Senin, 04 Desember 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 23. MENGINTIP PUTRI MANDI
------------------------------------------------
Musim kemarau kembali tiba. 
Terik matahari membakar ubun-ubun disertai debu beterbangan menjadi pemandangan lumrah. Ini musim kemarau kesekian kalinya. Membuatku dan Kak Pukat duduk malas-malasan di depan rumah, menatap aspal jalanan yang memantulkan cahaya, seperti ada tumpahan minyak di atasnya. Menggaruk rambut menunggu tidak sabaran Mang Unus.
Tere Liye : Burlian

Sesuai janji, Mang Unus hari ini akan mengajak kami menangkap burung di sungai hutan. Selalu menyenangkan bertualang ke dalam hutan bersama Mang Unus. Dia selalu mengajarkan hal-hal baru yang menakjubkan. Misalnya, meminum air segar dari juntaian akar. Seperti akar pohon beringin, tapi bedanya, jika kalian tebas, maka seperti keran yang terlepas tutupnya, air segar mengucur deras. Aku tidak tahu nama pohon dengan akar sehebat itu. Mang Unus juga mengajarkan nama-nama tumbuhan liar, mana yang buahnya aman dan bisa dimakan, mana yang beracun dan bisa membuat mulut bengkak selama seminggu. 
“Bapak tadi kemana, Mak?” Aku bertanya, memecah senyap.
“Ke rumah Kak Bujuk, kepala kampung.” Mamak yang sedang menganyam keranjang rotan menjawab tanpa mengangkat kepala.
Aku ber-oh pendek, mengangguk. Kembali menatap jalanan.
“Mamang kau jadi datang siang ini?” Mamak yang kali ini memecah hening.
“Awas saja kalau tidak jadi.” Aku menjawab lugas. Membuat Mamak tertawa sebentar, menghentikan gerakan tangannya, teringat urusan sepeda hadiah khatam mengaji dulu. Benar, sebaiknya jangan pernah melanggar janji dengan Burlian, panjang urusannya.
“Mamang kau itu lagi sibuk-sibuknya… kau tahu sendiri, dia ikut jadi pemborong gedung sekolah. Mana sempat menemani kau pergi ke hutan.”
Aku tidak menjawab kalimat Mamak, kembali menatap lamat-lamat jalanan. Aku sedang memikirkan banyak hal. Membiarkan Kak Pukat di sebelahku mengecek peralatan menangkap burung. Hari-hari terakhir rasanya berjalan cepat sekali.
Kejadian itu sudah lewat tiga bulan lalu. 
Meski pekerjaan pembangunan gedung sudah dilakukan, puing-puing bangunan lama sudah disingkirkan, setiap kali datang ke sekolah, aku masih tetap bisa membayangkan dengan utuh semua sudut kelas kami. Kursi Juni dan Juli, patung Garuda Pancasila yang diapit gambar presiden dan wakil presiden, papan tulis hitam, tumpukan kapur, bercak hitam di langit-langit kelas, retak-retak kecil di dinding. Menghela nafas, mungkin butuh waktu lebih lama lagi untuk menghapus semua kenangan. 
Dua hari setelah kejadian, Pak Bin dengan bantuan tentara koramil mendirikan tenda-tenda darurat di halaman sekolah. Di sanalah proses belajar dilanjutkan. Ada empat tenda loreng terbuka, lengkap dengan kursi dan meja barunya. Aneh sekali rasanya belajar sambil menatap bekas reruntuhan kelas lama kami. Hari pertama sekolah, Pak Bin malah lebih banyak menghela nafas panjang dan melamun. Memukul lonceng lebih cepat dari jadwal. Lonceng itu ditemukan di sela-sela reruntuhan, karena terbuat dari baja, tidak rusak sedikit pun, dengan segera bisa digantungkan di salah satu pojok tenda darurat.
Wak Yati dulu benar. Nooit verloren, Sang Waktu tidak pernah kalah. Seberat apapun beban yang mengganduli kaki, waktu terus berlalu. Minggu-minggu terlewati, ujian Cawu dua harus dilakukan, kami mulai terbenam dengan kertas-kertas ulangan. Mengerjakan soal Matematika bersamaan gerimis penghujung musim hujan. Menjawab soal Bahasa Indonesia bersamaan dengan datangnya alat berat dan truk untuk memindahkan reruntuhan sekolahan. Menjawab soal Ilmu Pengetahuan Sosial bersamaan dengan kunjungan-kunjungan orang yang kami tidak kenal. Membawa denah-denah dan gambar-gambar. Mengerjakan soal Ilmu Pengetahuan Alam bersama datangnya truk pasir, batu koral dan batu bata. Menumpuk tinggi. Di sebelahnya papan-papan kayu, besi-besi panjang bahan pondasi juga tersusun rapi. 
Pekerjaan pembangunan gedung sekolah telah dimulai, dan Mang Unus menjadi salah-satu kontraktor lokalnya.
Urusan pemilihan kepala kampung itu tertunda sebentar. Dan saat dilaksanakan seminggu setelah kejadian, ‘kotak kosong’ dengan telak mengalahkan ‘gambar jagung’. Di tengah semua rasa sedih itu, menyebalkan sekali melihat Haji Sohar tetap semangat berkampanye. Memaksakan diri agar pemilihan segera dilaksanakan. Seluruh warga yang sedang bersedih akhirnya kompak bersatu. Melipat wajah-wajah saling curiga, bisik-bisik penuh intrik. Mereka tidak peduli lagi dengan sumpal uang. Jadi gampang diprediksi hasilnya. 
Meski seluruh kampung puas dengan hasil itu, Bapak memutuskan segera mengumpulkan seluruh warga. Mengajak mereka bicara.
“Sesuai peraturan, sebulan sejak hari ini, pemilihan ulang harus dilakukan. Aku tahu kalian tidak mau dipimpin Sohar, tapi akan sangat menyebalkan jika tetap tidak ada di antara kalian yang mencalonkan diri. Kita tidak mungkin mengulang pemilihan dengan calon tunggal, apa kata orang-orang luar kampung kalau sampai tahu ‘kotak kosong’ menang dua kali. Oi, itu benar-benar logika paling aneh. Kalian tidak mau memilih Sohar, tapi kalian juga tidak mau dipilih. Jadi segeralah pilih kandidat yang tepat di antara kalian.”
Tidak hanya sekali Bapak mengumpulkan mereka, tiga kali tepatnya, dan barulah salah seorang anak muda, Kak Bujuk, yang usianya baru dua puluh, masih terhitung saudara Bapak –sebenarnya di seluruh kampung satu sama lain masih terhitung saudara, berani mencalonkan diri. Dengan demikian, jalan ceritanya sudah bisa ditebak. Meski Haji Sohar untuk kedua kalinya gencar membagibagikan beras, amplop uang, menjanjikan ini-itu, hasil pemilihan sebulan kemudian bagai ayam hitam bertali hitam terbang di siang hari. Kak Bujuk resmi sudah menjadi kepala desa termuda sepanjang sejarah kampung kami. 
Rumah besar milik Haji Sohar terkunci rapat. Menurut bisik-bisik tetangga, pemiliknya kembali ke kota. Urusan ini mudah bagi Haji Sohar, tapi tidak untuk Wak Lihan yang tidak bisa meninggalkan kampung begitu saja. Mungkin butuh lebih lama dibandingkan membangun gedung baru sekolah hingga Wak Lihan bisa nyaman kembali bergaul di tengah warga. Beruntung, Bapak mengundang Wak Lihan ikut hadir di acara syukuran atas selamatnya aku dari gedung sekolah roboh. “Kau tidak perlu malu, Lihan. Terus-terang saja, aku juga mencoblos Sohar, bukan kotak kosong.” Tertawa, “Ah, tapi setelah itu Pak Syahdan jelas memilih Bujuk, bukan?” Salah seorang menimpali. Bapak melambaikan tangan, menyuruh tetangga itu diam.
Suara motor terdengar meraung di jalanan. 
Terputus dari lamunan, mataku langsung membulat, itu pasti motor Mang Unus. Suaranya khas sekali. Benar saja, beberapa detik berlalu, motor trail tua warna kuning itu sudah merapat di pagar rumah. Asap knalpotnya mengepul. Mang Unus lompat mendekat, melepas kaca-mata hitamnya, nyengir berkata. “Kalian menunggu siapa, Burlian, Pukat?”
Kami sudah tertawa senang.
***
Mang Unus memastikan semua peralatan menangkap burung lengkap dibawa sebelum berangkat. Senapan angin kebanggannya tergantung di pundak. Tetapi kali ini kami tidak akan menembak burung-burung itu, kami menggunakan cara yang lebih eksotis, menggunakan getah karet.
Sebelum berangkat, Ayuk Eli yang sedang pulang dari SMP-nya di kota kabupaten protes keras, “Mang Unus tidak boleh melakukan itu. Mengajak Pukat dan Burlian merusak hutan. Burung-burung itu harusnya hidup bebas di hutan sana.” Yang diprotes hanya menyeringai, “Kalau begitu, orang-orang yang menyembelih ayam juga merusak lingkungan hidup, Eli. Harusnya ayam-ayam itu dibiarkan bebas berkeliaran di halaman.”
Aku dan Kak Pukat menahan tawa melihat wajah Ayuk Eli yang menggelembung. Sejak tadi pagi dia protes melihat kami menyiapkan peralatan. 
“Burlian, Pukat, ayo berangkat!” Mang Unus melangkah ke pagar rumah. Menaiki motornya, gagah menghidupkan starter motor trail. 
Aku dan Kak Pukat sudah rapat duduk di jok belakang. Bubu, yang biasanya untuk menangkap ikan, tersampir di pundak Kak Pukat. Itu untuk sangkar sementara burung-burung. Mang Unus menginjak gas dalam-dalam. Motor trail berwarna kuning itu melesat bertenaga.
Jadi begini aturan mainnya. Kami akan menangkap ‘burung mandi’. 
Musim kemarau, matahari bersinar terik membuat burung-burung di hutan gerah. Setiap petang, saat matahari mulai beranjak turun di ufuk barat sana, puluhan burung akan terbang ke dasar hutan, mendekati sungai-sungai kecil yang banyak terdapat di dalam rimba.
Sungai itu lebarnya paling dua meter, di beberapa bagian tertentu dalamnya hanya tiga senti. Air mengalir di sela-sela koral batu. Jernih dan dingin. Menggoda burung untuk mandi di atasnya. Mereka hinggap di atas bebatuan dasar sungai, kakinya terbenam satu senti, lantas mulai memasukkan paruh ke dalam air, mengibaskan sayap membuat air berkecipak, tidak beda seperti kami sedang mandi di sungai belakang kampung. Karena itulah kami menyebutnya dengan istilah ‘burung mandi’.
Mang Unus hafal sungai mana yang paling banyak pengunjung burungnya. Dengan motor trail itu kami menuju perlintasan sungai itu dengan jalan raya, sekitar lima pal dari kampung. Mang Unus memarkir motor trail di tepi hutan, lantas kami bertiga berjalan kaki beriringan mulai masuk ke dalam hutan, melangkah di atas bebatuan sungai, melewati rimbun pohon-pohon yang menjuntai di kiri-kanan sungai kecil. 
Setelah berjalan kira-kira satu pal menelusuri sungai, Mang Unus menghentikan langkah kaki, melihat pergelangan tangannya. Masih belum terlalu sore, baru pukul empat, waktu yang tepat memasang perangkap. Menyuruh aku dan Kak Pudin menurunkan peralatan. Aku mengeluarkan bilah-bilah bambu sebesar kelingking dengan panjang enam-tujuh jengkal. Kak Pudin cekatan mengeluarkan batok kelapa, membuka bungkus plastiknya. Batok itu penuh dengan lem dari getah karet yang dimasak. Warnanya hitam, lengket seperti dodol yang baru diangkat dari wajan. 
Mang Unus membantu melumeri bilang-bilah bambu dengan lem getah karet. Menyisakan sejengkal ujung-ujungnya bersih dari adonan hitam getah karet agar bisa dipegang. Menyuruh aku memegangnya. Dia beranjak menebas salah-satu dahan pohon, membuat tonggak kecil yang ditancapkan ke bebatuan sungai untuk meletakkan bilah bambu yang sudah dilumeri lem getah karet. Jebakan itu selesai. Bilah bambu itu melintang diagonal, beberapa senti di atas permukaan air sungai. Burung-burung yang mandi di sekitarnya tidak akan menyangka kalau itu bukan batang kayu biasa. Mereka biasanya cuek malah hinggap di atasnya. Atau tidak sengaja sayapnya tertempel ke bilah bambu saat asyik bercengkerama dengan air.
Selesai satu jebakan, kami melanjutkan menelusuri sungai. Setiap menemukan bagian sungai yang dangkal, berbatu dan cocok untuk pemandian burung, kami meletakkan satu-dua bilah bambu melintang. Adalah sekitar satu kilometer kami terus ber-hulu-an. Bilah bambu yang kami bawa habis, juga lem getah karet di batok kelapa. Seluruh jebakan sudah terpasang. Mang Unus melihat pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul lima sore. Cahaya matahari petang menerobos dedaunan. Saatnya burun-burung itu mulai turun ke sungai. Berceloteh sukaria. Jebakan lem getah karet itu mulai bekerja.
“Kalian mau melihat ‘putri mandi’?”
Aku dan Kak Pukat menatap Mang Unus tidak mengerti.
“Burung mandi?” Aku bertanya balik, membenarkan. Kalau melihat burung mandi kami sudah biasa. Nanti juga saat berhiliran kembali mengambil bilah-bilah bambu itu, akan ada belasan burung yang sudah menempel tidak bisa bergerak.
“Bukan burung mandi,” Mang Unus tertawa, “Tapi, putri mandi.”
Mang Unus memperbaiki posisi senapan angin di punggungnya. Memasukkan pisau besar ke dalam sarungnya. “Ayo, kita punya waktu setengah jam sebelum berhiliran mengecek bilah bambu. Kalian tidak ingin ketinggalan, bukan?”
Aku dan Kak Pukat menggaruk rambut, mengikuti langkah Mang Unus.
Semakin ke hulu, hutan yang melingkupi sungai semakin lebat, air sungai juga semakin dalam. Daun-daun besar dan dahan-dahan menjuntai, kami harus menunduk melewatinya. Pohon-pohon juga semakin rapat. Ada beberapa ikan terlihat melesat di dalam air sungai juga udang dan kepiting kecil. Buah dari pohon liar berjatuhan sepanjang bibir sungai. Aku tidak tahu itu buah apa, kulitnya seperti nangka, merekah merah bagian dalamnya.
Setelah berjalan satu pal lagi, kami menemukan pertigaan sungai. Mang Unus mengambil yang kiri. Menatap pohon-pohon besar, akar-akar panjang menjuntai dan lebih banyak lagi bekas buah-buah merah yang berserakan seperti habis dimakan binatang. Demi menatap hamparan buah merah itu, aku teringat sesuatu, bergegas mendekati Mang Unus, mencengkeram lengannya, mendecit bertanya, “Kita tidak ke ‘sungai larangan’, bukan?”
Langkah kaki Mang Unus terhenti, dia menoleh, mengangguk.
Astaga, aku dan Kak Pukat reflek langsung mundur satu langkah. Menatap wajah Mang Unus, memastikan kalau dia tidak sedang bergurau. Astaga, bukankah itu berbahaya? Kami memang suka melanggar pantangan, termasuk melanggar pantangan ‘lubuk larangan’ dulu. Namu untuk yang satu ini, mendengar desas-desus ceritanya saja sudah amat menyeramkan. Apalagi lihatlah, kami masih berbilang ratusan meter lagi dari tempat itu, tapi suasana hutan sudah berbeda. Lebih hening, lebih takjim dan lebih misterius. 
Mang Unus tertawa kecil, “Ayo, waktu kita terbatas. Nanti putri itu terlanjur pergi.” Terus melangkah.
Aku memukul jidat, bagaimana ini urusannya? Bersitatap dengan Kak Pudin, punggung Mang Unus hilang di kelokan sungai. Kami berdua langsung terlonjak kaget, bergegas menyusul, takut benar tertinggal. 
Bagaimana mungkin Mang Unus tidak tahu legenda sungai larangan? Menurut cerita dari orang-orang yang pernah nekad ke sungai larangan, jika kita terus berhuluan menelusuri anak cabang sungai, maka akan ditemukan bagian sungai yang masuk ke bawah tanah, seperti goa. Aliran air hilang di dalamnya. Dan konon baru muncul lagi berpuluh-puluh pal di balik bukit barisan sana.
Bagian hutan itu terlarang. Bagian sungai itu apalagi, sudah jelas sekali dari namanya. Menurut cerita, di goa itu tinggal ‘orang-orang bunian’. Orang-orang kecil setinggi pinggang laki-laki dewasa. Berpakaian seadanya dan berwajah aneh. Mereka tidak suka diganggu, dan jangan coba-coba diganggu. Konon sudah banyak orang yang berani ke sana, pulangnya jatuh sakit berkepanjangan, lantas meninggal tersiksa. Bahkan, bertahun-tahun silam, ada beberapa anak yang melanggar tabu, tidak pernah pulang lagi dari sana. Hilang selamanya, menjelma menjadi orang bunian.
Aku merapat di belakang Mang Unus. Kak Pukat sejak tadi awas melihat sekitar. Mang Unus terlihat santai terus melangkah. Kedalaman sungai sudah sepaha membuat celana kami basah. Sebenarnya jika kami tidak sedang ketakutan, perjalanan itu menakjubkan. Air sungai terlihat mempesona. Jernih memperlihatkan dasarnya yang berbatu warna-warni. Belum pernah kami melihat batu koral sungai seindah ini. 
Sssstt… tiba-tiba Mang Unus memberi isyarat agar kami diam. Aku menggaruk kepala, dari tadi juga kami sudah diam tidak bercakap sepatah pun. Mang Unus melangkah pelan-pelan sekali. Aku dan Kak Pukat ikut berusaha menghilangkan suara kecipak kaki melewati air. Kalau begini kami sudah dekat sekali dengan ‘putri mandi’ itu.
Mang Unus menyibak dedaunan yang menutupu sungai, menyuruh kami mengintip ke dapan. Kami yang sejak tadi membayangkan akan melihat orang-orang pendek, berambut panjang, berwajah aneh sedang mandi atau sedang berjaga di depan goa mereka tersedak kecil. Mang Unus ber-ssst menyuruh menutup mulut.
Oi, kami benar-benar terlalu percaya cerita itu. 
Tidak ada mahkluk pendek dengan tombak-tombak panjangnya, tidak ada juga mahkluk pendek dengan mulut komat-kamit membaca mantera jahat, yang ada justru tiga ekor rusa sedang meminum air sungai. Dua induk rusa dengan seekor anaknya. Aku mengusap mata, beranjak lebih dekat. Pemandangan ini sungguh spesial. Lihatlah, dua induk rusa itu berkilau ditimpa cahaya senja yang menerabas pepohonan rapat. Tanduk pejantannya yang bertingkat terlihat anggun mempesona. Mulut mereka berdecak pelan meneguk segarnya air sungai, tidak tahu kalau kami mengintip dari jarak dekat. Anak rusa berlompatan riang, kakinya terperosok ke dalam sungai. Melenguh pelan, riang kembali melompat ke bibir sungai.
Aku dan Kak Pukat menahan nafas. Mang Unus tersenyum.
Adalah lima belas menit kami menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Melihat dengan mata kepala sendiri, legenda ‘putri mandi’.
“Hanya sebagian orang-tua kampung yang tahu kalau ini habitat mereka, Burlian.” Mang Unus memimpin perjalanan kembali, berhiliran ke jebakan bilah-bilah bambu. “Dan mereka memutuskan untuk melindunginya dari remaja-remaja tanggung yang serba ingin tahu, orang dewasa yang nekad, atau pemburu liar dengan menceritakan kisah-kisah seram itu.”
“Itu kebijakan alam yang paling asli, Burlian, Pukat. Meski caranya sederhana, sejak aku dan Bapak kau seumuran kalian melihat pertama-kalinya, hingga hari ini rusa-rusa hutan itu tetap lestari. Sudah lebih empat puluh tahun. Sejauh ini, cerita tentang ‘sungai larangan’ efektif melindunginya. Entahlah besok-lusa, siapa yang tahu. Ah, semakin lama, semakin banyak saja pemburu dari kota yang masuk hutan, dan mereka mulai tidak mempan dengan cerita-cerita itu.” Mang Unus menghelas nafas pelan.
“Kalau tempat tadi rahasia, kenapa Mang Unus menunjukkannya pada kami?” Kak Pukat bertanya, mengeluarkan suara setelah setengah jam terakhir hanya diam. 
“Kenapa? Karena aku yakin kalian tidak akan mengganggu rusa-rusa itu. Aku juga yakin, besok-lusa kalian juga tidak akan buncah bercerita ke teman-teman di kelas soal kejadian sore ini. Kalian akan menutup mulut. Menjadi bagian kebijakan tetua kampung.” Mang Unus menatap kami takjim, menyentuh bahu-bahu kami. “Burlian, Pukat, leluhur kita hidup bersisian dengan alam lebih dari ratusan tahun. Mereka hidup dari kasih-sayang hutan yang memberikan segalanya. Maka sudah sepatutnyalah mereka membalas kebaikan itu dengan menjaga hutan dan seluruh isinya.”
“Ayuk Eli yang tadi protes soal menangkap burung-burung itu benar. Kita memang merusak hutan dengan menangkapi burung-burung. Tapi Ayuk Eli lupa sisi terpentingnya, yaitu: kita mengambil seperlunya. Kita menebang se-butuhnya. Kita punya batasan. Jangan pernah mengambil semua rebung tanpa menyisakan tunasnya untuk tumbuh lagi. Jangan pernah menebar racun atau menjulurkan kawat setrum di sungai yang akan membuat telur dan ikan-ikan kecil juga mati, padahal esok-lusa dari merekalah sungai akan terus dipenuhi ikan-ikan. Jangan pernah menebas umbut rotan semuanya, dan sebagainya. Kita selalu berusaha menjaga keseimbangan. Jangan pernah melewati batas, atau hutan tidak lagi bersahabat.”
“Baik, sekarang mari kita lihat bilah-bilah bambu itu. Apakah sudah ada burung-burung terjerat di sana. Bergegas. Sudah hampir gelap. Biar nanti malam kita sudah bisa merasakan burung panggang yang lezat.”
Aku dan Kak Pukat tertawa, berlarian kecil terus berhiliran. Sebenarnya kami tidak terlalu mengerti tentang keseimbangan yang dikatakan Mang Unus. Tetapi kami menyepakati satu hal, cerita mengintip ‘kijang mandi’ ini tidak akan pernah kami bocorkan. Apa yang tadi Mang Unus bilang? Kami telah menjadi bagian kebijakan leluhur kampung.
Hebat!
***
Musim kemarau berlalu cepat. Mang Unus semakin sibuk mengurus pembangunan gedung sekolah, hingga tidak sempat lagi menemani kami berpetualang masuk hutan.
Gedung sekolah itu mulai terlihat bentuknya. Sebulan lalu kerangka atap sudah terpasang kokoh. Dan setiap hari kami berangkat ke sekolah, bentuk fisiknya terus sempurna. Hari Senin, genteng-genteng mulai dipasang. Hari Selasa, dinding-dinding mulai dicat, bau catnya tercium hingga tenda-tenda darurat kami. Hari Rabu tegel lantai mulai disusun, dan kami menatap terpesona pojokan gedung. Hei, apakah kami tidak salah lihat, di pojok itu, kami punya kamar mandi yang bagus sekali. Dengan keramik berwarna putih. 
Hari Kamis, pintu dan jendela kelas dipasang. Menyenangkan melihat warna hijau muda-nya. Hari Jum’at rak-rak buku tiba di sekolah bersama meja dan bangku kayu. Kami berbisik-bisik, buat apa rak-rak besar itu? Buat di kelas? Untuk menyimpan apa? Hari Sabtu, jawabannya datang. Satu mobil box menurunkan banyak kardus. Kawan-kawan berlarian mengerubungi kardus-kardus itu, membuat Pak Bin kewalahan mengendalikan mereka. Ada tiga kakak-kakak sukarelawan turun dari mobil kedua. Melepas topi kuning mereka, tertawa memanggil namaku, “BURLIAN! Mana yang namanya Burlian?”
Aku tidak kenal siapa tiga pemuda berseragam ini. Tetapi nampaknya mereka amat mengenali aku, tertawa mengacak rambutku, “Ah, ini dia anak yang selamat dari reruntuhan… kami hadiahkan empat ratus buku perpustakaan untuk sekolah kau. Bapak Menteri menyuruh kami mengurus permintaan kau.” Mataku membulat, astaga? Jadi semua isi kardus ini adalah buku cerita? Munjib sudah lompat merobek salah-satu kardus. Mengeluarkan satu buku yang terletak paling atas dan seketika berteriak nyaring: “MONTE CRISTO!!”
Maka jadwal ulangan kenaikan kelas datang tanpa terasa. 
Sekolah itu selesai seminggu sebelum ulangan, ada acara peresmian oleh pejabat kota. Halaman sekolah ramai, juga hadir kamera-kamera TVRI itu. Aku beberapa kali diajak bicara oleh orang yang tidak kukenal. Ditanyai banyak hal, dan karena aku sedang asyik bersama teman yang lain menikmati gedung sekolah baru kami, pertanyaan-pertanyaan itu kujawab sambil lalu. Aneh, mereka justru tertawa mendengar jawabanku yang asal celetuk.
Ulangan umum tetap dilaksanakan di tenda, meski gedung itu sudah siap. Pak Bin sambil tertawa bilang, “Tidak setiap waktu kita mendapatkan kesempatan ulangan kenaikan kelas di tenda. Ini pengalaman spesial.” Kami tidak membantah, tiga bulan terakhir sudah terbiasa belajar di tenda. Kami tidak tahu kalau Pak Bin punya alasan lain, dia ingin kami lebih berkonsentrasi ke kertas ujian dibandingkan sibuk menciumi aroma cat atau mengomentari kelas baru. Lebih baik bangunan digunakan persis tahun ajaran baru nanti.
Dan kelas lima, masa-masa paling krusial atas masa depan kami terlewati sudah. Dengan banyak kejadian tidak kalah seru dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Tahun depan kami kelas enam.

0 komentar:

Posting Komentar