Senin, 11 September 2017

Tere Liye : Pulang

BAB 24 part 1. Samurai Sejati

Hujan terus turun deras di luar
Basyir masih berdiri di depanku, empat langkah, kedua tangannya memegang khanjar. Dia siap mengirim serangan penghabisan. 
Aku menghembuskan nafas perlahan. 
Momen ini mengingatkanku kepada kejadian dua puluh tahun lalu, saat aku menatap seekor babi hutan raksasa di rimba Sumatera. Menatap seekor monster mengerikan dari lereng-lereng bukit barisan. Mata merah Basyir tak ubahnya mata merah babi hutan, geram mulutnya, dua khanjarnya seperti taring mematikan milik babi hutan. Tubuhnya tinggi besar, menghadang di depanku. Aku juga berada persis di tengah rimba beton, gedung-gedung ibukota, di tengah hujan deras. 
Apakah aku takut?
Jawabannya, iya, aku takut. Saat berangkat dari pelabuhan, aku cemas menatap Togar dan anak buahnya. Menatap White dan marinirnya, juga menatap si kembar Yuki dan Kiko. Ada banyak kekhawatiran yang datang. Jangan-jangan serangan ini akan gagal. Jangan-jangan aku hanya mengirim orang-orang yang setia kepadaku ke sarang singa, dan mereka semua mati terbunuh.
Apakah aku takut?
Aku menghela nafas. Telingaku seperti bisa mendengar tetes air hujan menimpa jendela. Detak jam di dinding. Deru nafas enam anggota Brigade Tong yang tersisa. Aku mendongak, mataku seperti bisa melihat lebih tajam, menatap tetes peluh di leher Basyir, bercak darah di bando Yuki, pun bintik kecil meja kerja Parwez. Apa yang sedang terjadi? Entah kenapa, tiba-tiba seluruh inderaku menjadi lebih sensitif. Aku seperti bisa merasakan tubuhku sendiri. 
“HABISI MEREKA!” Basyir di depanku berseru.
Enam anggota Brigade Tong loncat menyerbu Kiko—yang segera menyambar pedang di lantai sebagai pengganti senjatanya yang direbut Basyir. Yuki bergegas membantu saudara kembarnya, meninggalkanku yang berdiri sendirian.
Tere Liye : Pulang

Basyir sudah maju ke arahku, dua khanjarnya berkilat-kilat mencari sasaran.
Apakah aku takut?
Pedangku terangkat menangkis, kuat sekali gerakan Basyir, membuatku terbanting ke belakang. Dia tidak berhenti, dua khanjarnya kembali menyerang, terhujam ke leherku. Kali ini, aku tidak bisa menghindarinya. Pun Yuki dan Kiko tidak bisa membantuku, si kembar sedang repot mengurus enam anggota Brigade Tong.
Aku memejamkan mata. Apakah aku takut? Iya, aku takut.
Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang menakjubkan sedang terjadi di dalam diriku. Lihatlah. Dadaku seperti dibelah, dan kali ini, bukan rasa takut yang dikeluarkan dari sana, melainkan keberanian baru, ditanamkan di hatiku. Tubuhku terasa lebih ringan, nafasku kembali tenang, detak jantungku kembali normal. Fisikku seolah sedang bertransformasi, berubah.
Aku masih memejamkan mata, khanjar Basyir tinggal sejengkal. 
Tuanku Imam benar, hidup ini adalah perjalanan panjang. Lebih dari 13.000 hari telah kulewati. Hari-hari menyakitkan, hari-hari menyedihkan. Hari-hari saat aku tersungkur kalah. Saat Bapak memukul punggungku hanya karena aku ketahuan belajar mengaji. Mamak yang menangis tidak kuasa membelaku. Tuanku Imam benar, aku seharusnya sejak dulu memeluk semua kenangan itu. Mengingat wajah Mamak dengan tersenyum, mengenang wajah Bapak dengan riang, dan melukis wajah Tauke Besar dengan bahagia. Maka serta-merta aku telah berdamai dengan semuanya. 
Guru Bushi, wajah Guru Bushi juga melintas di depanku, aku seperti bisa melihat senyumnya, aku seperti bisa mendengar kalimat terakhirnya. 
“Aku tahu, kau tetap penasaran tentang banyak hal, karena kau dibesarkan dengan rasionalitas. Tapi saat kau tiba pada titik itu, maka kau akan mengerti dengan sendirinya. Itu perjalanan yang tidak mudah, Bujang. Kau harus mengalahkan banyak hal. Bukan musuh-musuhmu, tapi diri sendiri, menaklukkan monster yang ada di dirimu. Sejatinya, dalam hidup ini, kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu, kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja.
“Aku tidak bisa lagi melatihmu, Bujang. Tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Sekarang saatnya kau melatih diri sendiri, dan menemukan jawaban dari dirimu sendiri. Hanya seorang samurai sejati yang tiba pada titik itu. Ketika kau seolah bisa keluar dari tubuh sendiri, berdiri, menatap refleksi dirimu seperti sedang menatap cermin. Kau seperti bisa menyentuhnya, tersenyum takjim, menyaksikan betapa jernihnya kehidupan. Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan.”
Aku tersenyum. Aku tahu sekarang jawabannya, Guru Bushi. Nasehat Tuanku Imam, penjelasan Guru Bushi, aku bisa melihatnya sekarang. Semua itu ternyata dekat sekali. 
Dua khanjar milik Basyir juga sudah dekat sekali ke leherku.
Mataku membuka, dan dalam gerakan yang sangat cepat, kakiku menghentak lantai marmer. Sekejap, tubuhku sudah berpindah tempat. Berdiri enam langkah di belakang Basyir.
Dua khanjar Basyir mengenai udara kosong. Basyir termangu, menatap heran. Tubuhku seolah menghilang begitu saja. Basyir meraung membalik badannya, tidak percaya apa yang dilihat matanya.
Yuki dan Kiko yang sedang memukul sisa anggota Brigade Tong juga menatap ke arahku, wajah mereka terlihat berubah. Yuki bahkan berseru, “KAKEK BUSHI!! Itu teknik tingkat tinggi milik Kakek Bushi!”
“Bagaimana…. Bagaimana kau melakukannya?” Basyir berteriak parau.
Aku tersenyum. 
“Aku telah memenangkan pertempuranku, Basyir.” Aku menatapnya, melemparkan katana ke lantai. Aku tidak lagi membutuhkan senjata apapun.
Basyir tidak mengerti apa yang terjadi, dia sedang marah karena serangannya gagal untuk kesekian kali, dia tidak peduli jika aku tidak bersenjata lagi, Basyir berteriak, kembali menyerangku.
Tapi itu serangan yang sia-sia. Persis saat dua khanjarnya hampir menyentuh dadaku, tubuhku kembali bergerak cepat, berpindah ke depan enam langkah, berdiri di sebelah Yuki dan Kiko.
Serangan Basyir kembali mengenai udara kosong. 
“Apa yang telah kau lakukan, Bujang!” Basyir meraung marah, “Hadapi aku.”
Aku menggeleng, “Aku tidak mau berkelahi lagi denganmu, Basyir. Urusanku malam ini telah selesai.”
“Kau menggunakan sihir, hah?”
Aku tersenyum. Tidak ada sihir. Aku hanya bergerak lebih cepat dibanding dirinya, bergerak lebih kuat. Aku telah menerobos batasan diriku sendiri. Persis seperti seekor ulat yang menetas menjadi kupu-kupu, fisikku bertransformasi. Ulat tidak pernah membayangkan dia bisa terbang, bisa bergerak secepat itu. Tapi sekali ulat melampaui prosesnya, menjadi kupu-kupu, maka dia telah membuka tabir ‘rahasianya’. Hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. 
Aku telah menjadi samurai sekaligus ninja sejati. Malam ini. 
***
Di bawah sana, pasukan yang ditunggu-tunggu akhirnya juga tiba.
Saat Togar dan anak buahnya terdesak habis-habisan, sepuluh sedan hitam merapat di parkiran gedung kantor Parwez.
Salonga! Dia turun dari sedang paling depan, tangannya menggenggam pistol. Bersamanya ikut turun empat puluh murid terbaik Salonga dari Manila. Mereka adalah petarung pistol terlatih.
Sebilah belati hampir menusuk leher Togar, saat tembakan mulai terdengar. Salonga telah memainkan pistolnya. Juga murid-muridnya, susul-menyusul.
Belasan anggota Brigade Tong bertumbangan, juga tukang pukul pembelot lainnya.
Sementara di atas sana, dua helikopter menyusul mendarat. Itu juga pasukan pistol Salonga. Dua puluh murid yang kenyang dimaki Salonga di klub menembak, pun kenyang berlatih menembak berloncatan. Termasuk empat penembak jitu, sniper. Mereka segera membantu White dan mantan marinirnya.
Inilah kartu truf terakhir yang aku tunggu. Inilah kesetiaan terakhir yang kupanggil. Aku menelepon Salonga tadi siang, memintanya datang. Dan sebagai jawabannya, Salonga datang dengan seluruh kekuatan penuh. Dia memang terlambat, karena tidak mudah mengurus ijin masuk puluhan orang bersenjata. Tapi apapun itu, Salonga akhirnya tiba.
“Cek, Bujang! Kau mendengarku? Ini keajaiban.” Togar berseru dengan berlinang air mata, “Bantuan telah tiba, Bujang! Entah dari mana orang-orang ini, mereka menghabisi lawan dengan pistol.” 
Togar berteriak, sisa tukang pukulnya juga ikut berteriak. Mereka kembali menguasai pertarungan. Maju merangsek ke depan, dengan dukungan para petarung pistol di belakang. 
Juga White di atap gedung, berseru suka-cita, “Cek, Bujang! Kau mendengarku, Kawan? Kami kembali masuk ke lantai tiga puluh, ada bantuan tiba, para penembak jitu dan pasukan berpistol. Ini gila, Bujang! Mereka bisa menembak dengan mata tertutup.”
Aku tersenyum. 
Basyir masih menggerung di depanku. Wajahnya sedikit pias, dia mulai ragu, berhitung. Jelas sangat menakutkan melihat sendiri hal ini terjadi. Aku dulu gentar sekali saat menyadari Guru Bushi telah menghilang di depanku—dan Guru Bushi jelas bukan musuh yang siap membunuhku.
“Kau tidak pernah bisa mengalahkanku, Bujang! Aku selalu mengalahkanmu di amok.” Basyir berteriak, “Kau pasti telah curang! Kau menyihirku.”
“Semua sudah selesai, Basyir. Aku akan memaafkanmu.” Aku menatap Basyir iba.
“Kau! Hadapi aku, pengecut. Jangan menggunakan trik sihir menghilang.”
Basyir melompat, kembali menyerang dengan dua khanjar.
Aku mengangguk. Jika itu yang diinginkan Basyir, tangan kanan kosongku menyambut serangan, meninju salah-satu pangkal khanjar, belati itu terlepas, Basyir meraung tidak percaya melihatnya, tangan kiriku meninju perut Basyir, tubuhnya terpelanting enam langkah. Teriakanya padam.
Ruangan kerja Parwez lengang. 
Anggota Brigade Tong yang tersisa melangkah mundur. Putra tertua Keluarga Lin yang sejak tadi menonton pertarungan juga berseru jerih. Dia merapat ke dinding dengan wajah pias. Tidak ada lagi ekspresi jumawa dari mukanya.
Basyir dengan wajah kesakitan berusaha bangkit, dari sudut mulutnya keluar darah segar. Hanya setengah badan berdiri, dia kembali terduduk, menahan sakit diperut.
“Menyerahlah, Basyir. Aku tidak akan menyakitimu. Kau akan dibiarkan pergi dengan aman. Aku sungguh minta maaf atas kejadian puluhan tahun lalu, saat Tauke Besar membakar rumah kau. Jika aku bisa membalik waktu, aku sendiri yang akan membatalkan kejadian itu, agar kau tetap punya orang tua, punya Ibu yang bisa membacahkan pepatah lama setiap malam. Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tahu rasanya kehilangan orang tua, Basyir. Menyesakkan. Menyakitkan.” 
Basyir menggeram. Dia masih belum mau menyerah, berusaha berdiri.
“Kau belum menang, Bujang!” Basyir berkata serak, dia lompat hendak menyerangku lagi.
Sia-sia, bagian dalam tubuhnya terluka parah karena pukulanku tadi, baru dua langkah, tubuhnya tumbang ke marmer, khanjar terlepas dari genggaman, berkelotakan mengenai lantai. Mulutnya mengeluarkan darah lebih banyak. Empat anggota Brigade Tong yang tersisa berseru, dua dari mereka bergegas mendekati Basyir, memastikan pimpinan mereka baik-baik saja.
Pertarungan telah selesai.
Dari lorong, White dan mantan marinir, beserta pasukan berpistol Salonga telah tiba, mereka berhasil membersihkan lantai atas. Togar di bawah juga sudah memenangkan lobi gedung. Puluhan tukang pukul pembelot menyerah, mereka berlutut di lantai.
“Bawa Basyir keluar. Pergilah.” Aku berkata kepada anggota Brigade Tong, “Aku akan menjamin kalian aman melintasi lobi bawah.”
Anggota Brigade Tong mengangguk, wajah mereka takut-takut, bergegas menggotong Basyir keluar dari ruangan, menuju pintu lift. Aku menghubungi Togar lewat alat komunikasi, memerintahkannya agar tidak ada satupun anak-buahnya yang menyentuh rombongan Basyir. Togar hendak protes, tapi dia selalu tahu, kalimat seorang Tauke adalah perintah. Togar berseru kepada anak-buahnya agar memberikan jalan. 
Masih ada satu lagi yang harus kuurus.
Aku melangkah menuju sudut ruangan kerja Parwez. Yuki dan Kiko ikut di belakangku.
“Tuan Muda Lin,” Aku menatap putra tertua Keluarga Lin, “Aku juga minta maaf atas kejadian di Grand Lisabon beberapa hari lalu. Aku tidak punya banyak pilihan saat itu. Tapi seharusnya kita bisa menyelesaikan masalah prototype pemindai itu secara baik-baik.”
Putra tertua Keluarga Lin mencicit, wajahnya pucat, peluh menetes.
“Kau bisa pergi dari gedung ini dengan aman, kembali ke Makau, mengremasi Ayahmu, tidak ada anggota Keluarga Tong yang akan menyerangmu. Semoga kita masih bisa bekerja sama di masa mendatang. Melupakan kejadian yang telah berlalu. Melupakan balas dendam. Apakah kau bisa menyepakati tawaran damai dariku, Tuan Muda Lin?”
Putra tertua Keluarga Lin mengusap pelipis, dia tetap tidak bicara, suaranya tersangkut di kerongkongan, dia hanya bisa gemetar mengangguk.
“Bagus.” Aku menoleh, “Kiko, kau bisa mengawalnya hingga bandara. Pastikan dia aman hingga menumpang pesawat komersil menuju Makau.”
“Siap, Bujang!” Kiko langsung maju.
Yuki di sebelahnya terlihat heran, “Hei, sejak kapan kau menurut kepada Bujang? Bukannya selama ini kau tidak pernah mendengarkannya, Kiko?” 
Kiko melotot, dia sudah mendorong putra tertua Keluarga Lin untuk segera berjalan, “Ssttt…. Kau tidak lihat apa yang tadi terjadi? Dia menguasai teknik tinggi Kakek Bushi sekarang. Bagaimana jika Bujang jengkel kepadaku, lantas tiba-tiba dia sudah membawa tongkat rotan di depanku tanpa terlihat seperti yang Kakek Bushi dulu lakukan? Memukuli kita karena malas berlatih. Itu mengerikan, Yuki.”
Yuki menepuk dahi, tertawa, menatap saudara kembarnya yang telah menyeret putra tertua Keluarga Lin pergi meninggalkan ruangan kantor Parwez.
Aku ikut tertawa. 
***

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar