Sabtu, 30 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 6 : Menerobos Imigrasi Bandara
-------------------------------------------------
MOBIL ambulans yang kukemudikan menerobos gerbang halaman rumah Om Liem, sirenenya meraung, belum cukup, aku menambahinya dengan menekan klakson berkali-kali dan berteriak, meninggalkan belasan polisi yang memaki-maki karena mereka terpaksa loncat menghindar. Aku membanting kemudi, berbelok menaiki fly over, lampu ambulans segera hilang di jalanan lengang.
Rencana menukar Om Liem dengan Tante sejauh ini berhasil. Tadi, nyaris saja ketahuan. Selimut Om Liem tersingkap, memperlihatkan lutut hingga sandal. Salah satu polisi yang curiga menahan, hendak memeriksa. Aku segera membentaknya, mencoba mengalihkan perhatian dengan menceracau situasi darurat. Polisi itu menelan ludah, kehilangan fokus beberapa detik---bahkan satu detik amat berharga untuk rencana kabur ini.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Ranjang darurat terburu-buru dinaikkan di belakang ambulans. Empat perawat dan dokter ikut naik. Aku menyuruh sopir ambulans menyingkir, lalu mengambil alih kemudi. Mobil segera melesat, pergi secepat mungkin dari rumah Om Liem. Dua menit, aku kembali membanting kemudi. Ambulans meliuk menuju pintu tol. Waktuku sempit. Paling lama lima belas menit petugas polisi tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Sekali mereka tahu, proses pengejaran dimulai.
Aku teringat sesuatu, mengambil telepon genggam dari saku.
“Angkatlah, ayo angkat,” aku mendesis, tidak sabaran untuk dua hal: nada panggil dan dua truk yang berjalan di depanku. Lupakan safety driving. Satu tanganku memegang setir, satu tangan lain memegang telepon genggam.
“Maggie, maaf membangunkanmu malam-malam,” aku langsung berseru, sambil menekan klakson panjang. Dua truk di depanku santai sekali di jalur cepat, apa mereka tidak mendengar sireneku.
“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, Maggie. Situasi darurat. Aku tahu, tentu saja aku tahu sekarang pukul dua dini hari, dan aku tidak sedang mabuk. Kau segera berkemas, aku butuh kau berada di kantor saat ini, ada banyak yang harus dikerjakan. Kau dengar aku, Maggie? Segera, bergegas, atau promosi kau minggu lalu kubatalkan.”
Satu tanganku memutus pembicaraan, satu tanganku segera membanting setir. Sialan, ternyata ada mobil lain yang bergerak santai di depan dua truk yang baru saja kusalip. Ambulans yang kukemudikan menyerempet pembatas jalan, membuat baret panjang di sisi ambulans.
Aku mendengus, ambulans kembali stabil, mengebut.
Telepon genggamku berbunyi, dari Ram. Aku mengangkatnya.
“Mereka sudah tahu, Thom.” Suara di seberang sana terdengar tercekat.
Astaga, aku berseru, sekaligus menekan klakson, alangkah banyaknya truk kontainer di jalan tol.
“Kami sudah berusaha menahan mereka, Thom, tetapi mereka mendobrak kamar, kau sekarang ada di mana? Masih jauh dari bandara?”
Aku mengumpat dalam hati, baru lima menit, tentu saja masih jauh, yang dekat itu adalah rumah Om Liem di belakangku.
“Kabar baiknya mereka tidak tahu ke mana tujuan ambulans, Thom. Semua orang di kamar kompak bilang kau telah mengancam, lantas pergi begitu saja melarikan Om Liem, tidak tahu kau hendak ke mana. Polisi mulai menyebar informasi ke seluruh patroli, melakukan pengejaran.”
“Tiket, Ram. Bagaimana dengan tiket dan dokumen perjalanan kami?” Aku memotong.
“Salah satu staf perusahaan sedang menuju bandara. Semua tiket, paspor dalam perjalanan. Kau tinggal ambil di meeting point pintu keberangkatan.”
“Bagaimana, Tante?”
“Komandan polisi yang jengkel hendak menahan Tante Liem. Mereka juga sempat memukul beberapa orang di rumah. Tetapi tidak usah kaucemaskan, mereka akan bermasalah dengan belasan pasal dalam hukum pidana jika berani menahan Tante Liem. Dia baik-baik saja, dokter lain sedang menuju ke rumah. Yang tidak baik itu polisi, mereka terlihat marah sekali.”
Aku menghela napas, setidaknya Tante baik.
“Kau suruh salah satu staf lainnya mengubungi rumah sakit, klinik, apa saja yang buka dua puluh empat jam,” aku berseru, teringat sesuatu.
“Eh, buat apa?” 
“Lakukan saja, Ram. Telepon sebanyak mungkin rumah sakit, laporkan situasi palsu, bilang ada keadaan darurat di sembarang tempat, suruh mereka mengirim ambulans. Aku ingin satu menit lagi ada belasan ambulans berkeliaran di jalanan kota, itu akan mengelabui polisi yang sedang melakukan pengejaran. Waktuku bukan menit, Ram, tapi detik, jadi bergegaslah.”
Telepon genggam kumatikan. Aku juga harus mematikan sirene ambulans agar tidak menarik perhatian, membanting setir ke kanan, ambulans segera menaiki jalur tol menuju bandara, berpisah dengan barisan truk kontainer menuju pelabuhan peti kemas. Aku melirik penanda kilometer di pembatas jalan tol, bandara masih 20 kilometer lagi. Aku menekan pedal gas sedalam mungkin, dengan kecepatan 140km/jam, itu hanya delapan menit.
Sekali ini, jalan tol lengang, menyisakan pendar cahaya lampu di aspal.
Aku menghela napas, mengusap keringat di pelipis. 
Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara yang baik, bertingkah baik-baik dan selalu taat membayar pajak, tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar.
Aku menepuk dahi, teringat sesuatu, dengan cepat menekan kembali meraih telepon genggam.
Hingga habis nada panggil, telepon tetap tidak diangkat. Aku mendengus, mencoba nomor kedua, tetap sia-sia, tidak aktif. Masih ada nomor ketiga. Dua kali nada panggil, ayolah diangkat, aku mendesis, lima kali nada panggil, hanya ini satu-satunya harapanku, ayo diangkat.
“Malam, Thom. Kau tidak tahu ini jam berapa? Atau jangan-jangan kau sengaja hendak mengolok-olokku lagi, mengganggu tidurku. Harus berapa kali lagi kubilang agar kau puas? Yang Mulia Thomas adalah petarung terhebat klub, tidak ada yang bisa mengalahkan Yang Mulia Thomas.”
“Bukan soal itu, Randy.” Aku memotong suara mengantuk Randy.
“Lantas hoaem apa lagi, Sobat?”
Aku mengutuk Randy yang terdengar amat santai. Dengan cepat menjelaskan situasi, aku butuh akses untuk melewati gerbang imigrasi bandara. Tadi Om Liem bilang surat penangkapannya efektif sejak kemarin siang. Untuk kasus besar, itu berarti seluruh gerbang imigrasi sudah menerima notifikasi pencekalan. Komandan polisi di rumah saat ini juga pasti sedang menghubungi bandara, pelabuhan, terminal, stasiun, dan apa saja yang terpikirkan olehnya sebagai titik pelarian.
“Aku tidak bisa melakukannya, Thom,” Randy akhirnya berkata pelan setelah terdiam.
“Kau akan melakukannya, Randy!” aku berseru galak.
“Ini bisa membahayakan karierku.” Suara Randy ragu-ragu.
“Omong kosong, kau pernah melakukannya, belasan kali boleh jadi. Sudah berapa banyak buronan yang kalian loloskan ke luar negeri, hah? Bukankah dengan mudah kalian bisa mengarang-ngarang alasan.”
“Yang ini berbeda, Thom.”
“Apa bedanya, Randy.” Aku mulai jengkel, pintu keluar tol sudah terlihat, jarakku dengan bandara tinggal dua kilometer, jika Randy tidak bisa membantu, melewati pintu imigrasi bandara sama saja dengan menyerahkan diri. 
“Setidaknya berikan aku waktu setengah jam berkoordinasi dengan petugas imigrasi....”
“Astaga, Randy. Aku butuh sekarang.”
“Aku harus koordinasi dulu, Thom.”
“Segera, Randy. Detik ini juga. Kau sudah berjanji di klub bertarung, jika aku mengalahkan Rudi, kau akan melakukan apa saja, termasuk meloloskan buronan negara. Janji seorang petarung, Randy.”
Randy terdiam sejenak di seberang sana, “Baik, Sobat. Berikan aku satu menit, aku akan memberikan kau akses melintasi petugas imigrasi.”
Aku menutup telepon, menerobos pintu tol keluar. Penjaganya berteriak, bilang aku belum membayar, aku hanya bergumam pendek, tidak pernahkah dia melihat ambulans yang terburu-buru? Darurat. 
Aku menghentikan ambulans lima belas detik sebelum memasuki gerbang bandara, menyuruh empat perawat dan dokter turun. “Kalian pulang ke rumah masing-masing dengan taksi, tidur, dan beristirahat. Lupakan kejadian ini. Jika nanti ada polisi yang menginterogasi, kalian bilang kalian diancam olehku. Di luar itu, tidak tahu dan tidak berkomentar, paham?” Dokter dan empat perawat mengangguk.
Aku menyuruh Om Liem pindah ke bangku depan. Infus, slang, dan masker yang pura-pura dipasangkan telah dilepas sepanjang perjalanan tol. Om Liem meringis, tubuh tuanya kelelahan. Aku sudah menekan pedal gas, memasuki area bandara.
Telepon genggamku berbunyi saat ambulans sudah terparkir di depan pintu gerbang keberangkatan. Aku menuntun Om Liem agar bergegas menuju meeting point. 
Itu Randy. Da memberikan nomor loket imigrasi yang harus kutuju.
“Terima kasih, Sobat.” Aku tertawa pelan---akhirnya aku tertawa setelah semua ketegangan. “Aku berjanji, demi bantuan ini, lain kali jika bertarung denganmu, aku tidak akan menghajarmu habis-habisan.”
Randy terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Aku sudah menutup telepon.
Salah satu staf perusahaan sudah menunggu di meeting point, menyerahkan amplop cokelat besar. 
“Semua tiket, paspor Tuan Liem, ada di dalamnya.”
“Kau tidak kesulitan ke sini?” Aku basa-basi bertanya, menghela napas lega melihat isi amplop.
“Aku manajer hotel bandara, Pak. Sekaligus membawahi loket travel agent. Jadwalku berjaga malam ini. Hotel dan travel agent juga milik Tuan Liem. Kami selama ini yang menyiapkan dokumen perjalanan, termasuk menyimpan paspor keluarga Tuan Liem. Jadi sama sekali tidak ada kesulitan.”
Aku mengangguk, menuntun Om Liem memasuki ruangan check-in.
Meski tidak seramai siang hari, aktivitas dini hari bandara tetap sibuk. 
Cahaya lampu berkilauan. Para calon penumpang mendorong troli berisi koper. Meja check-in penuh dengan antrean.
Aku mengangguk lega. Sekali Om Liem duduk rapi di pesawat yang menuju Frankfurt, butuh berhari-hari bagi polisi untuk mengembalikannya ke Jakarta. Itu lebih dari cukup memberikan aku waktu untuk membereskan PR lain.
***
Dalam teori ekonomi modern, tingkat suku bunga bank sentral (sering dikenal dengan istilah suku bunga SBI, Sertifikat Bank Indonesia) memegang peranan penting sebagai instrumen pengendali. SBI adalah bunga bebas risiko. Simpanan dalam bentuk SBI tidak mungkin akan gagal bayar---berbeda dengan tabungan atau deposito bank umum, yang bisa default kapan saja dengan beragam alasan.
Jika bank sentral menetapkan suku bunga SBI, misalnya 8 persen, suku bunga itu menjadi patokan seluruh bank umum dalam menetapkan berapa besar bunga kredit yang akan mereka berikan, juga termasuk patokan bagi leasing, asuransi, dan berbagai perusahaan keuangan lainnya. 
Coba cek berapa bunga tabungan kalian saat ini? Paling tinggi hanya 4 persen per tahun. Nah, coba pikirkan logika sederhana ini, simpanan uang kalian di bank hanya diberikan bunga 4 persen, tapi bank bisa menggunakan uang kalian untuk membeli SBI (menyimpan uang itu di Pemerintah) dengan bunga 8 persen. Jika bank memiliki dana tabungan nasabah 100 triliun, kalikan saja dengan selisih bunga 4 persen. Sambil ongkang-ongkang kaki, mereka bisa untung 4 triliun setiap tahun. Jangan pernah merasa aneh dengan berita rasio penyaluran kredit perbankan rendah, fungsi intermediasi perbankan memble, jumlah simpanan SBI terus meroket, come on, kenapa pula kalian harus repot menyalurkan kredit (yang bisa saja macet, menjadi non performing loan), kalau ada cara mudah mendapatkan untung selisih bunga? Bahkan jika anak SD dijadikan direktur utama bank, bank tetap akan untung. Siapa yang membayar 4 triliun itu? Pemerintah. Dari mana uangnya? Dari pajak rakyat.
Tetapi ada yang lebih ajaib lagi. Pertanyaannya, bagaimana bank sentral bisa tiba-tiba memutuskan SBI 8 persen? Padahal mereka tahu selisih dengan bunga tabungan bank umum begitu lebar? 
Karena mereka diamanahkan oleh undang-undang menjaga stabilitas perekonomian. Stabilitas itu salah satunya tercermin dari angka inflasi. Misalnya, ketika harga-harga diperkirakan naik, perekonomian tumbuh terlalu cepat, overheating, bank sentral mengantisipasinya dengan ikut menaikkan suku bunga SBI. Naiknya suku bunga, secara teoretis, akan membuat orang yang punya banyak uang memilih menabung dibandingkan belanja. Dus, uang beredar berkurang, aktivitas jual-beli menurun, harga-harga jadi turun. Juga sebaliknya, ketika harga-harga diperkirakan terlalu turun, perekonomian melambat, bank sentral akan mengantisipasinya dengan menurunkan SBI. Turunnya suku bunga SBI, otomatis akan membuat suku bunga pinjaman bank turun, dana murah, orang-orang berbondong pinjam uang, aktivitas jual-beli naik, perekonomian kembali bergairah.
Dari penjelasan satu paragraf di atas, catat kata pentingnya: perkiraan. 
Inilah ajaibnya ilmu ekonomi, inflasi adalah fungsi dari ekspektasi (perkiraan, persepsi). Berapa tingkat inflasi tahun depan? 8 persen? 10 persen? Semua hasil dari perkiraan, antisipasi. Berapa inflasi bulan depan? 0,5 persen? 1 persen? Semua keluar dari kalkulasi perkiraan, eskpektasi. 
Ajaib, bukan? Kita ternyata selama ini memercayakan nasib perekonomian dunia, nasib periuk nasi banyak orang, kepada orang-orang yang di kelas diajarkan tentang ekspektasi. Bukankah itu tidak beda dengan para penyihir, dukun, juru ramal, atau profesi dunia gaib lain? Sialnya, jika kalian bisa menimpuk tukang ramal yang ramalannya salah (atau malah memilih tidak percaya sama sekali), kalian tidak bisa menimpuk menteri ekonomi atau petinggi bank sentral jika mereka salah mengambil kebijakan, “Ternyata variabelnya lebih banyak dari dugaan kami. Ini bukan salah kami. Siapa pun pengambil keputusannya, pasti keliru memprediksi turbulensi ekonomi yang ada.” Omong kosong. 
Profesor penerima nobel ekonomi yang adalah salah satu dosenku sekaligus menjadi lawan debatku di sekolah bisnis ternama, hanya tertawa mendengar komentarku---dia pastilah terlatih menghadapi mahasiswa model aku. “Itulah menariknya ilmu ini, Thomas. Sejak zaman Nabi Adam, kita selalu tertarik dengan masa depan, berusaha mengintip rahasia langit, berusaha menjelaskan apa yang akan terjadi esok hari. Nah, dengan pendekatan ilmiah, ilmu ekonomi mengumpulkan bukti-bukti empiris yang ada. Pemegang kebijakan ekonomi bisa menyesuaikan akibat yang terjadi dari kontrol yang mereka punya. Bukan urusanku jika ternyata pemegang kontrol itu ternyata orang yang pengecut, korup dan lebih mementingkan pihak tertentu.” 
Diskusi ditutup tanpa kesimpulan.
Aku mengembuskan napas panjang. Aku dan Om Liem sudah duduk rapi di dalam pesawat. Lima menit lalu, petugas imigrasi menatapku datar, layar komputernya pastilah mengeluarkan alarm setelah proses scan paspor Om Liem, kode merah. Tetapi dia tanpa banyak bicara, menekan tombol, mematikan alarm. Seperti tidak ada yang terjadi, menyerahkan paspor kami, berseru, “Berikutnya.”
Proses boarding hampir selesai, sebagian besar penumpang sudah duduk. Pramugari bahkan sudah menutup bagasi di atas kepala. 
Persepsi? Aku tiba-tiba memikirkan sesuatu. Apa yang sedang dilakukan polisi saat ini? Mereka pastilah telah menghubungi interpol, mengontak seluruh jaringan yang mereka punya di seluruh dunia. Ekspektasi? Kepalaku terus mengingat diskusi di kelas saat itu. Apa yang sedang dilakukan polisi untuk memburu buronan besar mereka sepuluh tahun terakhir? Tersangka kejahatan keuangan yang sudah mereka pegang tengkuknya ternyata berhasil kabur dengan mudah.
Aku menghela napas tertahan. Meremas rambut. Memaki dalam hati. 
Tidak, kami bahkan tidak akan melewati loket transit Dubai. Petugas interpol pasti menunggu di sana, dan bersiap menggelandang kami kembali ke Jakarta. Jika aku dan Om Liem tertangkap, urusan semakin runyam, tidak ada celah sama sekali.
Persepsi? Ekspektasi? Aku meremas jemari. Sekarang urusan tidak sesederhana membuat kamuflase Om Liem di atas ranjang darurat. Sekarang, aku harus menciptakan persepsi yang keliru di benak mereka. Kabur ke luar negeri adalah reaksi yang sesuai dengan ekspektasi mereka. Ini bukan pilihan yang baik.
Aku harus membuat persepsi yang menipu. Tidak ada waktu lagi.
Aku bergegas berdiri, berbisik, “Kita turun dari pesawat.”
“Hah?” Dahi lelah Om Liem terlipat.
“Bergegas. Mereka hampir menutup pintu pesawat.” 
Aku sudah membantu melepas safety belt Om Liem.
*bersambung

Jumat, 29 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 5 : Pelarian Pertama
-----------------------------------
MOBIL merapat ke halaman rumah yang sebenarnya luas---tetapi terasa sempit dengan pemandangan yang ada. Dua mobil taktis polisi terparkir. Beberapa mobil lain, entah milik siapa, ditambah satu mobil ambulans merapat persis di depan pintu masuk. Belasan polisi berdiri mengawasi siapa saja yang keluar-masuk pintu depan, dengan senjata lengkap di tangan. Aku mengeluh dalam hati, terlepas dari bisnis mereka yang menggurita, penghuni rumah ini hanya pasangan sepuh yang tinggal dengan pembantu. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada penjaga bayaran. Mereka tidak akan melawan. 
Beberapa perawat terlihat sibuk menurunkan sesuatu dari ambulans.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Aku melintasi ruang tamu, langsung menuju ruangan yang biasa digunakan Om Liem dan Tante beristirahat. Satu-dua petinggi bank dan perusahaan milik Om Liem duduk di ruang tengah. Wajah mereka kalut. Mereka berbicara pelan satu sama lain. Empat petugas polisi sedang mengeluarkan perangkat komputer dan dokumen dari ruangan yang biasa digunakan Om Liem bekerja di rumah. Para petugas mengenakan seragam pelindung, seolah ada bom di dalam kardus-kardus dokumen serta bukti lain yang mereka gotong keluar.
Aku menghela napas pendek. Ada yang lebih mendesak. Tante Liem.
Pintu kamar langsung ditutup saat aku masuk.
Pemandangan yang suram. 
Tetapi kabar Tante tidak seburuk yang kubayangkan. Tante terbaring di ranjang besar, dokter berdiri di sebelahnya, dibantu dua perawat, berusaha memasangkan infus dan slang lainnya. 
“Akhirnya kau datang juga.” Suara serak Om Liem lebih dulu menyapa sebelum aku menyapa Tante.
Aku mengangguk---membiarkan dia memelukku.
“Duduk dekatku, Tommi.” Itu suara Tante, memanggilku.
“Kapan Tante siuman?” Aku menelan ludah, menatap wajah yang dulu terlihat segar dan menyenangkan berubah jadi pucat dan cekung hanya dalam waktu sebulan sejak kasus Bank Semesta menggelinding.
“Lima belas menit lalu,” dokter yang menjawab.
Aku mengangguk, meraih tangan Tante Liem.
“Semua sudah berakhir, Tommi.” Tante menatapku lamat-lamat. “Situasi tidak akan mungkin lebih buruk lagi, bukan? Jadi aku tidak akan pingsan lagi, Nak. Itu kabar baiknya.” 
Aku menatap getir wajah Tante, matanya berkaca-kaca.
“Mereka hanya memberikan waktu sebentar.” Om Liem menjelaskan perlahan, berdiri di sebelahku. “Jika tantemu sudah membaik, sudah siuman, mereka akan membawa orang tua ini pergi ke penjara. Itu berarti hanya tinggal beberapa menit lagi.”
“Apakah tidak ada lagi orang yang bisa membantu?” Aku menoleh. Meski aku selama ini membencinya, melihat wajah kuyu Om Liem di hadapanku itu, sambil menyentuh tangan Tante yang dingin, aku banyak berubah pikiran.
Om Liem menggeleng, tertawa suram.
“Bukankah Om teman dekat pejabat partai yang berkuasa? Menteri-menteri? Atau bahkan presiden? Atau kolega bisnis, bukankah mereka bisa bantu menyelamatkan Bank Semesta?” Aku menyebut daftar kemungkinan.
“Kau tidak mendengarkan tantemu. Semua sudah berakhir, Tommi. Tidak ada yang mau dekat-dekat dengan situasi buruk seperti ini. Alih-alih, kau yang dituduh bersekongkol. Perintah penangkapan sudah efektif. Polisi yang berjaga di ruang depan membawa surat perintah.” 
Ruangan lengang, semua kepala tertunduk.
Aku menelan ludah. “Bagaimana dengan Shinpei, rekan bisnis selama puluhan tahun? Bukankah dia akan senang hati membantu?”
Om Liem menggeleng. “Grup mereka juga dalam kesulitan. Aku sudah menelepon Shinpei, bilang situasi buruk ini, dia hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa membantu.”
Aku mengembuskan napas. Menatap wajah empat perawat yang menunggu perintah. Dokter yang berdiri takzim, prihatin, dan beberapa petinggi perusahaan Om Liem yang balas menatap kalut, tidak bersuara, tidak punya ide harus bagaimana.
“Aku tahu kau tidak akan pernah mau mendengarkan orang tua ini, Tommi. Tetapi kali ini, tolong urus tantemu, adik-adik sepupumu selama aku di penjara. Pastikan mereka baik-baik saja.” Suara serak Om Liem memecah lengang.
Astaga? Aku menelan ludah.
“Sayangnya kami tidak punya anak laki-laki. Kaulah satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar kita. Apa pun yang tersisa dari bisnis ini, kaulah yang paling pantas melanjutkan. Senin, otoritas bank sentral akan menutup operasi seluruh cabang Bank Semesta. Senin pula, aku akan menandatangani surat pernyataan akan mengganti seluruh uang nasabah, tidak sepeser pun uang mereka akan dimakan orang tua ini. Bahkan jika itu termasuk melego bisnis properti, otomotif, seluruh perusahaan kita.” Om Liem menyentuh tanganku.
Ruangan semakin senyap.
“Kau pernah masuk penjara, Ram?” tanya Om Liem tertawa getir, menoleh pada orang yang menjemputku di hotel, orang kepercayaannya di induk perusahaan. “Aku pernah, Ram. Saat usiaku dua puluhan. Aku masuk penjara selama enam bulan. Bukan masuk penjaranya yang membuatku berkecil hati, melainkan saat aku di penjara, papa dan mamanya Thomas meninggal. Sejak hari itu, Thomas membenciku.”
“Hentikan!” Aku menyergah kasar, mataku panas.
Semua kepala di ruangan terangkat, Tante menatapku.
“Hentikan omong kosong ini.” Aku tersengal, berusaha mengendalikan napas. “Tidak akan ada yang masuk penjara malam ini.”
“Ini bukan omong kosong, Tom. Tidak ada lagi jalan keluar.” Om Liem menatapku datar.
“Kau diam! Biarkan aku berpikir sebentar.” Aku meremas rambutku, berusaha mencerna banyak hal yang terjadi sejak konferensi di London, klub bertarung, dan rumah besar Om Liem.
“Apakah polisi di luar tahu kalau Tante sudah siuman?” aku bertanya pada orang-orang di dalam kamar.
Dokter menggeleng. “Belum ada yang memberitahu mereka.”
Itu kabar bagus. Aku mengepalkan tinju.
“Apakah kondisi Tante stabil?” Aku mendesak memastikan, waktuku terbatas.
Dokter mengangguk.
“Baik, dengarkan aku!” Aku meminta perhatian seluruh orang yang berada di dalam kamar, mataku menatap tajam ke setiap orang. “Kalian semua akan menutup mulut hingga semua urusan selesai.”
Wajah-wajah mereka tampak bingung.
“Kau, ya, kau segera ambil ranjang darurat dari ambulans!” Aku mengacungkan telunjuk pada salah satu perawat.
“Buat apa?” Dokter memotong perintahku, bingung.
“Segera lakukan, Dok. Suruh dua perawat kau bergegas!” aku berseru. “Bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun menjadi dokter keluarga ini? Bukankah kau dulu salah satu anak yang disekolahkan Om Liem? Demi semua itu, laksanakan perintahku.”
Dokter menelan ludah. Patah-patah menyuruh dua perawatnya.
“Bilang ke polisi di luar, kondisi Tante Liem semakin parah.” Aku menarik salah satu perawat itu sebelum keluar dari ruangan. “Kalau mereka bertanya detail, jangan dijawab, dan jangan pernah biarkan mereka mendekati pintu kamar ini. Kau mengerti?”
Perawat itu mengangguk---meski masih dengan wajah bingung.
“Apa, apa yang sedang kaulakukan, Tom?” Om Liem bertanya gugup.
“Menyelamatkan seluruh keluarga ini. Apalagi?” aku berseru cepat. “Kau, ya kau bantu melepas infus dari Tante Liem. Segera,” aku meneriaki dua perawat yang tersisa di kamar.
“Apa yang kaurencanakan, Tom?” Om Liem bertanya untuk kedua kali.
“Kita tidak punya waktu untuk penjelasan, tapi jika semua berjalan lancar, dua jam dari sekarang kita sudah ribuan kilometer dari kota sialan ini,” aku berkata cepat pada Om Liem. “Dua hari, kita punya waktu dua hari hingga Senin untuk membereskan semua kekacauan. Bank Semesta akan diselamatkan, percayalah, tidak ada selembar pun saham milik perusahaan yang akan dijual. Dan sebelum itu terjadi, kau harus kabur dari mereka. Lari.”
“Aku, aku tidak akan melakukannya, Tommi.” Suara Om Liem terdengar bergetar.
“Tidak ada pilihan. Kau harus lari!” aku berseru gemas.
“Aku tidak mau jadi buronan, Tom.” Om Liem menggeleng, refleks melangkah mundur.
“Kau harus mau. Astaga, sekarang bukan saatnya membahas prinsip-prinsip basi.” Aku membentaknya. “Turuti semua perintahku, dan semua akan baik-baik saja.” Aku menoleh ke sisi lain. “Ram, siapa nama petinggi kejaksaan dan bintang tiga di kepolisian yang memimpin kasus ini?”
Ram dengan wajah tidak mengerti menyebut dua nama yang sudah dia sebutkan di mobil saat menjemputku.
“Nah, bukankah dua nama itu berarti buat keluarga ini?” Aku kembali menoleh pada Om Liem, menyebut nama itu kencang-kencang. “Mereka tidak akan berhenti. Percayalah, kau tidak akan dipenjara enam bulan seperti masa lalu. Dua orang ini akan membuatmu dipenjara selamanya, agar tidak ada jejak yang tersisa.”
Pintu kamar didorong dari luar, dua perawat sudah kembali, terburu-buru mendorong ranjang darurat, diikuti beberapa petugas polisi yang ingin tahu. 
Aku segera melesat ke depan pintu, menahan petugas yang hendak masuk.
“Kalian tidak boleh masuk.”
“Kami harus tahu apa yang terjadi?” Komandan polisi memaksa.
“Astaga? Apalagi yang ingin kalian tahu!” Aku memasang badan agar mereka tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. “Nyonya rumah terbaring sekarat, dia butuh segera dibawa ke rumah sakit. Tuan rumah tidak akan ke mana-mana. Lihat, dengan memakai tongkat, tangkapan kalian tidak akan bisa kabur dari sini, bahkan berjalan seratus meter pun dia tidak akan kuat.”
Para petugas saling lirik.
“Kalian akan terus menonton, atau lebih baik menunggu di ruang depan.” Aku melotot. “Percayalah, setelah nyonya rumah dibawa pergi oleh ambulans, kalian dengan mudah bisa memborgol Tuan Liem. Besok kalian akan mendapatkan kenaikan pangkat atas tangkapan hebat ini.”
Komandan polisi terlihat ragu-ragu, aku sudah balik kanan, kasar menutup pintu.
“Kau naik ke atas ranjang dorong,” aku mendesis.
Om Liem bingung.
“Pasangkan infus dan semua slang di tangannya.” Aku menyuruh perawat yang juga masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Aku, aku tidak bisa membiarkan ini, Thom!” dokter berseru tertahan, sepertinya dia orang pertama yang mengerti apa yang akan kulakukan.
“Kau akan membiarkannya, Dok.” Aku menatapnya galak, meraih stick golf di pojok kamar. “Aku akan memukul siapa saja yang menghalangiku. Kau naik ke atas ranjang.”
Om Liem patah-patah naik, berbaring, aku segera menyuruh dua perawat bekerja di bawah ancaman stick golf. Mereka takut-takut segera menyelimuti tubuh tua itu, memasang masker di wajah, memasang penutup kepala, infus, alat bantu pernapasan, apa saja yang bisa membuat kamuflase. 
Adalah penting segera membawa Om Liem kabur. Tanpa tanda tangan Om Liem, tidak ada satu pihak pun yang bisa membekukan Bank Semesta atau mengambil alih perusahaan lain. Aku tidak bisa melarikan Om Liem begitu saja dari rumah, melewati belasan polisi yang sejak empat jam lalu tidak sabaran. Aku akan menukar Tante dengan Om Liem. Rencana ini nekat, meski perawat sudah berusaha membuat tampilan Om Liem yang terbaring tidak dikenali lagi dengan selimut dan peralatan medis. Jika ada salah satu petugas polisi yang detail memeriksa, mereka dengan cepat akan tahu. Tetapi dalam situasi panik, darurat, pukul dua dini hari, tetap ada kemungkinan skenario ini berhasil.
“Berjanjilan, Tante akan baik-baik saja setelah kami kabur,” aku berbisik pada Tante Liem sebelum mendorong ranjang darurat yang di atasnya sudah terbaring tubuh gemetar Om Liem. 
Tante masih menatapku bingung. Sebelum dia mengucapkan satu patah, aku sudah mengucapkan kalimat terakhir. “Percayalah, berikan aku waktu dua hari, semua kekacauan akan dibereskan.”
Tante menelan ludah, mulutnya kembali tertutup.
“Kalian,” aku menunjuk empat perawat yang masih gentar melihat stick golf yang kupegang, “bantu aku berpura-pura seperti situasi darurat. Berteriak-teriak, suruh menyingkir polisi yang berjaga di ruang tengah. Kau, Dok, pimpin rombongan paling depan, bertingkahlah seperti dokter yang galak dalam situasi darurat. Kau paham?”
Dokter di hadapanku menelan ludah, aku mengacungkan stick golf tinggi-tinggi.
“Ram, kau tetap tinggal di sini, pastikan kau mengurus Tante. Kalian tahan polisi selama kalian bisa, berbual, karang alasan, bilang Om Liem tiba-tiba sakit perut, ada di toilet, atau bilang Om Liem memanjat jendela, kabur ke taman belakang. Berikan kami waktu lima belas menit menuju bandara, Ram. Pastikan kau membangunkan salah satu staf perusahaan untuk menyiapkan tiket, paspor, dan dokumen perjalanan kami. Segera menyusul ke bandara. Ada penerbangan ke Frankfurt, transit di Dubai pukul 3 dini hari, 45 menit lagi. Kita lakukan ini demi Om Liem, orang yang telah membantu banyak kalian selama ini,” aku mendesis, menatap tajam semua orang dalam kamar.
Mereka balas menatapku tegang. Mereka sepertinya sudah sempurna paham apa yang akan terjadi. 
Aku menatap pintu kamar lamat-lamat, lima detik berlalu, menghela napas, mendesis, “Sekarang atau tidak sama sekali. Semuanya ikut aku!” 
Aku mendorong pintu kamar, mulai berteriak-teriak panik.
Dokter yang sedetik terlihat ragu, juga ikut berseru-seru, menyuruh semua orang yang berdiri di ruang tengah menyingkir. Ranjang darurat didorong dengan kecepatan tinggi oleh dua perawat. Dua lainnya menyibak siapa saja, membuat petugas polisi refleks memberikan jalan. 
Jangan biarkan, bahkan sedetik sekalipun, jangan biarkan mereka tahu Om Liem yang terbaring di atas ranjang, atau semua rencanaku akan gagal total.
*bersambung

Kamis, 28 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 4 : Telepon Dini Hari
-------------------------------------
HAMPIR pukul satu dini hari. Setelah mandi, berganti pakaian tidur, saatnya beristirahat. 
Badanku remuk lepas pertarungan. 
Sayangnya, suara dering menyebalkan telepon tiba-tiba memenuhi langit-langit kamar. Aku refleks menyambar bantal, menutup telinga sambil menyumpah, berusaha mengabaikan, melanjutkan tidur. 
Tidak sesuai harapan, aku mendengus mengkal. Si penelepon pasti tidak pernah mendapatkan pelajaran etiket. Nada panggil sekian kali, itu artinya yang bersangkutan tidak mau menerima, sibuk, tidur, tidak ada di tempat, atau alasan logis lain yang bisa diterima akal sehat ras manusia. Siapa pun penunggu meja depan hotel mewah malam ini, besok lusa akan menerima komplain tanpa ampun yang pernah ada.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Aku melempar bantal, bersungut-sungut, menyadari dua hal. Satu untuk telepon sialan ini tidak akan berhenti kalau aku tidak mengangkatnya, dua untuk bahkan menginap di kamar terbaik, hotel berbintang enam sekalipun, suara dering telepon di kamar selalu saja standar, mendengking-dengking berisik. Tidak adakah manajer keramah-tamahan kelas dunia punya ide mengganti nada dering dengan irama lagu jazz atau yang lebih ramah didengar, atau sekalian menyediakan opsi pengaturan dengan nada getar atau beep kecil. Mereka sepertinya lebih sibuk meletakkan bebek-bebekkan kuning di kamar mandi, buku petunjuk wisata kota penuh iklan atau ide sampah macam surat selamat datang yang ditandatangani massal. Atau salahku pula, mengapa tidak mencabut kabelnya sebelum tidur.
“Maaf, Pak....“
“Kau tahu ini pukul berapa, Shiong?” Sialan, aku mengenali suaranya.
“Eh? Pukul....“
“Ini lewat tengah malam, Shiong. Bukankah aku tadi berpesan tolak semua telepon ke kamarku!” Aku berseru marah.
“Maaf, Pak. Ini mendesak.”
“Persetan, bahkan besok dunia tenggelam oleh air bah Nabi Nuh.” Aku mengutuknya, bersiap menumpahkan kosakata makian beradab yang kumiliki, urung, telanjur pintu kamarku diketuk. 
Apa lagi? Aku menoleh.
“Ada yang memaksa bertemu Bapak. Aku sudah bilang Bapak perlu istirahat, mereka memaksa naik ke atas. Aku tidak bisa menahannya, tidak ada petugas yang berani menahannya, Pak. Aku harus memberitahu Bapak, setidaknya sebelum mereka tiba.” Shiong bergegas menjelaskan, dengan intonasi hasil didikan keramah-tamahan kelas dunia belasan tahun.
Baiklah. Aku meletakkan gagang telepon. Beranjak menuju pintu kamar lebih karena ingin tahu siapa yang mendatangiku malam-malam.
“Selamat malam, Thomas.” 
Hanya ada dua orang yang berdiri di depan pintu. Satu orang kukenali, satunya tidak.
“Kami sejak empat jam lalu mencari kau.” Tersenyum lelah. “Kebiasaan kau yang jarang tinggal di rumah, memilih menginap di hotel menyulitkan ka....”
“Langsung saja, apa keperluan kalian?” Aku tidak punya waktu mendengar basa-basi.
“Sudah tersambung, Pak.” Orang yang tidak kukenali berbisik, menyerahkan telepon genggam.
Ram, orang yang kukenali, mengangguk, menerima telepon genggam itu, lantas memberikannya padaku. “Ada seseorang yang ingin bicara dengan kau, Thomas. Situasinya genting sekali.”
Siapa? Aku ragu-ragu menerima telepon genggam itu.
“Hallo, Tommi.” 
Suara tua, terdengar serak dan bergetar, suara yang justru seketika membuat kemarahanku kembali memuncak.
“Jangan, jangan ditutup teleponnya dulu Tom.” Terbatuk sebentar. “Aku tahu kau masih membenciku. Tetapi aku tidak punya pilihan, Nak. Aku harus memberitahumu.”
“Sungguh jangan tutup teleponnya dulu, Tommi. Aku tahu kau tidak peduli lagi denganku, kau juga tidak akan peduli kalau kuberitahu rumah orang tua ini sudah dikepung, satu peleton polisi berkumpul di halaman rumah, mereka seperti akan menangkap teroris saja. Tetapi, tantemu, Tommi, kesehatannya memburuk sejak berita ini dimuat di koran-koran, dan empat jam lalu saat petugas berdatangan, memeriksa banyak hal, memasang barikade memastikan aku tidak lari, dia tidak kuat lagi, jatuh pingsan. Datanglah, Nak. Temui tantemu. Sebelum jatuh pingsan, dia berkali-kali menanyakanmu, menatap pigura foto saat kau masih kecil dan bersama keluarga besar kita.” Terbatuk sebentar.
“Maafkan orang tua ini yang mencarimu malam-malam, Nak. Semoga kau tidak semakin membenciku. Selamat malam.” Sambungan telepon telah dimatikan. 
Lorong kamar hotel terasa lengang. 
“Bagaimana?” Ram bertanya setelah aku hanya diam satu menit.
Aku meremas jemari. Mengembalikan telepon genggam. 
“Seberapa serius?” Aku mengeluarkan suara.
“Yang mana? Situasi di rumah? Atau keadaan tantemu?” Ram tertawa prihatin.
“Dua-duanya.” Aku menghela napas.
“Buruk. Dua-duanya buruk, Thom, apalagi situasi di rumah. Kau pastilah tahu, hanya soal waktu wartawan mulai berdatangan, memastikan penangkapan besar. Mungkin lebih baik kita bicarakan di mobil, waktu kita amat terbatas. Sekali mereka memutuskan menahan ommu, kacau-balau semua urusan. Kau ikut dengan kami?”
Aku terdiam.
“Ayo, Thomas, putuskan.”
Aku akhirnya mengangguk. “Beri aku satu menit untuk berganti pakaian.”
***
Mobil melesat kencang. Jalanan Jakarta lengang, pukul dua dini hari, jika nekat kalian bisa memacu kecepatan hingga 120 km/jam di jalan protokolnya.
“Kau mengikuti berita-berita?”
Aku mengangguk. Aku duduk di kursi belakang, mendengarkan penjelasan.
“Maka lebih mudah menjelaskannya. Bagai raja catur yang dikepung banyak musuh, Om Liem terdesak. Seminggu lalu otoritas bank sentral sudah memberikan peringatan ketiga untuk bank miliknya, dan tadi siang, sialnya mereka mengumumkan kalau bank milik Om Liem tidak bisa menutup kliring antarbank. Itu membuat kepanikan, padahal kau tahu, hanya kurang lima milliar saja. Mereka umumkan atas nama transparansi. Kau tahu akibatnya, saham Bank Semesta dihentikan perdagangannya di bursa, suspended. Nasabah panik, antrean panjang terbentuk di setiap cabang tadi sore. Dan di tengah krisis dunia, sedikit saja informasi negatif, semua orang panas-dingin.” Ram yang duduk di sebelahku menghela napas.
“Aku belum tahu soal kalah kliring.” Aku bergumam.
Sopir sepertinya tidak mengurangi kecepatan, mobil meliuk menaiki fly over.
“Tentu saja belum. Kau baru pulang dari London tadi sore, bukan? Beruntung ini hari Jumat, jadi kita semua punya waktu dua hari untuk menghadapi nasabah yang panik Senin lusa. Situasinya sudah kacau-balau, Thom. Jika rush terjadi, semua nasabah berbondong-bondong menarik tabungannya. Bank Semesta pasti kolaps. Bahkan jika seluruh aset dijual dan seluruh harta Om Liem digadaikan, itu tetap tidak akan cukup. Come on, semua uang telah dipinjamkan ke pihak ketiga, bagaimana mungkin kau menarik uang dari mereka dengan cepat untuk mengembalikan tabungan nasabah. Situasi semakin rumit, karena kau pastilah sudah tahu dari berita-berita di media massa, penyidik kepolisian dibantu otoritas bank sentral sejak beberapa bulan memeriksa Bank Semesta. Urusan ini kapiran, seperti halnya kau membenci ommu, aku juga tahu kalau terlalu banyak transaksi tidak bisa dijelaskan di bank itu. Enam tahun menguasai bank itu, Om Liem terlalu ambisius, tidak hati-hati, menggampangkan banyak hal, dan melanggar begitu banyak regulasi demi pertumbuhan bisninya.” Ram kembali menghela napas.
“Kita sungguh tidak punya waktu hingga Senin lusa menghadapi polisi yang mengepung rumah, Thom. Bahkan hanya karena tantemu masih pingsanlah, mereka menahan diri belum memborgol Om Liem. Cepat atau lambat, besok atau lusa, wajah Om Liem akan terpampang besar di surat kabar, menjadi headline. Pemilik bank besar dan imperium bisnis raksasa telah tumbang.”
Aku menelan ludah. Menatap deretan gedung tinggi dari atas jalan layang. 
“Bukankah dia punya banyak kenalan orang penting dan berkuasa untuk menyelamatkan bank itu?” Akhirnya aku berkomentar. 
Ram tertawa masam. “Dia punya lebih banyak musuh dan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kolapsnya Bank Semesta, Thom. Mereka berebut ingin mendapatkan aset berharga yang dijual murah. Dia sudah terdesak. Kabar terakhir yang kuterima, tapi ini off the record, pejabat bintang tiga kepolisian, petinggi kejaksaan, serta salah satu deputi bank sentral terlibat langsung atas penyidikan Bank Semesta. Semangat sekali mereka bekerja, seperti tidak ada kasus korup kroni-kroni mereka yang bisa diurus. Terlalu banyak misteri dalam kasus ini sejak peringatan pertama dari otoritas. Astaga, Thom, hanya kalah kliring lima milliar, rusuhnya sudah seperti kalah kliring lima triliun. Buat apa coba?”
“Itu sudah tugas mereka. Pengawasan.” Aku menjawa pelan.
“Omong kosong, Thom. Puluhan tahun aku menjadi orang kepercayaan Om Liem, puluhan tahun mengendalikan bisnisnya, dalam beberapa hal, aku juga sepakat denganmu, membenci cara dia berbisnis, tetapi kasus Bank Semesta ini terlalu banyak kepentingan, terlalu banyak misteri. Seolah ada hantu masa lalu yang memang sengaja mengambil alih seluruh keberuntungan Om Liem, membuat skenario, bersiap menusuk dari belakang. Dan itu benar, sekali Bank Semesta tidak terselamatkan, seluruh kekayaan keluarga Om Liem habis. Bukankah kau termasuk salah satu ahli warisnya, Thom?” 
“Aku tidak peduli urusan itu.”
“Tentu saja kau harus peduli. Kau tidak sekadar mewarisi harta benda, Thom. Kau juga otomatis mewarisi utang-utang.” Ram tertawa prihatin, bergurau.
Aku tidak menjawab. Mobil yang kami tumpangi sudah berbelok tajam, menuju salah satu area paling elite di Jakarta.
*bersambung

Rabu, 27 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 3 : Klub Petarung
--------------------------------
“KAU gila! Hampir sebagian dari kita memang datang ke klub masih dengan pakaian rapi dan dasi langsung dari tempat kerja, tapi tidak ada yang datang kemari dengan tas bagasi, langsung dari London.” Theo, teman dekatku, orang yang pertama kali mengenalkanku dengan klub, menyergah.
“Aku tidak punya pilihan, Theo. Jadwal konferensi itu sudah disusun sejak sebulan lalu, juga jadwal sialan ini. Aku harus menunaikan keduanya sekaligus.” Aku melepas kemeja dengan cepat, menarik sembarang kaus lengan pendek dari koper yang kubawa sejak keluar dari hotel konferensi.
“Kau sudah istirahat? Di pesawat misalnya.” Theo melemparkan sepasang sarung tinju.
Aku tertawa. “Bahkan di langit masih saja ada yang menggangguku, Theo. Ada wawancara. Dan sialan, seharusnya aku sudah sampai di sini dua jam lalu, tetapi petugas imigrasi bandara menahanku.”
“Petugas imigrasi?”
“Siapa lagi? Pemeriksaan rutin mereka bilang.”
“Mana ada pemeriksaan rutin untuk WNI, kecuali kau tersangka kasus?”
“Mana aku tahu. Dua jam yang sia-sia.” Aku mendengus kesal.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Theo menggeleng prihatin, menatapku cemas. “Dengan semua kesibukan ini, kau tidak akan punya kesempatan, Thomas. Aku dengar, Rudi si penantang bahkan sengaja mengambil cuti tiga hari untuk menghadapi pertarungan ini. Tadi sempat kulihat wajahnya sangar, dan lihatlah kau, dengan wajah lelah, pupil mengecil. Kau bisa meminta penundaan waktu, itu hak yang ditantang.”
Aku menggeleng, tidak ada penundaan, semua anggota klub menunggu pertarungan ini. Bahkan ruangan pertarungan belum pernah dipenuhi penonton seperti malam ini. Suara dan teriakan antusias mereka terdengar hingga ruang ganti tempatku sekarang bersiap-siap. Aku masih punya waktu setengah jam, di sana masih bertarung dua anggota klub lain, saling menjual pukulan.
“Selamat malam, Thomas.” Seseorang masuk ke ruang ganti, menepuk lemari baju, tertawa lebar.
Aku dan Theo menoleh.
“Kupikir kau tidak akan datang. Terlalu takut menghadapi penantang paling besarmu, mungkin.”
Aku tidak menjawab. Theo mengacungkan tangannya. “Kau tidak boleh berada di sini, Randy.”
“Ayolah, aku hanya menyapa salah satu petarung terbaik klub.” Randy, salah satu anggota senior klub, masih tertawa lebar. “Beruntungnya malam ini aku tidak meletakkan uang taruhan pada kau, Thomas. Aku tidak punya ide akan bertahan berapa ronde kau dengan tampang kuyu seperti ini. Kau baru pulang dari London, bukan?”
Gerahamku mengeras, tidak balas berkomentar.
“Ngomong-ngomong, berapa lama kau tertahan di bandara? Dua jam?”
Gerakan tanganku yang memastikan sarung tinju telah terpasang sempurna terhenti, aku menoleh, berpikir cepat, berseru galak. “Dari mana kau tahu aku tertahan di sana dua jam?”
Randy terkekeh. “Seharusnya aku menahan kau lebih lama lagi, Sobat. Tiga-empat jam misalnya, tetapi kalah WO membuat uang taruhan batal, dan itu jelas tidak lebih seru dibandingkan melihat Thomas yang hebat tersungkur di lantai dengan wajah berdarah-darah.”
Aku melompat, tanganku bergerak cepat hendak memukul Randy---sekalian menguji apakah sarung tinjuku sudah sempurna mencengkeram. “Dasar bedebah, ternyata kau yang sengaja menghambatku di loket imigrasi.”
Theo lebih dulu menahanku, berbisik. “Simpan pukulanmu untuk Rudi. Jangan sia-siakan.” 
Aku tersengal, berusaha mengendalikan diri, tentu saja urusan ini bisa dimengerti. Randy adalah pejabat tinggi di kantor imigrasi. Dia punya kekuasaan untuk melakukannya.
“Kenapa kau harus marah, Thom? Semua sah dan boleh-boleh saja dalam pertarungan, bukan?”
“Tutup mulutmu!” Aku berseru marah.
Randy justru kembali tertawa ringan. 
Suara teriakan di ruangan pertarungan terdengar kencang hingga ruang ganti. Sorakan-sorakan itu menyuruh seseorang bangkit kembali, sepertinya ada salah satu petarung yang terkena pukulan telak.
Tiga tahun lalu, saat pertama kali Theo mengajakku pergi ke “klub”, aku hanya menggeleng malas. Itu bukan kebiasaanku, aku tidak suka menghabiskan waktu dengan nongkrong, minum, mendengar musik, melirik-lirik setelah pulang kerja. Theo santai mengangkat bahu, bilang itu juga bukan kebiasaannya. “Ini klub yang berbeda, Thom. Kau pasti suka.” Maka setengah terpaksa, daripada bosan menatap jalanan macet dari balik jendela tebal ruangan kantorku, aku ikut. 
Menakjubkan, belasan tahun tinggal di Jakarta, aku tidak pernah tahu ternyata kota ini punya “klub bertarung” seperti yang kusaksikan di film terkenal itu. Theo mengajakku ke salah satu gedung perkantoran, di lantai enam, dengan akses lift privat langsung ke sana, bukan partisi ruangan kantor, meja penerima tamu, dan sebagainya yang kutemukan, melainkan ruangan luas dengan lingkaran merah mencolok di tengahnya. Beberapa anggota klub sedang berseru-seru, menyemangati. Wajah-wajah tegang, wajah-wajah semangat menonton dua orang yang saling bertinju persis di lingkaran merah. 
Aku menelan ludah. Theo benar, aku pasti suka. Ini sungguh keren, klub yang berbeda. Theo membiarkanku terpesona. Dia sudah asyik menyapa anggota klub lain, sambil melambai memesan dua minuman ringan untuk kami.
“Ini klub tertutup dan rahasia, Thom. Tidak banyak yang tahu. Anggotanya hanya boleh mengajak teman yang dia percaya kemari. Kau beruntung punya teman Theo, salah satu penggagas awal klub ini. Namamu bersih dan terjamin.” Itu penjelasan Randy---dulu dia masih ramah padaku. “Kami berkumpul tiap akhir minggu, dengan jadwal sama seperti malam ini, menonton pertarungan. Itu di luar latihan setiap hari buat siapa saja yang mau datang. Lumayanlah mengusir penat setelah pulang kerja, apalagi jika itu jadwal petaruganmu, itu sungguh refreshing yang hebat, Sobat.”
Aku mengangguk, bersepakat---dulu aku masih sering sependapat dengan Randy, melihat dua petarung saling pukul, menghindar, darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah membakar seluruh penat, apalagi bertarung langsung, itu memicu adrenalin berkali-kali lipat. 
“Tidak ada yang peduli latar belakangmu siapa, Thom. Itu aturan main klub.” Theo berbisik, kami sudah berdiri di pinggir lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang berteriak sampai serak menyemangati. “Randy bekerja di kantor imigrasi. Kudengar dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi kepala imigrasi bandara. Erik, kau lihat di sana, dia manajer senior di bank besar.”
Aku mengumpat dalam hati, tentu saja aku kenal Erik, baru tadi pagi kami rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup jasa konsultansi yang dibutuhkan corporate bank mereka. 
“Rudi, nah, yang sedang sangar bertarung adalah petugas penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku tidak tahu persis, tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda, karyawan, dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha. Itu yang berdiri di pojok bersama teman-temannya adalah anak salah satu petinggi partai. Di sini berkumpul orang-orang yang menyukai tinju. Di luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau, lupakan. Meski sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu satu sama lain.”
Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.
“Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide. Kami bertanding tanpa jadwal. Anggota klub yang mau bertarung tinggal menuju lingkaran merah, menantang siapa saja yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan bawahan, atau mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu seru, satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa berbohong pada istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo tertawa. “Semakin ke sini, kami membayar pelatih profesional, membuat jadwal, melengkapi ruang ganti, bartender, dan seluruh keperluan seperti sasana tinju. Dan anggota klub bertambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak orang yang paling dipercaya, serta direkomendasikan anggota lama. Kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cukup banyak untuk membuat kau menunggu dua bulan hingga jadwal bertarung kau tiba. Tapi itu bukan masalah. Lebih banyak yang menjadi anggota klub hanya untuk menonton pertarungan, bertaruh, dan bersenang-senang. Atau sekadar mencari tempat memukuli sansak, latihan.”
Ruangan klub dipenuhi tepuk tangan, seruan-seruan salut. Kemeja dan dasi penonton kusut karena kesenangan. Di tengah lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya tersungkur. Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, “Dia petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantanganya.” 
Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat. Dia sudah membantu lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling peluk. “Satu-dua pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Tetapi ini adalah klub dengan respek di atas segalanya. Kita hanya bermusuhan di dalam lingkaran merah, di luar itu semua anggota klub adalah teman baik. Semua aktivitas pertarungan dirahasiakan, bahkan besok lusa kalau kau bertemu dengan anggota klub di manalah, tidak akan ada yang membahas kejadian semalam.”
Aku mengangguk, masih tercengang dengan banyak hal. Saat Theo mengajakku pulang pukul dua belas malam, pertarungan terakhir sudah selesai, aku memutuskan menjadi anggota klub. 
“Selamat bergabung, Thom. Kalau kau mau, minggu depan kami bisa menjadwalkan pertarungan eksibisi. Kau mau?” Randy yang menerima kartu kredit pendaftaranku mengedipkan mata.
Aku bergegas menggeleng. Itu ide buruk.
“Baiklah, minggu depan, pertarungan kedua. Tiga ronde, masing-masing lima menit, melawan, eh, Erik. Ya, Erik, dia sudah sejak sebulan lalu menuntut jadwal bertarung. Nah, kau harus bersiap-siap.” Randy tidak peduli, dia tertawa lebar.
Itu kejadian tiga tahun lalu. Dan dengan segera aku menjadi bagian “klub bertarung”. Adalah Erik lawan pertamaku. Kalian bayangkan, seseorang yang tidak pernah bertinju, tidak pernah menguasai teknik bela diri apa pun, memasuki lingkaran merah di bawah tatapan dan seruan penonton. Aku gugup, meski Theo sudah memberikan kursus selama tiga sesi, setiap pulang kerja, itu tidak cukup. Erik membuat pelipisku robek, berdarah. Dia membuatku tersungkur di ronde ketiga, persis saat lonceng berdentang.
“Anggap saja luka kau itu sebagai ganti rapat tadi siang yang menyebalkan, Thom. Kau seharusnya menyetujui presentasiku, bukan membantainya.” Erik menyeringai, membantuku berdiri.
Kakiku gemetar, entah sudah seperti apa wajahku, dihabisi pukulan terbaik Erik.
“Ini hebat, Sobat. Untuk orang yang baru pertama kali bergabung dan langsung bertarung, kau membuat rekor.” Randy tertawa senang, membantu melepas sarung tinjuku, memberikan minuman segar. “Kau orang pertama yang bertahan hingga ronde ketiga.” 
Theo hanya menyengir, menatap wajah lebamku. Sedangkan belasan anggota klub lainnya menepuk-nepuk bahu, bilang selamat bergabung, menjulurkan tangan, berkenalan, memuji pertarungan seru barusan.
Terlepas dari kondisiku yang babak belur. Ini sungguh hebat. Aku tidak pernah merasakan antusiasme, semangat, tegang, atau apalah menyebutnya saat bertarung, saat mengirim pukulan, dan saat menerima pukulan bertubi-tubi. Rasa-rasanya seluruh tubuhku meledak oleh ekstase kesenangan. Sejak malam itu, pertarungan pertamaku, aku memutuskan menjadi petarung. Tiga tahun berlalu, lebih dari belasan kali aku menghadapi anggota klub lain, dan hanya itulah pertama kali dan untuk terakhir kali aku tersungkur, sisanya jika tidak menang, kami sama-sama masih berdiri gagah hingga lonceng bel ronde terakhir berbunyi. 
Aku tumbuh menjadi petarung hebat. Aku membalas Erik di pertarungan setahun kemudian, bahkan aku membuat Randy tersungkur tiga bulan lalu. Satu-satunya petarung klub yang tidak pernah kukalahkan adalah Rudi, dua kali kami bertarung, dua kali pula berakhir seri.
“Jadwal kau sekarang, Thom.” Seseorang memukul pintu ruang ganti.
Membuat wajah kesalku, wajah tenang Theo, dan wajah menyebalkan Randy menoleh.
“Bergegas, Thom. Mereka sudah tidak sabaran menunggu pertarungan ini sejak tadi. Satu-dua malah sudah di klub sejak pukul empat sore.”
Theo yang mengangguk, bilang segera menuju lingkaran merah.
“Kau akan tersungkur kali ini, Sobat.” Randy masih sibuk mengoceh.
“Thom akan mengalahkan Rudi,” Theo yang menjawab datar, “sama seperti mengalahkan kau tiga bulan lalu. Aku bertaruh untuknya.”
Randy melambaikan tangan. “Itu hanya kebetulan. Kalian curang, sengaja mengerjai, membuatku mulas saat bertarung. Kali ini kau tidak punya kesempatan.”
Theo mengacungkan tinjunya, menyuruh Randy menjauh.
Aku tetap tidak menjawab, melangkah memasuki ruangan pertarungan. 
“Tidak banyak bicara kau sekarang, Sobat.” Randy terkekeh. “Catat ini, kalau kau berhasil mengalahkan Rudi malam ini, akan kupenuhi permintaanmu, apa saja, bahkan jika itu termasuk meloloskan penjahat kelas kakap di gerbang imigrasi bandara.” Teriakan provokasi Randy terdengar di belakangku.
Aku sudah tidak mendengarkan, terus menuju pusat perhatian penonton. Beberapa anggota klub berseru-seru, menepuk-nepuk bahuku, menyemangati, bilang kau harus menang, Thom, habisi dia, Thom. Ruangan klub penuh, beberapa orang tidak kukenali---selalu menjadi saat yang tepat mengajak anggota baru ketika pertarungan penting berlangsung. Antusiasme pertarungan memenuhi setiap jengkal ruangan. Dan di lingkaran merah yang diterangi lampu sorot, berdiri gagah penantangku. 
Rudi si boxer sejati klub.
**bersambung

Selasa, 26 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 2 : Nol Koma Dua Persen Penduduk Bumi
--------------------------------------------------------------------
PESAWAT badan besar melaju cepat meninggalkan London. Sekarang kami berada sepelemparan batu di atas wilayah penerbangan Myanmar. Penerbangan nonstop ini menuju Singapura.
Aku tertawa kecil. 
“Apa pertanyaan kau tadi? Kau bergurau, aku konsultan keuangan profesional, aku tidak peduli dengan kemiskinan. Yang aku cemaskan justru sebaliknya, kekayaan, ketika dunia dikuasai segelintir orang, nol koma dua persen, orang-orang yang terlalu kaya.” 
Kami sudah menghabiskan minuman gelas pertama. Pramugari yang selalu tersenyum itu baru saja lewat (lagi), menawarkan gelas kedua. Aku menggeleng. Selepas mendarat di Singapura, penerbangan lanjutan menuju Jakarta sudah menunggu. Aku harus bergegas menuju lokasi klub tinju. Aku punya pertandingan penting malam ini.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

“Bisa dijelaskan lebih detail?” Gadis dengan predikat “wartawan terbaik” di sebelahku bertanya.
“Ya, kaubayangkan, ketika satu kota dipenuhi orang miskin, kejahatan yang terjadi hanya level rendah, perampokan, mabuk-mabukan, atau tawuran. Kaum proletar seperti ini mudah diatasi, tidak sistematis dan jelas tidak memiliki visi-misi, tinggal digertak, beres. Bayangkan ketika kota dipenuhi orang yang terlalu kaya, dan terus rakus menelan sumber daya di sekitarnya. Mereka sistematis, bisa membayar siapa saja untuk menjadi kepanjangan tangan, tidak takut dengan apa pun. Sungguh tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain sistem itu sendiri yang merusak mereka.”
Dahi gadis di sebelahku terlipat, belum mengerti juga.
“Kau tidak mengerti ilmu ekonomi?” Aku menyeringai.
Gadis itu tidak setersinggung sebelumnya. “Maksudku, tidak semua pembaca kami memiliki kompetensi pengetahuan ekonomi, ilustrasi lebih sederhana akan membantu mereka.”
“Baiklah. Coba kita misalkan dunia ini hanya sebesar kota. Ada seribu penduduk di dalamnya. Sebagian menjadi petani, perajin, peternak, tukang, sebagian lainnya menjadi pedagang, tentara, serta semua profesi dan mata pencarian hidup yang kita kenal. Katakanlah berabad-abad mereka hanya mengenal barter, ikan ditukar gandum, jasa cukur rambut ditukar perbaikan atap rumah, atau seporsi masakan lezat dibarter dengan jahitan baju. Hingga salah seorang genius, well, kita sebut saja Mister Smith menemukan uang. Kehidupan primitif mereka dengan segera berubah drastis, perekonomian kota kecil itu bergerak maju. Transaksi lebih mudah dilakukan, itu fase pertama muasal kegilaan ini.
“Sejak uang ditemukan, berbagai teknologi juga ditemukan. Era industri datang. Sumber minyak, emas, batubara, timah, dan besi dekat kota mulai ditambang. Tenaga kerja semakin produktif, perhitungan efisiensi produksi dikenal, dan tuntutan atas kemudahan transaksi keuangan meningkat. Mister Smith kembali datang dengan ide mendirikan bank, membuat seluruh penduduk kota terpesona. Benar sekali, mereka butuh modal untuk membuat perekonomian melesat lebih hebat. Tetapi mereka ragu-ragu, siapa yang akan percaya dengan selembar kertas? Mister Smith melambaikan tangan. Tenang saja, bank akan mencetak setiap lembar uang dengan jaminan cadangan emas. Seratus dolar dijamin satu gram emas. Jadi, uang tersebut dijamin aman. Ada nilai pelindungnya di bank, dan semua orang harus menerima transaksi dengan uang. Penduduk kota semakin kagum. Luar biasa, itu ide yang brilian.
“Maka, bank mulai mencetak uang dengan jaminan cadangan emas. Sebagai pemanis, Mister Smith menjanjikan bunga untuk setiap orang yang bersedia menyimpan uang di bank. Mulailah, orang kaya berbondong-bondong meletakkan uang, sedangkan yang membutuhkan uang untuk modal usaha juga datang ke bank dengan janji membayar cicilan ditambah bunga. Kau tahu, salah satu penemuan klasik Mister Smith yang menjadi dasar ilmu ekonomi modern adalah bunga.” 
Aku berhenti sejenak, mengangguk kepada pilot pesawat yang keluar dari kabin, ramah menyapa penumpang, lantas tertawa kecil, bergurau pada salah satu anak kecil di seberangku yang cemas kenapa pilot meninggalkan kokpit. “Tenang, Nak, pesawat ini memiliki sistem otomatis andal.”
“Nah, dengan adanya uang dan bank, akumulasi kekayaan mulai terjadi. Pada tahun nol, total uang beredar hanya seratus dolar, katakanlah begitu. Pada tahun ke sepuluh, total uang beredar di kota melesat menjadi satu miliar dolar. Bagaimana bisa? Karena begitulah sistem perekonomian baru bekerja, begitu canggih melipatgandakan kekayaan. Kauletakkan uang seratus dolar di bank yang dijamin setara satu gram emas, lantas uang itu dipinjam orang kedua, si tukang jahit. Orang kedua ini menggunakannya untuk membeli mesin jahit terbaru pada orang ketiga, si pembuat mesin. Si pembuat mesin punya uang seratus dolar sekarang, hasil menjual mesin. Dia bawa uang itu ke bank lagi, ditabung. Jadi berapa uang dalam catatan bank? Dua ratus dolar.
“Bank lantas meminjamkan uang itu kepada orang keempat, si nelayan. Si nelayan membelanjakannya untuk membeli kapal terbaru pada orang kelima, si pembuat kapal. Orang kelima membawa uang seratus dolar itu ke bank, menabungkannya. Begitu terus siklus perbankan yang canggih.
“Jadi berapa uang seratus dolar itu sekarang dalam catatan bank? Tiga ratus dolar? Kau keliru. Uang itu tumbuh jadi tidak terhingga, karena semakin banyak yang terlibat dalam mekanisme simpan-pinjam itu. Tanpa regulasi bank harus menyisihkan sekian persen sebagai cadangan, efek pengalinya berjuta-juta tidak terhingga. Padahal, come on, berapa sejatinya nilai uang yang dijamin cadangan emas? Ya, hanya seratus dolar, lantas bagaimana ribuan dolar lainnya? Itu hanya ada di kertas. Benar-benar ada di kertas, dalam catatan bank, dalam catatan kekayaan masing-masing.
“Perekonomian kota tumbuh tidak terbilang. Semua sektor produktif berlomba-lomba melaporkan keuntungan transaksi. Situasi berjalan aman-aman saja hingga puluhan tahun. Pada tahun kesepuluh, uang beredar di seluruh kota menjadi satu miliar dolar, dan situasinya mulai rumit, hanya segelintir orang yang menguasai uang-uang. Mereka adalah penduduk superkaya, yang terus rakus menambah nominal angka kekayaan mereka. Tidak pernah puas.
“Katakanlah, pada tahun itu ada seribu penduduk kota yang meminjam uang untuk membeli rumah, kita sebut saja ‘kredit rumah’. Uang pinjaman dari bank dibayarkan pada tukang-tukang untuk membuat rumah, dan tukang-tukang ternyata tidak menabung uang itu ke bank, melainkan dibelanjakan keperluan sehari-hari. Bank yang dikuasai segelintir orang kaya berpikir keras, kalau begini caranya, lambat sekali mereka bisa menambah kekayaan, uang itu tidak segera balik ke pundi-pundi bank, tidak ada uang yang bisa diputar lagi, lagi, dan lagi. Tanpa uang, sistem bunga tidak bekerja, kekayaan mereka melambat. Mister Smith datang dengan ide lebih cemerlang. Dia ciptakan binatang yang disebut securitization. Bagaimana caranya? Seluruh kredit rumah itu, jumlahnya ada seribu lembar surat perjanjian kredit, dikumpulkan saja jadi satu, lantas dianggap seperti produk, macam seribu potong tempe atau seribu ekor kambing, lantas dijual ke pemilik uang, penduduk superkaya lainnya, dengan imbalan bunga sekian persen yang dibayarkan setiap bulan plus cicilan. Tidak ada yang tertarik? Gampang, tinggal naikkan bunganya, tambahkan bumbu-bumbu janji semua aman, semua dijamin. Kalau ada masalah, rumah-rumah itu bisa jadi jaminan.
“Ide cerdas! Tentu itu brilian. Bank yang tadinya kekurangan uang, dengan cepat kembali punya uang. Banyak malah. Mereka tidak hanya sebagai pemberi pinjaman, tetapi sekarang sekaligus sebagai ‘nasabah’ bagi pembeli aset securitization tadi. Ide itu berhasil tidak terkira. Dengan uang hasil menjual seribu surat perjanjian kredit, bank leluasa mengucurkan kredit berikutnya ke penduduk kota. Bank menerima pembayaran dari nasabah setiap bulan. Uang itu dipergunakan untuk membayar pemegang aset securitization. Semua terkontrol, semua baik-baik saja, hingga tanpa disadari aset yang pada dasarnya hanyalah selembar kertas itu menggelembung tidak terkira.
“Harga properti melesat naik, harga komoditas tidak terkendali. Karena juga bermunculan derivatif transaksi keuangan lainnya, Mister Smith menciptakan transaksi future: minyak bumi atau gandum yang dibutuhkan enam bulan lagi bisa dibeli sekarang, lantas uangnya bisa diputar ke mana-mana, menjadi berkali-lipat. Dan boom! Ribuan kredit perumahan tiba-tiba macet total, orang mulai berpikir harga-harga sudah tidak rasional. Harga komoditas jatuh bagai roller coaster, dan mulailah kekacauan merambat ke mana-mana.
“Bank tidak bisa menagih kredit ke penduduk kota, sedangkan pemilik aset securitization sudah mulai menagih. Panik, penduduk kota panik, si pembuat perahu, si pembuat mesin bergegas ingin mengambil uang di bank, padahal uang itu sudah dipinjamkan ke tukang jahit dan nelayan. Tidak ada uang di bank, hanya catatan pinjam-meminjam. Jaminan emas? Orang lupa kalau itu hanya untuk seratus dolar pertama. Posisi bank terjepit, atas-bawah. Tidak perlu seorang genius untuk menyimpulkan hanya soal waktu seluruh surat berharga terjun bebas, tidak ada lagi harganya. Krisis aset securitization ini merambat ke mana-mana.
“Itulah yang terjadi di kota kecil tadi. Nah, itulah yang terjadi di dunia saat ini. Sama persis. Krisis dunia akibat kredit perumahan. Masalahnya, di dunia yang sebenarnya, nilai akumulasi uang ratusan tahun sejak ditemukan, jumlahnya triliunan dolar, tidak terbayangkan. Kau tahu, Julia, berapa total utang negara kita? Hanya seratus dua puluh miliar dolar, kecil sekali dibandingkan akumulasi uang dunia yang berjuta kali lipat, hanya nol, koma nol nol. Uang-uang itu hanya dimiliki nol koma dua persen penduduk bumi, yang terus rakus menelan sumber daya. Uang itu butuh tempat bernaung. Mereka sudah punya mobil, rumah, berlian, pesawat pribadi, dan pulau pribadi. Mereka juga sudah membeli hutan jutaan hektar di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Karena itu, mereka ciptakanlah berbagai produk keuangan untuk menampungnya. Tidak puas mendapatkan lima persen bunga bank, mereka menyerbu ke obligasi dan saham. Tidak puas juga, mereka menyerbu ke komoditas dan transaksi derivatif yang semakin rumit. Uang itu seperti ratu lebah yang beranak setiap hari, terus tumbuh, serakah. Uang itu butuh tempat untuk berkembang-biak, persis seperti mutasi genetik tidak terkendali.
“Padahal kita lupa, semua hanya kertas, bukan? Secara riil, kekayaan dunia tidak berubah sejak uang pertama kali ditemukan. Jumlah cadangan emas yang menjamin uang hanya itu-itu saja. Kau tadi bertanya apa? Julia, aku tidak peduli kemiskinan, peduli setan, karena daya rusaknya itu-itu saja, busung lapar, kurang gizi. Tetapi kekayaan, daya rusaknya mengerikan. Bahkan uang yang berlimpah itu membuat orang tidak peduli wabah, kelaparan, perusakan alam, dan tragedi kemanusiaan lainnya.
“Kau pernah kuliah ekonomi, bukan?” Aku diam sejenak, menatap wajah gadis di depanku yang matanya membulat, masih mengunyah kalimatku. “Aku pernah, lima belas tahun lalu. Salah satu dosenku adalah profesor penerima nobel ekonomi. Kau bisa membayangkan, mahasiswa model apa aku di kelas. Aku pernah bilang hipotesis bodoh padanya, andaikata dunia ini tetap menggunakan barter, andaikata dunia ini tidak pernah mengenal uang dan bunga, dunia boleh jadi akan jauh lebih adil dan makmur. Profesorku tertawa. Thomas, bagi pialang, pengelola danareksa, eksekutif puncak, orang-orang pintar, bagi kalian mahasiswa sekolah bisnis terbaik dunia, kalian pasti akan lebih bersyukur karena uang dan bunga pernah ditemukan. Kami berdebat, sia-sia. Profesor itu ringan melambaikan tangan, kau lupa petuah bijak bapak ekonomi modern, pasar memiliki ‘tangan tuhan’, Thomas. Dia akan selalu membuat keseimbangan, bahkan meski harus meledakkan keseimbangan sebelumnya. Jadi jangan pernah menulis macam-macam di kertas ujian, atau kau tidak lulus di kelasku. Nasihat yang bagus. Sejak saat itu aku tidak peduli omong kosong kemiskinan, Julia. 
“Apakah kau seorang sosialis?” Gadis di sebelahku akhirnya berkomentar setelah terdiam sejenak.
“Apa aku terlihat seperti sosialis, Julia?” Aku tertawa, menunjuk sepatu mengilat yang kukenakan.
Gadis itu tidak menggeleng, apalagi mengangguk. Dia balas menatapku datar. “Lantas apa pedulimu dengan jahatnya kekayaan? Bukankah kau sendiri hidup dari orang-orang itu. Konsultan keuangan dengan bayaran tinggi? Atau kau jangan-jangan tipikal orang berpendidikan tinggi, pintar, kaya, memiliki pengaruh, tetapi juga sekaligus paradoks dan memiliki kepribadian banyak?” 
Aku menatap mata hitamnya. Nah, sekarang rasa percaya diri dan harga diri gadis ini sudah sempurna kembali. Dia sepertinya bersiap berdebat banyak hal di luar daftar pertanyaan. Sayangnya aku tidak berselera, aku harus beristirahat sejenak di atas pesawat besar ini sebelum mendarat. Jadwal pertarungan pentingku menunggu. Aku rileks melambaikan tangan. “Jika kau tertarik, kita diskusikan hal itu di lain kesempatan, Julia, mungkin makan malam yang nyaman. Tetapi kita lihat dulu akan seperti apa hasil wawancara ini di majalah kalian. Semoga kemampuan menulis kau sekinyis penampilan kau sekarang. Selamat malam.”
Gadis itu tidak dapat menahan ekspresi geregetan, kesal. Boleh jadi kalau tidak sedang di kelas eksekutif penerbangan maskapai internasional, dengan pilot masih asyik beramah-tamah menyapa penumpang, dia akan menampar pipiku.

Senin, 25 September 2017

Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Episode 1 : Krisis Dunia
------------------------------
PESAWAT berbadan besar yang kutumpangi melaju cepat meninggalkan London. 
Penerbangan ini nonstop menuju Singapura. 
Gadis dengan rambut dikucir dan seperangkat touchscreen di tangan, berisi corat-coret daftar pertanyaan, tersenyum gugup di kursi berlapis kulit asli di sebelahku. Aku sedang tidak berselera untuk tersenyum, cukup menyeringai, menatapnya datar.
“Silakan,” kataku.
“Maaf, wawancara ini sudah berkali-kali ditunda. Kami sudah berusaha menyesuaikan jadwal. Tapi begitulah, tidak mudah mengejar kesibukan Anda.” Dia sedikit percaya diri tampaknya. Senyumnya lebih baik.
Tere Liye : Negeri Para Bedebah

Aku mengangguk. Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Janji pertama bertemu di Jakarta kemarin pagi batal karena aku sudah berangkat menghadiri konferensi. Editor senior majalah mingguan itu spesial meneleponku, minta maaf, bilang wawancara ini amat penting, waktunya mendesak, pembaca setia mereka ingin tahu bagaimana cara terbaik menyikapi turbulensi ekonomi dunia saat ini. Apa pun akan mereka lakukan untuk mendapatkan materi wawancara, termasuk menyusulku ke London.
Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas konferensi. Lagi-lagi wartawan mereka datang terlambat di gedung konferensi, dan aku sudah menumpang taksi bergegas menuju bandara.
Editor itu kembali terburu-buru menelepon, bilang mereka sudah berusaha mengirimkan wartawan terbaik mengejarku ke Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat untuk diikuti. Sambil tertawa, dia bergurau, “Kau tahu, Thom. Bahkan jadwalmu lebih padat dibanding presiden.”
Demi sopan santun aku ikut tertawa, lantas berkata pendek, “Kita lakukan saja sekarang di atas langit atau lupakan sama sekali.”
“Seperti yang mungkin sudah disebutkan dalam e-mail, ini akan menjadi judul di halaman depan.” Gadis dengan blus putih dan rok hitam konservatif selutut itu masih melanjutkan dengan kalimat pembukanya. “Kau tahu, terus terang aku sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya, tapi karena aku begitu antusias. Ya Tuhan, aku baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali pesawat biasa. Dan aku menumpang di kelas eksekutif. Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar satu pesawat denganmu.” 
Aku mengangguk, lebih asyik mengamati penampilan “wartawan terbaik” di sebelahku itu. Aku bergumam, semoga isi kepalanya secantik penampilannya. Gadis itu lebih cocok menjadi pembawa acara di layar televisi dibandingkan kuli tinta, bergenit ria dengan dandanan dan kalimat, padahal kosong. Apa tadi kualifikasinya? Lulusan terbaik sekolah bisnis? Ada ribuan orang yang memiliki predikat itu---aku bahkan punya dua.
“Sejak kapan kau menjadi wartawan?” 
Senyum riang gadis itu terlipat, meski ekspresi wajah terbaiknya tetap menggantung.
“Aku?”
“Ya, sejak kapan kau menjadi wartawan?”
“Dua tahun.” Dia menjawab ragu-ragu.
“Berapa usiamu sekarang?”
“Usia? Eh, dua puluh lima.”
“Ada berapa wartawan di kantormu?”
“Eh?” 
“Ya, anggap saja aku yang sedang mewawancaraimu.” Aku menatapnya tipis, mengabaikan pramugari yang penuh sopan santun berlalu-lalang menawarkan kaviar serta anggur terbaik.
“Hampir tiga puluh.” 
“Menarik.” Aku menjentikkan telunjuk. “Dari tiga puluh wartawan di kantor review ekonomi mingguan yang mengklaim terbesar di Asia Tenggara, pemimpin redaksi kalian ternyata memutuskan mengirimkan juniornya yang berusia dua puluh lima dan baru bekerja dua tahun, melakukan wawancara yang katanya paling penting, topik paling aktual, yang judulnya akan diletakkan di halaman depan edisi breaking news. Amat menarik, bukan?”
Wajah gadis itu memerah. Sepertinya aku berhasil menyinggung harga dirinya. Dia terdiam sejenak, meremas jemari, napasnya tersengal. Boleh jadi, kalau tidak sedang di pesawat, dia sudah bergegas meninggalkanku, melupakan wawancara sialan ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan narasumbernya, bukan siapa-siapa, sudah dilemparnya dengan iPad atau sepatu. Dia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini. 
Aku mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan. “Tentu saja aku begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagi pula, aku hanya ingin membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu di atas pesawat ini benar, ternyata kau memang jauh lebih cantik saat marah. Namamu Julia, bukan? Mari kita mulai wawancaranya.”
***
Aku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang---yang satu pun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya membuatku muak. 
Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah serigala berbalut jas, dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karyawan hierarki terendah mereka. Buncah bicara tentang regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri tidak mau diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan bantuan global, tetapi mereka sibuk mengais keuntungan di tengah situasi kacau-balau.
Hanya satu alasan kenapa aku menghadiri konferensi ini, meluangkan satu jam menjadi pembicara, bayarannya mahal. Alasan paling masuk akal bagi seluruh umat manusia.
“Si Om Teroris ini, maaf, aku bosan menyebutnya dengan krisis ekonomi global, subprime mortgage, atau apalah nama binatang itu, terlalu panjang dan mual mendengarnya, setiap hari ada di televisi, koran, radio, internet, bahkan sopir taksi tidak ketinggalan. Aku akan menyebutnya dengan Om Teroris saja. Ada yang keberatan?” Aku memulai sesi pagi dengan santai, bertopang dagu.
Peserta konferensi antarbangsa tertawa.
“Ya, ya, aku tahu di pojok sana keberatan.” Aku pura-pura memasang wajah serius. “Tetapi di dunia dengan sistem ekonomi saling bertaut, tidak ada batas pasar modal dan pasar uang, krisis seperti ini lebih menakutkan dibanding teror dari ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Kita tidak pernah melihat indeks saham terjun bebas seperti hari ini ketika dulu menara WTC dihancurkan, bukan? Bahkan indeks tidak berkedut ketika kapal selam nuklir Soviet memasuki perairan Amerika di era perang dingin. Hari ini, semua orang panik, satu per satu seperti anak kecil menunggu jatah permen, perusahaan raksasa mendaftar perlindungan kebangkrutan, dan harga surat berharga menjadi sampah, tidak lebih dari harga selembar kertas folio kosong.” 
Aku ekspresif menjentik selembar kertas, membiarkannya jatuh dari atas meja.
“Orang-orang kehilangan dana pensiun, jaminan kesehatan, tabungan puluhan tahun, dan rencana pendidikan. Kita amat tahu, untuk orang-orang seperti kita, inilah teror sebenarnya. Rasa cemas atas masa depan. Detak jantung mengeras setiap melihat tukikan grafik harga, potensi kehilangan kekayaan, tidak bisa tidur, bahkan satu-dua eksekutif puncak memilih bunuh diri.”
Peserta konferensi antarbangsa takzim mendengarkan. Aku diam sebentar, meraih gelas air mineral, senang memperhatikan wajah-wajah menunggu mereka.
“Sayangnya,” aku meremas rambutku, menghela napas, “Om Teroris yang satu ini tidak bisa ditusuk dengan pisau. Presiden kalian, maksud aku presiden di meja pojok sana, bisa dengan mudah mengirim ribuan tentara, pesawat tempur, tank, bahkan kapal induk untuk memburu satu orang teroris. Khotbah tentang preventive strike memberikan rasa aman bagi segenap rakyat, mencegah teror meluas. Sial, Om Teroris yang satu ini bahkan tidak bisa dipegang batang lehernya.
“Bukan karena dia tidak bisa dilihat, tentu saja muasal kekacauan pasar modal dan pasar uang kita amat terlihat, tidak susah mengurai benang kusutnya. Kita tidak bisa menusuknya, karena kalau itu dilakukan, kita semua di sinilah yang pertama kali tertikam. Kitalah yang terlalu serakah dan kreatif menciptakan pola transaksi keuangan, membiarkan bahkan membuat nilai aset menggelembung tidak terkendali, mengabaikan risiko sebesar Gunung Everest di depan hidung. Peduli setan? Sepanjang bonus tahunan terus membubung dan semua fasilitas---pesawat jet perusahaan, hotel terbaik, liburan berkelas---tetap ada. Temuan audit pun dibungkus sebaik mungkin. Peringatan awal dianggap angin lalu. Mulailah kita terbiasa mematut informasi, memabrikkan kemasan, melupakan bahwa itu semua ada batasnya. Ketika nilai surat berharga semakin lama semakin menggelembung, harga selembar kertas bisa setara berkilo-kilo emas, padahal sejatinya dia tetap selembar kertas.”
“Boom!” Aku mengetuk mik dengan jari---membuat hadirin sedikit tersentak kaget. “Semua meledak, ekonomi dunia remuk, krisis ekonomi global pecah, dalam sekejap menjalar ke mana-mana. Bursa New York tumbang, memangkas kapitalisasi dunia miliaran dolar, disusul London, Frankfurt, Amsterdam, Paris. Dan hanya butuh sedetik berita mengerikan itu tiba di Bangkok, Singapura, Jakarta, Dubai, Sao Paolo, Sidney bahkan Johannesburg. Semua orang panik, kontrak future harga minyak dan komoditas turun, perdagangan dunia terkulai, perekonomian melambat, banyak negara menyatakan resesi. Bahkan ada yang bergegas menyatakan bangkrut, meminta pertolongan. 
“Hari ini kita sibuk berdiskusi sana-sini, menganalisis, berandai-andai, andai itu tidak dilakukan, andai ada regulasi yang mengatur, tetapi lebih banyak yang berandai-andai, andai lebih dulu menjual lantas memasang transaksi short-selling, andai uang tunai di tangan siap sedia, andai dalam posisi transaksi sebaliknya. Itu akan jadi berkah tidak terkira, berpesta pora di tengah kerugian massal.”
“Tuan, maaf saya menyela.” Seorang peserta konferensi berkata tidak sabaran, dengan bahasa Inggris sengau khas Asia Timur, membuat seisi ruangan menoleh padanya.
“Sesi tanya-jawab tersedia di lima belas menit terakhir.” Bergegas moderator, salah seorang profesor sekolah bisnis ternama, mengingatkan.
“Tidak mengapa. Silakan.” Aku tidak keberatan, mengangguk.
“Eh?” Moderator itu menatapku.
“Terima kasih.” Peserta itu berdeham, dasinya miring, rambutnya tidak rapi, pasti sedang pusing dengan banyak hal. “Aku pikir, kami tidak akan menghabiskan waktu untuk mendengar lagi cerita seperti sesi akademis dan birokrat sehari penuh sebelumnya. Jauh-jauh kami datang hanya untuk mendengar teori-teori. Kami lelah. Kami butuh keputusan cepat dan tepat. Tuan, Anda dipuji banyak media sebagai salah satu penasihat keuangan terbaik. Begini sajalah, sejak krisis ini terjadi, frankly speaking, perusahaan kami sudah limbung kiri-kanan, melaporkan kerugian yang menghabisi saldo laba dua puluh tahun, posisi kas negatif, dan klaim pembayaran nasabah hanya menunggu waktu. Apa yang harus kami lakukan? Atau tepatnya, apa yang eksekutif puncak perusahaan bernasib sama seperti kami harus lakukan? Menunggu vonis kematian?”
Gumaman setuju terdengar dari banyak meja.
Aku tertawa kecil, menyikut moderator di sebelah. “Nah, akhirnya bisa dimengerti kenapa aku dibayar mahal sekali untuk menjadi pembicara dalam konferensi ini. Kalian ternyata meminta nasihat keuangan secara gratis. John, jangan lupa kau bantu kirimkan tagihan ke seluruh peserta.”
Peserta konferensi antarbangsa tertawa.
Aku mengusap wajah, menunggu ruangan kembali hening, lantas berkata perlahan. “Kunci solusinya hanya tiga kata: rekayasa, rekayasa, dan rekayasa. Itu saja. Sejak zaman Firaun, sejak zaman Xerxes dari Persia, hanya itu solusi menghadapi krisis ekonomi besar. Termasuk bagaimana menyelamatkan uang kalian yang telanjur terbenam di perusahaan terancam bangkrut.”