Jumat, 08 September 2017

Tere Liye : Pulang

Bab 22 part 2. Memeluk Erat
Satu jam menembus macet, pukul sebelas siang, kami tiba di pelabuhan ibukota.
Empat tukang pukul yang mengenakan ikat kepala dengan simbol huruf Arab, menjaga gerbang pelabuhan, terkejut melihatku di balik setir. Mereka menelan ludah, menghentikan gerakan tangan yang hendak mencabut senjata tajam di pinggang.
“Aku ingin bicara dengan Letnan kalian.” Aku menatap mereka datar.
Dua orang tukang pukul berlari masuk, memanggil.
“Hallo, Togar. Wajahmu membeku. Kau seperti melihat orang yang hidup kembali?”Aku menyapa Letnan tukang pukul yang keluar.
Nama Letnan itu adalah Togar, usianya tiga puluh lima, dia satu generasi denganku, direkrut Kopong di kota provinsi dulu, hanya berjarak dua minggu setelahku. Togar juga salah-satu Letnan terbaik Keluarga Tong, dia sama seperti Joni, lebih dekat denganku dibanding Basyir.
“Astaga, Si Babi Hutan? Kau masih hidup?”
Aku mengangguk, “Sesehat yang kau lihat, Togar.” 
“Basyir bilang kau telah tewas di kamar Tauke Besar. Juga Parwez.”
Togar gemas melepas ikat kepala dengan simbol huruf Arab, melemparkannya ke tanah, “Maafkan aku, Si Babi Hutan. Kami tidak tahu kau masih hidup. Kami tidak akan pernah mendukung Basyir dan Brigade Tong, jika kau masih hidup, lebih baik mati melawan mereka. Pelabuhan ini terpaksa tunduk kepadanya, karena dia mengancam akan membunuh keluarga kami.”
Empat tukang pukul lain juga melepas ikat kepala, salah-satu dari mereka bahkan menginjaknya.
Aku tersenyum.
“Aku membutuhkan pelabuhan sebagai markas sementara, Togar. Kau pastikan semua dalam kendalimu. Aku akan menyusun kekuatan di sini. Hubungi Letnan dan tukang pukul yang bersembunyi, kumpulkan sebanyak mungkin. Malam ini kita akan membalas Basyir. Kita akan pergi berperang.”
Togar mengepalkan tangannya, wajahnya penuh semangat. Empat tukang pukul juga mengangguk-angguk. Terlihat sekali jika mereka dua hari terakhir ditekan oleh Basyir.
Gerbang pelabuhan dibuka tukang pukul, mobil bak terbuka melintas, melewati tumpukan kontainer. 
“Bidak pertama kita melangkah mulus, Parwez. Kita telah menguasai pelabuhan tanpa sebutir peluru pun. Jika ini permainan catur, aku memulainya dengan pembukaan gambit raja, itu favoritku.” Aku turun dari mobil pinjaman Tuanku Imam, “Seharusnya kau familiar sekali dengan hal ini. Kau pemain catur yang brilian, bukan?”
Parwez menggeleng, “Catur tidak menembak atau membunuh orang, Bujang.”
Aku tertawa.
Tere Liye : Pulang

***
Orang kedua yang kuhubungi adalah si kembar.
Mereka tidak bisa ditelepon, itu bukan cara menghubunginya. Mereka juga tidak bisa dikontak lewat surat, telegram, cara-cara lama. Si kembar hanya bisa dikontak lewat percakapan di dunia maya. Aku meminjam komputer di kantor Togar. Lewat cara itulah aku selama ini menghubungi Yuki dan Kiko.
Aku mulai mengetik pesan di layar percakapan.
littlepig: kalian ada di sana?
Kursor berkedi-kedip. Aku harus menunggu hampir satu jam hingga ada jawaban.
twinshinobi: hai.
Aku memaki dalam hati. Si kembar membuatku menunggu begitu lama—entah siapa yang menjawab percakapanku, dan dia hanya balas menyapa hai. Mereka tidak tahu aku sudah cemas, jangan-jangan mereka sedang berlibur, meninggalkan tablet yang sering digunakan.
littlepig: orangtua besar meninggal. rumah diserang. 
twnishinobi: gomen’nasai. im so sorry, littlepig. kiko menggunakan tablet untuk belanja online, berjam-jam tidak berhenti, dia tidak tahu kau menghubungi. 
Si kembar akhirnya membalas dengan lebih baik percakapanku.
littlepig: mondaiarimasen, no problem. 
twnishinobi: sedih sekali mendengar kabarnya. teringat dulu saat bushi meninggal. 
littlepig: yeah, memang sedih.
twinshinobi: apa yang bisa kami bantu, littlepig?
littlepig: menemaniku. aku butuh teman.
twnishinobi: apa acaranya?
littlepig: membalaskan sakit hati. tidak ada peraturan.
twnishinobi: siapa tuan rumahnya?
littlepig: si pengkhianat dan anak si pemarah di kota makau
twnishinobi: apa yang harus kami siapkan?
littlepig: apapun yang bisa kalian bawa. hidup mati. detail akan kukirimkan lewat email. 
twnishinobi: berapa bayarannya?
