahan ke dahan lain. 
Seekor kunang-kunang melintas di depanku. Aku tersenyum, konsentrasi penuh dengan pegangan tangan. Semua terlihat gelap, salah berpegangan fatal akibatnya. Setengah menit berlalu, aku sudah hampir di puncak pohon. Delapan meter tingginya. Lantas kepalaku menyeruak di balik dedaunan.
Itu dia! Aku tertawa lebar. Tidak seperti tadi siang saat memanjat pohon mencari arah yang terlihat hanya hijau hutan, lihatlah, sekarang nun jauh di sana, mungkin sekitar enam-tujuh pal jaraknya, dari balik pucuk pepohonan, seperti mercu suar, cahaya itu menyeruak ke langit. Itu bumi perkemahan dengan belasan lampu terang-benderangnya. Aku tahu ke mana arah kami sekarang. Menghela nafas lega, memutar kepala ke kanan. Lihatlah, di sisi satunya, kerlap-kerlip kampung Paduraksa juga terlihat. Tentara zeni pastilah memasang lebih banyak lagi lampu di kampung itu. 
Dari ketinggian ini, aku baru tahu, meski jalan yang dibangun antara bumi perkemahan dengan kampung Paduraksa panjangnya hampir sepuluh pal, tetapi sebenarnya jika memotong langsung lewat hutan tempat kami tersesat sekarang, jaraknya tinggal separuhnya. Jalan yang dibangun jadi lebih panjang karena berkelok-kelok mengikuti jalan setapak lama yang melewati kebun-kebun penduduk. Jika memotong lewat hutan, ternyata dekat sekali. 
Aku beranjak turun dari pohon.
Dengan situasi normal, kembali ke bumi perkemahan hanya membutuhkan waktu dua-tiga jam. Tetapi kami berjalan dalam situasi tidak normal. Tubuh letih, semua terlihat gelap, sering tersangkut tunggul, jatuh di atas belukar. Setelah lima jam memaksakan tenaga terakhir, kami akhirnya tiba di bumi perkemahan. Berjalan gontai menuju tenda. Mengabaikan final lomba pantun di panggung serta penonton yang duduk ramai menonton. 
“Kalian dari mana saja?” Pak Bin melotot, menyambut di depan tenda. “Oi, lihat! Teman-teman kalian terpaksa makan seadanya sepanjang siang dan malam setelah bekerja keras. Sementara tukang masaknya hanya asyik bermain-main di luar sana.”
Kami tidak menjawab, langsung terkapar di dalam tenda. Kelelahan.

0 komentar:

Posting Komentar