Kamis, 30 November 2017

Tere Liye : Burlian

BAB 19. SEBERAPA BESAR CINTA MAMAK – 1
---------------------------------------------------------------
Seingatku, Mamak belum pernah semarah sore itu. 
Benar-benar marah, karena hingga malam semakin larut, Mamak sepatah pun tidak menegurku. Gerimis membasuh kampung. Jalanan terlihat lengang, tidak ada orang yang lewat membawa obor bambu pergi ke hutan mencari jangkrik atau sekadar pergi duduk di bale-bale bambu, mengobrol mengisi malam. Sempat ada dua tetangga yang menonton televisi, hanya bertahan sebentar. Mungkin karena acaranya tidak menarik, atau mereka ingin segera memeluk bantal hangat berselimutkan kemul, dua orang itu pulang. Meninggalkan aku sendirian di depan.
Tadi Bapak berseru dari dalam, menyuruhku masuk. 
Tere Liye Burlian

Aku tidak menjawab, hanya duduk di pojokan kursi. Memeluk lutut, menatap lantai, tidak bersuara kecuali dengusan sebal dalam hati, malam ini aku tidak akan masuk ke rumah. 
Setengah jam berlalu, Bapak berseru lagi, menyuruhku masuk, dengan intonasi suara sedikit jengkel.
Aku tetap tidak menjawab, sekarang berusaha tidur di kursi, bergelung. Udara malam mulai dingin menusuk tulang, apalagi perutku lapar. Sore tadi aku juga boikot makan. Peduli amat dengan dingin dan lapar, aku akan tidur di luar malam ini.
Setengah jam berlalu lagi, Bapak sekarang berdiri di depan pintu. Menatapku setengah jengkel setengah putus-asa, berkata tajam, “Kau akan masuk atau tidak, Burlian?”
Aku membenamkan mukaku ke sandaran kursi. 
Bapak menghela nafas panjang, “Terserah kau-lah!” Kembali masuk ke dalam.
Bagus, dengusku dalam hati, biarkan saja aku tidur di luar. Tidak usah pedulikan.
Tadi sore memang rusuh. Aku berteriak-teriak. Melempar buku-buku, membalikkan kursi-kursi, apa saja yang bisa kuraih. “TIDAK MAUUU!!! MAMAK SUDAH JANJIII!!” 
“Iya, tapi mau dibilang apa lagi, Burlian,” Mamak menyambar tanganku, menarik tubuhku agar menatap matanya. “Ayuk Eli butuh semua uang untuk sekolah di kota. Dan tadi, anaknya Wak Lihan yang sakit keras harus dibawa ke rumah sakit, mereka meminjam uang ke kita, apa yang bisa Mamak lakukan? Menolak mereka? Membiarkan si Buyung yang sudah pucat pasi, demam, matanya mendelik tanpa pertolongan.”
“TAPI MAMAK SUDAH JANJI!!!”
“Dengarkan Mamak, Burlian… tolong sekali ini saja dengarkan Mamak… uang untuk membeli sepedamu memang terpakai sekarang, untuk keperluan yang lebih penting. Tapi bukan berarti Mamak tidak jadi membeli sepeda itu. Enam bulan lagi saat panen kopi, Mamak akan belikan… atau saat Wak Lihan bisa mengembalikan uangnya—“
“TIDAK MAU!!! AKU MAU SEKARANG! SEKARANG!” Aku memotong penjelasan Mamak, mengibaskan tangannya lantas berlari ke depan rumah, membanting pintu hingga berdebam.
Maka aku yang masih marah sepanjang sore, hanya duduk menonton teman-teman yang bermain bola di lapangan bekas pabrik karet. Diam membisu saat yang lain mengajak bergabung, mendengus mengabaikan saat yang lain sibuk bergurau, mengolok-olok tampang kusutku. 
Omong kosong! Bukankah Mamak dulu selalu bilang, Burlian, di keluarga kita tidak pernah ada yang mengingkari janji. Kau hingga kapanpun juga tidak akan pernah melanggar janji. Bohong! Cerita-cerita Mamak sebelum tidur soal harga diri dusta. Buktinya, setelah sejak pagi menunggu Mamak pulang dari kota kabupaten, menunggu dengan tidak sabaran, bolak-balik berlari keluar setiap mendengar deru mobil di jalanan, hingga akhirnya Mamak pulang, tidak ada sepeda yang dijanjikan. Tidak ada.
Aku yang terlonjak gembira, ikut berlari berusaha membantu menurunkan barang-barang yang dibeli Mamak, sedikit mendecit saat menyadari ada yang kurang.
“Ergh, sepedanya mana, Mak? Mana?” Bertanya, memastikan siapa tahu tertinggal di mobil angkutan pedesaan itu. Mamak tersenyum kecut menggeleng. 
Aku mulai sesak saat Mamak menjelaskan tidak akan ada sepeda hari ini. Rasa tidak sabarku, rasa cemas saat melihat ada yang kurang, dengan segera berubah menjadi kemarahan. Aku marah berteriak. Enak saja Mamak mengorbankan sepedeku. Tidak boleh. Mamak sudah berjanji sejak bertahun-tahun silam, kalau aku berhasil mengkhatamkan Al Qur’an di Nek Kiba. Bukankah Mamak selalu bilang, “Kau tidak mengaji malam ini, Burlian?” saat aku malas-malasan, “Nanti sepedanya urung Mamak belikan.” Tertawa menggoda.
Dan sekarang? Semua omong-kosong.
Aku bari pulang ke rumah saat adzan maghrib terdengar. Malas mandi di pancuran belakang, malas berangkat shalat di mesjid dan memutuskan menolak makan. Hanya duduk di depan rumah, menonton televisi yang sama sekali tidak kuperhatikan sedang menyiarkan apa. Gerimis mulai turun selepas maghrib, menderas menjelang isya, dan mereda lagi beberapa menit berlalu. Aku tetap duduk di pojokan kursi. Mulai kedinginan saat malam semakin larut. Suara burung hantu terdengar di kejauhan, mungkin bosan menunggu hujan reda.
Pintu terdengar berderit lagi, aku melirik sekilas, Bapak melangkah keluar. Helaan nafasnya terdengar. Aku segera kembali menghadapkan wajah ke sandaran kursi. Bersiap tidak peduli dengan apa yang Bapak katakan atau lakukan, memunggungi Bapak yang duduk di pinggiran kursi, lembut menyentuh pundakku.
“Kau akan tidur di luar malam ini?” Bapak bertanya pelan.
Aku mendengus, iya.
Bapak terdiam sebentar, “Kalau begitu Bapak temani… rasa-rasanya sudah cukup lama Bapak tidak tidur di luar seperti ini… mungkin seru juga tidur di luar bersama kau.”
Aku hanya menggerakkan kaki tanda tidak peduli. 
Lima belas menit berlalu, lama-lama sesak juga menghadapkan wajah ke sandaran kursi. Bertahan beberapa menit lagi sebelum akhirnya membalik badan, menghirup udara segar.
Bapak tersenyum melihat perangaiku, “Kau masih marah pada Mamakmu?”
Aku menjawab dengan ekspresi muak, tentu saja.
“Mamak tidak punya pilihan, Burlian—”
“Mamak lebih sayang putranya Wak Lihan.” Aku kasar memotong Bapak.
Bapak tidak segera menjawab. Hujan menderas lagi di luar.
“Itu darurat. Kita tidak bisa mengalahkan keperluan darurat.”
“Kalau begitu Ayuk Eli saja yang batal mendaftar sekolah.” Jawabku sirik, sama sekali tidak berpikir kalau telah mengatakan hal yang sangat tidak logis. Tetapi Bapak tidak menjawab kalimatku, diam sambil santai meluruskan kaki. 
“Kau pernah diajak Bakwo Dar panen madu di pohon besar dekat kebun kopi kita?” 
Aku menoleh ke Bapak, tidak mengerti, jelas-jelas aku lagi sebal, kenapa tiba-tiba Bapak mengajak bicara tentang panen madu segala. Lagipula saat panen madu itu bukankah Bapak ikut serta membantu mengasapi sarang-sarang lebah. Jadi tidak perlu bertanya, Bapak sudah tahu kalau aku ikut.
“Pernah, bukan?” Bapak tersenyum.
Aku mengangguk. Panen madu itu selalu seru. Bakwo Dar, Bapak, Kak Pukat dan Can semangat ikut pergi. Sarang lebah itu terletak di pohon besar, di dahan-dahannya yang kokoh dan tinggi. Ada belasan sarang lebah di sana. 
Bakwo Dar menyiapkan tangga tali untuk memudahkan memanjat pohon itu. Membakar sabut kelapa yang dibungkus dengan rumput basah. Asap tebal mengepul mengusir lebah dari sarangnya, lantas salah Bakwo memanjat pohon itu, mengambil salah-satu sarang lebahnya. Kemudian madu di dalamnya ditiriskan ke ember. Banyak sekali madu yang mengucur, ember itu nyaris melimpah tidak kuat menampung madu yang didapat. 
Kata Bakwo Dar, secara alamiah lebah-lebah yang terusir akan membuat sarang baru, sepanjang kami tidak serakah mengambil sarang-sarang itu sekaligus, lebah-lebah akan terus bersarang. Itu artinya madu-madu akan terus tersedia. 
Bagaimana mungkin aku lupa pengalaman hebat tersebut?
“Kau mau mendengar sebuah cerita?” Bapak menoleh kepadaku.
Aku tidak menjawab, hanya bangkit mengambil posisi duduk, bersiap mendengarkan. Percakapan soal panen madu tadi sedikit banyak mengurangi rasa sebalku. Apalagi setelah hampir tengah malam, sendirian duduk menahan dingin dan lapar, mungkin sudah saatnya aku menurunkan kadar protes soal sepeda.
“Dulu, mungkin sekitar enam-tujuh tahun lalu, di dekat pohon tempat lebah itu bersarang pernah ada kejadian yang mengharukan.” Bapak mulai bercerita, “Kita sebut saja judul cerita ini dengan: ‘pengorbanan seorang ibu’.”
Hujan semakin deras menerpa atap seng. 
“Suatu hari, di kebun yang tanaman kopinya masih kecil-kecil, saat seorang ibu sedang sibuk membersihkan rumput dan ilalang, tiba-tiba terdengar suara berderak patah. Ibu itu sontak menoleh ke arah suara. Ternyata suara itu berasal dari salah-satu dahan pohon besar tempat lebah bersarang. Dahan itu patah dimakan rayap, dan betapa tidak beruntungnya, di dahan itu ada sarang lebahnya. Sarang itu hancur berkeping-keping menghantam tanah, dan lebah di dalamnya yang kaget, panik, marah terbang berdengung. Mungkin ada ribuan lebah dari sarang hancur itu. Mendengar suaranya saja sudah mengerikan.” Bapak diam sebentar, lembut merapikan kerah bajuku. 
“Kejadian itu berlangsung cepat sekali, saat ibu itu tersadar apa yang telah terjadi, dia berteriak histeris mencari tiga anaknya yang kebetulan hari itu ikut ke kebun. Dua anaknya yang berusia lima dan delapan tahun kebetulan sedang bermain di dangau, ibu itu langsung berseru menyuruh anaknya bersembunyi di dalam dangau, menutup seluruh jendela rapat-rapat. Tapi, hei, di mana satu lagi anaknya yang baru berumur tiga tahun? Si ibu berseru-seru panik.
“Suara lebah yang marah terdengar memenuhi langit-langit kebun. Ribuan lebah itu menderu mencari sasaran apa saja untuk melampiaskan amarah mereka, dan celaka sekali jika ada hewan atau manusia yang kebetulan berada di sekitarnya. Si Ibu ini tahu persis betapa bahayanya posisi ia sekarang, tapi apa yang bisa ia lakukan, anak kecilnya yang baru berusia tiga tahun berkeliaran di kebun entah sedang jahil bermain apa. Apalah jadinya jika lebah itu menemukan dan menyerang anaknya lebih dahulu. Maka tanpa peduli ada ribuan lebah yang terbang di atas kepala, ia panik berlarian di sekitar kebun mencari si kecil.
“Kau tahu Burlian, demi melihat ada sasaran bergerak, lebah itu bagai formasi pesawat tempur menyerbu ke arah kebun. Semua terjadi begitu cepat. Si ibu beberapa detik kemudian berhasil menemukan anaknya yang sedang asyik menyeret-nyeret sengkuit pemotong rumput dan ilalang, si Ibu berteriak-teriak, berlari secepat yang ia bisa, berusaha mengambil anaknya, membawa ke dangau, berlindung dari serbuan lebah marah.
“Tapi waktunya tidak cukup lagi, lebah itu sudah terlalu dekat… tidak ada pilihan, si ibu loncat memeluk anaknya, merebahkannya ke tanah, berbisik ke telinga anaknya, ‘Merunduk! Merunduk sayang, jangan bergerak!” lantas membiarkan tubuhnya menjadi tameng. Berusaha setenang mungkin tanpa gerakan sedikit apapun saat ribuan lebah itu bagai roket, melesat semakin dekat.” Bapak menghela nafas, aku menelan ludah.
Suara hujan terdengar semakin deras menimpa atap seng.
“Meski si ibu sudah berusaha untuk diam bagai batu, tetap saja belasan lebah menyengatnya. Ia menggigit bibir menahan rasa sakit tidak terkira. Ingin rasanya ia berteriak mengaduh, sayangnya itu tidak bisa dilakukan. Karena bukan hanya akan membuat lebah itu menyengat semakin banyak, tapi juga membahayakan si kecil yang didekapnya. 
“Beberapa menit setelah lebah itu akhirnya pergi, setelah situasi kembali aman, si ibu jatuh pingsan dengan memeluk erat anaknya. Beruntung ada tetangga kebun yang mendengar teriakan si ibu yang menyuruh anak-anaknya bersembunyi… si Ibu ditandu pulang dengan seluruh punggung lebam bengkak oleh sengatan lebah, lehernya, kepalanya… kau tahu, Burlian, berminggu lamanya ibu tersebut hanya bisa tidur telentang, dan berbulan-bulan ia tidak bisa menoleh bebas, karena lehernya masih sakit digerakkan.”
Aku tahu rasa sakit yang diceritakan Bapak. Hidungku pernah disengat lebah, bengkaknya baru hilang setelah beberapa hari, jadi aku bisa membayangkan betapa menderitanya ibu itu disengat puluhan lebah. 
Bapak sekarang menatapku lamat-lamat, lembut mengelus rambutku.
“Tahukah kau, Burlian… kejadian itu di kebun kita.”
Mataku segera membulat.
“Dua orang anak itu adalah Kak Pukat dan Ayuk Eli…. Anak yang dilindungi erat-erat, yang masih berusia tiga tahun itu adalah kau…. Sedangkan ibu yang memberikan seluruh tubuhnya sebagai tameng sengatan ribuan lebah itu adalah Mamak kau.”
Aku langsung tercekat.
“Jangan pernah membenci Mamak kau, Burlian… jangan pernah.. karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Kak Pukat dan Ayuk Eli, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.”
Mataku tiba-tiba terasa panas… berair… lantas menangis terisak.
Hujan turun semakin deras.
Lima menit kemudian aku masuk ke rumah. Protes sepanjang hari soal sepeda itu berakhir. Aku melangkah ke kamar Mamak. Menatap wajah Mamak yang sudah terlelap. Wajah yang amat lelah mengendalikan emosinya saat mengatasi perangai burukku tadi siang. 
Aku memeluk leher Mamak erat sekali.

0 komentar:

Posting Komentar