Aku sekali lagi memaki dalam hati. Apakah si kembar serius? Mereka menanyakan bayaran dalam situasi seperti ini.
twnishinobi: KIKOOO!! Itu kiko, littlepig. dia lagi kesal karena terhenti belanja online, menyela percakapan, tidak membaca bagian awalnya, sembarang membalas. jangan dengarkan kiko, dia hanya bergura. kami akan segera berkemas. sebelum pukul tujuh malam kami telah tiba. kami akan membantu membalaskan sakit hati.
littlepig: arigato. bye.
Aku menutup layar percakapan. Tim keduaku telah selesai dihubungi, beberapa jam kemudian, mereka akan membawa peralatan, menumpang pesawat jet pribadi yang disiapkan Edwin, menuju ibukota. Malam ini, si kembar tidak akan bertugas sebagai pengalih perhatian, mereka berdua akan menemaniku menyerang jantung pertahanan gedung tiga puluh lantai tersebut.
Waktu berjalan cepat di pelabuhan. Pukul dua siang, Parwez membawa kabar terbaru.
“Mereka sepertinya sudah siap berperang, Bujang.” Parwez menyeka peluh di leher, dia masih mengenakan kemeja putih longgar pinjaman, “Seluruh gedung telah dievakuasi dengan alasan ada kebocoran pipa gas, Basyir yang menyuruh. Ada lebih banyak anak buah Basyir yang berkumpul di sana, mereka lebih leluasa tanpa orang-orang sipil. Juga pasukan Keluarga Lin, mereka menambah orang-orangnya, ada belasan mobil yang tiba.”
Aku mengangguk, Basyir sudah tahu bidak yang kumainkan, informannya pasti telah memberitahu kami ada di pelabuhan. Dia menambah kekuatan. Jika Basyir sudah sangat kuat, dia boleh jadi akan menyerang duluan ke pelabuhan, tapi dia tidak akan sebodoh itu, terlalu terbuka. Lagipula akan sulit menutupi pertempuran dari perhatian masyarakat sekitar, itu bisa mengundang masalah baru. Gedung kantor Parwez adalah pilihan terbaik. Staf, karyawan, orang-orang yang tidak tahu-menahu sudah dikeluarkan, gedung itu siap menjadi arena perang.
Pukul empat sore, Togar berhasil membawa dua Letnan bersamanya.
Belasan mobil jeep merapat di pelabuhan.
“Aku segera kemari setelah Togar bilang kau masih hidup, Si Babi Hutan. Kami minta maaf jika tidak segera mencari tahu. Sejak serangan, situasi kacau balau. Kami tercerai-berai menyelamatkan diri. Brigade Tong menghabisi siapapun yang menolak bergabung.” Dua Letnan itu menunduk dalam-dalam.
Aku menepuk-nepuk pipi mereka, “Tidak masalah. Berapa tukang pukul yang kalian bawa?”
“Dua puluh orang, Si Babi Hutan. Anak buahku sebagian besar tewas saat serangan di markas.”
Aku tetap mengangguk. Itu sebenarnya jumlah yang sedikit sekali, ditambah anak buah Togar di pelabuhan, kami hanya punya enam puluh tukang pukul yang masih setia. Tapi tidak masalah. Aku masih menyimpan sebuah kejutan, rencana-rencana lain.
“Kita akan membalas kematian Joni!” Salah-satu Letnan berkata dengan suara bergetar.
Aku mengangguk, menjabat kokoh tangannya, “Kita akan membalas seluruh kematian teman-teman kita. Pengorbanan mereka tidak akan sia-sia.”
Dua Letnan itu mengepalkan tangannya, rahang mereka mengeras karena semangat.
Pukul enam sore, White akhirnya tiba dari Hong Kong. Dia datang dengan bergaya, sebuah helikopter militer mendarat di pelataran parkir. Dari dalamnya, berloncatan dua belas orang dengan seragam marinir, bersenjata lengkap.
Aku tertawa senang melihatnya. Togar dan Letnan lain menatapnya takjub, juga tukang pukul lain, mereka tidak menduganya.
“Kau pinjam dari mana helikopternya, White?” Aku memeluk White, menepuk bahunya.
“Frans, orang tua itu mendadak menjadi sangat menyebalkan saat tahu ini perang balas dendam. Dia meneriakiku agar membawa pasukan lengkap, dan berteriak semakin marah saat kubilang aku bukan lagi marinir. Aku akhirnya menghubungi beberapa teman lama marinir yang bekerja di perusahaan keamanan yang sering disewa militer Amerika, mereka menyediakan helikopter dan persenjataan lengkap. Kau sudah berjanji akan membayarnya, bukan? Bayaran mereka mahal sekali, Bujang. Aku tidak bisa melunasi tagihannya, bahkan menjual resto sekalipun.”
“Aku akan membayarnya, White. Jangan cemas.”
Sebelas rekan White menjabat tanganku. Mereka adalah mantan marinir terlatih, terbiasa dengan misi berbahaya. Spesifikasi yang sangat kubutuhkan, White tidak mengecewakan Frans si Amerika. Edwin juga telah mengurus ijin helikopter itu, mereka bisa terbang bebas di udara ibukota malam ini. 
Pukul tujuh malam. Giliran si kembar yang tiba. Gerimis mulai turun membungkus ibukota.
Aku, Parwez, White, dan tiga Letnan sedang duduk di ruang rapat kecil, membahas rencana penyerbuan, saat pintu rapat didorong dari luar. Kepala Yuki muncul, disusul Kiko. Mereka seperti biasa mengenakan ‘pakaian turis’, dengan warna cerah, membawa tas punggung, kamera, dengan bando besar hello kitty di kepala. Wajah mereka terlihat centil.
“Hai!” Kiko menyapaku riang.
White langsung menepuk dahi, tidak percaya apa yang dilihatnya, “Kau mengajak mereka juga, Bujang? Astaga! Aku pikir kau sudah kapok setelah kejadian di Grand Lisabon.” Dua tukang pukul juga berusaha mencegah si kembar masuk, “Mereka bilang hendak bertemu kau, Si Babi Hutan. Aku khawatir mereka salah orang. Dua turis Jepang ini mungkin tersesat di pelabuhan.”
Aku tertawa menatap wajah sebal White, juga wajah bingung dua tukang pukul.
“Masuklah, Yuki, Kiko. Mereka anggota tim kita malam ini.”
Si kembar tanpa disuruh pun sudah cuek masuk.
“Aku tidak mau mereka satu tim denganku, Bujang. Dan aku serius kali ini.” White bersungut-sungut.
“Memang tidak, White. Yuki dan Kiko akan bersamaku, mereka tidak akan mengacaukan rencana siapapun.”
Dengan tibanya si kembar, lengkap sudah timku. Setengah jam kami membahas serius strategi penyerangan, menggunakan miniatur gedung kantor Parwez. Rencana perang malam ini sangat sederhana. 
Gedung itu tiga puluh lantai, berada di jalan protokol ibukota. Sisi kiri gedung itu dengan jarak lima puluh meter adalah gedung perkantoran dua puluh sembilan lantai milik perusahaan tambang, hampir setara tingginya. Sisi kanannya adalah kantor perbankan milik pemerintah, di bagian belakang kosong, lahan parkiran. Dua puluh lantai pertama kantor Parwez adalah area perkantoran biasa, semua orang bisa masuk sepanjang memiliki akses yang diberikan resepsionis di lobi gedung. Sepuluh lantai terakhir adalah area terbatas, hanya anggota Keluarga Tong yang bisa masuk, kartu akses mereka dikeluarkan oleh Parwez. Basyir pastilah berada di lantai dua puluh lima, tempat kantor Parwez berada. Itu lantai paling strategis dan aman.
Kami akan menyerang secara terbuka dari tiga sektor. White bersama rekan marinirnya akan mendarat di atap gedung, mereka akan menyerang dari atas. 
“Gedung itu dilengkapi rudal anti pesawat, aku tidak tahu apa yang akan menyambut kalian di sana. Berhati-hatilah.” Aku menjelaskan.
White mengangguk. Mereka berpengalaman mengatasi situasi itu.
“Dari atas, kalian akan terus turun ke bawah, habisi siapapun yang menghalangi. Kemungkinan besar, pasukan Keluarga Lin akan berada di sana, mereka dilengkapi senjata M16 atau setara itu. Beberapa mungkin membawa pelontar granat. Menurut informasi staf Parwez, jumlah mereka hampir seratus orang, itu tidak akan mudah, White. Meski kau berpengalaman melawan mereka di Grand Lisabon.”
“Aye-aye, Bujang. Serahkan padaku bagian atas gedung.” White menjawab mantap.
Togar, dua Letnan dan enam puluh tukang pukul akan menyerang dari lobi. Mereka akan masuk menerobos gerbang dengan mobil jeep. Pertarungan jarak dekat.
“Sebagian besar Brigade Tong akan berada di lantai bawah, Togar. Mereka ahli dalam pertarungan jarak pendek, belati mereka mematikan. Ditambah tukang pukul yang membelot kepada Basyir, jumlah mereka hampir tiga ratus orang.” Aku menoleh kepada Togar dan dua Letnan, “Kita kalah jumlah, tapi aku sudah menyiapkan rencana. Kalian tidak perlu merangsek naik, cukup bertahan selama mungkin, merepotkan mereka. Memecah konsentrasi peperangan menjadi dua tempat.”
Togar mengangguk, wajahnya serius. Dia sudah tidak sabar.
“Sementara kalian menyerang atas dan bawah gedung, aku, Yuki dan Kiko akan menyerang dari sisi satunya. Kami akan langsung menusuk jantung pertahanan gedung, lantai dua puluh lima. Caranya sedang disiapkan oleh Yuki dan Kiko, mereka ahli melakukan hal itu, menerobos sistem keamanan bangunan. Tiga serangan yang dilakukan serempak dari tiga tempat berbeda. Kita punya kesempatan baik untuk menang.”
Seluruh peserta rapat mengangguk.
Waktu terus berjalan, suasana tegang mulai terasa. White dan mantan marinirnya pindah ke ruangan lain, meneruskan diskusi, mendetailkan strategi penyerangan mereka. Juga Togar, dua Letnan, menemui enam puluh anak buah mereka, membahas skenario penyerangan dari bawah. Semua harus terencana dengan baik, termasuk rencana cadangan jika skenario awal gagal. Aku bicara dengan si kembar, menjelaskan tentang Basyir, lawan terkuat kami, juga belasan Brigade Tong yang pasti mengawalnya di lantai dua puluh lima. 
Pukul sepuluh, semua sudah siap. Saatnya aku memainkan bidak berikutnya.
Aku mengeluarkan telepon genggam, menekan nomor telepon yang amat kuhafal.
Tiga kali nada panggil, telepon itu diterima.
“Hallo, Basyir.” Aku memutuskan menyapa lebih dulu.
“Oh, kau, Bujang?” Basyir berseru, kemudian tertawa, “Aku pikir kau sudah lari entah kemana, Bujang. Kejutan besar saat mendengar kabar kau sedang mengumpulkan orang-orang di pelabuhan.”
“Aku tidak lari, Basyir. Dan aku belum mati, seperti yang kau umumkan ke tukang pukul Tauke agar mereka membelot.” Aku menjawab dingin.
“Tidak ada lagi tukang pukul Tauke, Bujang. Mereka adalah tukang pukul Basyir sekarang. Akulah kepala Keluarga Tong.” 
“Kau tidak bisa mendapatkan kesetiaan dengan menakut-nakuti, Basyir. Dan kau jelas tidak akan pernah bisa menjadi kepala Keluarga Tong dengan cara intimidasi.”
“Oh ya? Lantas dengan apa kau memperoleh kesetiaan? Cerita sentimentil? Hubungan emosional? Aku tahu kau punya penggemar rahasia di luar sana, Bujang. Sepanjang hari kau sibuk mengumpulkan mereka untuk menyerangku, bukan? Tapi bagaimana kau akan melakukannya? Kau sendiri yang pernah bilang, gedung kantor Parwez tidak bisa ditembus tank atau pesawat tempur sekalipun?”
“Kau tidak tahu semua rahasia Keluarga Tong, Basyir. Dua hari lalu, kau bahkan hanya bisa berteriak marah saat ranjang Tauke menghilang dibalik lorong bawah tanah, bukan?” Aku tertawa kecil, meniru cara Basyir, “Lantas bagaimana kau yakin sekali gedung kantor Parwez tidak memiliki celah yang hanya aku dan Kopong yang tahu? Aku justeru berterima-kasih kau memilih tempat itu, memudahkanku menyusun rencana.”
“Omong-kosong. Kau tetap tidak akan menang. Kalaupun kau bisa menembus gedung ini, lantas dengan apa kau akan mengalahkanku, hah? Aku lebih cepat, lebih kuat.” Suara Basyir terdengar mengejek.
Aku menghela nafas samar, si kembar ikut mendengar percakapan.
“Aku akan mengalahkanmu, Basyir. Kau bersiaplah. Aku tidak akan menyerang dengan cara pengecut seorang pengkhianat, aku akan menggunakan cara Tauke, menyerang secara terbuka. Kau membuat malu ksatria penunggang kuda dengan menikam dari belakang. Malam ini, lewat tengah malam, kami akan tiba di gedung itu.”
Basyir hendak berteriak—dia tidak terima disebut ‘cara pengecut’ dan ‘membuat malu’, tapi aku sudah memutus sambungan, meletakkan telepon genggam di atas meja.
Hujan gerimis terus turun membungkus ibukota.
Aku merebahkan punggung di kursi, memejamkan mata sejenak. Berusaha mengendalikan nafasku yang mulai kencang. Jantungku berdetak tidak terkendali. 
Apakah aku takut saat ini?
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar