Sabtu, 02 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 19. Part 1: Tuanku Imam

Lima tahun lalu, aku sedang berada di London saat Mansur mendadak menelepon, memberitahu Kopong jatuh sakit. 
“Kau bisa pulang, Bujang?” Suara Mansur di seberang telepon terdengar cemas,”Kopong menanyakan kau, kondisinya terus memburuk hitungan jam.”
“Aku akan pulang, Mansur. Segera.”
Waktu itu, aku sedang menghadiri simposium teknologi kedokteran dunia. Aku sering menghadiri konvensi, seminar, pertemuan seperti ini, untuk mencari alternatif investasi bagi Keluarga Tong. Ada banyak peneliti berkumpul, mereka mencari pendanaan penelitian teknologi medis masa depan. Satu-dua menarik minatku, lewat perusahaan legal Tauke, dana bisa dikucurkan ke berbagai lembaga riset. Aku juga sering menghadiri pameran seni, mengikuti lelang, atau mengongkosi ekspedisi arkeologi, dan sebagainya, itu juga tugasku, sekaligus refreshing yang mengasyikkan.
Mobil limusin membawaku ke bandara London, pilot sudah menunggu di atas pesawat.
“Kita kembali ke ibukota, Edwin.” Aku masuk ke dalam kokpit.
“Siap, Capt.” Edwin, pilot muda yang baru kurekrut mengangguk. Dia sedang semangat-semangatnya bekerja setelah enam bulan lalu dipecat dari militer.
Pesawat pribadi berwarna merah dengan simbol T itu melesat ke angkasa. Aku memegang tuas kemudi bersama Edwin. Penerbangan selama dua belas jam, pesawat sempat transit di Abu Dhabi untuk mengisi bahan bakar, kemudian langsung menuju ibukota.
Aku tiba di markas besar malam hari, pukul sepuluh, bergegas menuju bangunan tempat Kopong dirawat. Ada beberapa tukang pukul berkumpul di sana. Wajah mereka suram. Semua aktivitas tukang pukul dihentikan sepanjang hari. 
“Akhirnya kau tiba, Bujang.” Tauke Besar berdiri menyambutku, juga Mansur.
Aku mengangguk.
Tere Liye : Pulang

“Kopong menunggu kau di dalam. Sial sekali dia, lebih memilih ditemani kau dibanding kutemani. Bilang aku bukan teman penghibur yang baik.” Tauke menyeringai.
Aku melangkah, masuk ke kamar Kopong. Selang-selang membelit tubuhnya, beberapa peralatan medis telah disiapkan oleh dokter senior, ada dua perawat yang sedang memeriksa, mereka keluar kamar setelah selesai, menyisakan aku sendirian bersamaKopong.
“Apa kabar, Kopong?” Aku bertanya, tersenyum.
“Seperti yang kau lihat, Bujang.” Kopong beranjak duduk, wajahnya meringis menahan sakit.
Aku membantunya, memasangkan bantal di punggung.
“Kau dari mana saja, Bujang?” Kopong bertanya dengan suara serak.
“London.”
“Ah, kau selalu saja dari tempat-tempat hebat dunia, Bujang…. Tak terbayangkan, anak talang, tanpa alas kaki saat tiba di rumah, hari ini sudah hebat sekali.”
“Itu berkat kau, Kopong.” Aku menatapnya berterima-kasih.
Kopong balas menatapku, tersenyum.
Kamar itu lengang sejenak, menyisakan desing alat bantu.
“Aku akan mati, Bujang. Tidak lama lagi.”
Aku menelan ludah. 
“Tugasku sudah selesai. Keluarga Tong sudah berkembang besar seperti yang dicita-citakan Tauke. Terbentang ke seluruh negeri, dari ujung ke ujung.” Kopong menghela nafas, “Aku selalu menginginkan mati dalam pertempuran, berdiri gagah menghabisi musuh-musuh, tapi takdirku berkata lain. Aku sepertinya harus mati di atas ranjang ini. Tapi itu tidak masalah, setidaknya aku mati ditemani orang-orang yang kuhormati dan semoga mereka menghormatiku.”
Aku menatap tubuh Kopong yang terlihat lemah. Wajahnya pucat, usianya sudah lima puluh tahun lebih, separuh kesangaran Kopong hilang—bersama kesegaran fisiknya.
“Aku akan bercerita sesuatu kepada kau, Bujang. Sebelum aku mati, sesuatu yang aku simpan bertahun-tahun. Malam ini, akan kuberitahu. Dulu, aku hendak menceritakannya saat Bapak kau wafat, saat kau jatuh sakit, tapi aku pikir itu bukan waktu terbaiknya, aku khawatir justeru membuat kau memikirkan banyak hal.”
Tentang apa? 
“Tentang Bapak kau, Bujang. Tentang Syahdan.” Kopong tersenyum tipis, “Tentang cinta lebih tepatnya. Cinta sejati yang teramat besar.”
Kopong memperbaiki posisi duduknya, tersenyum sekali lagi, lantas mulai bercerita, “Ketika Syahdan bilang dia hendak berhenti menjadi tukang pukul, maka semua anggota Keluarga Tong bertanya-tanya, kenapa? Apa alasan terbesarnya? Memang benar, Syahdan lumpuh, satu kakinya hanya bisa diseret, tapi itu bukan berarti dia tamat, tidak bisa lagi jadi tukang pukul, dia tetap Syahdan yang lama, kami bisa menjulukinya dengan julukan baru, ‘Si Kaki Satu’. Tauke Besar bisa mengobatinya, membawanya ke dokter terbaik, mengganti kakinya dengan kaki palsu atau apalah. Masih ada banyak jalan keluar bagi Syahdan, tapi dia tiba-tiba meminta berhenti…. Syahdan bilang dia malu atas kegagalannya menjaga keluarga Tauke, tapi kami tahu itu bukan semata-mata kesalahannya sebagai kepala tukang pukul, itu kesalahan kami semua.
“Lima belas tahun Syahdan menjadi tukang pukul, dia telah melakukan apapun yang bisa dilakukan seorang tukang pukul kawakan kepada majikannya, bahkan melebihi tugasnya. Tiba dipuncak posisinya, untuk kemudian bilang ingin keluar. Tauke dengan berat hati akhirnya menyetujui permintaan Syahdan, itu benar-benar pengecualian di Keluarga Tong, karena itu bisa merusak sistem. Bayangkan jika tukang pukul lain juga ikut-ikutan minta berhenti? 
“Saat hari kepergian, aku menawarkan diri mengantarnya pulang atau kemanapun Syahdan akan pergi. Bapak kau tidak keberatan, dia suka dengan ide itu, setidaknya dia punya teman perjalanan. Tauke juga mengijinkanku pergi selama seminggu, sambil berbisik kepadaku sebelum kami pamit, ‘Kopong, kau cari tahulah kenapa Syahdan ini jadi aneh sekali. Apa yang membuatnya jadi berhenti’. Maka kami berangkat pada sore itu, Bapak kau hanya membawa sebuah tas kecil berisi pakaian, dia menolak seluruh uang dan hadiah-hadiah dari Tauke.
“Kami menumpang kereta dari kota provinsi, berjam-jam perjalanan, hingga tiba di sebuah kota kecil, pagi hari. Kota itu indah, berada di lembah menghijau, kabut membungkus pepohonan. Aku pikir kami sudah tiba, Bapak kau tertawa, mengajakku menuju terminal, menggendong tasnya. Kami pindah kendaraan, naik mobil angkutan pedesaan, butut sekali mobilnya, bak terbuka, dengan penumpang yang membawa barang dagangan dari kota, berdesak-desakan, terbanting sepanjang jalan yang buruk. Mobil colt itu tersengal mendaki lereng bukit barisan, aku khawatir mobilnya akan patah as, atau rem-nya blong, kami bisa meluncur ke dalam jurang. Tapi Bapak kau tidak terlihat cemas, sepanjang perjalanan dia terlihat riang. Tidak terlihat jika dia lumpuh satu, atau kesakitan kakinya. Dia menepuk-nepuk bahuku, bilang, mobil colt yang kami tumpangi akan baik-baik saja.
“Setelah tiga jam perjalanan, kami tiba di sebuah perkampungan yang besar. Ada banyak toko di sana, juga warung makan, ada sebuah masjid besar, dengan sekolah agama, menjadi pusat seluruh aktivitas kampung. Ratusan murid belajar ilmu agama di sekolah itu. ‘Kita tiba, Kopong. Inilah kampungku.’ Syahdan semakin riang, tawanya lebar. Aku menatap sekitar, kampung itu terlihat permai, pepohonan kelapa terlihat, sawah-sawah luas nan subur, penduduk yang ramai. Aku menghabiskan usiaku di kota, menatap kampung itu membuatku ikut senang, sebahagia bapak kau.
“Beberapa orang yang mengenali Syahdan berseru, memeluknya, seperti lama sekali tidak berjumpa. Aku segera tahu, dari percakapan mereka, Syahdan lahir dan besar di kampung itu, untuk kemudian, saat usianya dua puluh tahun, tiba-tiba dia menghilang begitu saja selama lima belas tahun. Dengan berjalan kaki, Syahdan mengajakku pergi ke sebuah rumah besar di ujung perkampungan, itu rumah milik orang tuanya yang sudah lama meninggal. Rumah kayu yang kokoh, terlihat kotor, berantakan, tidak terurus. ‘Inilah tempat kita bermalam, Kopong. Kita harus bersih-bersih.’ Bapak kau melemparkan sapu ijuk, aku mengusap peluh di leher, tadi berjalan menanjak dari tempat berhenti mobil colt hingga tiba di rumah besar ini, melewati jalan setapak, pematang sawah.”
“Jadilah aku seperti petugas bersih-bersih, hingga malam tiba, sebagian kecil rumah itu sudah bersih dan layak ditinggali. Bapak kau menyalakan lampu petromaks yang ada, juga menyalakan tungku kayu bakar, mulai merebus air dan memasak sesuatu. Peralatan di rumah itu lengkap, hanya tidak terawat. Malam itu kami makan seadanya, tapi nikmat, sambil menatap hamparan sawah gelap, suara jangkrik, kunang-kunang melintas. Sesekali, saat waktu shalat tiba, dari toa masjid besar sekolah agama terdengar suara adzan, menggema hingga ujung-ujung kampung.
“Bapak kau bercerita tentang kampung itu, ‘Kopong, inilah satu-satunya kampung yang menarik di seluruh pulau Sumatera.’ Aku menatapnya, apanya yang menarik? Ini memang indah, tapi sama saja dengan kampung lain, bukan. Bapak kau menggeleng, ‘Kampung ini penuh sejarah, Kopong. Sejak jaman penjajahan Belanda dulu. Waktu itu, meletus peperangan besar di sini, karena wilayah ini dulu adalah tempat paling strategis untuk menguasai daerah-daerah lain. Ratusan pasukan Belanda membuat benteng, kemudian menguasai daerah sekitar’. Aku terdiam, itu tetap tidak menarik. Di tempat lain juga begitu.”
“Tapi aku akhirnya paham. Syahdan meneruskan cerita, waktu itu, ada seorang Tuanku Imam, panggilan guru agama di kampung, yang memimpin perlawanan kepada Belanda, setelah bertahun-tahun berperang tanpa hasil, Tuanku Imam punya ide yang berbeda, dia memanggil para perewa, bandit, penjahat dari seluruh tempat di daerah itu, untuk bersatu dengannya mengusir penjajah, jika mereka berhasil melakukannya, maka perewa diijinkan tinggal di kampung, diberikan tapak tanah untuk membangun rumah, persawahan, memulai hidup baru.
“Itu ide yang menarik, karena jaman itu, perewa terusir dari setiap tempat. Mereka hanya membuat risau saja kerjaannya—sama seperti kita mungkin. Tidak ada satupun kampung yang bersedia menampung mereka. Penduduk akan mengusir keluarganya, benci sekali. Tapi atas seruan guru Tuanku Imam, berkumpullah dua puluh perewa dari berbagai tempat, ditambah murid-muridnya, juga penduduk kampong, pasukan itu lengkap. Mereka gagah berani menyerang benteng Belanda. Keajaiban terjadi, guru agama itu memenangkan peperangan, ratusan tentara Belanda tewas, mereka berhasil dipukul mundur hingga kembali ke pelabuhan, naik kapalnya.
“Sejak saat itu, tidak ada satupun penjajah yang berani menyentuh kawasan ini. Tuanku Imam memenuhi janjinya, perewa dibolehkan tinggal di kampung, mereka diberikan tanah luas di pinggiran perkampungan. Awalnya itu berjalan baik, setidaknya hingga guru agama itu masih hidup, seluruh penduduk kampung bisa hidup berdampingan. Saat dia wafat, bertahun-tahun berlalu, ada dua kubu terbentuk di kampung itu, yang semakin terlihat perbedannya. Sekolah agama dengan masjid besar, yang berpusat di tengah kampung, adalah kelompok pertama, keturunan Tuanku Imam, mereka adalah penghuni awal perkampungan. Kubu kedua adalah keturunan perewa yang dulu membantu peperangan, tinggal di pinggiran.” 
Kopong diam, ceritanya terhenti sejenak, dia memperbaiki posisi duduk. 
“Malam itu, saat duduk di teras rumah panggung, bercakap-cakap santai, akhirnya aku tahu kenapa Syahdan berhenti menjadi tukang pukul, Bujang. Dia malu-malu, dengan muka merah mengaku, jika dia menyukai anak gadis yang tinggal di dekat masjid besar. Sejak kecil. Sejak dia belajar agama di masjid itu, bermalam di sana, mendengarkan guru agama. Bapak kau sebenarnya adalah keturunan perewa, keluarganya tinggal di pinggiran kampung, tapi dalam kasus ini, Syahdan sejak kecil justeru tertarik belajar agama, dia tidak menyukai menjadi bandit. ‘Besok pagi, aku datang ke masjid besar itu, Kopong, aku akan melamar kekasih hatiku.’ Aku bisa melihat betapa bahagianya wajah Bapak kau saat bilang kalimat itu, berpendar-pendar matanya ditimpa lampu petromaks. Aku memang tukang pukul, tapi bukan berarti aku tidak tahu apa itu cinta, aku melihatnya di mata Syahdan. Cinta sejati, Bapak kau beruntung sekali menemukannya.”
Kopong diam lagi, menatapku lamat-lamat.
Aku mengusap wajah, ini cerita paling detail tentang Bapak dan Mamak yang pernah kudengar.
“Tapi semua berjalan berantakan esoknya, Bujang. Sungguh berantakan. Syahdan, aduh, aku sungguh tidak menduganya, wanita yang dia sukai itu justeru adalah puteri dari Tuanku Imam, guru agama sekarang. Maka bagaimanalah urusan itu akan berjalan lancar? Esok paginya, di masjid besar, sudah berkumpul belasan sesepuh, tetua kampung kelompok pertama, kerabat dari Tuanku Imam. Saat Syahdan menyatakan lamaran itu, mereka semua berseru menolaknya. Mentah-mentah.
“Itu bukan kali pertama Syahdan melamar Mamak kau, Bujang. Aku akhirnya tahu dari seruan-seruan marah mereka, bahwa lima belas tahun lalu, Syahdan juga sudah ditolak Tuanku Imam yang lama, berani sekali keturunan seorang perewa kembali datang melamar. Aku tertunduk menatap karpet masjid, sedih melihat Syahdan dipermalukan, dimaki-maki, bayangkan perasaan Syahdan, mungkin sudah tercabik-cabik melihat penolakan itu. Lantas kenapa Syahdan tetap mengotot melamar jika lima belas tahun lalu dia sudah ditolak? Karena Tuanku Imam sudah berganti. Dulu yang menolaknya adalah Ayah Mamak kau, dia sudah meninggal, sekarang Tuanku Imam kepala sekolah agama itu adalah kakak tertua Mamak kau, hanya terpisah lima tahun dari usia Syahdan, teman dekat sejak kecil.”

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar